Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,303
Mawar Putih dan Pria Tanpa Kata
Slice of Life

Ia selalu datang tanpa banyak kata, membeli setangkai mawar putih, lalu pergi. Aku tulis ini karena ada cerita cinta penuh makna di balik mawar putihnya...

*****

Setiap Kamis sore, sekitar pukul empat lewat lima belas, saat matahari mulai menyusut dari kaca etalase toko bunga “Selasih Mekar”, seorang pria datang.

Ia selalu mengenakan kemeja putih bersih, sepatu hitam mengilap, dan ekspresi yang tampak seperti hasil kawin silang antara perenung filsafat dan mantan kekasih yang belum move on. Satu hal yang tak pernah berubah: ia akan menunjuk ke satu tangkai mawar putih, menunduk sedikit seperti hendak minta maaf pada kelopaknya, lalu mengeluarkan uang pas. Tanpa bicara. Tanpa senyum. Tanpa dosa.

Aku menjulukinya: Genta, si Kamis Putih.

Tentu saja itu bukan nama resminya. Tapi kalau kamu bekerja sebagai penjaga toko bunga seperti aku, kamu akan mulai menamai pelanggan berdasarkan pola perilaku dan jumlah drama yang mereka bawa ke etalase. Ada Mbak Wisuda Setiap Pekan, Mas Galau Kaktus, dan yang paling misterius, ya dia, Genta.

“Dia beli buat siapa, ya?” tanya Tania suatu sore, sambil memotong batang krisan. Tania adalah temanku di toko ini, pemegang rekor internal untuk urusan julid sambil tetap terlihat feminin.

“Kalau buat pacar, kenapa nggak diajak sekalian? Atau minimal senyum kek,” lanjutnya sambil meletakkan gunting di samping rak bunga peony.

“Aku curiga dia udah nikah, tapi istrinya kelewat galak!” kataku spontan.

Tania menoleh cepat. “Wow. Gelap banget nalar kamu.”

“Lho, aku kan cuma... berimajinasi, mawar putih untuk menenangkan istrinya,” ujarku sambil menyemprot dedaunan dengan air.

Kami berdua sepakat dalam diam bahwa Genta adalah drama Korea dalam wujud laki-laki lokal. Diam, penuh misteri, dan terlalu ganteng untuk dibiarkan begitu saja tanpa investigasi.

Namun, ada suatu sore yang tak akan kulupa. Genta datang—tidak sendiri. Dia muncul dengan seorang perempuan. Anggun, sederhana, dan mengenakan gaun abu-abu dengan potongan leher yang membuatmu berpikir ia baru saja keluar dari seminar filsafat atau pemakaman.

Dia adalah sosok yang berbeda dari pelanggan biasa. Ada aura kelam tapi kuat yang menyelimutinya, seolah membawa serta cerita-cerita berat yang tak ingin ia bagikan.

“Dua mawar putih,” kata Genta, dengan suara setenang jazz minor.

Genta menunduk. Tidak ada kontak mata. Tidak ada kehangatan. Seolah ia sedang menemani tetangga, bukan kekasih.

Ketika mereka keluar, Tania yang sejak tadi mengintip dari balik rak bunga lili mendesis, “Fix. Itu mantannya.”

Aku mengangkat bahu. “Atau... istri yang lagi menerima cobaan Tuhan.”

Setelah sore itu, Genta kembali datang sendirian di Kamis berikutnya. Mawar putih, senyap, pembayaran pas. Ia seperti kembali ke pola semula: sunyi dan teratur, seperti kalender yang hanya menandai hari Kamis.

Pernah pada suatu sore, aku tidak tahan. Ketika ia menyodorkan uang, aku bertanya pelan, “Mas, kalau boleh tahu... kenapa selalu mawar putih?”

Ia menatapku, untuk pertama kalinya. Mata yang dewasa, jujur, dan tidak kosong. Seperti seseorang yang rela menyimpan terlalu banyak cerita dalam ruang terlalu kecil.

“Karena dia benci merah,” jawabnya, sebelum berjalan pergi.

Kalimat itu membekas seperti bekas stiker yang dilepas paksa dari kaca. Genta tidak berkata siapa “dia”. Tapi kita semua di toko, malam itu, merasa seperti baru saja ikut episode sinetron tanpa iklan.

Satu-satunya hal yang membuatnya terasa nyata adalah kehadirannya yang konstan. Kamis demi Kamis. Mawar demi mawar. Tapi kemudian... dia berhenti datang.

Satu Kamis lewat. Tak ada suara pintu toko dibuka. Tak ada langkah pasti menuju etalase. Tak ada tatapan penuh makna.

Kamis kedua datang dan pergi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari pria kemeja putih itu.

Kamis ketiga, kami tak lagi bergurau. Tania mulai berspekulasi dengan nada serius, “Mungkin dia menikah dengan mantannya...”

Atau, pikirku dalam hati, mungkin dia lelah. Mungkin cinta juga punya batas napasnya.

Lalu pada Kamis keempat, ada yang datang. Bukan Genta. Tapi perempuan itu—yang dulu pernah bersamanya. Ia melangkah perlahan, dengan mata yang tidak lagi hanya sendu, tapi mengandung luka yang dalam dan matang. Wajahnya sedikit lebih pucat, rambutnya digelung rapi, dan gaunnya kini merah tua, kontras dengan langit yang sedang mendung.

Dia berdiri di depan etalase seperti seseorang yang sedang mengunjungi tempat sakral.

“Dua mawar... merah,” katanya pelan, dengan suara yang nyaris retak.

Aku tercekat.

Mawar merah? Itu bertentangan dengan semua kebiasaan Genta. Tidak pernah sekalipun ia menyentuh warna itu di sini.

Aku memberanikan diri. “Mawar merah, Mbak?”

Perempuan itu menatapku, seolah tahu isi kepalaku. Pandangannya tidak tajam, tapi dalam. Lalu ia mengangguk perlahan.

“Dia pulang dua minggu lalu... menghadap Tuhannya,” ucapnya.

Aku terdiam. Kata-kata itu mengendap seperti abu dupa. “Saya turut berduka...”

Dia mengangguk tipis. “Terima kasih. Aku baru tahu, Genta... sangat menyukai mawar merah.”

Aku terpaku.

“Tapi dia tidak pernah membelinya,” lanjutnya. “Aku tidak suka merah. Jadi dia selalu membawakan mawar putih. Setiap Kamis. Tanpa absen. Tanpa kata. Tanpa pamrih. Dia menyembunyikan kesukaannya, hanya agar aku tersenyum.”

Suaranya pecah di ujung kalimat. Tapi air matanya tidak jatuh. Mungkin sudah habis.

Perlahan, dia merogoh dompet dan membayar dengan uang pas. Seperti Genta. Seperti ritual yang diwariskan.

“Mulai hari ini... aku akan menaruh dua mawar merah di pusaranya. Setiap Kamis. Seperti dia memberiku mawar putih.”

Aku tidak sanggup berkata apa pun. Dunia mendadak terasa hening. Bahkan mesin kasir tidak berbunyi.

Perempuan itu menatap ke luar jendela, ke arah hujan tipis yang mulai turun. “Aku pernah bilang pada Genta, aku tidak suka merah. Karena dulu merah terlalu bising, terlalu nyala. Tapi sekarang aku mengerti... merah adalah warna paling jujur dalam cinta.”

Lalu dia pergi. Gaun merahnya perlahan menghilang di balik gerimis sore, seperti bayangan masa lalu yang tidak pernah selesai dikisahkan.

Aku duduk kembali di pojok toko, mencatat semuanya. Tanganku gemetar sedikit, bukan karena dingin, tapi karena aku merasa baru saja menyaksikan bentuk cinta yang terlalu sunyi untuk dibicarakan, tapi terlalu tulus untuk diabaikan.

Di luar, dunia terus berputar. Anak-anak muda datang membeli buket besar dengan tulisan “happy anniversary ke-1 minggu!”. Pasangan-pasangan berfoto di depan toko dengan filter Instagram dan senyum editan.

Tapi di dalam toko ini, pernah ada cinta yang punya bentuk lain. Bukan yang pamer, bukan yang viral.

Cinta itu... bernama Genta.

Dia tidak meninggalkan kata-kata. Tapi setiap helai kelopak putih yang pernah ia beli adalah kalimat. Setiap Kamis yang ia pilih adalah paragraf. Dan setiap senyum tipisnya yang tulus... adalah pengorbanan.

Toko bunga “Selasih Mekar” mungkin hanya sepetak bangunan kecil di sudut jalan. Tapi bagiku, ini adalah museum cinta paling nyata yang pernah ada.

Tidak semua bunga berakhir di pelaminan. Beberapa berakhir di nisan. Dan sebagian lagi... menjadi ekspresi cinta dengan pengorbanan yang tak dikatakan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)