Masukan nama pengguna
Mungkin, aku sudah lupa rasanya kenyang.
Serius. Aku lupa rasanya makan tanpa harus menyisakan untuk adik. Lupa bagaimana rasanya makan ayam bukan karena lebaran, tapi karena memang mampu beli. Lupa juga gimana rasanya minta uang jajan tanpa melihat wajah Ibu yang berusaha tersenyum tapi matanya penuh beban.
Namaku Dinda. Anak pertama dari dua bersaudara. Usiaku lima belas. Tapi rasanya sudah tua.
Rumahku di gang sempit pinggiran kota. Rumah kayu dengan dinding yang sudah bolong-bolong dan atap seng yang kalau hujan, bunyinya seperti marching band. Kami tinggal di sana: aku, Rafi adikku yang masih SD, Ibu, dan Ayah.
Dan pagi itu, aku bangun karena perutku bunyi. Bukan lapar biasa. Tapi lapar yang sudah menyayat, seperti ada pisau kecil yang mengaduk isi perutku pelan-pelan.
“Ada nasi, Bu?” tanyaku lirih di dapur. Sebetulnya, aku tahu jawabannya. Tapi entah kenapa tetap bertanya.
Ibu sedang mengaduk air gula merah di gelas plastik. “Ada Nak…," dia menatapku penuh harap, "Tapi, sisain buat buat Rafi ya.”
Aku mengangguk. Biasa. Kami semua sudah terbiasa saling mengalah. Rebutan bukan soal makanan. Tapi soal siapa yang tidak makan.
“Gimana sekolahmu, Din?” tanya Ibu sambil menyuapi Rafi.
Aku jawab sambil senyum. “Lancar, Bu. Nilai ulangan IPA aku 98.”
Ibu menoleh. Senyumnya seperti matahari kecil di dapur yang remang. “Pinter banget anak Ibu.”
Aku nyaris lupa rasanya dipeluk hangat. Tapi saat itu, senyumnya sudah lebih dari cukup untuk menghangatkan hatiku.
****
Ayah pulang menjelang magrib. Wajahnya kelelahan. Punggungnya agak membungkuk. Map lamaran kerja masih di tangan. Sama seperti dua minggu terakhir.
“Gagal lagi?” tanya Ibu pelan, mencoba menyembunyikan kecewa. "Insya Allah besok ada pintu yang terbuka buat Bapak." Ibu mencoba menghibur.
Ayah tak menjawab. Hanya memeluk Ibu dalam diam. Pelukan yang membuatku menunduk dan pura-pura sibuk dengan buku pelajaran. Tapi sebenarnya… aku menangis diam-diam.
Malam itu, kami makan nasi sisa. Aku pura-pura kenyang setelah dua suapan. Rafi masih mengunyah lambat, matanya sayu. Ayah dan Ibu hanya minum air putih.
“Tuhan…” bisikku dalam hati, “kalau Engkau bisa dengar, boleh nggak… kali ini saja, bahagiakan mereka? Aku nggak minta kaya. Aku cuma mau lihat mereka tertawa tanpa pura-pura.”
Keesokan harinya, aku datang ke sekolah seperti biasa. Tapi hari itu, wali kelasku membacakan daftar siswa yang berhak mengikuti seleksi beasiswa prestasi.
Namaku ada di urutan keempat.
Aku pulang dengan hati berdebar. Aku ingin cerita, ingin melihat Ibu melonjak bahagia. Tapi begitu sampai rumah, aku melihat Ibu sedang duduk mematung di dapur, wajahnya tertutup tangan.
“Kenapa, Bu?” tanyaku gugup.
Ibu menoleh. Matanya sembab. “Ayahmu… pingsan di pasar. Katanya kecapekan. Sekarang di rumah sakit. Tapi... kita nggak punya uang buat nebus obatnya.”
Aku terdiam. Dunia seperti menari di depan mataku. Aku ingin marah. Tapi pada siapa?
Malam itu, aku duduk di dekat Rafi yang sudah tertidur. Wajahnya damai sekali. Aku menatap wajah Ibu yang sedang menunggu kabar dari rumah sakit lewat ponselnya yang retak-retak. Aku ingin memeluknya, tapi aku terlalu takut memeluk rapuhnya.
Lalu aku ambil buku tulis, menulis sesuatu di halaman belakangnya. Bukan puisi. Bukan doa. Tapi janji.
Suatu hari nanti, Ayah dan Ibu akan duduk di kursi penonton, pakai baju paling bagus, dan aku berdiri di atas panggung. Aku akan membuat kalian bangga. Sumpah, aku akan cari jalan.
Tiga hari kemudian, aku ikut seleksi beasiswa. Wawancara, tes akademik, semua aku kerjakan sebaik mungkin. Aku tak bawa CV atau sertifikat. Tapi aku bawa sesuatu yang lebih kuat: rasa lapar yang tak ingin diwariskan.
Dua minggu kemudian, surat itu datang. Sebuah amplop putih dari dinas pendidikan. Aku berdiri lama di depan rumah sambil memandangi tulisan di depannya.
Namaku.
Tanganku gemetar membukanya. Ada dua kalimat yang langsung membuatku terduduk:
Selamat, Anda diterima sebagai penerima Beasiswa Harapan Bangsa. Semua biaya pendidikan, transportasi, dan uang saku akan ditanggung penuh hingga lulus SMA.
Aku menangis. Kali ini bukan karena lapar. Tapi karena kenyang… oleh harapan.
Hari-hari berikutnya berjalan lebih ringan. Ayah mulai pulih. Dapat pekerjaan sebagai penjaga gudang kecil. Gajinya tak besar, tapi cukup untuk beli beras dan sepotong tempe. Ibu membuka usaha kecil-kecilan: bikin kue basah untuk dititipkan ke warung.
Dan aku? Aku mulai bermimpi lebih jauh.
Aku ingin jadi guru. Bukan karena ingin kaya. Tapi karena aku ingin jadi orang yang bisa bilang ke anak-anak seperti aku: “Kamu nggak sendirian.”
Tahun berganti. Aku lulus SMA sebagai peringkat pertama. Dapat beasiswa kuliah. Rafi juga tumbuh jadi anak yang pintar. Bahkan ia pernah bilang:
“Kalau aku besar, aku mau kerja keras biar Ibu bisa jalan-jalan naik pesawat.”
Kami tertawa waktu itu. Tapi aku tahu, itu bukan candaan.
Itu doa kecil dari anak yang pernah makan sepiring nasi berlauk kecap setiap hari.
Lalu... twist itu datang.
Pada hari wisudaku, aku naik ke panggung dengan jubah biru tua. Di antara ratusan hadirin, aku melihat Ayah dan Ibu duduk di barisan depan. Wajah mereka penuh air mata dan tawa bersamaan.
Tapi kejutan sesungguhnya bukan itu.
Setelah aku turun dari panggung, seorang perempuan paruh baya menghampiri kami. Wajahnya asing tapi ramah. Ia memakai blus sederhana dan celana panjang bahan.
“Kamu Dinda, ya?” katanya lembut.
Aku mengangguk, bingung.
“Namaku Bu Irma. Dulu aku anggota tim seleksi beasiswa Harapan Bangsa. Aku yang baca surat lamaranmu waktu itu. Surat kamu... yang kamu tulis di buku tulis itu, tentang ‘rasa lapar yang tak ingin diwariskan’. Kami simpan salinan surat itu sampai sekarang.”
Aku terpaku. Jantungku berdegup.
“Karena suratmu, kami ubah sistem seleksi kami. Kami buka jalur khusus untuk anak-anak dari keluarga prasejahtera. Banyak anak sepertimu sekarang punya kesempatan karena keberanianmu menulis jujur.”
Aku menahan napas.
Lalu ia menambahkan, “Dan... karena cerita kamu, kami juga buka program beasiswa kuliah untuk orang tua yang ingin lanjut sekolah.”
Aku menatapnya tak percaya.
“Ibu kamu... Ibu Wati... daftar dua tahun lalu. Hari ini, beliau juga lulus Paket C dan akan lanjut ke pelatihan guru PAUD. Kamu bukan cuma menyelamatkan dirimu, Nak. Tapi juga keluarga dan banyak anak lain.”
Saat itu, aku tak bisa berkata apa-apa.
Aku menoleh ke arah Ibu. Ia tersenyum sambil mengangkat map biru bertuliskan “Lulusan Paket C – Ibu Wati”.
Tanganku menutup mulut. Air mataku jatuh.
Rasanya seperti... Tuhan menghidangkan nasi paling nikmat di dunia. Tapi bukan dari beras mahal. Melainkan dari cinta, perjuangan, dan harapan yang tak pernah putus.