Masukan nama pengguna
Di sebuah gang kecil yang sempitnya bikin motor harus berhenti kalau papasan, berdiri rumah-rumah petak yang mirip barisan kursi bekas hajatan: reyot tapi masih dipakai. Meski bocor waktu hujan dan temboknya sudah seperti lukisan mozaik jamur, tempat itu tetap jadi rebutan. Di Jakarta, di dimensi akar rumput, punya atap saja sudah setara dengan punya surga.
Pak Karyo tinggal di petak nomor lima, bersama istri dan dua anaknya. Pria separuh tua dengan wajah setengah bingung setengah pasrah. Sudah tiga bulan ia menunggak bayar kontrakan dan sekarang masuk bulan keempat. Bukan karena iseng, tapi karena isi dompetnya lebih sering berisi janji dan debu daripada uang.
Hari Pertama
Pagi itu, Bu Minah datang bikin heboh, mengenakan daster bunga-bunga besar dengan tubuh yang menyerupai pemain sumo lokal. Ia berdiri di depan pintu kontrakan Pak Karyo, dan tanpa permisi, membuka perang:
"Pak Karyo! Ini rumah kontrakan, bukan penampungan! Sudah tiga bulan Bapak nggak bayar! Sekarang sudah bulan keempat!"
Pak Karyo tergopoh keluar. Memaksakan senyum tapi terlihat getir.
"Bu Minah, insya Allah saya usahakan. Saya kerja siang malam, Bu. Saya bukan maling. Cuma ya... ya belum ketemu jalannya."
"Ya carilah terus itu jalan! Masa saya yang terus sabar, Bapak yang terus ngelantur?! Saya juga banyak kebutuhan yang tidak bisa ditunda! Ini peringatan terakhir. Saya kasih waktu tiga hari. TIGA HARI SAJA! Kalau nggak bisa bayar empat bulan sekaligus, saya usir! Saya lempar kasur Bapak ke selokan!"
Tanpa menunggu jawaban, Bu Minah pergi. Tetangga-tetangga yang tadinya buka pintu mengintip mulai menutup kembali, pura-pura tak mendengar. Mereka tahu, hari ini giliran Pak Karyo. Besok bisa siapa saja.
Siang itu, Pak Karyo keliling kampung nyari kerja serabutan. Dorong motor mogok, panasin kendaraan, ngantar paket pakai sepeda anaknya yang ban belakangnya kempis. Hasilnya? Keringat, debu, dan doa.
Hari Kedua
Lebih nekat. Hari ini Pak Karyo ngamen membawa instrumen musik botol bekas air meneral di isi kerikil. Suaranya serak-serak seribu kenangan, lebih mirip pembacaan obituari daripada hiburan. Seorang ibu penjual sayur memberinya receh sambil berkata, "Pak, ini duit terakhir saya. Tapi jangan nyanyi lagi ya."
Tidak putus asa. Pak Karyo lalu cari pertigaan dan mulai mengatur lalu-lintas. Jalan yang tadinya tidak macet kini malah tersendat. Malang. Dia di usir preman sangar yang merasa pertigaan itu lahan usaha miliknya.
Pak Karyo menyisir jalanan. Ada Mini Market yang lahan parkirnya belum ada yang jaga. Pak Karyo senang. Dia pun mencoba peruntungan menjadi Jukir dadakan. Dari lima mobil yang dia atur parkirnya, hanya satu yang kasih uang 2.000 rupiah. Pak Karyo heran, ingin marah sama pemilik mobil, tapi mengendara mobil menunjuk plang bertuliskan, “PARKIR GRATIS! Cukup Ucapkan Terimakasih Jika Ada yang Membantu Parkir”
Malamnya, dihitungnya hasil dua hari: lima puluh ribu rupiah, dua bungkus mi instan, dan satu kartu nama dari orang yang bilang, "kalau ada lowongan nanti saya kabarin. "Ucapan klasik yang setara dengan ucapan, “semoga hidupmu damai tanpa menagih kabar dariku.”
Hari Ketiga
Pak Karyo duduk lesu di depan kontrakan. Dia merasa sudah mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk mendapatkan uang penutup kontrakan, hasilnya hanya cukup untuk makan hari ini. Istrinya memijit pundaknya, "Ya sudahlah, Pak. Kita pindah ke mushola dekat pos ronda aja dulu. Toh jarang dipakai."
Anaknya diam. Yang satu main kelereng, yang satu nyari sinyal Wi-Fi tetangga pakai sendok aluminium ditempel ke HP retak.
Adzan Ashar belum rampung ketika Bu Minah datang, bawa dua tukang angkut dan karung plastik besar.
"Waktunya habis, Pak Karyo. Barang Bapak angkat sendiri sekarang, atau saya paksa. Ini rumah kontrakan, bukan tempat numpang tidur gratis!"
Pak Karyo berdiri. Pasrah. Ia memeluk anaknya. "Baik, Bu. Terima kasih untuk tiga bulan ini. Saya memang nggak bisa bayar, tapi saya nggak maling. Saya minta waktu dua jam buat beres-beres."
Baru saja ia hendak masuk untuk mulai beres-beres, suara langkah sepatu pantofel terdengar. Seorang pria muda muncul, bersama dua orang paruh baya.
"Lik Karyo?"
Pak Karyo memicingkan mata. "Maaf, siapa ya?"
"Saya Budi, ponakan Pak Bimo. Dulu Paklik suka anter saya sekolah di Surabaya."
"Masya Allah! Kamu udah segede ini! Mas Budi kok tahu saya di sini?"
"Kebetulan. Saya ada urusan di sini, nggak sengaja lihat Paklik."
"Anu… saya ini kebetulan harus pindah buru-buru sekarang..."
Bu Minah langsung nyamber, "Paklik kamu ini sudah empat bulan nunggak! Jadi sekarang juga harus keluar!" Dia melihat peluang anak muda ini bisa membereskan tunggakan Pak Karyo.
Budi menatap Bu Minah. "Ibu ini Mpok Aminah ya? Pegawai Pak Zaidi yang ditugasi ngurus semua petakan milik beliau?"
"Kamu siapa?!" seru Bu Minah, kaget.
Budi tak menjawab. Ia menoleh ke Pak Karyo, "Lik, nggak usah pindah. Biar Mpok Aminah aja yang pergi."
"Kamu jangan kurang ajar ya! Ini semua milik saya!" hardik Bu Minah.
"Mpok lupa sama saya? Saya Budi Santoso, anak Bu Dewi, istri terakhir Pak Zaidi."
Bu Minah seketika membeku. Mata membulat. Mulutnya terbuka sedikit tapi suara tak keluar.
Dulu, sebelum ibunya meninggal, Budi sempat tinggal bersama Pak Zaidi, ayah tirinya. Setelah itu, ia tinggal di Surabaya diasuh oleh Pakde Bimo, kakak kandung ibunya. Di Surabaya inilah dia kenal Pak Karyo, tetangga Pakde Bimo. Dunia kecil mempertemukan mereka kembali hari ini, tepat di ambang pengusiran.
Budi lanjut, "Dua puluh tahun lebih hasil petakan ini nggak pernah Mpok setor ke saya lewat Kakek. Padahal Mpok tahu isi surat wasiat Ayah. Ayah juga kasih gratis Mpok lahan kontrakan lain. Tapi Mpok malah kuasai semuanya."
Tetangga-tetangga kini pasang telinga. Hening seperti majelis taklim menjelang doa penutup.
"Lik Karyo, saya nggak tahu Paklik tinggal di sini. Saya ke sini mau ambil alih semua petakan ini. Baru sekarang saya sempat ngurus warisan Ayah setelah lama tinggal di Malaysia."
Ia menatap Bu Minah.
"Mpok Aminah, dua orang saya ini akan gantiin Mpok urus tempat ini. Mpok, saya kasih waktu TIGA HARI! Angkat kaki dari sini."
"Tapi…" Bu Minah ingin menyangkal tapi Budi memotong tegas.
"Kalau sampai lusa Mpok belum keluar, saya bawa ke jalur hukum. Saya nggak akan tagih uang hasil kontrakan dua puluh tahun itu. Cukup Mpok pergi. Saya tahu Mpok masih punya lahan petakan lain dari Ayah."
Bu Minah terduduk di bangku kayu, wajahnya kehilangan warna seperti spanduk kampanye yang terlambat dicopot. Dalam tiga hari, yang tadinya menggertak kini digertak. Hidup, rupanya penulis skenario terbaik—tak perlu rating, cukup keadilan kecil yang datang tepat waktu.
Pak Karyo mengusap wajah. Ingin menangis. Tapi hatinya sibuk bersyukur.
*****
Malamnya, keluarga Pak Karyo makan nasi padang lengkap. Telur dadar tebal. Ayam bakar. Makanan paling mewah yang mereka rasakan setelah lebaran haji tahun kemarin. Tadi, Budi sempat memberi salam tempel cukup tebal sebelum pergi.
"Pak, kita nggak jadi terusir?" tanya si bungsu.
"Nggak, Le. Tuhan selalu punya cara. Kadang kita cuma disuruh sabar tiga hari, karena hari keempat bisa lebih dari sekadar keajaiban."
Di luar, angin membawa tawa dan aroma telur dadar. Dari kejauhan, terdengar suara Bu Minah menyusun kardus sambil mengeluh soal nasib dan hak milik.