Masukan nama pengguna
Di zaman ketika cinta bisa difilter, direkam, dan diunggah dalam 30 detik, Clara harus memilih: mempertahankan dirinya, atau menjadi thumbnail pasangan sempurna. Ini bukan kisah cinta yang diviralkan. Ini kisah cinta yang gagal tetapi viral.
Namaku Clara, umur 27 tahun, pekerjaan: Konten Kreator Profesional. Di dunia nyata, aku biasa saja. Di TikTok, aku dewi. Followers-ku ribuan. Setiap upload, selalu ada yang komen, “Kak, mukanya glowing banget! Skincarenya apa?”
Mereka tidak tahu itu cuma efek filter dan ring light tiga tingkat.
Hidupku bukan digerakkan perasaan, tapi didikte oleh angka, klik, dan engagement. Aku tahu kapan harus upload story sedih supaya simpati, kapan harus pamer makanan mewah supaya dikira sukses, dan kapan harus rehat sejenak supaya dibilang “real”.
Lalu datanglah Reno. Awalnya kupikir dia cuma influencer cowok biasa—sedikit lucu, sedikit tampan, banyak gaya. Kami ketemu pertama kali di acara panel diskusi bertema "Konten Adalah Cinta, Cinta Adalah Konten". Iya, serius! Itulah dunia kami.
Saat pertama kali ngobrol, dia bilang, “Kamu kayak FYP yang muncul tiap hari. Susah di-skip.”
Dan aku, bodohnya, malah senyum. Bukan karena gombalnya bagus, tapi karena aku bisa membayangkan kutipan itu jadi caption yang viral.
Kami mulai kolaborasi buat konten. Awalnya sebatas challenge TikTok dan podcast dadakan. Tapi publik suka. Bahkan ada fanbase yang bikin akun khusus: @clareno.diary. Dalam waktu singkat, kami dijuluki pasangan ideal. Relationship Goals.
Lalu, seperti semua konten yang naik daun, kami memutuskan untuk “jadian”.
Secara resmi? Iya. Tapi dalam hati kecilku, aku nggak yakin. Kadang, aku bingung, apakah aku sayang Reno... atau sayang performa reach-ku saat bersama dia?
Kami tetap bersama. Reno memang menyenangkan, setidaknya di depan kamera. Kami tahu timing candaan satu sama lain. Kami tahu kapan harus peluk supaya lighting bagus. Dan kami tahu pose mana yang bikin engagement naik.
Tapi di luar kamera, semua terasa... senyap. Kami jarang ngobrol soal hal-hal remeh. Bahkan saat makan malam, kami sibuk edit caption.
Pernah suatu malam, kami makan ramen. Reno sibuk cari angle yang pas buat Story, sedangkan aku nahan topping biar nggak muncrat ke bibir. Rasanya bukan lagi makan malam sama pacar, tapi kayak gladi bersih iklan makanan instan.
Dan mungkin, di situlah awal mula retaknya.
**
Tiga bulan kemudian, Reno melamarku. Di mall. Di tengah acara "Lamaran Romantis Ala Selebriti" yang disponsori sebuah aplikasi wedding planner.
Ada biola live. Ada balon berbentuk hati. Ada kerumunan. Ada aku, berdiri dengan gaun yang sengaja matching dengan warna logo sponsor. Dan tentu saja, ada Reno, berlutut sambil memegang cincin zirconium yang katanya “lebih bersinar dari berlian asli, lebih realitis dari pada ngutang pinjol”.
“Clara,” katanya dengan suara bergetar, entah karena emosi atau karena mic Bluetooth murah, “Will you marry me… and go viral forever with me?”
Drone di atas kepala kami berputar seperti malaikat pengawas. Netizen di sekitar berteriak, “Awwww!” dan “Cieeeeeee!”
Kupandangi Reno. Tampan. Necis. Mapan secara digital. Seharusnya aku bahagia.
Tapi yang keluar dari mulutku justru satu kata:
“Enggak!”
Seketika mall hening seperti kedatangan alien mendadak. Reno masih berlutut, bingung antara marah, malu, atau lanjut akting.
Aku mengulang, kali ini lebih pelan, lebih tenang, “Enggak, Ren.”
*****
Setelah kerumunan bubar dan event dibatalkan separuh jalan, Reno mencariku di food court. Kami duduk di meja yang sama tempat kami dulu syuting konten mukbang pertama.
“Aku cuma pengen tahu satu hal,” katanya, menatapku. “Kenapa?”
Pertanyaan yang adil. Tapi jawabannya tidak sesederhana algoritma TikTok.
“Aku ngerasa kita terlalu sibuk jadi konten, sampai lupa jadi manusia,” kataku.
Reno menatapku lekat. “Jadi, kita cuma akting, gitu?”
“Bukan akting. Tapi kayak... marketing. Kita tahu mau jual citra pasangan bahagia. Tapi setelah kamera mati, kita bahkan gak ngobrol soal hal-hal kecil. Kamu tahu warna kesukaanku?”
“Pink?”
“Salah, Salem! Itu juga aku setel di Instagram bio. Kamu cuma baca, bukan tahu.”
Dia tertawa getir. “Aku pikir kita bahagia.”
“Aku juga pikir begitu. Sampai aku sadar, aku lebih sering latihan senyum buat konten daripada senyum pas kamu datang.”
*****
Seminggu setelah kejadian di mall, netizen terbelah. Ada yang bilang aku terlalu drama, ada yang bela Reno, ada juga yang bikin teori kalau kami sebenarnya setting-an buat promosi aplikasi dating baru.
Tapi tidak satu pun dari mereka tahu bahwa malam sebelum lamaran, aku berdiri di depan cermin selama sejam. Bertanya, “Kalau aku bilang iya, hidupku akan jadi lebih gampang. Tapi apakah akan jadi lebih jujur?”
Yang paling ironis, setelah aku menolak lamaran itu, follower-ku justru naik dua puluh ribu. Video penolakanku jadi konten trending. Ada yang bilang, “Akhirnya ada cewek yang berani!”
Aku ingin bilang: ini bukan tentang keberanian. Ini tentang kejujuran yang datang terlambat.
**
Kami bertemu sekali lagi sebulan kemudian. Kali ini di taman kota. Bukan untuk bikin konten, tapi benar-benar ngobrol. Reno datang dengan hoodie dan celana training. Aku pun tampil tanpa makeup. Tanpa mic. Tanpa filter. Cuma kami berdua dan suara anak-anak main sepeda.
“Kamu beneran gak nyesel, gak ingin memperbaiki?” tanyanya pelan.
Aku butuh waktu beberapa detik sebelum menjawab.
“Nyesel karena bikin kamu malu, iya. Tapi kalau soal keputusan? Enggak. Karena akhirnya aku sadar, aku lebih nyaman jadi diriku sendiri, meski gak trending.”
Dia tersenyum. Kali ini senyum manusia. Bukan influencer.
“Lucu, ya. Ternyata kita yang ngajarin orang untuk jadi autentik, justru gak jujur satu sama lain.”
Kami duduk dalam diam. Lalu aku berkata pelan:
“Cinta itu seperti konten. Kalau harus di-setting terus, lama-lama capek. Dan penontonnya bisa bosan.”
**
Sekarang aku sendiri lagi. Masih bikin konten. Tapi bedanya, aku gak lagi jual citra pacaran harmonis. Aku mulai bikin konten tentang hal-hal absurd: gagal masak, jerawat mendadak, lupa bayar WiFi.
Dan tahu gak? Justru itu yang bikin engagement-ku naik dua kali lipat.
Orang suka kejujuran. Mereka bosan lihat “sempurna”.
Dan aku juga pelan-pelan belajar. Bahwa bukan hanya netizen yang harus diajak bicara. Tapi juga diriku sendiri. Bahwa gagal nikah di depan umum bukan akhir dunia. Tapi awal dari hidup yang lebih jujur.
Reno sekarang bikin podcast sendiri. Kadang aku masih nonton. Dia lebih dewasa sekarang. Lebih reflektif. Mungkin kejadian itu membuka matanya juga.
Kami tidak saling follow lagi. Tapi kami tidak saling unfollow juga. Seperti banyak hal dalam hidup, hubungan kami menggantung di antara “masih peduli” dan “sudah cukup”.
Dan itu tidak apa-apa.
Karena, kadang, mencintai seseorang berarti tahu kapan harus mundur—supaya dia bisa melihat dirinya lebih jelas, tanpa pamrih apapun.