Flash
Disukai
2
Dilihat
7,322
MALAM BERSAMA MALING
Drama

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Begitulah hidup memberi pelajaran. Daun yang jatuh tidak sekali saja menolak. Kenyataan daun untuk mengering lalu jatuh diterima dengan lapang dada tanpa gugatan pada takdir, segudang pertanyaan kepada Tuhan, juga setumpuk kebencian pada pohon yang pernah dihidupinya dengan fotosintesa dan pada angin yang membantu kejatuhannya.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Termasuk kenyataan bahwa profesiku hanya seorang guru honorer yang harus menerima gaji ratusan ribu sebulan dengan tanggungan dua anak yang kuliah dan sekolah. (Tak bisa kubayangkan jika harga-harga akan melambung ketika pajak naik jadi 12% di tahun depan.) Tak pelak lagi, aku dan istriku harus mendayagunakan segala apa yang ada semata demi mencari income tambahan. Dari usaha toko kelontong dan cilok, menerima borongan jahit sepatu, borongan bikin kue atau penganan lainnya, terkadang jadi tukang batu dan listrik jika ada tetangga atau kawan yang membutuhkan, sampai mencari kodok ketika tiba musim hujan.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Aku yang sejak kecil memiliki tubuh ringkih harus memforsir tubuh, otak, dan hati sedemikian rupa agar tetap sehat sehingga mampu terus bekerja untuk penghidupan keluarga. Seperti malam ini, berjalan terseok membelah pekat malam yang basah oleh hujan demi memburu binatang bernama kodok.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Hujan yang turun menjadi tanda bahwa ada kesempatan menambah pundi-pundi penghasilan dengan sebuah perburuan kodok. Aku segera menengok peralatan tempurku di sudut dapur. Sial, tidak ada. Aku ingat-ingat. Aku biasa menyimpan peralatan itu di sana. Apa istriku memindahkannya dan lupa memberitahu? Aku segera mencari istriku di ruang tamu yang disulap menjadi toko kelontong dengan etalase, rak kayu, dan tali melintang untuk menggantung dagangan. Tapi langkahku terhenti. Samad, tetanggaku, meminjam peralatan tempur itu seminggu lalu. Mungkin ia belum mengembalikannya.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Dengan langkah gontai, aku melangkah ke rumah Samad ketika istriku menggeleng usai kutanya; “Apa Samad sudah mengembalikan?” Adalah sebuah kenyataan bahwa orang mudah meminjam tapi susah mengembalikan.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Tanpa rasa malu, bersalah, apalagi terima kasih, Samad mengembalikan peralatan tempur perburuan kodokku yang dipinjamnya. Aku masih berusaha tersenyum dan mengusir jauh kesal di hati. Buat apa memelihara rasa marah dan benci, hanya menyita enerji dan menutup pintu rejeki, demikian yang kuingat dari pengajian rutin Kamisan di musholla ujung gang rumahku. Melihat senyumku, Samad merasa ada celah untuk membayar kesalahannya, ia menawarkan jas hujan topi yang biasa ia pakai mencari kodok. Buru-buru, ia masuk ke dalam rumahnya dan kembali dengan apa yang ditawarkannya. Aku punya jas hujan dan topi, tapi untuk melegakan hatinya, kuterima penawarannya.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Malam ini aku tenggelam dalam perburuan kodok dengan jas hujan dan topi Samad yang bau dan kegedean. Tiba di persimpangan jalan di tepi kampung, aku ingat rekomendasi Samad tentang pesawahan di sebelah barat. “Banyak, Mas, kodoknya!” katanya tadi. Aku katakan bahwa itu bukan tempat biasa bagiku untuk memburu kodok. “Saya bisa mencari di situ, Mas. Beneran, kodoknya banyak!” mungkin itu salah satu usahanya membayar kesalahannya. Akhirnya, aku pun melangkahkan kaki ke arah barat kampung kami. Tidak ada salahnya dicoba.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Sial! Tak terhitung berapa kali aku jatuh terpeleset. Aku tidak terbiasa dengan pematang sawah di tempat ini. Dengan susah payah aku terus berjalan. Tapi memang Samad tidak berdusta, belum lama berburu wadah bambu di pinggangku telah terasa berat dengan tangkapan.

 Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Saat aku jatuh terterpeleset untuk kali ke sekian, sebuah tangan tiba-tiba terulur dari kegelapan. “Kalau masih mabuk, kenapa nekat berangkat, Mad?” sapa empunya tangan akrab. Aku dikiranya Samad. Aku hanya mendengus, aku tak ingin orang itu tahu bahwa aku bukanlah tetanggaku yang suka minum itu. Orang itu lalu menarikku ke bawah sebuah pohon beringin besar. Ia berseloroh tentang tidak baik bekerja terlalu keras, ada baiknya istirahat sebentar. Demi menjauh dari hal-hal yang tak kuinginkan, aku menurut mengiyakan.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Sebatang rokok disodorkannya padaku. Meski dikenal tetangga bahwa aku bukan seorang perokok, aku menerimanya. Semata, agar orang itu tetap mengira diriku adalah Samad. Gila, ternyata orang ini adalah maling. Kutahu dari tuturannya orang-orang pelit pembunga uang yang memenuhi syarat untuk dimalingi. Ah, peduli amat.. Kadang aku juga ‘dipaksa’ duduk manis mendengarkan pidato pejabat yang kemudian tertangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Bukankah mereka juga maling?

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Dari caranya bertutur dan menyapa, nampak sekali orang itu telah mengenal lama Samad. Selama ngobrol aku hanya mengangguk-angguk dan mendengus, agar ia tetap menganggapku Samad. Ia lantas berkisah bahwa maling di kampung ini tidak hanya dirinya. “Kamu harus tahu, Mad! Banyak maling di kampung ini yang berpura-pura menjadi sopir, petani, juga guru,” terangnya. Aku terkesiap. Jangan-jangan... “Kamu harus tahu, Mad! Aku itu tidak selalu kerja sendiri. Aku juga butuh bantuan dari yang lain. Misal, untuk memetakan situasi dan kondisi sasaran permalingan. Lalu, nanti kita bagi hasil,” tambahnya. “Hanya saja, Guru Budi itu bodoh. Dia menerima dikasih bagian berapa saja. Mana tahu dia sebenarnya aku dapat hasil berap....” Belum sempat dia mengakhiri kalimatnya, sebilah pisau telah menusuk perutnya.

Sepahit apapun, kenyataan memaksa untuk diterima. Orang itu segera menggelepar dengan darah berhamburan. Ia kesakitan dan heran menatapku. Kubuka topi dan tudung jas hujan, “Iya, aku Guru Budi, maling yang suka berpura-pura dan bodoh!”

 

----- oo0oo ----

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)