Masukan nama pengguna
Untuk ke sekian kalinya, aku menghela napas panjang dan mengiyakan tentang ketidakabadian. Meski kali ini bukan karena gugurnya dedaunan cemara kering yang berderai di sebelah kiri rumah kita. Perputaran roda hitam yang menggelinding menjauhi tempat ku berdiri mengatakan sungguh-sungguh, di dunia ini tak ada yang benar-benar abadi hingga diperjuangkan sampai puncak tergigil.
Tukang tambal ban yang tengah mengganti ban motorku itu terus berkekata tentang jenis-jenis ban, berikut karakteristik, kualitas, juga harga. Aku hanya mengangguk sesekali. Tak hanya karena ingin melegakannya, aku memang tak tahu banyak tentang ban sepeda motor.
Bagiku, ban hanyalah lingkaran hitam dari karet buatan yang diciptakan manusia hanya semata untuk melengkapi sebuah perjalanan dari kendaraan. Perbedaan di antara mereka adalah hal yang penting? Kurasa tidak. Masing-masing ban diciptakan berbeda hanya berdasar pada kebutuhan, juga galur-galur kesesuaian. Sementara, kadang mereka berputar dan berjalan tidak bersama dengan pasangan yang diciptakan untuknya.
Sebuah motor bermesin dan berangka standar dengan ban ukuran kecil yang baru diisi angin oleh si tukang tambal ban pun mengangguk. Ia mengiyakan gumam batinku.
Aku pun yakin akan keputusanku, hari ini, meninggalkanmu.
Seorang lelaki paruh baya datang dengan menuntun sepeda motornya. Keringatnya bercucuran. Aku mendadak ingat sosok kakek. Ia suka mengenakan sarung serupa dengan yang dipakai lelaki paruh baya itu. Ia juga suka berkeringat. Terlebih sepulang menyabit rumput untuk kambing-kambingnya.
Lelaki paruh baya itu langsung duduk di sebelahku. Ia menuding ke arah sepedaku. Ia bertanya, apakah derita yang kurasakan tak berbeda dengan penderitaannya. Ia kehilangan banyak angin, karena ban sepedanya bocor. Aku mengangguk. Kali ini tak hanya melegakan kata-katanya. Tetapi, memang kami tengah menghadapi ujian yang serupa.
Seperti yang kuduga sebelumnya, lelaki paruh baya itu lalu mengeluh tentang napasnya, tentang kedatangan masa tua yang tak bisa ditolak, juga kerentaan yang berebut menyapa tanpa antrian panjang. Seperti prasangkaku sebelumnya, ia pun lalu membanggakan masa lalunya. Betapa dulu ia perkasa, berjalan dan berlarian tanpa bayangan ketakutan pada ngos-ngosan.
Sesuatu yang tak kupahami perbatasan kenyataan dan khayalan pun menghambur dari bibirnya. Tentang ia yang dulu pernah memanjat tiang bendera. Tentang ia yang dulu mampu berlari tanpa henti kala berangkat dan pulang sekolah. Sempat, aku berpikir ingin mendengarnya bercerita tentang ia yang dulu mampu menghafal 30 juz Al Qur’an.
Ingin rasanya kututupi kupingku. Aku juga punya banyak cerita, mengapa aku harus mendengar cerita?
Mendadak pula ia berhenti bercerita. Si tukang tambal ban menanyakan pada lelaki paruh baya itu tentang derita ban sepeda motornya. Seakan hanya untuk beristirahat sejenak, ia pun lalu berganti sasaran. Tukang tambal ban itu pun sekarang menjadi sasaran tumpahan cerita-ceritanya; berkarung cerita yang semua orang jug tak paham di mana perbatasan kenyataan dan khayalannya.
Aku pun yakin akan keputusanku, hari ini, meninggalkanmu.
Tanganku terulur. Beberapa lembaran uang di genggamnya meluncur. Si tukang tambal ban melebarkan senyum. Aku pun begitu. Selamat jalan ban lamaku. Selamat datang ban baruku. Masih dengan menyungging senyum, ban motor baru ini berputar perlahan lalu melesat cepat mendukungku meninggalkan sesuatu yang memang selayaknya berlalu.
Tak kuhiraukan lelaki paruh baya yang masih tertinggal di bangku tempat tambal ban itu. Sebagaimana tak kuhiraukan lagi dirimu di rumah, di samping pohon-pohon cemara yang daunnya acapkali berguguran.
“Kau benar-benar pergi hari ini?” tanyamu tanpa menatapku.
Langkahku yang telah tiba di bibir pintu pun menemui henti. Aku berdiri kaku. Khayal kecilku meronta, aku bayangkan kau berlari mengejarku. Menangis keras lalu memelukku. Aku pun lalu berkidung dan berlagu. Kau menari dalam rentak irama sendu. Kita pun menangis bersama dan menulis syair-syair penyesalan. Mohonan maaf menjadi minyak goreng yang kita perebutkan. Lalu, kepergian pun aku urungkan.
Namun, khayalan hanya sebatas khayalan. Tak ada pengejaran, pecah tangisan, pelukan, lagu dan tarian, apalagi syair penyesalan dan maaf yang diperebutkan. Kau masih di tempatmu. Kau masih larut dalam timbunan kertas-kertas itu. Kau begitu memuliakannya, seakan mereka adalah tuhan yang menentukan arah dan waktu kedatangan surga berikut neraka. Ah, kau selalu begitu.
Aku tak mengukir jawab. Hanya langkah yang kembali kuayunkan.
Aku pun yakin akan keputusanku, hari ini, meninggalkanmu.
Memanggul keputusanku laju sepeda motor ini kian sepesat hantu. Aku ingin benar-benar secepatnya berlalu dari sesuatu yang begitu lawas menerungku.
Jalanan di depan beringsut lengang. Hanya satu dua kendaraan berpapasan. Tak hanya karena malam yang memang kian dewasa, keriuhan jalanan kota memang semakin jauh tertinggal di belakang. Terang lampu rumah di kanan kiri jalan pun semakin tak mudah ditemukan. Apakah kepergian selalu menjemput kesendirian?
Tiba-tiba. Lampu motorku meneranginya, seorang perempuan yang melambaikan sapu tangan sedemikian rupa, di pinggir jalan di samping mobil yang lampunya tak menyala. Sekilas, sempat ada bayangan hantu, setan, juga begal jalanan. Namun, apalagi di dunia ini yang kutakutkan? Meninggalkanmu pun telah berani kulakukan. Aku siap dengan dengan segalanya di semesta kemungkinan.
Laju sepeda motor aku surutkan. Semakin dekat, rona wajah perempuan itu kian terlihat. Aku terhenyak keheranan. Perempuan itu mirip sekali denganmu. Aku yang begitu masih memikirkanmu? Atau memang benar perempuan itu begitu serupa denganmu?
Semakin dekat, semakin terlihat, semakin lekat aku menatap. Semakin aku tahu, perempuan itu dan kamu bak pinang dibelah sembilu berlumur madu.
Sesungging senyum bertengger di ranting bibir perempuan itu. Kelegaan juga terlihat jelas di rona wajahnya. Ketika mesin sepeda motor ini benar-benar tak bersuara lagi, perempuan itu lalu bertutur tentang nestapa mobilnya dan meminta secuil belas dengan boncengan motorku. “Aku lelah, aku hanya ingin sampai di kota terdekat dan istirahat. Besok, mobil ini akan kupikirkan kembali,”
Tak bisa kubendung pandang mata untuk menemukan bulir kejujuran dari kata-kata dan rona wajahnya. Sementara, jalanan lengang dan kedewasaan malam menuliskan petisi dukungan. Setelah satu sampai sembilan kalimat perbincangan tentang nama, tujuan, dan basa-basi ke sekian, perempuan itu telah duduk di belakangku dan sepeda motor ini pun melaju.
Perjalanan berikutnya tak banyak kata terucap. Mungkin perempuan itu memang benar-benar lelah? Mungkin karena ia memang tak suka banyak bercerita? Atau mungkin, aku memang yang tak pandai bercerita meski bergudang cerita bersemayam di kepala.
Tiba di sebuah kota kecil, beberapa warung di pinggir jalan terlihat masih terbuka pintunya meski malam benar-benar sedemikian dewasa. Aku tawarkan padanya sebuah pemberhentian, sekadar menjamunya dengan menu-menu pinggir jalan. Membiarkan perut kosong dalam sebuah perjalanan bukankah dosa bagi siapa saja? Alhasil, perempuan itu mengiyakan.
“Di masa apa aku terakhir makan, aku telah dilupakan,” bisiknya dekat sekali di telinga. Sementara, aku sendiri juga lupa, siapa perempuan yang pernah berbisik sedekat ini dengan telingaku selain kamu. Aku benar-benar lupa. Atau memang tidak ada.
Dan, suara itu, suara perempuan itu. Dan, suara perempuan itu begitu mirip denganmu. Hanya timbre suaranya lebih tinggi, lebih melengking. Seperti suaramu saat masa-masa pertama kita bertemu, dan kau belum menuhankan kertas-kertas itu.
Beberapa menu yang kami pesan telah terhidang. Kami pun segera menikmatinya tanpa banyak kata. Kami hanyalah sejumput pengisi meja di warung yang itu. Segera pula lisong di tangan kunyalakan usai itu, perempuan itu kemudian memandangku tajam.
“Lelaki begitu maskulin ketika mencumbu bubungan asap itu, saya suka melihatnya. Tak seperti leluhurku. Mungkin itu pula yang membuat laki-laki lebih mencintai gulungan tembakau dan cengkeh ketimbang ibu dari anak-anaknya,”
Sekarang, aku yang menumbuk tatapan matanya, “Silahkan, aku punya banyak kawan perempuan juga suka mencumbui lisong,” Ia menggeleng.
Gerakan kepala perempuan itu begitu indah. Dan, begitu mirip dengan caramu menggerakkan kepala. Ah, aku yang begitu masih memikirkanmu? Atau memang benar perempuan itu begitu serupa denganmu? Mengapa aku begitu mudah bertemu dengan rupa perempuan sepertimu?
Lalu kami pun tenggelam dalam pusaran percakapan yang begitu dalam. Entah karena ia begitu mirip denganmu, aku tuturkan berlaksa cerita yang telah lawas tertimbun di kepala. Aku ceritakan tentang kupu-kupu, dawai-dawai malaikati, hingga ke ceruk-ceruk palung yang selama ini tak terjamah siapa pun. Aku begitu merasa nyaman bercerita pada perempuan itu.
Ketika kuantarkan perempuan itu di sebuah penginapan, ia kembali menatapku tajam. Tapi kali ini bibirnya bergetar hebat, air matanya jatuh berlinangan, suaranya tiba-tiba terdengar begitu serak menggayuti rongga kerongkongan, “Sebaiknya, Kakek Uyut pulang,” Tiba-tiba perempuan itu memanggilku begitu. “Jika malam ini tak pulang, mungkin sekali aku tak akan ada dan berdiri di sini,”
“Kamu siapa?” tanyaku ditusuk keheranan,
“Aku adalah cucu buyutmu dari masa depan. Aku dikirim ayah, cucumu, untuk mengingatkan. Jika waktu tak dilipat, aku tak dikirim melompat, galur keturunanmu tak tak pernah ada,”
Aku terus menatapnya tak percaya. Perempuan itu lalu menunjukkan sebentuk cincin dalam kotak asing. Namun, cincin itu tidaklah asing. Itu adalah cincin yang kukenakan di jarimu di hari keramat itu.
Kali ini, aku tak yakin akan keputusanku, hari ini, meninggalkanmu.
******