Masukan nama pengguna
Hujan deras mengguyur kota, menciptakan irama monoton yang menggema di seluruh penjuru. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, Ayesha duduk sendiri, tatapannya terfokus pada tetesan hujan yang jatuh di luar jendela. Sudah hampir sejam dia menunggu, dan meskipun perasaannya campur aduk, dia tahu bahwa pria yang dia tunggu pasti akan datang.
Dia adalah Arka, lelaki yang selama dua tahun terakhir ini mengisi hari-harinya dengan kebencian dan kecintaan yang sama kuatnya. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, bahkan duduk di divisi yang sama. Pertemuan pertama mereka adalah bencana—Ayesha menjatuhkan kopi panas di kertas-kertas penting Arka, dan sejak saat itu, seolah takdir memutuskan bahwa mereka akan selalu berseberangan.
Arka tiba dengan mantel hitam yang basah kuyup. Dia mengibas-ngibaskan air dari rambutnya sebelum duduk di depan Ayesha, dengan senyuman mengejek yang sudah terlalu Ayesha kenal.
"Kamu lama sekali," kata Ayesha tanpa basa-basi, nada suaranya setengah marah setengah lega.
"Ada urusan penting tadi," jawab Arka dengan nada yang tak kalah tajam.
Mereka berdua sudah terlalu sering bertengkar, hingga terkadang Ayesha sendiri tak lagi mengingat apa yang sebenarnya memicu perdebatan pertama mereka. Namun, satu hal yang selalu dia sadari, di balik setiap pertengkaran, ada sesuatu yang tak bisa dia tolak—rasa yang dia benci tapi juga rindukan. Ada perasaan aneh yang hanya muncul saat dia bersama Arka, perasaan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, dan membuat pikirannya tak tenang.
Malam itu, setelah adu argumen yang biasa, mereka berdua akhirnya terdiam. Kafe mulai sepi, dan hanya tersisa mereka berdua. Di balik keheningan, Ayesha memutuskan untuk bicara jujur.
"Arka, sebenarnya kenapa sih kita selalu bertengkar? Apa karena kita benar-benar tidak bisa akur, atau karena kita takut mengakui sesuatu yang lebih dari itu?"
Pertanyaan itu membuat Arka tertegun. Dia menatap Ayesha dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik tatapan penuh keraguan perempuan itu. Namun, sebelum Arka sempat menjawab, suara lonceng di pintu masuk kafe membuat keduanya menoleh.
Seorang wanita dengan penampilan elegan masuk, rambutnya diikat rapi, dengan senyum manis yang terpampang di wajahnya. Wanita itu melangkah mendekat ke arah mereka, dan tanpa peringatan, memeluk Arka erat.
"Aku rindu kamu, Sayang," katanya lembut, dan Ayesha bisa merasakan detik itu juga, bagaimana hatinya hancur berkeping-keping.
Arka terlihat kaget, namun segera menguasai diri. Dia membalas pelukan wanita itu dengan canggung, sementara Ayesha hanya bisa duduk terpaku, merasa seperti dunia telah berhenti berputar. Wanita itu kemudian duduk di sebelah Arka, dan untuk pertama kalinya, Ayesha melihat Arka tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu siapa?" Tanya Ayesha akhirnya, suaranya gemetar.
Wanita itu menoleh dan tersenyum lembut, "Aku Renata, tunangannya Arka. Aku baru saja kembali dari luar negeri, dan aku tidak sabar ingin bertemu dengannya lagi."
Kata-kata itu bagaikan tamparan keras bagi Ayesha. Tiba-tiba, semua momen yang dia alami dengan Arka—semua perasaan yang dia coba tahan—terasa seperti lelucon kejam yang dipermainkan oleh takdir. Dengan hati yang remuk, Ayesha berdiri, merasa tidak sanggup lagi berada di tempat itu.
"Ayesha, tunggu..," Arka mencoba mengejar, tapi Ayesha sudah berlari keluar kafe, tak peduli meski hujan deras mengguyur tubuhnya. Dia merasa bodoh. Selama ini, dia mengira ada sesuatu di antara mereka, meski hanya sedikit harapan kecil. Namun kenyataannya, Arka sudah memiliki seseorang yang nyata dan jelas di sampingnya.
Ayesha berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya dia berhenti di sebuah taman yang sepi, terisak di bawah pohon besar. Dia merasa sangat bodoh, membiarkan perasaannya terombang-ambing oleh seseorang yang bahkan tidak pernah sepenuhnya ada untuknya.
Namun, di tengah isak tangisnya, langkah kaki mendekat. Arka berdiri di sana, basah kuyup sama seperti Ayesha, namun matanya menunjukkan tekad yang belum pernah Ayesha lihat sebelumnya.
"Ayesha, dengerin aku," kata Arka dengan nada memohon. "Aku gak tahu kenapa kamu begitu penting sampai aku takut kehilangan. Renata adalah masa lalu, dan dia tiba-tiba muncul kembali. Aku gak mau nyakitin kamu, aku juga gak mau kamu jadi salah paham."
Ayesha menatapnya, air mata masih mengalir di pipinya, "Jadi, kamu sudah bertunangan?"
"Iya, tapi itu dulu," jawab Arka. "Kami sudah berpisah sebelum aku kenal kamu. Kehadirannya malam ini juga kejutan buat aku, dan aku gak tahu harus berbuat apa."
"Kamu gak harus menjelaskan apa-apa, Arka. Aku hanya ingin tahu satu hal—apa aku hanyalah pelarian buat kamu? Seseorang yang kamu buat merasa istimewa, hanya untuk kemudian kamu tinggalin?"
"Gak, kamu lebih dari itu," kata Arka, mendekat. "Ayesha, selama ini aku menghindari perasaan ini, karena aku gak mau melukai siapa pun, terutama kamu. Aku pikir, lebih baik kita bertengkar dan saling membenci daripada kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita mungkin saling membutuhkan."
Kata-kata itu membuat Ayesha terdiam. Di balik segala kebencian dan pertengkaran mereka, ada perasaan yang telah lama dia coba sembunyikan. Namun, apakah dia siap mengakui perasaan itu dan menerima Arka apa adanya?
"Arka, aku gak tahu apa aku bisa percaya sama kamu," jawab Ayesha akhirnya. "Aku sudah terlalu terluka."
"Ayesha, aku gak minta kamu buat percaya sekarang juga. Tapi aku gak mau kehilangan kamu. Tolong kasih aku kesempatan buat membuktikan kalau perasaan ini nyata," pinta Arka dengan tatapan penuh harap.
Hujan semakin deras, namun di antara derai hujan itu, Ayesha merasakan ada sesuatu yang perlahan-lahan mencair di dalam hatinya. Mungkin ini bukan cerita cinta yang biasa, tapi bukankah cinta yang rumit justru yang paling berharga?
"Kita lihat saja, Arka," kata Ayesha pelan. "Aku gak mau menjanjikan apa-apa, tapi mungkin kita bisa mulai dari sini."
Arka tersenyum, dan meski ragu, Ayesha merasa sedikit kehangatan di hatinya. Mungkin, di antara benci dan cinta, selalu ada ruang untuk memulai sesuatu yang baru.
Namun, cerita belum berakhir. Ketika mereka berdua memutuskan untuk memberikan kesempatan satu sama lain, kehidupan mereka memang mulai terasa lebih baik. Ayesha dan Arka mulai saling mengenal lebih dalam, hingga akhirnya benar-benar merasakan kenyamanan satu sama lain.
Namun, tiba-tiba, di suatu malam yang tenang, Ayesha menerima pesan singkat yang tak disangka-sangka dari Renata:
"Aku tahu tentang kalian. Tapi, apakah kau tahu tentang Arka yang sebenarnya? Datanglah ke alamat ini jika kau berani menghadapi kenyataan. Jalan Cemara No. 8, Sukabumi.”
Ayesha merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Pesan itu membuatnya gelisah, namun rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Dia memutuskan untuk pergi ke alamat yang tertera, yang ternyata adalah sebuah rumah tua di pinggiran kota.
Ketika dia tiba, pintu rumah itu terbuka, dan di dalamnya, Ayesha menemukan Renata sedang duduk di ruang tamu, dengan secangkir teh di tangannya. Di samping Renata, duduk seorang pria tua yang tampak mengenalinya.
"Siapa dia, Renata? Dan apa maksud semua ini?" Tanya Ayesha, suaranya gemetar.
Renata tersenyum dingin, "Ini ayah Arka, dan aku ingin kau tahu sesuatu yang dia sembunyikan darimu."
Ayesha tidak mengerti, hingga pria tua itu mulai bicara, "Arka adalah anakku, tapi dia bukan anak kandungku. Dia adalah hasil dari hubungan gelap ibunya dengan pria lain. Ketika dia tahu kenyataan ini, dia berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Arka adalah manipulatif, dia selalu mencari cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dan dia tidak pernah peduli siapa yang harus dia lukai untuk mencapainya."
Ayesha terkejut, merasa bahwa dunia di sekelilingnya berputar.
“Aku tidak peduli dengan latar belakang Arka,” sahut Ayesha setelah mendengar penuturan dari ayah Arka.
Renata hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Ayesha.
Ayesha masih berdiri mematung, semua kenangan bersama Arka berputar di benaknya, lalu diam-diam mulai mencoba mencari tahu apakah ada tanda-tanda yang dia lewatkan. Namun, sebelum dia akan berkata dan bereaksi lebih jauh untuk membela pria yang dicintainya, Arka tiba-tiba muncul di ambang pintu, tatapannya penuh kemarahan.
"Kamu tidak seharusnya ada di sini, Ayesha," katanya, suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Ini bukan urusanmu."
"Tapi ini urusan kita, Arka!"
Ayesha merasakan ketegangan di udara, seolah seluruh ruangan tiba-tiba membeku. Dia menatap Arka, mencoba mencari kebenaran di balik sorot matanya yang dingin.
"Apa maksudmu, Arka? Semua ini tentang siapa kamu sebenarnya? Apa yang sudah kamu sembunyikan dari aku?" Tanya Ayesha, suaranya bergetar namun dipenuhi dengan tekad untuk mengetahui kebenaran.
Arka melangkah masuk ke ruangan, matanya masih menatap tajam pada Renata dan pria tua yang duduk di sebelahnya, "Kamu tidak mengerti, Ayesha. Mereka hanya ingin menghancurkan kita. Ayahku... dia selalu membenciku karena aku bukan anak kandungnya. Dan Renata... dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku memilihmu."
Renata mendengus sinis, "Kau selalu menghindar dari kebenaran, Arka. Kau selalu berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sekarang, Ayesha berhak tahu semuanya."
“Aku gak masalah dengan latar belakang kamu, Arka. Tapi harusnya paling gak kamu cerita. Kita bukan orang asing, aku dan kamu,” tutur Ayesha kepada Arka.
Pria tua itu akhirnya angkat bicara, suaranya rendah namun tegas, "Arka adalah anak yang pintar, penuh potensi. Tapi setelah dia mengetahui bahwa dia bukan anak kandungku, dia berubah. Dia mulai memanipulasi orang-orang di sekitarnya, termasuk aku. Dia mengancam akan menghancurkan reputasi keluarga kami jika aku tidak memberinya apa yang dia inginkan."
Ayesha merasa seluruh tubuhnya gemetar. Arka yang selama ini dia kenal sebagai pria yang penuh keyakinan dan kasih sayang, kini tampak seperti sosok asing yang menakutkan.
“Arka, apa ini benar? Apa benar kamu selalu memanipulasi semua orang untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, termasuk aku juga nantinya?"
Arka menatap Ayesha dengan ekspresi yang sulit dibaca, "Ayesha, aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk bertahan hidup. Kamu tidak mengerti bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang kebohongan dan kebencian. Aku hanya ingin mengendalikan hidupku sendiri."
Renata melangkah mendekat ke Ayesha, menyentuh lengannya dengan lembut, "Kau tahu, Ayesha, aku mencintai Arka. Tapi setelah aku melihat siapa dia sebenarnya, aku tidak bisa membiarkanmu jatuh ke dalam perangkapnya. Dia tidak bisa dicintai, karena dia hanya akan menghancurkanmu seperti dia menghancurkan orang lain."
Ayesha merasa hatinya remuk. Dia ingin tidak mempercayai apa yang mereka katakan, namun segala hal yang diungkapkan Renata dan pria tua itu terasa begitu masuk akal. Arka, pria yang dia pikir dia kenal, ternyata adalah seseorang yang berbeda. Seseorang yang mungkin dia tidak pernah benar-benar kenal.
Namun, sebelum Ayesha bisa berkata apa-apa lagi, Arka mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Sebuah pistol berkilauan di bawah cahaya lampu, dan dia mengarahkannya ke Renata.
"Sudah cukup, Renata," kata Arka dengan suara yang sangat dingin. "Kau tidak punya hak untuk ikut campur dalam hidupku lagi. Kau sudah cukup menghancurkanku."
Ayesha menahan napas, merasa bahwa dunia di sekitarnya runtuh, "Arka, jangan! Kau tidak perlu melakukan ini."
Namun, Arka tidak mendengarkan. Dia hanya menatap Renata dengan penuh kebencian, "Kau selalu menghalangi jalanku, Renata. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku."
Dalam sekejap, suara tembakan menggelegar memenuhi ruangan. Renata terjatuh ke lantai, darah mengalir dari tubuhnya yang tak bergerak lagi. Ayesha menjerit, mencoba mendekati Renata, tapi Arka menariknya kembali, memaksanya untuk tetap di tempat.
"Kita harus pergi dari sini, Ayesha," kata Arka dengan tegas. "Aku gak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Kita akan memulai hidup baru, jauh dari sini."
Ayesha menatap Arka dengan ketakutan dan kebingungan. Pria yang dia cintai kini tampak seperti monster yang siap menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Namun, di dalam hatinya, ada juga perasaan yang tidak bisa diabaikan. Mungkinkah dia masih mencintai Arka meski setelah semua ini?
Namun, saat Arka mencoba menariknya keluar dari rumah itu, pria tua itu bangkit dari tempat duduknya dengan kecepatan yang mengejutkan. Dengan sebuah gerakan cepat, dia meraih pistol Arka dan merebutnya dari tangan pria itu.
"Kau tidak akan pergi ke mana pun, Arka," kata pria tua itu dengan suara bergetar. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidup orang lain lagi."
Arka terkejut, tapi sebelum dia bisa bereaksi, pria tua itu menembakkan peluru ke arah Arka. Ayesha hanya bisa berteriak saat tubuh Arka terjatuh ke lantai, darah mengalir dari dadanya. Dia mendekat ke tubuh Arka yang sudah tak bernyawa, air mata mengalir deras di pipinya.
Pria tua itu menatap Ayesha dengan tatapan penuh penyesalan, "Aku terpaksa melakukan ini. Dia adalah anak yang baik, tapi kebencian telah merusaknya."
“Bapak telah membunuh Arka, anak kandung Bapak sendiri,” Ayesha terisak, merasa hatinya hancur berkeping-keping. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan atau bagaimana dia harus merasa. Pria yang dia cintai telah pergi, tapi pria yang dia cintai juga adalah seseorang yang dia tidak pernah benar-benar kenal.
Dengan langkah yang berat, Ayesha keluar dari rumah itu, meninggalkan semuanya di belakangnya. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Namun, satu hal yang pasti—di antara benci dan cinta, dia telah kehilangan keduanya, dan mungkin, dia tidak akan pernah bisa mempercayai cinta lagi.
– Tamat –
Catatan Penulis
Sisi gelap sifat manusia, sering kali mengacu pada aspek-aspek tersembunyi yang kurang baik dari kepribadian seseorang, mencakup emosi seperti kemarahan, kecemburuan, keserakahan, dan ketakutan, atau perilaku yang didorong oleh sifat egois, manipulasi, dan kekejaman. Meskipun sifat-sifat tersebut mungkin ditekan atau dikendalikan di kehidupan sehari-hari, namun bisa muncul saat di bawah tekanan, atau dalam situasi tertentu.
Sisi gelap, merupakan kompleksitas sifat manusia, menunjukkan bagaimana (bahkan) karakter yang paling berbudi luhur pun tidak kebal terhadap dorongan gelap, kontras dengan kualitas positif.