Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,282
GINJAL
Slice of Life

Fonny duduk di sudut ruangan sempit yang dindingnya mengelupas dan bercak lembap menghiasi setiap sudut. Hanya ada satu lampu neon berwarna putih yang berkedip-kedip, memberikan kesan muram dan tak nyaman. Bau apek bercampur asap rokok tipis melayang-layang di udara, membuat suasana makin menekan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin, permukaannya tak lagi mengepul, meninggalkan jejak-jejak minyak di atas cairan hitam itu. Jari-jarinya yang kurus dan kaku terus menggigil, entah karena udara dingin yang merasuk dari celah-celah pintu, atau karena gelombang ketegangan yang terus bergulir di dadanya. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang menahan sesuatu yang terlalu berat untuk diembuskan.

Fonny menatap telepon genggam yang tergeletak di atas meja kayu reyot di depannya, casing-nya sudah penuh goresan, seperti hidupnya sendiri yang terasa penuh luka. Ia tahu, sebentar lagi telepon itu akan berdering, dan panggilan yang ia tunggu—atau lebih tepatnya, ia takutkan—akan datang. Nama di layar itu adalah seseorang yang ia harap tak pernah harus ia temui seumur hidup. Tetapi kini, di sini, ia terjebak, tanpa pilihan. Tekadnya sudah bulat, meski dadanya terus memberontak, ingin sekali berlari dari keputusan ini. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum jam yang menusuk kulit, mengingatkannya bahwa waktu untuk menyerah pada takdir sudah di ambang pintu.

“Fonny, aku minta maaf,” suara adiknya, Santi, masih terngiang di kepalanya. Tiga hari lalu, Santi menangis di tempat tidur rumah sakit. Tubuhnya lemah, pucat, seperti sehelai kertas yang terlalu sering dihapus. Lupus yang menggerogoti tubuh Santi tak kenal belas kasihan. Fonny hanya bisa menggenggam tangan adiknya, mencoba menguatkan meskipun ia sendiri tak tahu harus bagaimana.

“Kita pasti bisa cari jalan keluarnya, San. Jangan menyerah dulu,” katanya waktu itu, walau dalam hati ia bertanya-tanya dari mana ia akan mendapatkan uang sebesar itu untuk biaya pengobatan.

Fonny adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tua mereka sudah lama tiada, dan sejak itu Fonny mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Ia bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji yang pas-pasan, cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi jauh dari cukup untuk menutup biaya pengobatan Santi yang terus membengkak. Rumah sakit sudah memberi peringatan terakhir: jika pembayaran tidak dilakukan dalam seminggu, Santi akan dipulangkan.

Ponsel Fonny bergetar. Ia meraihnya dengan tangan gemetar. Sebuah pesan masuk:

“Jalan Surya No. 17. Besok pukul 10 malam. Jangan terlambat.”

Fonny menelan ludah. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuatnya merinding. Itu adalah alamat tempat ia akan bertemu dengan broker ginjal. Ia menemukan nomor broker itu dari seorang kenalan di pabrik, seseorang yang pernah menceritakan tentang “pasar gelap” organ tubuh dengan nada setengah bercanda. Namun bagi Fonny, ini bukan lelucon. Ini adalah pilihan terakhir.

***

Malam itu, Fonny berdiri di depan sebuah bangunan tua yang tampak tak terurus. Dindingnya kusam, dengan cat yang mengelupas di beberapa bagian. Pintu kayu di depannya tampak berat, seperti enggan dibuka. Fonny mengetuknya tiga kali, sesuai instruksi di pesan.

Pintu terbuka sedikit, cukup untuk menampakkan wajah seorang pria paruh baya dengan ekspresi datar. “Nama?” tanyanya singkat.

“Fonny,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.

Pria itu membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”

Fonny melangkah masuk ke ruangan yang hanya diterangi lampu redup. Bau antiseptik bercampur dengan bau lembab menyeruak di hidungnya. Di tengah ruangan, ada meja panjang yang di atasnya terdapat beberapa dokumen dan laptop. Di balik meja, duduk seorang pria dengan jas putih, wajahnya tertutup masker medis. Di sudut lain ruangan, Fonny melihat seseorang sedang berbaring di atas ranjang lipat, dengan infus terpasang di lengannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam. Fonny tak tahu apakah orang itu masih hidup atau tidak.

“Kamu tahu apa yang akan terjadi di sini, bukan?” tanya pria berjubah putih tanpa basa-basi.

Fonny mengangguk pelan. “Saya… saya butuh uang untuk biaya pengobatan adik saya.”

Pria itu mengangguk kecil, seperti sudah sering mendengar alasan serupa. “Baik. Kita akan melakukan pemeriksaan singkat untuk memastikan kamu sehat dan ginjalmu layak dijual. Setelah itu, kamu akan menandatangani kontrak. Pembayaran dilakukan setelah operasi selesai. Mengerti?”

Fonny mengangguk lagi, meski rasa takut mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.


Proses pemeriksaan berlangsung singkat, hampir terlalu singkat untuk sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Darahnya diambil, tekanan darahnya diperiksa, dan pria berjubah putih itu mengangguk puas. “Kamu sehat. Ginjalmu akan laku mahal,” katanya datar.

Kontrak itu ada di depan matanya. Fonny membaca setiap kalimat dengan hati-hati, meski ia tahu bahwa ia tak punya pilihan lain. Kontrak itu penuh dengan istilah medis dan hukum yang sulit dimengerti, tapi inti dari semuanya jelas: Fonny akan kehilangan satu ginjalnya, dan sebagai gantinya ia akan menerima uang sejumlah yang sudah disepakati.

“Tandatangani di sini,” kata pria itu, menunjuk bagian bawah halaman terakhir.

Fonny memegang pena dengan tangan gemetar. Ia menandatangani kontrak itu dengan hati yang berat, seolah-olah ia baru saja menjual sebagian dari jiwanya.

***

Operasi berlangsung di tempat yang sama, di ruangan sempit di belakang gedung. Tak ada fasilitas mewah seperti di rumah sakit, hanya alat-alat medis seadanya dan dua orang asisten yang membantu. Fonny terbaring di atas ranjang besi, mengenakan gaun operasi yang terlalu besar untuk tubuhnya. Lampu operasi menyilaukan matanya.

“Tenang saja. Kamu akan dibius, jadi kamu tidak akan merasakan apa-apa,” kata salah satu asisten dengan senyum tipis yang tak meyakinkan.

Fonny ingin bertanya sesuatu, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, masker oksigen sudah menutup wajahnya. Ia merasakan kantuk yang tiba-tiba, dan dalam hitungan detik, ia terlelap.

***

Ketika Fonny membuka mata, rasa sakit yang luar biasa menyambutnya. Ia meraba sisi tubuhnya dan merasakan perban tebal yang membungkus bagian pinggangnya. Tubuhnya lemas, seperti semua tenaga telah diambil darinya.

“Ini uangmu,” kata pria berjubah putih, menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal. Fonny menerimanya dengan tangan gemetar. Ia ingin menghitung isinya, tapi rasa sakit membuatnya sulit berkonsentrasi.

“Istirahatlah di sini beberapa jam sebelum pulang. Jangan banyak bergerak, dan minum obat ini untuk mengurangi rasa sakit,” tambah pria itu, meletakkan sebuah botol kecil berisi pil di meja samping ranjang.

Fonny hanya mengangguk lemah. Ia menatap amplop di tangannya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini sepadan, bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Santi.

***

Beberapa hari kemudian, Fonny kembali ke rumah sakit dengan amplop itu di tangannya. Ia menyerahkannya kepada petugas administrasi tanpa banyak bicara. Petugas itu membuka amplopnya, menghitung isinya, lalu mengangguk puas. “Pembayarannya cukup. Terima kasih, Pak Fonny. Kami akan melanjutkan pengobatan untuk adik Anda,” katanya dengan senyum profesional.

Fonny menghela napas lega. Ia berjalan menuju kamar Santi, berharap bisa membawa kabar baik. Namun, ketika ia sampai di sana, ia menemukan tempat tidur Santi kosong. Selimutnya sudah dilipat rapi, dan tak ada tanda-tanda kehadirannya.

“Maaf, apakah Anda keluarga dari pasien Santi?” tanya seorang perawat yang kebetulan lewat.

“Iya, saya kakaknya. Di mana adik saya?” tanya Fonny panik.

Perawat itu terdiam sejenak, lalu menunduk. “Saya minta maaf. Santi meninggal tadi pagi. Kami sudah mencoba yang terbaik…”

Dunia Fonny seolah runtuh. Amplop kosong di tangannya terasa lebih berat dari batu karang. Semua pengorbanannya terasa sia-sia. Ia telah kehilangan sebagian dari dirinya, hanya untuk kehilangan adiknya juga.

Fonny jatuh terduduk di lantai. Air matanya mengalir tanpa henti. Dalam keheningan yang menyiksa, ia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah ini harga yang harus aku bayar?”

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)