Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,561
REFERENDUM
Sejarah

Senja mulai merayap turun di kota Jakarta, memancarkan cahaya keemasan yang menyinari jalan-jalan dan gedung-gedung tinggi. Di tengah keindahan senja itu, hati kami dipenuhi kegelisahan dan kecemasan. Hari itu, kami menerima panggilan dari Dirjen Imigrasi, sebuah panggilan yang akan menentukan masa depan keluarga kami. Ayah, Thomas, seorang pria asal Timor Leste yang telah bekerja di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat selama bertahun-tahun, harus menghadapi kenyataan yang berat. Tanah kelahirannya, Timor Timur, telah memilih merdeka melalui referendum, dan kini kami harus membuat keputusan penting.

Ayah selalu berbicara tentang kecintaannya pada tanah airnya, Timor Leste, namun sejak menikah dengan Ibu, Sulastri, dan membangun kehidupan di Jakarta, Indonesia telah menjadi rumah kedua baginya. Ibu, seorang wanita Jawa asli Yogyakarta, selalu setia mendampingi Ayah dalam setiap langkah hidupnya. Hari itu, Ibu tampak tegar, meskipun aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia tahu betapa berat keputusan ini bagi Ayah. Mereka harus memutuskan apakah akan tetap menjadi warga negara Indonesia atau kembali ke tanah leluhur Ayah. Keputusan ini bukan hanya tentang kewarganegaraan, tetapi juga tentang identitas, cinta, dan masa depan kami sebagai sebuah keluarga.

Kami duduk bersama di ruang tamu, merasakan keheningan yang penuh beban. Ayah menggenggam tangan Ibu erat-erat, seolah mencari kekuatan dari cinta dan dukungan yang selalu mereka bagi. Aku, bersama dua saudaraku, hanya bisa menatap mereka dengan harapan dan ketegangan. Kami tahu bahwa keputusan ini akan mempengaruhi kehidupan kami selamanya. Meskipun Ayah telah berjanji untuk selalu berada di sisi kami, ada ketakutan bahwa perubahan ini bisa memisahkan kami dari keluarga besar Ayah di Timor Leste.

Saat hasil referendum diumumkan, perasaan kami campur aduk antara kegembiraan dan kecemasan. Di satu sisi, ada kebanggaan bahwa Timor Timur telah berhasil meraih kemerdekaannya. Namun, di sisi lain, ada ketidakpastian yang menghantui. Ayah, yang telah lama meninggalkan Timor Timur untuk bekerja di Jakarta, merasakan panggilan dari tanah airnya yang baru merdeka. "Saya cinta merah putih," katanya dengan tegas, suaranya penuh keyakinan.

Kami tiba di kantor imigrasi di Jakarta, sebuah tempat yang penuh dengan hiruk-pikuk dan ketegangan. Di tengah keramaian, Ayah menggenggam tangan Ibu erat-erat, mencoba mencari kekuatan di tengah situasi yang rumit. Kami, tiga anak mereka, berdiri di samping mereka, merasakan getaran emosi yang sama. Aku, yang saat itu masih kelas tiga SMA, merasakan beban berat di pundakku. Proses di kantor imigrasi tidaklah mudah. Kami harus membuktikan bahwa kami ingin tetap menjadi warga negara Indonesia. KTP, KK, akta lahir, semuanya harus lengkap dan sesuai prosedur. Tidak hanya itu, kami juga harus bisa menghafal Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan benar.

Di kantor imigrasi, antrean panjang mengular seperti ular raksasa yang tak berujung, membuat setiap langkah terasa seperti melewati rintangan yang berat. Kami berdiri dalam antrean dengan perasaan cemas, dikelilingi oleh orang-orang yang juga tampak gelisah dan tidak sabar. Petugas imigrasi yang tampak lelah dan seringkali bersikap kurang ramah menambah ketegangan suasana. Setiap kali kami menyerahkan dokumen, selalu saja ada masalah yang dianggap kurang lengkap atau perlu verifikasi lebih lanjut.

"KTP ini sudah kadaluarsa, harus diperbarui dulu," katanya dengan nada datar, tanpa sedikitpun menunjukkan empati.

Ayah menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya yang memuncak.

"Bapak, kami sudah melengkapi semua dokumen yang diminta. Kami hanya ingin memperbarui status kewarganegaraan kami," kata Ayah dengan nada sabar, meskipun ketegangan jelas terlihat di wajahnya. Petugas itu tetap bersikeras, matanya tidak berpaling dari tumpukan dokumen di depannya.

"Prosedurnya memang seperti ini, Pak. Kalau ada yang kurang, harus dilengkapi dulu," katanya tanpa memandang kami. Ayah kembali mencoba menjelaskan, suaranya mulai terdengar putus asa.

"Ini sangat penting bagi kami. Kami ingin memastikan kami tetap menjadi warga negara Indonesia," katanya. Namun, petugas itu hanya mengangkat bahu dan menyerahkan kembali dokumen yang dianggap kurang.

Saat itu, Ibu yang biasanya tenang, terlihat mulai gelisah. "Pak, bisakah kita mempercepat proses ini? " katanya dengan suara lembut namun penuh ketegasan.

Petugas itu hanya menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah menggenggam tangan Ibu lebih erat, mencoba menenangkan dirinya dan kami.

Setelah beberapa jam menunggu dan menghadapi berbagai rintangan administratif, akhirnya kami diizinkan untuk melanjutkan proses. Namun, kesulitan belum berakhir. Di tengah kegaduhan dan hiruk-pikuk kantor imigrasi, kami dipanggil untuk menjalani tes hafalan Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di hadapan petugas yang tampaknya skeptis dan tidak sabar.

"Baik, sekarang giliran kalian!" ujar petugas dengan suara lantang, membuat hati kami berdegup kencang. Tampaknya ada ketegangan terselubung dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Jantungku berdebar-debar saat aku mengucapkan Pancasila dengan lantang, mencoba menembus keheningan tegang yang memenuhi ruangan. Setiap kata-kata itu terasa berat, seolah-olah harus dilafalkan dengan sempurna untuk memenuhi harapan yang tidak tertulis.

Kemudian, giliran menyanyikan lagu kebangsaan. Dalam keheningan yang hanya terpotong oleh suara-langkah kaki dan suara gemuruh lalu lalang, kami mulai menyanyikan lagu Indonesia Raya. Suara kami terdengar kecil di tengah kebisingan kantor imigrasi yang sibuk.

Di antara sorot mata skeptis dari petugas yang duduk di mejanya, kami melantunkan lagu itu dengan sepenuh hati, mencoba menunjukkan bahwa kami sungguh-sungguh dalam keinginan kami untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia yang kami cintai.. Setiap kata terasa seperti beban yang harus dilalui dengan sempurna.

Petugas lain yang lebih tua dan tampak bijaksana akhirnya memeriksa ulang dokumen kami. Dia melihat upaya dan kesulitan yang telah kami lalui. "Baiklah, dokumen kalian sudah lengkap sekarang. Kalian bisa melanjutkan ke tahap berikutnya," katanya dengan suara yang sedikit lebih hangat. Ayah menghela napas lega, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Pak," katanya dengan tulus.

Akhirnya, setelah melewati berbagai hambatan dan rintangan yang tampak tak berujung, kami dinyatakan sah sebagai warga negara Indonesia. Ayah memeluk kami satu per satu, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Ini adalah keputusan terbaik untuk kita," katanya dengan suara bergetar.

Meskipun banyak saudara Ayah di Timor Leste mencibir pilihannya, Ayah tetap tegar. Setiap kali kami berkomunikasi dengan keluarga besar di Dili, caci maki dan cibiran seringkali menghujani Ayah tanpa ampun.

" Thomas kamu pengkhianat! " teriak seorang paman melalui telepon suatu hari. "Bagaimana bisa kamu lebih memilih hidup di antara musuh-musuh kita?"

Setiap kali ada pertemuan keluarga besar yang diadakan di Dili, Ayah seringkali merasa diasingkan. "Apa yang kamu harapkan dengan tetap tinggal di Indonesia? Mereka tidak akan pernah benar-benar menerimamu," sindir Pedro, seorang sepupu dengan nada meremehkan. Ayah hanya bisa tersenyum kecut, menahan luka yang terasa di hatinya. "Anak-anakmu tidak akan pernah tahu apa artinya menjadi orang Timor Leste sejati," tambah Pedro, seorang keponakan bapak.

Cibiran dan caci maki ini tidak hanya datang dari mulut keluarga besar, tetapi juga dari pesan-pesan yang dikirim melalui media sosial dan surat. "Kamu meninggalkan kami di saat-saat kami paling membutuhkanmu," tulis seorang anggota keluarga.

"Kamu lebih memilih kenyamanan daripada berjuang bersama kami," kata yang lain. Namun, Ayah tetap bertahan. Cintanya pada Ibu dan kami, anak-anaknya, membuatnya kuat menghadapi semua ini.

Setiap kali Ayah merasa terpuruk oleh kata-kata kasar itu, Ibu selalu ada untuk mendukungnya. "Kamu sudah membuat keputusan yang terbaik untuk kita semua," bisik Ibu sambil memeluk Ayah. Kami, anak-anaknya, juga berusaha memberikan semangat. "Ayah, kami bangga padamu. Kamu adalah pahlawan kami," kataku dengan tulus.

Ayah sering merenung di malam hari, memikirkan semua hinaan dan cercaan yang diterimanya. Namun, dia selalu bangkit dengan kekuatan baru.

"Kita tidak bisa memuaskan semua orang. Yang penting adalah kita tetap bersama sebagai keluarga," katanya dengan tegas.

Ayah tahu bahwa keputusannya akan selalu menjadi bahan perdebatan, tetapi dia tetap memilih untuk bertahan. Cintanya pada Ibu dan kami, anak-anaknya, adalah alasan utamanya. Dia ingin kami tumbuh dengan penuh kasih sayang dan persatuan, meskipun harus menghadapi banyak rintangan.

Bahkan ketika kunjungan ke Timor Leste menjadi lebih sulit dan penuh tantangan, Ayah tetap tidak goyah.

"Kita mungkin terpisah oleh batas negara, tetapi hati kita tetap satu," katanya setiap kali kami harus menghadapi caci maki baru.

Ayah menggenggam tangan Ibu lebih erat, mencoba menenangkan dirinya dan kami. "Lastri, Kita harus sabar dan tenang," bisiknya. Setelah melewati berbagai hambatan, akhirnya kami dinyatakan sah sebagai warga negara Indonesia. Ayah memeluk kami satu per satu, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Ini adalah keputusan terbaik untuk kita," katanya dengan suara bergetar. Meski banyak saudara Ayah di Timor Leste mencibir pilihannya, Ayah tetap tegar. Cintanya pada Indonesia, Ibu, dan kami, anak-anaknya, membuatnya bertahan di Indonesia.

Dengan keteguhan hati dan cinta yang tak tergoyahkan, Ayah mengajarkan kami bahwa keluarga adalah yang terpenting. Meskipun banyak yang mencibir dan menghina, dia tetap berdiri teguh, menunjukkan bahwa cinta bisa mengatasi segalanya. Perjalanan ini mengajarkan kami tentang keteguhan hati dan kekuatan cinta keluarga, dan kami tahu bahwa apapun yang terjadi, kami akan selalu bersama, melintasi batas negara dan perbedaan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)