Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,899
( dalam Kurung )
Slice of Life

(Dalam Kurung)

Langit di atas SMA Negeri 2 menggantung kelabu, menyimpan awan tebal yang seolah-olah tak rela mengizinkan matahari menerobos masuk. Angin berembus perlahan, membawa serta hawa berat yang mencekam, seakan turut merasakan kelelahan dan kejenuhan yang membebani para penghuni gedung sekolah itu. Di sudut halaman sekolah, pohon-pohon yang biasanya hijau ceria kini tampak layu di bawah suasana mendung. Dedauan berguguran pelan, tertiup angin, seperti lambang dari semangat siswa-siswi yang mulai mengering dan hilang ditelan rutinitas.

Di dalam kelas, suasana tak jauh berbeda. Cahaya matahari yang redup hanya sedikit masuk melalui jendela-jendela besar yang buram oleh debu. Udara terasa pengap meskipun jendela telah dibuka lebar. Di barisan bangku belakang, Arman duduk sambil menundukkan kepala. Tatapannya kosong menatap papan tulis di depan, tetapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam rasa bosan yang dalam. Suara Pak Ridwan, guru Biologi mereka, mengisi ruangan, tapi suaranya tak lagi mampu membangkitkan perhatian. Terlalu datar, terlalu monoton, seperti kaset tua yang diputar berulang-ulang setiap hari.

Setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Ridwan tentang evolusi dan seleksi alam terdengar jauh dan tak bermakna, hanya sebuah ritme yang mengisi waktu tanpa substansi. Arman tahu, bukan karena Pak Ridwan tak berusaha mengajar, tetapi lebih karena beban yang ditimpakan pada mereka, siswa dan guru, sudah terlalu berat untuk dipikul. Matanya mulai terasa berat, bukan karena kantuk, melainkan karena lelah mental. Sebuah lelah yang datang bukan dari aktivitas fisik, tetapi dari tumpukan tugas dan tanggung jawab yang datang seperti gelombang laut yang tiada henti menghantam karang.

Sehari sebelumnya, Arman baru saja selesai mengerjakan tiga tugas yang diberikan oleh guru-guru berbeda—semuanya dengan tenggat waktu yang sama, semuanya menuntut perhatian penuh. Setelah bergadang semalaman menyelesaikan laporan praktikum Kimia, ia terpaksa menyingkirkan waktu bermain, bersosialisasi, bahkan istirahat, hanya demi mengejar nilai. Tapi hari ini, ketika duduk di kelas Biologi, ia tahu tugas berikutnya sudah menanti di depan mata, siap menggulungnya dalam pusaran kewajiban tanpa henti.

Arman melirik ke kiri dan kanan, melihat teman-temannya yang sama-sama terjebak dalam siklus ini. Rina, yang duduk di depannya, terlihat hampir tertidur di meja, wajahnya kusam, rambutnya berantakan. Dia baru saja menyelesaikan tugas Matematika yang sulit, dan sekarang ia menghadapi kenyataan pahit bahwa laporan Biologi juga menunggunya. Di seberang ruangan, Rahman menahan kantuk, sesekali menguap lebar, sementara tangannya masih mencoba menulis sesuatu di buku catatannya dengan gerakan mekanis. Tak ada antusiasme, tak ada semangat. Hanya rutinitas yang seakan dijalani dengan autopilot.

“Dan jangan lupa, minggu depan kalian harus mengumpulkan laporan tentang penelitian mandiri kalian,” suara Pak Ridwan kembali terdengar, memecah lamunan Arman. Kalimat itu seperti petir yang menyambar, membuat kepalanya terasa semakin berat. Satu lagi tugas yang harus diselesaikan. Satu lagi malam tanpa tidur yang harus dilalui.

Arman menghela napas panjang, tatapannya kembali kosong menatap papan tulis yang kini dipenuhi catatan rumit tentang proses evolusi. Di kepalanya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar: Untuk apa semua ini? Ia merasa setiap hari ia belajar begitu banyak hal, tapi entah kenapa tak satu pun dari apa yang dipelajari itu benar-benar masuk ke dalam pikirannya. Informasi hanya melintas cepat, melewati tanpa meninggalkan jejak.

“Sekarang pendidikan ini sudah nggak terasa seperti membangun kita lagi,” bisik Arman dalam hati. “Semua ini hanya terasa seperti menghancurkan jiwa kita perlahan-lahan, satu tugas, satu ujian, satu proyek pada satu waktu.”

Di meja guru, Pak Ridwan tampak sama letihnya. Matanya yang dulu berbinar-binar kini redup. Setiap hari, dia menghabiskan lebih banyak waktu menyiapkan dan menilai tugas daripada berbicara kepada siswa-siswinya tentang apa yang benar-benar penting. Dia ingat saat pertama kali menjadi guru, di mana semangatnya membara. Dia ingin berbagi ilmu, menginspirasi, dan membimbing generasi muda. Tapi kini, dia merasa menjadi bagian dari mesin besar bernama kurikulum yang digerakkan oleh pemerintah, mesin yang seolah-olah bertujuan mengatur kehidupan siswa dan guru tanpa peduli dengan kenyataan yang mereka hadapi.

“Baiklah, anak-anak, kita lanjutkan materi hari ini tentang evolusi,” kata Pak Ridwan dengan suara datar. Di hadapannya, para siswa hanya mengangguk, sementara beberapa tampak mengerjakan PR dari pelajaran lain di bawah meja. “Dan jangan lupa, minggu depan kalian harus mengumpulkan laporan tentang penelitian mandiri kalian.”

Arman menghela napas panjang. Ia baru saja menyelesaikan tiga tugas lainnya semalam, dan kini satu lagi ditambahkan ke dalam daftar panjang. "Untuk apa semua ini?" gumamnya, pelan. "Kita belajar banyak hal, tapi entah apa yang kita dapatkan selain kelelahan."

Di kantin, di jam istirahat, suasana lebih ramai, tapi percakapannya tetap sama: keluhan tentang tugas, ujian, dan aturan baru. Rina, teman sekelas Arman, duduk di sebelahnya, matanya memerah karena begadang semalam menyelesaikan makalah Sejarah.

“Aku merasa, semakin lama kita semakin seperti robot,” katanya. “Semua ini bukan tentang belajar lagi. Ini cuma tentang memenuhi tuntutan kurikulum.”

Arman mengangguk. “Iya, aku juga merasakannya. Dulu aku senang belajar. Tapi sekarang? Rasanya setiap materi cuma masuk satu telinga dan keluar dari telinga lainnya. Nggak ada yang benar-benar nyangkut.”

Di ruang guru, Pak Ridwan sedang berbincang dengan Bu Ratna, guru Matematika. “Aku nggak tahan lagi, Pak,” ujar Bu Ratna. “Setiap hari, bukan cuma siswa yang kelelahan. Kita juga sama. Setiap minggu kita harus membuat rencana pelajaran baru, menyiapkan soal-soal ulangan, menilai ribuan lembar jawaban... Dan apa hasilnya? Mereka nggak benar-benar mengerti apa yang kita ajarkan.”

Pak Ridwan mengangguk. “Kurasa sistem ini gagal. Kita terlalu fokus pada angka, nilai, dan tes, tapi lupa dengan esensi pendidikan itu sendiri: bagaimana membantu mereka berpikir, bagaimana mengajarkan mereka menjadi manusia yang kritis, yang peduli.”

“Betul,” jawab Bu Ratna. “Aku merasa pemerintah cuma peduli pada statistik—berapa banyak yang lulus ujian, berapa banyak yang diterima di universitas, tapi mereka nggak peduli pada kualitas manusia yang kita hasilkan.”

Di akhir semester, ketegangan memuncak. Siswa dan guru sama-sama berjuang menyelesaikan semua beban yang ditumpukkan oleh kurikulum. Arman melihat teman-temannya mulai kehilangan motivasi. Beberapa bahkan tidak peduli lagi. Mereka mengerjakan tugas asal-asalan, sekadar untuk lulus.

Pak Ridwan, di sisi lain, memutuskan untuk bertindak. Di suatu pagi, dia memasuki kelas tanpa buku teks, tanpa catatan pelajaran. “Hari ini, kita tidak akan belajar Biologi seperti biasanya,” katanya. “Aku ingin kita bicara. Tentang kalian. Tentang apa yang kalian rasakan di sekolah ini. Apa yang menurut kalian salah, dan apa yang bisa kita perbaiki.”

Kelas itu hening sejenak, sebelum akhirnya satu per satu siswa mulai angkat bicara. Mereka bicara tentang tekanan yang mereka rasakan, tentang bagaimana mereka merasa tidak punya waktu untuk benar-benar memahami pelajaran karena terlalu sibuk mengejar tugas. Mereka bicara tentang mimpi-mimpi mereka yang hilang, tentang betapa mereka rindu belajar dengan cara yang lebih bermakna.

Pak Ridwan mendengarkan dengan seksama. Di dalam hatinya, dia merasa bahwa ini adalah percakapan yang harusnya terjadi sejak lama. Pendidikan bukanlah soal menghimpun pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan soal memupuk rasa ingin tahu dan menumbuhkan karakter. Tapi sistem ini telah merampas semua itu.

Tak lama kemudian, gerakan kecil dimulai di sekolah itu. Pak Ridwan dan beberapa guru lain mulai membentuk kelompok diskusi, mengundang siswa untuk berbicara tentang apa yang mereka butuhkan dari pendidikan. Mereka mulai mengurangi tugas yang tidak relevan, menggantinya dengan proyek yang mendorong siswa berpikir kreatif. Perlahan-lahan, semangat belajar mulai muncul kembali di wajah siswa-siswa itu.

Namun, perjuangan ini tidak mudah. Atasan mereka—kepala sekolah dan dinas pendidikan—mulai merasa gerah. “Kita punya target nasional yang harus dicapai,” kata Kepala Sekolah saat rapat. “Ini bukan soal apa yang kalian rasa benar. Ini soal memenuhi standar yang sudah ditetapkan pemerintah.”

Tapi Pak Ridwan dan para guru tidak menyerah. Mereka tahu, pendidikan yang sebenarnya bukanlah soal angka-angka di atas kertas. Ini tentang membentuk manusia yang berpikir, yang peduli, yang berani menghadapi dunia dengan ide-ide baru.

Mungkin revolusi sunyi itu tidak akan merubah segalanya dalam sekejap. Namun, dalam setiap kelas, ada siswa seperti Arman yang mulai merasakan bahwa belajar tidak harus menjadi beban. Mereka mulai memahami bahwa pendidikan adalah tentang tumbuh, tentang menemukan jati diri, dan tentang memahami dunia dengan cara yang lebih dalam. Dan mungkin, itulah kemenangan kecil yang sebenarnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)