Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,621
Bos Tapi Suami
Slice of Life

“Eh, Say. Bantu bikin proposal, dong,” rajuk Pak Suami sambil mengamit lenganku menuju meja kerja.

"Memang selama ini proposalmu kaya apa, sih?” tanyaku penasaran. Dan, alangkah gelinya aku melihat deretan berkas yang terpampang di layar komputer. “Ya, ampun! Cupu banget! Warnanya, bentuknya, komposisinya, tulisannya, ah …”

Tampang suamiku itu langsung berlipit-lipit dengan bibir meruncing. “Ya, itulah kerjanya Arya. Mana dia nyiapinnya suka mepet sejam sebelum presentasi,” keluhnya.

“Sini! Aku bikin, deh. Masa programer belasan tahun proposalnya kaya anak SMP,” selorohku sambil mulai membuka aplikasi untuk menyusun proposal nan bonafit dan kekinian.

Sebelumnya, aku memang sebatas teman diskusi dan pemberi usul nan usil bagi suamiku yang sedang merintis perusahaan baru. Namun, sejak hari itu, aku jadi terjun lebih dalam ke dunia kerja yang dijalankan dari rumah akibat pandemi.

Hasilnya? Proposal rancanganku tembus, dong! Setelah berkali-kali mengajukan proyek ini dan itu yang berbalas dengan kekalahan, akhirnya perusahaan suamiku mencicipi manisnya rasa kemenangan. Siapa dulu dong, yang bikin? Pandemi bukan alasan buat Ajeng!

Pandemi? Siapa takut? Sudah jelas-jelas menggaung di mana-mana bahwa tips paling jitu untuk menghadapi pandemi ini adalah dengan menjaga protokol kesehatan, makan makanan bergizi, rajin berolahraga, cukup istirahat, tetap tenang dan menghindari stres.

Akhirnya tiba juga saatnya celotehanku tentang hidup sehat lebih didengar keluarga ini. Tentu aja, semua kulakukan dengan mengerahkan segenap kepiawaian untuk tetap datar tanpa emosi. Yang penting, setiap syarat agar imunitas meningkat harus terpenuhi!

 “Terapinya Tari dihentikan dulu kali, ya? Stimulasi di rumah aja, deh. Sampai pandemi kelar,” usulku ke pasangan jiwa yang langsung mengangkat alis dan berpikir sejenak.

“Begitu? Memangnya, kamu bisa?” tanyanya meragukan. Huh! Untung aja sekarang pandemi. Jadi, aku enggak perlu menaikkan nada suara menjadi dua oktaf.

“Ya, bisa dong, Say. Kan, sekarang jatahnya terapi okupasi. Tinggal mengulang-ulang apa yang pernah diajarkan terapisnya aja,” jawabku dengan suara agak menekan yang berusaha kupoles semulus mungkin. Semoga para coronavirus itu enggak bisa membedakan intonasinya.

“Ya, terserah, deh,” sahut sang suami.

“Uh! Untung ya, Nila sudah sekolah daring. Jadi, enggak perlu repot adaptasi lagi,” sambungku mengalihkan pikiran agar lebih positif.

“Hem, iya. Cuma, Bora tuh, yang repot. Bawaannya suntuk melulu di dalam rumah. Enggak bisa ketemu teman-temannya,” tukas suamiku. Ayaya … Kok, malah banting setir ke negatif lagi, sih? Ah, tenang! Netralkan kembali!

“Ya, mungkin sekarang jatah kita lebih banyak jadi teman belajar dan bermainnya, ya,” cetusku sambil tersenyum paling manis dan seoptimis yang kubisa.

“Ah! Mana sempat? Aku kan, masih fokus membangun perusahaan baru,” keluhnya.

“Aku sempat!” sahutku segera, “Tapi, tetap luangkan waktu buat anak-anak, ya.”

“Iya, sih. Jenuh juga kalau di depan komputer terus,” gumamnya.

“Nah! Beres!” pekikku semena-mena.

Atau, ketika melihat kedua orang tuaku masih aja sibuk mengerjakan ini-itu. Memperbaiki pagarlah, mengubah interior rumahlah, membuka usaha katering untuk memenuhi kebutuhan pangan warga sekitarlah … Aku langsung memijakkan kaki, turun tangan, dan angkat bicara.

“Pak, Bu, sekarang santai aja, ya. Enggak perlu capek-capek. Kita cari asisten rumah tangga aja, ya?” tanyaku sambil menoleh ke suami tercinta.

“Hem, iya. Boleh,” sahut Beliau.

“Aduh! Nanti kalau kerjanya enggak beres, gimana?” cetuk Ibu bimbang.

“Ya, pastilah enggak ada yang sebagus Ibu kerjanya,” rayuku, “Tapi, saat ini, kesehatan paling utama. Oke?”

Ibu menghela napas berat seolah harus menyerahkan anak kesayangan ke tukang jagal. Namun, akhirnya Beliau mengangguk juga. “Tuh, Pak. Jangan capek! Banyak istirahat. Ingat asam uratmu!” tutur Ibu begitu menoleh ke Bapak.

 “Ya, hipertensimu juga. Jangan sampai meledak!” kelakar Bapak dengan suku kata terakhir yang tiba-tiba keras hingga Ibu kaget dan sewot. Buru-buru Bapak mengelus punggung Ibu sambil memberi isyarat agar tetap kalem. Dengan gusar yang tersisa, Ibu pun akhirnya menurut aja.

Sekarang, setelah segala perjuangan untuk menciptakan ketenangan dan energi positif di rumah ini, tiba-tiba aja sang suami yang baru jadi bos itu dengan bodohnya menimpukiku salah satu posisi di perusahaannya yang enggak bisa dianggap main-main, yaitu manajer proyek. Oh, tidak!

“Enggak mau!” jawabku lantang.

“Ayolah. Butuh banget, nih. Biar enggak aku melulu yang tampil di depan klien,” rayunya.

“Ya, enggak apa-apa, kan? Memang perusahaan baru berdiri, kok. Wajar kalau personelnya sedikit,” kilahku.

“Enggak bagus kesannya, Jeng,” keluhnya.

“Memangnya kalau Reza kenapa?” cecarku mencoba melimpahkan tanggung jawab ke pasangan bisnisnya.

“Dia menggarap proyek lain, dong,” terangnya.

“Pokoknya, aku enggak mau jadi pegawaimu. Titik!” tegasku.

“Kenapa, sih?” tanyanya penasaran.

“Soalnya, kamu itu galak, cerewet, dan sok perfeksionis kalau jadi bos,” sungutku.

“Lo?” Suamiku itu kaget dan berpikir sejenak. “Bukannya yang galak, cerewet, dan sok perfeksionis itu kamu, ya? Jadi, kamu selama ini bertingkah seperti bos?”

“Ya, sudah. Anggap aja begitu. Dan aku enggak mau tukar posisi!” cetusku sebelum meninggalkannya.

Rusak sudah program “Tetap Tenang dan Sehat” yang kucanangkan bagi diriku sendiri guna menyambut masa pandemi ini. Untuk pertama kalinya, emosiku menyembur dan masih banyak sisanya yang bergolak dalam dada.

 Tentu aja, Bapak Bayu Ananda itu enggak akan mudah menyerah. Dia tahu banget bagaimana cara mendapatkan keinginan. Apa lagi, cuma dari istrinya yang sok tangguh ini. Meski sudah banyak jurus yang kuhafal, tetap aja dia terus berinovasi mengembangkan cara-cara baru. Dasar pengusaha!

“Aku bayar dengan gaji standar, deh,” rajuknya kembali di tengah ketenangan sore berikutnya.

 “Idih! Enggak profesional! Masa langsung kasih posisi tinggi dan gaji bagus ke orang enggak berpengalaman?” sergahku.

 “Eh, siapa bilang? Kamu kan, sudah magang belasan tahun lihat aku kerja lepas. Selama itu, kamu tetap belajar dan akrab dengan komputer, kan?” kilahnya.

“Enggak bisa, Say,” bantahku sambil menyelipkan panggilan mesra untuk membuatnya tunduk pada kata-kataku, “Aku kan, enggak pernah pegang proyek perusahaan.”

“Bisa! Kamu cuma presentasi, kok. Nanti kalau ada pertanyaan atau butuh penjelasan lebih, aku bantu,” rayunya tetap dengan hati yang alot.

 “Ha? Berarti, aku manajer boneka, dong?” protesku.

 “Iya, manajer boneka yang cantik!” gombalnya.

 “Ih! Maksudnya, aku cuma pajangan yang kamu gerakkan, dong?” sungutku.

 “Iya, sih. Memang sekarang aku baru bisa pakai pajangan, biar kelihatan ramai. Karena cari yang kompeten juga enggak gampang, Say,” keluhnya. Aku diam aja dengan muka cemberut. Gondok segondok-gondoknya!

Dia tampak begitu lelah dan pasrah. Setelah beberapa saat, meluncurlah kata-kata yang mungkin merupakan amunisi terakhir. “Ya sudah, deh. Jadinya, kamu minta gaji berapa dengan deskripsi kerja semacam itu? Enggak bisa gaji standar, ya? Kamu yang bikin proposal. Itu nanti ada sendiri dananya. Terus, gajimu itu untuk bikin presentasi dan menyampaikannya setiap rapat …,” ujarnya sambil menerawang menghitung.

“Gratis!” selaku, “Aku bantu kamu aja, sebisanya. Jadi, kamu juga enggak bisa menuntut apa-apa dariku.”

“Lo? Kok, gitu? Enggak jelas, dong?” tukasnya bingung.

“Memang kamu bos enggak jelas kalau sampai rekrut aku jadi pegawai!” timpalku yang segera melarikan diri mengajak Tari mandi.

Herannya, dia malah makin serius dengan keputusan sepihak ini. Pria yang sulit dihentikan kalau sudah maunya itu bahkan membuatkan materi presentasi yang tinggal kubaca aja. Namun, terus terang, sekadar menyusun suara pun aku grogi. Sebab, semua yang tertulis seperti mantra alias aku enggak paham sama sekali!

“HLSD ini apa, sih?” tanyaku.

“Ih! Pas kuliah ini, kamu tidur, ya?” oloknya, “High Level Systems Diagram. Gambaran sistem yang mudah dimengerti orang awam.”

“Oh, yang itu!” seruku merasa tercerahkan, “Eh, bukannya High Level Software Design?”

“Masa, sih?” tukasnya ragu.

“Ih! Pas kuliah ini, kamu bolos, ya?” ledekku balik.

 “Ya, pokoknya itu, deh. Yang penting kamu paham. Nanti enggak ada ujian soal kepanjangan HLSD, kok,” sungutnya.

“Ini tanda panah apa, sih?” tanyaku lagi sambil menunjuk salah satu salindia di layar komputer.

“Hem, tanda panah itu menunjukkan arti,” terang suamiku.

“Kalau panah yang ini apa? Bukan ‘arti’, dong?” kejarku.

“Iya. Itu urutan. Setelah ini lalu ini,” jelasnya.

“Enggak konsisten, deh. Ini juga. Definisi kamu tulis pakai titik dua, bukan panah. Bingung!” ketusku, “Aku edit dulu ya, biar seragam.”

“Sekalian dibikin lebih bagus, ya,” tanggapnya antusias.

“Oh, jelas! Ini enggak rapi, coba? Mestinya mereka itu segaris. Nih, kaya begini …” omelku yang terus berlanjut ke bagian-bagian lain.

“Yang penting kan, mereka mengerti,” dalihnya sambil bergumam begitu aku menyatakan berkas presentasi itu selesai disunting.

“Iya, kamu dan mereka. Aku yang enggak. Masa aku yang bicara tapi enggak paham? Aku jadi badut dong, di tengah kalian!” sergahku.

“Makanya, aku terangkan dulu, Sayang,” kilahnya, “Nih, aku contohin cara presentasinya! Nanti kamu tiru aja, ya.”

Setelah sekitar 10 menit bertutur menghadap layar menjelaskan isi lembar demi lembar presentasinya, dia kemudian memintaku berganti duduk. “Ayo, kamu bicara seperti aku tadi,” pintanya.

Enggak semudah itu, Tuan Takur! Gugup, gagap, dan jantung ini gegap gempita. Aku lupa setiap detil tambahan yang dia ucapkan. Dia memeras otak dan akhirnya tercetus ide untuk menyediakan naskah di laptop. Aku sudah macam pembawa berita yang membaca prompter, deh. Kalau ini sih, gampang! Latihan presentasi pun berjalan lancar.

Gitu, dong! Jangan sampai kalah sama Nadia!” soraknya yang bikin jidatku berkerut, “Kamu berani kan, hadapi dia? Nadia tuh, naik jabatan jadi manajer proyek sekarang. Hebat, ya? Pak Baskara dibalap, lo!”

“Oh,” sahutku singkat karena dongkol mendengar nama itu lagi. Mana dipuji setinggi langit begini.

Tetap tenang dan sehat. Aku terus berusaha mewujudkan slogan itu dalam keseharian. Namanya bekerja, ya harus profesional. Enggak boleh terkontaminasi dengan kelebatan rasa cemburu yang tanpa alasan, kan? Santai! Aku Ajeng Ardiyanti. “Emosi Netral” adalah nama tengahku.

Sampai hampir di penghujung rapat daring, komunikasi dengan klien berlangsung mulus dan cair. Tanggapan mereka positif, mungkin juga karena Nadia merasa sedang bercermin tanpa kamera denganku. Ya, memiliki kesamaan itu memang salah satu faktor kenyamanan.

“Baik, Bu Ajeng. Jika ada pertanyaan soal teknis, kami akan kirimkan melalui surel ke Mas Bayu, ya,” ucap Nadia menutup pertemuan.

“Iya, boleh langsung ke Ma-, eh, Pak Bayu,” jawabku yang tiba-tiba tersendat menyadari ada panggilan yang enggak seimbang. Makanya, kutekankan dalam nada suara saat menyebutkan panggilan yang seharusnya. Huh! Enak aja panggil 'Mas'.

Sesuai ramalan suami yang semakin optimis, proyek itu pun tembus. Selanjutnya, aku benar-benar seperti wayang yang tertancap di batang pisang, enggak melakukan apa-apa terkait proyek yang kami menangkan. Aku hanya tampil sebagai pembaca presentasi di setiap rapat mingguan. Dengan bantuan naskah saat menerangkan, tentunya.

Bisa ditebak, klien pun sudah mencium aroma keganjilan dari cara kerja perusahaan ini. Akan tetapi, sebagaimana kata si bos, “Mereka enggak punya pilihan lain. Bagaimanapun, kualitas enggak bisa bohong.”

Meski terkesan terlalu percaya diri, tetapi memang fakta, sih. Cuma, tetap aja aku yang enggak enak hati karena merasa enggak layak. Apa lagi, Suami begitu membanggakan keberhasilan demi keberhasilan sejak aku turun tangan. Mulai dari proposal yang bagus, manajer proyek yang bisa diterima klien, dan lain-lain.

Kacaunya, semua itu dalam rangka menyindir teman seperjuangannya sejak awal mendirikan perusahaan, yaitu Arya. Belakangan, makin santer aja Pak Bos ini mengeluh tentang Arya ke Reza melalui obrolan di ponsel.

Si Bos sering berbeda pendapat dengan Arya soal berbagai kebijakan. Menurut Bos, itu enggak bagus buat iklim kerja. Sebab, Arya suka memrotes ini-itu di grup Whatsapp internal perusahaan. Kesannya kaya memrovokasi pegawai lain yang tadinya adem-ayem jadi ingin menuntut juga.

Yang lebih mengesalkan lagi buat si Bos, Arya ini sejak awal rencana mendirikan perusahaan, ingin dianggap sebagai salah satu pemilik tetapi enggak pernah mau berkontribusi dana maupun tenaga.

“Aku enggak pintar koding, Mas,” dalihnya.

“Pegawaiku juga kebanyakan enggak bisa pemrograman. Malah ada yang bukan lulusan Informatika, tetapi akhirnya bisa bantu urusan teknis juga. Yang penting itu mau terus belajar,” kilah Pak Bos.

Selanjutnya, mengalirlah aneka alasan Arya yang menunjukkan betapa sibuknya dia sehingga enggak ada waktu untuk belajar hal-hal baru dan berkecimpung dalam masalah teknis. Saat kemudian ditawari untuk menanamkan modal agar bisa tercatat sebagai pendiri perusahaan, selalu berkelit. Bahkan, sekadar satu-dua juta rupiah pun dia enggan.

“Aku sumbang ide aja, deh. Ide itu mahal, lo,” alasannya.

“Kata siapa?” sergah Pak Bos langsung, “Ide itu gratis! Ide baru bisa dihargai kalau sudah tampak wujudnya. Dalam bentuk proposal kek, desain kek, atau prototip kek. Bukan celetukan doang! Kalau sekadar ide juga aku punya banyak.”

Perdebatan terus berlanjut karena Arya merasa sudah membantu membuat beberapa proposal. Namun, Pak Bos mementahkannya dengan mengingatkan bahwa banyak proposal itu yang gagal. Sedangkan yang sempat berhasil, Arya telah mendapatkan keuntungan dari proyeknya.

“Enggak perlu merasa tanam jasa, deh. Arya itu sudah terima imbalan dari jasa yang sering dia gadang-gadang. Sedangkan proposal lainnya, nol! Ide yang enggak menghasilkan itu, ya sama aja sampah!” curhat Pak Bos padaku.

Yang sering dibanggakan Arya adalah masalah koneksi. Dia menganggap perusahaan ini enggak akan mendapatkan proyek jika bukan karena jaringan pertemanan dan kekuatan lobinya. Itu sebabnya, Pak Bos segera membanggakan proyek-proyek yang tembus sejak aku yang membuat proposal untuk menyadarkan Arya.

“Koneksi itu bukan penentu. Dia cuma yang memberi kita informasi dan kesempatan untuk menunjukkan kualitas. Kalau enggak punya kualitas, tetap aja ditolak, kan?” sungut Bos Suami di hari lain membuang uneg-uneg ke istri yang dari dulu sudah menjadi tempat penampungan keluh kesah dan katanya naik jabatan jadi manajer proyek ini.

Soal teknis, Arya juga merasa sudah membantu di bagian administrasi dan keuangan. Namun, semua itu dikerjakan dengan serampangan dan sering terlambat. Situasi makin panas saat Arya ogah-ogahan mengurus pajak perusahaan. Pak Bos sampai kaget ditegur petugas pajak karena dianggap lalai membayar kekurangan puluhan juta. Setelah periksa punya periksa, ternyata Arya yang kurang teliti menggarapnya.

Akibat dongkol tak berujung, Pak Bos sampai mencetuskan ide yang lebih gila untuk memukul balik Arya. Enggak cukup menjadikan aku saingannya, kali ini malah meminta Nila yang masih SMP itu mengurus bagian administrasi.

“Menurutmu, Nila bisa enggak membuat berita acara, tagihan, dan lain-lain begini?” tanya Pak Bos.

“Sudah ada polanya, kan? Bisa aja. Tinggal dibantu periksa hasil akhirnya karena mungkin dia kurang teliti,” jawabku, “Cuma, apa nanti enggak dicekal KPAI? Dianggap mempekerjakan anak di bawah umur.”

“Santai! Bilang aja Nila lagi magang buat belajar sambil dibayar. Memangnya, anak enggak boleh belajar dari ayahnya?” tukas Pak Bos.

Aku agak lega karena Nila menyambut tawaran itu dengan gembira. Syukurlah, putri sulung kami yang semakin pulih kondisi mentalnya ini enggak menganggap sebagai beban, justru sebuah penghargaan. Apa lagi, saat ayahnya membelikan laptop khusus.

“Ini untukku?” tanya Nila tak percaya.

“Punya perusahaan. Kamu dipinjami untuk kerja,” tegas Pak Bos.

“Oh, kirain,” sahut Nila agak kecewa, “Berarti, enggak boleh mengerjakan tugas sekolah di sini?”

“Hem, boleh aja, sih. Yang pasti, sewaktu-waktu Ayah bisa tarik karena ini properti perusahaan,” jawab si Bos tanpa perasaan.

“Oh, gitu,” gumam Nila ragu, “Ayah, kenapa angkat aku sebagai pegawai? Apa aku sepintar itu?”

“Hem, enggak juga. Ayah pilih kamu karena bisa dibayar murah,” tukas Pak Bos semakin sadis.

“Ha?” reaksi Nila yang syok karena merasa dikerjai.

Pak Bos pun terbahak-bahak. “Enggak, enggak. Ayah pilih kamu karena ini urusan super rahasia. Mending Ayah serahkan ke kamu karena pasti kamu enggak akan bocorkan ke siapa-siapa,” tuturnya kemudian dengan nada sok serius.

“Ya, iyalah, Yah. Memangnya aku mau cerita ke siapa? Ke kucing?” seloroh Nila mengingatkan bahwa dia hanya akrab dengan kucing di luar anggota keluarga, “Berarti, aku minta gaji standar aja buat admin!”

“Eh? Enggak bisa, dong!” tolak Pak Bos segera, “Pendidikanmu masih SMP dan belum berpengalaman. Ayah sudah kasih gaji bagus itu. Kerjanya juga belum tentu seminggu sekali, kan?”

“Yah …,” keluh Nila lemas.

Beruntung banget si Bos itu punya anak penurut seperti Nila. Walaupun beberapa harapannya pupus, Nila tetap bersedia mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Dia mengikuti semua arahan bos barunya dan melakukan dengan sangat teliti. Bahkan, dia bisa belajar cepat melalui internet tentang cara mengurus pajak dan sekaligus mempraktikkannya melalui daring. Jadi deh, Pak Bos punya peluru tambahan buat menyerang Arya.

"Yah, minta tanda tangan," kata Nila usai mencetak setumpuk berkas.

Pak Bos mengambil pulpen yang disodorkan Nila. Belum lagi goresan pertama dibubuhkan, si Bos serta-merta menarik tangan. "Wah, yang ini jangan tanda tanganku!" serunya.

"Terus? Tanda tanganku?" tanya Nila bingung.

"Eh, jangan! Kamu belum cukup umur," larang Pak Bos, "Bunda aja."

"Aku?" responku heran, "Ini kan, bukan tanggung jawabnya manajer proyek?"

"Iya. Kamu sekalian jadi kepala administrasi aja sekarang," tukas Pak Bos sok asyik.

"Lah?" Tampang bengongku membuat Nila cekikikan sambil menyorongkan tumpukan kertas itu ke hadapan. Aku memeriksa sekilas garapan Nila, baru kemudian menorehkan guratan otentik khas Ajeng.

“Kamu benar. Nila ternyata memang bisa, ya,” komentarnya suatu malam. Aku paham betul, pujian begini pasti ada buntut panjangnya.

“Jelas aku tahu. Kan, aku ibunya,” sahutku sambil menebak-nebak apa maunya.

“Kamu kayanya bisa menilai orang, deh. Besok kamu wawancara calon pegawai bareng Reza, ya,” pintanya tanpa disangka.

“Lo? Kok, aku? Aku kan, enggak tahu kebutuhan perusahaan,” cetusku.

“Kamu cukup gali aja bagaimana mereka. Nanti, aku dan Reza yang memutuskan apakah itu yang dibutuhkan,” paparnya.

“Enggak perlu dites kemampuan teknisnya?” kejarku.

“Hem, iya, sih. Nanti biar Reza aja yang uji masalah itu. Yang penting, kamu maju duluan. Soalnya, Reza bakal masuk telat nanti,” ujar Pak Bos enteng.

“Lo? Kok, telat? Aku bisa bingung nanti,” protesku.

“Improvisasi, lah. Kamu kan, HRD-ku,” tukasnya optimis.

“Ha? Sejak kapan?” tanyaku.

“Beberapa menit lalu,” katanya tanpa merasa bersalah.

Efek samping lainnya dari dipekerjakannya Nila adalah Pak Bos jadi keranjingan beli laptop bekas dengan tameng investasi. Dia meminjamkan ke beberapa pegawai yang dianggapnya menunjukkan kemajuan bagus agar performanya meningkat tajam karena didukung gawai andal. Berhubung keberadaan gawai gahar memang signifikan dengan kecepatan dan kekuatan kinerja, makin keterusan deh, gonta-ganti laptop buat anak buah.

Gawatnya, Arya yang sejak awal ditawari dukungan laptop ini selalu menolak dan merasa cukup dengan yang dia punya. Padahal, jelas-jelas Pak Bos sering mempertanyakan etos kerjanya. “Dia sengaja pakai laptop jelek biar ada alasan lambat kali, ya?” cetusnya ke aku.

Meskipun ada duri di dalam, perusahaan ini masih terus berkembang dengan cukup pesat. Kepercayaan klien terus meningkat sehingga proyek-proyek baru pun mengalir. Pak Bos jadi harus tetap membuka lowongan kerja untuk menggarap.

"Coba kamu masukkan proposalnya, Bay. Ingat, ya! Aku enggak main-main untuk urusan pekerjaan. Kalau jelek, akan aku bilang jelek," kata Pak Pasya via ponsel usai menjabarkan masalah di divisinya dan meminta Pak Bos menyelesaikan sesuai keahlian.

"Kamu berani berhadapan sama Pak Pasya?" tanya si Bos setelah obrolannya di gawai terputus.

"Maksudnya?" tanyaku balik minta penjelasan dari aroma horor yang terkandung dalam kata-katanya.

"Kamu jadi manajer proyek lagi. Kali ini proyeknya lebih besar dan Pak Pasya salah satu yang berkepentingan di sini," terangnya.

"Lagi?" tanyaku memastikan yang dijawab dengan anggukan dan senyum tengil, "Memang aku bisa menolak, ya?"

"Enggak, eh, jangan," sahutnya segera, "Kamu sudah mulai kenal kan, suasana kerjanya?"

Aku hanya mengangkat bahu karena merasa seperti serdadu kalah perang yang tak punya pilihan. Di hari kickoff meeting, aku merasa lebih siap daripada saat pertama dinobatkan dengan sewenang-wenang menjadi manajer proyek. Aku bahkan enggak membutuhkan prompter lagi. Sudah paham deh, bagaimana menjalani peran sebagai boneka.

Enggak bisa bohong juga, sih, kehadiran Pak Pasya memang cukup mengintimidasi. Maklum, Beliau kan, terkesan banyak maunya kalau berdasarkan cerita suami selama ini. Apa lagi, aku baru tahu kalau Arya merupakan salah satu dari dua manajer proyek yang mewakili klien.

Uh! Dia akan membela perusahaan ini atau malah menjadikanku senjata untuk mematahkan sang Bos, ya? Pertanyaan itu segera terjawab usai kickoff meeting melalui pesan yang dikirimkan Arya ke grup internal perusahaan.

[Mbak Ajeng tidak solutif tadi. Lebih banyak menyerahkan masalah teknis ke Mas Bayu.]

Begitulah isinya yang kami pahami betul sebagai salah satu kritikan yang pernah dilontarkan Pak Bos ke Arya. Ya! Jelas ini sebuah serangan balik. Balas dendam! Pak Bos sebenarnya dongkol banget tetapi memilih enggak menanggapi.

“Memangnya kenapa kalau enggak solutif dan melimpahkan masalah ke aku? Intinya kan, dulu dia dibayar untuk mengatur dan menyelesaikan masalah di proyek, sedangkan kamu gratis. Mana bisa gratisan dapat selamat? Iya kan, Say?” gerutu Pak Bos.

Eh? Ya, sebenarnya, enggak bisa begitu juga, sih. Ada yang mempertanyakan integritas membuat jiwa perfeksionisku meronta-ronta. Aku harus lebih aktif terlibat. Toh, perlahan aku sudah melakukan itu di proyek sebelumnya. Cuma tadi karena gugup aja berhadapan dengan begitu banyak orang, termasuk Pak Pasya, dan lingkup proyek yang jauh lebih besar.

Jadi deh, aku lebih bersungguh-sungguh di rapat berikutnya. Saat menyumbangkan koreksi dan usul dalam penyusunan jadwal proyek, jelas sudah Arya enggak punya alasan lagi untuk menganggapku sepertinya. Toh, dia juga yang selalu terlambat dan berikutnya enggak menghadiri rapat. Sepertinya, dia mengandalkan kehadiran rekan manajer proyek satunya.

“Pak Bas, saya minta nama Arya dihapus aja dari struktur tim proyek ini. Soalnya, dia enggak berkontribusi, Pak,” usul Pak Bos dengan nekat. Bunuh diri!

“Lo? Itu kan, pegawaimu juga, Mas Bay?” tanya Pak Baskara, sang ketua divisi IT, heran.

“Iya. Tapi, dia enggak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung perusahaan ini, Pak. Cepat, tanggap, dan solutif. Mending saya jujur mengakui bahwa pegawai saya ada yang enggak profesional daripada cap buruk itu justru kena ke perusahaan,” tegas Pak Bos.

Setelah dirapatkan oleh klien, akhirnya mereka setuju bahwa manajer mereka untuk proyek ini satu aja, tanpa Arya. Enggak terbayang deh, betapa pias muka Arya mendapatkan kabar ini, ya. Kesannya kaya teman makan teman, enggak sih?

Semakin banyaknya lamaran kerja yang masuk, membuat perusahaan ini akhirnya memiliki tenaga SDM yang berkompeten. Ya, satu tugas enggak masuk akal itu lepas juga dari pundakku. Berikutnya, berkat kehadiran Mbak SDM nan sejati, perusahaan mendapatkan beberapa pegawai baru yang kualitasnya semakin bagus.

“Kamu jadi manajer proyek lagi, tetapi kali ini berdua dengan Dion, ya,” tawar Pak Bos.

“Kenapa enggak Dion sendiri aja?” usulku, “Kamu mau sampai kapan mempertahankan aku yang cuma titip nama ini?” 

“Enggak bisa langsung, dong. Dampingi dulu biar mereka bisa menggantikanmu, ya,” pintanya.

Uh! Mau bagaimana lagi? Terima aja, deh. Yang jelas, hawa kebebasan itu semakin tercium. Selain para calon penggantiku, ada juga pegawai yang bisa dialihtugaskan ke bagian administrasi, berhubung Nila sudah harus lebih berfokus pada pelajaran di sekolah daring.

Sangat ajaib melihat anak itu mentransfer ilmu dan pengalamannya selama mengurus administrasi ke pegawai lulusan S1. Terharu deh, menyaksikan Nila bisa sampai di tahap ini, jika mengingat apa yang pernah terjadi padanya beberapa tahun lalu.

Menggemuknya perusahaan ini membuat Pak Bos semakin berani bertindak frontal mengkritisi kinerja Arya. Arya pun kebakaran bulu hidung. Dia jadi lebih kencang menyuarakan hak-hak pegawai tanpa diimbangi dengan kewajibannya. Langkah fantastis yang diambil Arya sebagai win-win solution dengan Pak Bos adalah bersedia menerima fasilitas laptop perusahaan.

Si Bos nan polos meski sering ceplas-ceplos itu berkomentar, “Bagus, dong. Arya jadi bisa lebih produktif sekarang.”

Benarkah? Sayangnya, enggak. Setelah diterima, ternyata laptop itu enggak berfungsi sebagaimana mestinya. Alasannya, sekeluarga sakitlah, laptopnya rusaklah, masih menginap di tukang servislah … Laptopnya ya, yang menginap!

Sampai akhirnya, Pak Bos memutuskan, “Ya, sudah. Aku tarik aja laptopnya. Biar diservis di sini aja, lebih kelihatan. Daripada digantung lama, perih ….”

Walaupun sudah berjanji akan mengirimkannya, ternyata laptop itu belum dikembalikan juga selama dua bulan! Pak Bos memberi tahu Arya bahwa biaya laptop akan dipotongkan dari gajinya. Arya menggunakan kebijakan itu sebagai alasan untuk semakin bermalas-malasan.

Karena jengkel, Pak Bos pun punya ide iseng. “Aku tahan aja deh, gajinya. Buat jaminan laptop akan dikirim,” katanya sambil terkekeh-kekeh.

Dia girang banget membayangkan alangkah bingungnya Arya mendapati para pegawai sudah mengirimkan konfirmasi dan ucapan terima kasih melalui grup perusahaan bahwa sudah menerima gaji, tetapi sepeser pun belum masuk transferan dari perusahaan ini ke rekeningnya.

“Nanti kalau dia protes, tinggal bilang aja aku pegal. Jempolku butuh pijat dulu habis mentransfer gaji ke puluhan orang,” celetuk Pak Bos di tengah cekikikannya.

Baru juga dua jam terlambat dari jadwal biasanya Pak Bos mentransfer gaji, sudah datang pesan yang mempertanyakan hal ini. Bukan, bukan. Bukan dari Arya. Bukan pula anggota keluarganya yang ikut menagih hak Arya. Akan tetapi, dari klien!

[Ada masalah apa, Mas? Kok, Mas Arya tadi terlambat rapat dan belum mempersiapkan tugasnya dengan alasan belum menerima gaji? Padahal, gaji sudah kami cairkan ke Mas Bayu, kan?]

Pak Bos yang memang lebih suka mengobrol (atau mendengarkan suaranya sendiri) daripada mengetik itu langsung menghubungi Pak Baskara via ponsel dan menjelaskan kejadiannya sambil cengar-cengir.

Selanjutnya, majulah pegawai lain yang membela Arya. “Saya enggak bisa kerja tanpa Mas Arya. Selama ini, dia yang jadi tamengku di hadapan klien. Kalau dia dipecat, aku ikut keluar,” kata pegawai bernama Jaka itu ke Pak Bos.

Pak Bos menghubungi Reza untuk mendiskusikan masalah ini. “Hi hi hi. Gimana, ya? Aku tuh, gemes banget sama tingkahnya. Masa aku keterlaluan, sih? Baru dua jam, lo. Lah, dia dua bulan belum kirim balik laptopnya,” cetus Pak Bos.

“Yah, kamu sih, terlalu sabar, Mas. Kalau misalnya aku sendiri yang punya perusahaan, sudah lama aku pecat dia,” sergah Reza.

“Ya, pengin sih pecat dia. Cuma, sudah 20 tahun kenal ini. Ya mesti sempat ada manis-manisnya, lah. Apa lagi kalau ingat dia punya anak-istri, jadi mundur aku,” dalih si Bos.

“Lah, kenapa mundur? Dia aja belum tentu mikirin kita, kok. Dia sibuk banget kan, berarti punya sumber penghasilan dari tempat lain? Nanti ya, kalau kita enggak pecat, Arya sama Jaka itu bakal cekikikan bareng kaya kita begini. Menganggap kita enggak berani bertindak tegas,” cecar Reza.

“Eh? Iya juga, ya?” sahut Pak Bos tersadar, “Sialan! Enak aja dia mau ketawain kita. Ya, sudah. Besok aku tarik Arya dari klien. Kalau Jaka mau ikut, biar keluar aja. Aku bakal siapkan pengganti mereka. Empat orang!”

Hari berikutnya, Pak Bos pun menyusun presentasi yang berisi proposal penarikan Arya untuk enggak bekerja lagi di klien tersebut. Sebagai ganti, Pak Bos memperkenalkan empat orang pegawai baru dengan spesifikasi mereka masing-masing.

Meskipun lulusan D3, tetapi mereka sudah dilatih Pak Bos dan akan terus didampingi hingga mandiri. Pak Bos menjamin kinerja mereka jauh lebih baik dari Arya dengan gaji total lebih rendah dari yang diterima Arya selama ini.

“Wah, kalau gantinya empat orang, lebih bagus dan murah, ya mau banget, Mas Bay!” seru Pak Baskara bersemangat.

Maka, sejak hari itu, Pak Bos terlihat lebih ringan langkahnya dan bersinar wajahnya. Seolah seonggok beban berat telah terlepas dari tubuhnya. Pak Bos baru menyadari bahwa itu merupakan keputusan yang sehat. “Enggak bagus memelihara hubungan toksik,” ujarnya.

Apa pun itu, yang terpenting bagiku bisa kembali menekuni jalan untuk “Tetap Tenang dan Sehat” di masa pandemi ini. Kalau keputusannya senada dengan sloganku itu, ya aku dukung. Toh, sekarang aku enggak perlu pusing-pusing memikirkan proyek, pegawai, maupun segala konflik bisnis.

“Say, dua minggu lagi aku diminta mengajar di Surabaya,” tutur Pak Bos di kemudian hari, “Pakai perawatan apa ya, biar mukaku lebih bersih?”

“Ha? Ke spa aja. Tinggal pilih mau dielus cewek atau banci,” jawabku sekenanya.

“Ih! Enggak mau, ah. Kamu aja yang merawat aku, ya. Kamu pilihkan produknya,” rajuknya seperti yang sudah-sudah, “Sekalian malam ini temani aku belanja beberapa baju kerja, dong. Yang santai tapi profesional, gitu.”

Alamak! Jadi apa aku sekarang? Penasihat mode dan ketampanan? Tapi, kalau tugas satu ini aku serahkan ke orang lain, bakal berbahaya, nih. Jadi? Ya, mau bagaimana lagi. Memang sudah risiko hidup bareng bos tapi suami.

“Say, ayo cabut ke mal!”

        

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)