Flash
Disukai
14
Dilihat
11,547
Kampung Kelahiran
Thriller

Aku seolah lupa bernafas membaca papan nama tempat itu. "Masa di sini, Bang?"

"Iya. Aku tahu pikiranmu. Justru itu yang bikin harga sewanya murah," jawabnya seolah tak sebutir debu maupun seonggok gunung pun dapat meralat kata-katanya.

"Abang akan meninggalkanku sendiri di tempat seperti ini?" Aku masih saja mempertanyakan pilihannya.

Suamiku itu mengangguk. "Kau akan setuju denganku. Ini adalah tempat teraman di dunia."

Bola mataku terasa mau lepas saja dari sarangnya. Apa daya, aku hanya bisa menurut. Tubuh ini berguncang lembut mengikuti ke mana pun sepeda motor membawa. Sebagai tenaga penjual produk rumah tangga, aku harus mengakui keluasan pengetahuannya tentang berbagai lingkungan hunian.

Akan tetapi, ini? Logika mana yang bisa menerimanya sebagai tempat teraman di dunia? Bukan rumor semata bahwa nama kampungnya mencerminkan pekerjaan warganya. Kuedarkan pandangan takut-takut ke sekeliling selama perjalanan. Semua tampak normal.

Dia menghentikan kendaraan di depan sebuah rumah mungil. "Nah, di sini kita tinggal."

"Maksudmu, aku, kan?"

"Iya. Memang aku akan keluar kota seminggu untuk bekerja. Setelah itu, ya aku akan tinggal di sini bersama kau dan anak kita."

Usapannya di atas perutku yang siap mengempis dalam hitungan hari ini makin menyulut rasa khawatir. "Bagaimana jika dia lahir saat kamu pergi?"

Pria itu tersenyum. "Ada banyak tetangga yang bisa menolongmu nanti. Ayo, kita temui mereka."

Dia segera menyapa dan memperkenalkanku pada nenek yang melintas di depan kami. Lalu, aku dituntun mengunjungi satu per satu tetangga di sekitar rumah kontrakan pilihannya. Tak dapat kupungkiri, semuanya menyambut ramah dengan senyum tulus.

***

Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Andai aku bisa menahannya lebih lama. Desakan-desakan dari dalam perut ini makin sering melemaskan topangan kaki. Naluriku berkata ini saatnya. Namun, ke mana aku bisa meminta bantuan kala banyak yang terlelap?

Kuberanikan menembus udara gelap di depan rumah. Hanya satu lampu menyala yang terlihat. Itu dari rumah Bu Surti. Dengan berat dan terengah-engah, kuhampiri pintu depannya yang setengah terbuka.

Tarikan nafasku sontak mengeras melihat suami Bu Surti sedang membersihkan golok besar. Noda darah yang menetes jelas masih tampak segar. Menyadari kehadiranku, buru-buru disimpannya senjata itu lalu menghampiri sambil menyeringai.

"Jangan takut! Aku baru saja bekerja."

Aduh! Mengapa aku menyaksikan pemandangan tadi? Apa yang akan dilakukannya padaku di situasi sepi begini? Ingin kuayunkan langkah. Sayangnya, nyeri hebat kembali menjalar dari punggung, pinggul, bergulat di perut, dan seolah mematahkan sendi-sendi kaki. Aku hanya bisa bersandar dan tak bisa melawan saat tubuh kekar berwajah garang itu menarikku.

***

Harumnya aroma jeruk terendus penciumanku. Mata ini terbuka perlahan dan kudapati sosok pria duduk tersenyum di sebelah ranjang. "Sudah siap pulang?" tanyanya.

Aku mengangguk lemas. Usai berkemas, disodorkannya sebentuk balutan kain yang segera terasa hangat di pelukan. Aku sudah melihatnya seharian ini. Wajah mungil yang tertidur tenang. Perlahan aku turun dari ranjang dan mulai melangkah.

"Sudah kubilang, mereka sangat baik, kan? Aku memang menitip pesan ke para tetangga untuk membawamu ke rumah sakit ini. Jaga-jaga jika harus melahirkan saat aku pergi," ucapnya sambil mengiringiku.

Kami berhenti di parkiran. Aku segera menaiki boncengan yang sudah bertahun-tahun akrab denganku. "Mari, Nak, kita ke kampung halamanmu, Kampung Maling," bisikku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)