Flash
Disukai
17
Dilihat
14,214
Ada Apa dengan Rasa
Misteri

"I love you, Pak Taufik!" Milly melengkungkan kedua lengan di atas kepala.

"I love you, too." Pak Taufik menyilangkan jempol dan telunjuk, lalu meneruskan pidatonya, "Telah diputuskan bahwa pemenangnya adalah ..."

"Cinta! Cinta! Cinta!"

"Rasa!"

Milly pun pingsan.

***

Ku lari ke hutan, kemudian tersesatku

Ku lari ke pantai, kemudian tenggelamku

Geli, geli dan sendiri

Aku benci

"Cie, kayaknya dalam banget menghayati puisi

pemenang," ledek Maura.

"Puisinya bagus banget ya, Ta?" tanya Alya.

"Mmm, bagus, bagus. Asal enggak plagiat aja," jawab Cinta.

"Plagiat apaan, Ta?" tanya Milly.

Maura melengos. "Milly, please dong. Plagiat itu nyontek punya orang."

Milly berubah serius.  "Lo nuduh dia nyontek, Ta?"

"Enggak, enggak. Kalau, Milly. Gue bilang kalau. Tapi, gue rada tersinggung sama ini orang. Kalau dia bisa nulis dari dulu, kenapa enggak pernah kasih ke mading kita? Berarti dia kan enggak anggap mading kita eksis."

Semua teman Cinta mengangguk, kecuali Milly yang memandangi mereka satu-satu.

"Terus, rencana lo apaan, Ta?" tanya Karmen.

"Kita harus cepat ketemu dan wawancarai dia."

Cinta menoleh ke luar dan melihat Pak Diman yang menyapu sambil moon walking. Buru-buru Cinta menghampirinya dan bertanya, "Pak, tahu enggak, Rasa itu siapa?"

"Rasa? Saya tahunya Rangga Saputra, Non. Anaknya suka menongkrong di perpus. Potongannya begini-begini."

Bergegas Cinta ke perpus dan menyapa seorang siswa yang mirip dengan petunjuk Pak Diman, "Rangga, ya? Gue mau ngucapin selamat buat lo."

"Selamat kenapa?"

"Sebagai pemenang lomba puisi tahun ini."

"Saya enggak pernah ikutan lomba puisi."

"Jadi lo enggak mau diwawancara, nih?"

"Enggak!"

"Kenapa? Salah gue? Salah temen-temen gue?"

***

Cinta menemui gengnya di ruang mading sambil bersungut-sungut. "Sebel banget gue. Orangnya tuh sok bintang, tahu enggak lo."

"Kita lagi ngomongin siapa, sih?" tanya Milly.

"Masak katanya bukan dia pemenangnya."

"Oh, gue tahu. Kita lagi ngomongin pemenang lomba puisi, kan?"

Rangga yang sedari tadi tanpa sengaja mendengar omelan Cinta yang seperti geledek, muncul di pintu dan bicara ke Cinta dengan dingin, "Kalau mau wawancara, wawancara aja sekarang. Jangan manja."

"Lo mau diwawancara sekarang? Basi! Madingnya udah siap terbit!" Cinta membanting pintu dan menguncinya.

"Ta, kita kan, tetap harus wawancarai Rasa biar mading terbit?" Alya mengingatkan.

"Iya. Tapi dia enggak mau ngaku. Padahal kata Pak Diman dia memang bisa bikin puisi."

"Harus ya, kita tahu yang namanya Rasa?" tanya Milly takut-takut. Serentak keempat temannya mendesah penuh sesal karena mendengar kalimat enggak penting.

Karmen yang menyimak sambil memutar bola basket di telunjuk membuat Maura jengkel melihatnya. "Men, jangan mentang-mentang lo jago basket, ya."

"Mendingan gue. Daripada lo kerjaannya nongol terus di kaca."

Milly menggeleng sibuk dengan pikirannya lalu berteriak, "Diem lo berdua! Giliran gue ngomong sekarang! Gue tahu, gue paling tulalit. Lo semua anggap gue badut, terserah! Tapi, Rasa itu gue."

"Serius, Mil?" Alya terperangah.

"Gue enggak PD pakai nama asli. Nilai Bahasa Indonesia gue kan, merah. Rencananya, gue minta tambahan nilai kalau menang lomba kali ini."

Semua terharu dan memeluk Milly.

"Kok, Rasa?" selidik Cinta.

"Kan, Rasa ... nya ... pingin menang."

"Hu!" Bola-bola kertas melayang ke Milly. Sedangkan Karmen menggunakan yang ada di tangan untuk meninggalkan kesan paling mendalam.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (17)