Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,691
Yan
Romantis

YAN


Yan, si anak beasiswa dengan kepala penuh ilmu, mendadak jadi primadona di SMAN 2 Surabaya. Nilai 100-nya menghiasi rapor, merebut pujian guru dan decak kagum para siswi. Nay, gadis berambut panjang sebahu dengan mata hazel yang memikat, adalah salah satunya. Mereka bertemu di perpustakaan, Yan asyik membaca buku tentang teori relativitas, Nay membaca novel. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Nay ketika melihat Yan, yang seolah tenggelam dalam dunia rumitnya fisika. Yan, yang biasanya cuek dengan dunia, merasa jantungnya berdebar kencang saat Nay mendekat.

"Hai, kamu Yan kan?" tanya Nay, suaranya lembut seperti embun pagi. Yan hanya mengangguk, terpaku pada kecantikan Nay.

"Aku Nay. Aku sering liat kamu di kelas, pinter banget ya?" kata Nay, pipinya merona sedikit.

Yan hanya tersenyum canggung. Sejak pertemuan itu, Nay sering menyapa Yan, bahkan mengajaknya belajar bersama. Yan, yang awalnya canggung, mulai merasa nyaman. Nay bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan berwawasan luas.

Namun, kebahagiaan Yan tak berlangsung lama. Gosip tentang hubungannya dengan Nay cepat menyebar. Para cowok, yang merasa terancam, mulai melakukan aksi teror. Motor Yan dirusak, tasnya dirobek, bahkan dia pernah dikeroyok di toilet. Yan tak gentar, dia tetap teguh dengan pilihannya untuk mencintai Nay.

Suatu sore, Nay mengajak Yan bertemu di taman kota. Mereka duduk di bangku taman, menikmati suasana sore yang syahdu. Tiba-tiba, sekelompok cowok berbadan tegap menghampiri mereka.

"Lo berdua pacaran ya?" tanya salah satu cowok, suaranya penuh ancaman.

Yan hanya diam, melindungi Nay di belakangnya.

"Jangan sok berani lo!" kata Nay, matanya menantang.

"Lo cuma cewek. Udahlah, jangan ikut campur!" ujar cowok itu dengan nada meremehkan.

"Lo mau apa?" tanya Nay, suaranya sedikit gemetar.

"Kami mau lo putus sama Yan."

Yan yang selama ini terdiam, akhirnya angkat bicara. "Kalian berhak punya pendapat, tapi kami gak akan putus bersahabat. Ini urusan kami, urusan hati."

"Lo pikir lo bisa melawan kami?" kata cowok itu, mengepalkan tangan.

"Kalian mungkin lebih kuat, tapi hati kami lebih kuat."

"Oke, kalau lo gak mau putus berteman, lo harus siap menanggung akibatnya."

Para cowok itu berlalu, meninggalkan Yan dan Nay dalam ketakutan.

"Yan, kita harus berhati-hati," kata Nay, suaranya bergetar.

"Tenang, aku akan selalu melindungi kamu."

Mereka saling berpelukan, berjanji untuk tetap bersama, meskipun harus menghadapi badai yang menerpa.

***

Kejadian di taman kota itu seperti titik balik dalam kehidupan Yan. Keberaniannya menghadapi Doni dan kelompoknya, yang bahkan mengalahkan Doni dengan mudah, menjadikan Yan bak pahlawan bagi Nay dan para siswi lainnya. Kabar tentang kemenangan Yan bergema di seluruh SMAN 2 Surabaya. Para siswi yang tadinya mendekat karena nilai 100 Yan, kini semakin terpesona dengan aura kegagahannya. Namun, bagi para cowok, Yan tetap menjadi ancaman.

Doni yang babak belur, meringkuk di kamarnya, menghirup asap rokok dengan penuh dendam. "Yan, lo akan bayar semua ini!" gumamnya di antara asap rokok yang mengepul.

Doni menghubungi kakaknya, Aldo, yang terkenal bengis di dunia gangster. "Bang, bantu gue ngalahin Yan." Aldo menyeringai, "Tenang, gue akan buat Yan menyesal."

Keesokan harinya, Yan dan Nay berjalan pulang bersama. Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di depan mereka. Aldo turun dari mobil bersama dua orang anak buahnya.

"Lo Yan kan?" Aldo menunjuk Yan dengan nada mengancam.

Yan menatap Aldo dengan tatapan tajam. "Kamu siapa?"

"Gue Aldo, kakaknya Doni. Lo udah buat adik gue malu, sekarang gue akan balas."

Aldo menyerbu Yan dengan tinju keras. Yan menghindar dengan cepat dan menghujani Aldo dengan serangan balas. Anak buah Aldo mencoba menyerang, tapi Yan dengan mudah menghindar dan melumpuhkan mereka.

Perkelahian yang sengit terjadi. Aldo yang berpengalaman berkelahi di jalanan ternyata bukan lawan seimbang bagi Yan. Yan yang memiliki ilmu beladiri yang kuat dengan mudah mengalahkan Aldo.

Aldo terkapar di tanah dengan luka di wajah. Yan menatap Aldo dengan tatapan dingin. "Ini pelajaran buat kamu. Jangan coba-coba usik kami lagi."

Yan dan Nay meninggalkan Aldo yang merintih kesakitan.

"Yan, kamu baik-baik aja?" tanya Nay, suaranya bergetar.

"Aku baik-baik aja. Kita pulang."

Mereka berboncengan motor pulang dengan perasaan lega. Namun, mereka tidak tahu bahwa pertempuran mereka baru saja mulai. Aldo yang terluka tidak akan biarkan Yan lolos begitu saja. Dia akan mencari cara lain untuk membalas dendam.

***

Udara dingin Stasiun Semut Surabaya menyapa Yan yang baru turun dari kereta api. Suasana senja menyelimuti area gerbong kereta tua yang terbengkalai, tempat yang hanya dihuni oleh para tunawisma. Yan berjalan cepat menuju tempat pertemuan yang telah disepakati dengan senior Elang Hitam.

Sepuluh sosok siluman dengan pakaian hitam bersembunyi di balik gerbong-gerbong tua yang berkarat. Mereka adalah murid-murid senior Elang Hitam, yang siap menjalankan misi untuk melindungi Yan dan Nay dari ancaman Doni dan Aldo. Tatapan mereka tajam, memancarkan aura kekuatan yang menakutkan.

"Kalian siap?" tanya Yan, suaranya bergema di udara.

"Siap!" jawab mereka serempak, suaranya seperti gemuruh petir.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar deru mesin motor. Dua puluh motor gede membelah kegelapan, membawa serta Doni dan Aldo yang bertekad untuk membalas dendam. Para gangster itu turun dari motor, berteriak menantang.

"Yan, lo udah nggak akan bisa lari!" teriak Doni dengan suara serak.

"Kelompokmu kali ini lebih banyak, tapi kamu tetap akan kalah!" jawab Yan dengan suara tegas.

Pertarungan pun dimulai. Lima puluh gangster menyerang sepuluh murid Elang Hitam. Mereka bergerak cepat, serangan mereka menghantam udara, menciptakan suara berdesis yang menakutkan.

Tapi murid-murid Elang Hitam tidak gentar. Mereka bergerak dengan lincah, menghindar serangan dengan mudah. Serangan mereka tepat dan mematikan, membuat para gangster terkapar kesakitan.

Yan yang melihat murid Elang Hitam beraksi tercengang. Keahlian mereka sungguh menakjubkan. Yan yang sendiri belum pernah mengalahkan begitu banyak lawan sekaligus.

Doni dan Aldo yang melihat anak buahnya berjatuhan satu persatu mulai panik. Mereka berusaha menyerang Yan dan murid Elang Hitam, tapi serangan mereka dengan mudah dihentikan.

"Berhenti!" teriak Aldo dengan suara gemetar. "Kami menyerah!"

Para gangster yang masih berdiri langsung menyerah dan berlarian menghilang dalam kegelapan. Doni dan Aldo terkapar lemas di lantai, badan mereka penuh luka.

Yan mendekati Doni dan Aldo. "Ini pelajaran buat kalian. Jangan coba-coba usik aku lagi."

Yan dan murid Elang Hitam meninggalkan Doni dan Aldo yang merintih kesakitan di dalam gerbong kereta tua yang sepi. Mereka berjalan pulang dengan perasaan lega. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Yan dan murid Elang Hitam.

***

Di SMAN 2 Surabaya, hiruk pikuk pagi kembali bergema. Tawa, canda, dan bisik-bisik siswa menghantui koridor sekolah. Hari ini, seolah tidak ada yang berubah setelah peristiwa dramatis di Stasiun Semut. Doni datang ke sekolah dengan wajah muram dan tubuh yang dibalut perban.

"Don, lo kenapa sih? Kok banyak perban gitu?" tanya salah satu temannya yang penasaran.

Doni menggeleng dan berkata, "Gue jatuh pas balapan liar."

"Balapan liar? Hah, beneran sih? Kok lo bisa jatuh?" tanya teman yang lainnya dengan nada tidak percaya.

Doni hanya menggeleng dan terdiam. Dia tidak ingin menceritakan peristiwa sebenarnya yang telah menghancurkan egonya.

Di kantin, Yan dan Nay asyik menikmati bakso dengan saos pedas. Nay yang sedang bersemangat menceritakan rencana pesta ulang tahunnya.

"Yan, kamu datang ya ke pesta ulang tahunku?" tanya Nay dengan mata berbinar.

"Aku usahakan datang, Nay. Tapi aku kerja di kafe. Kalo bosnya ngasih ijin, aku pasti datang," jawab Yan dengan nada yang lembut.

Nay mengangguk dan terdiam sejenak.

"Gak papa kok, Yan. Yang penting kamu usahakan datang," kata Nay dengan nada yang sedikit cemberut.

Yan menatap Nay dengan lemah lembut. Dia mengerti kecewaan Nay. Dia ingin sekali hadir di pesta ulang tahun Nay, tapi komitmennya terhadap pekerjaan juga tidak bisa dia abaikan.

"Aku janji bakal usahakan yang terbaik, Nay," kata Yan dengan nada yang meyakinkan.

Nay mengangguk dan tersenyum. Dia menghargai kejujuran Yan.

"Oke, aku tunggu," kata Nay sambil mengangguk manis.

Yan tersenyum dan menggeleng. Dia berharap bisa hadir di pesta ulang tahun Nay. Tapi semua tergantung pada bos kafe.

Sore hari, Yan berjalan pulang dari sekolah. Dia memikirkan kata-kata Nay yang membuatnya sedikit bersedih. Yan tidak ingin mengecewakan Nay.

"Yan," suara halus memanggil namanya.

Yan menoleh dan terkejut melihat Nay yang sedang berjalan menuju ke arahnya.

"Nay, kok lo di sini?" tanya Yan.

"Aku mau ngomong sama kamu," jawab Nay dengan suara yang sedikit bergetar.

Mereka berjalan bersama menuju taman kota.

"Ada apa, Nay?" tanya Yan dengan nada yang penuh keprihatinan.

Nay menarik napas dalam-dalam dan menatap Yan dengan mata yang berbinar.

"Aku mau ngasih tahu kalau aku sayang sama kamu, Yan," kata Nay dengan suara yang lembut.

Yan terkejut dan terdiam. Dia tidak menyangka kalau Nay akan mengungkapkan perasaannya secepat ini. Jantungnya berdebar kencang, pipinya memerah. Nay menunggu jawaban Yan dengan harap-harap cemas.

"Nay, aku... aku juga sayang sama kamu," jawab Yan dengan suara yang gemetar.

Nay tersenyum lebar. "Benarkah, Yan?"

"Iya, aku benarkah. Aku juga sangat sayang sama kamu," kata Yan dengan nada yang lebih tegas.

Mereka saling tertawa dan menatap mata satu sama lain. Suasana di taman kota menjadi romantis dan menyenangkan. Yan dan Nay saling berpegangan tangan, merasakan kebahagiaan yang tak terhingga.

"Yan, aku ingin kamu hadir di pesta ulang tahunku," kata Nay dengan suara yang lembut.

"Aku janji akan usahakan yang terbaik, Nay," jawab Yan dengan nada yang tegas.

"Aku tunggu, Yan," kata Nay dengan tersenyum manis.

Yan mengangguk dan mencium pipi Nay dengan lembut. "Aku tidak akan mengucapkan janji yang tidak bisa ku tepati. Tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk hadir."

"Aku percaya sama kamu, Yan," jawab Nay dengan suara yang lembut.

Mereka berjalan pulang bersama, merasakan kehangatan cinta yang baru mereka temukan. Namun di balik kebahagiaan itu, tersembunyi sebuah ancaman yang mengintai di balik bayang-bayang. Aldo yang terluka tidak akan biarkan Yan lolos begitu saja. Dia akan mencari cara lain untuk membalas dendam.

***

Lampu pesta ulang tahun Nay berkelap-kelip, menghiasi halaman rumah yang penuh dengan dekorasi meriah. Teman-teman sekolah berdatangan, mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah. Nay tersenyum tetapi senyumnya terlihat paksa. Di dalam hatinya, dia merasa sedih dan kecewa.

Yan, orang yang sangat dia cintai, tidak juga datang. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, acara ultah sebentar lagi berakhir, tapi Yan tetap tidak ada. Nay merasa kecewa, campur sedih dan kesal.

"Nay, kok kamu sedih sih? Lagi mikirin Yan ya?" Mama Nay mencoba menenangkan putrinya.

"Iya, Ma. Aku kecewa sama Yan. Dia janji akan usahakan datang, tapi dia gak datang. Padahal ini ultahku," Nay menangis sejadi-jadinya.

Papa Nay ikut menenangkan putrinya. "Sabar, Nay. Mungkin Yan ada halangan. Nanti Papa hubungi dia."

"Gak mau, Pa. Aku mau kecewa. Aku mau nangis. Aku bener-bener kecewa sama Yan," kata Nay sambil menangis semakin keras.

Saat itu juga, suara motor jadul yang familiar menggema di telinga Nay. Dia langsung mengusap air matanya dan menoleh ke arah sumber suara. Di pintu gerbang, Yan berdiri tegak di atas motor jadulnya.

"Nay, maaf aku telat. Aku harus ngurus pekerjaan di kafe," kata Yan sambil menuruni motornya.

Nay berlari menuju Yan. Air matanya mengalir lagi, tapi kali ini bukan air mata kecewa.

"Yan, aku sangat kecewa sama kamu," kata Nay dengan suara bergetar.

Yan menatap Nay dengan mata yang penuh cinta. "Maafkan aku, Nay. Aku janji bakal ngasih kamu kebahagiaan sepanjang hidupmu."

Mereka saling berpelukan dengan erat. Nay tidak peduli dengan keberadaan orang tuanya yang sedang menatap mereka dengan tatapan yang aneh. Yan mencium bibir Nay dengan lembut.

Papa Nay menarik tangan istrinya dan mengajak masuk ke ruang keluarga. Mereka tertawa menyaksikan adegan romantis yang terjadi di halaman rumah mereka.

"Mereka benar-benar saling mencintai," kata Papa Nay dengan tersenyum.

"Ya, Pa. Semoga hubungan mereka langgeng dan bahagia," jawab Mama Nay.

Yan dan Nay berpelukan dengan erat, merasa bahagia dan bersyukur. Mereka berjanji untuk saling mencintai dan menghormati sepanjang hidup.

Kisah cinta mereka berakhir dengan indah. Namun, kehidupan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan. Hanya waktu yang akan menentukan takdir mereka.

*****


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)