Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,935
Rumini Perawan Desa
Romantis

Mobil hitam Arya melaju pelan di jalanan beraspal yang berkelok-kelok. Matahari siang menyorot tajam, membuat Arya harus mengerutkan kening. Sudah hampir dua jam dia berkendara dari Surabaya, dan tujuannya adalah desa Nganjuk, tempat kakek dan neneknya tinggal. Aroma sawah yang basah tercium samar-samar, mengingatkan Arya pada masa kecilnya yang penuh kenangan indah.

“Hampir sampai,” gumam Arya sambil menguap. Sejak semester lalu, jadwal kuliahnya padat dan membuatnya kurang tidur. “Ah, ngantuk…”

Arya melirik ke arah spion. Mobil di belakangnya tampak mendekat dengan cepat. Dia pun menepi ke bahu jalan, memberi ruang bagi mobil itu untuk menyalip.

“Nggak usah buru-buru, Bro,” kata Arya sambil menggelengkan kepala.

Tak lama kemudian, Arya merasakan perutnya mulai keroncongan. “Aah, lapar,” keluhnya. Dia pun melirik jam di dashboard mobilnya. “Sudah jam satu siang. Mending makan siang dulu aja deh.”

Mata Arya tertuju pada sebuah warung sederhana di pinggir jalan. Aroma rempah-rempah dari warung itu menggugah selera makannya. Arya pun memutuskan untuk berhenti dan menepi.

“Mbak, nasi rawonnya satu,” kata Arya kepada pemilik warung. “Terus, kopi susu satu.”

“Siap, Mas,” jawab si pemilik warung ramah. “Mau tambah apa lagi, Mas? Ada tahu, tempe, sambel…”

“Nggak usah, Mbak. Cukup itu aja,” jawab Arya.

Sambil menunggu pesanannya, Arya mengeluarkan telepon genggamnya. Dia menghubungi kakeknya untuk memberitahu bahwa dia sudah dekat.

“Hallo, Kek,” sapa Arya. “Saya sudah dekat. Lagi makan siang dulu.”

“Oh, sudah dekat ya? Cepetan, ya, Nak. Kakek sama Nenek sudah nungguin,” jawab kakeknya dengan suara yang penuh semangat. “Nenek sudah masak rendang kesukaanmu.”

“Iya, Kek. Nanti sampai, ya.”

Arya menutup teleponnya dan tersenyum. “Kakek sama Nenek selalu perhatian,” gumamnya.

Tak lama kemudian, nasi rawon dan kopi susu pesanan Arya pun datang. Dia langsung melahapnya dengan lahap. “Enak banget!” seru Arya. “Nasi rawonnya gurih banget, mbak. Kopinya juga mantap!”

“Alhamdulillah, Mas. Senang Mas suka,” jawab si pemilik warung.

Setelah selesai makan, Arya membayar pesanannya dan berpamitan. Dia kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanannya. “Oke, lanjut lagi. Nanti sampai desa, langsung ngasih oleh-oleh ke Kakek sama Nenek,” kata Arya sambil tersenyum.

“Mbak, titip salam buat bapak sama ibu, ya,” katanya kepada si pemilik warung, sok akrab, dasar Arya

“Iya, Mas. Salam juga buat nenek sama kakek,” jawab si pemilik warung.

Mobil Arya pun melaju kembali, meninggalkan warung sederhana di tepi jalan. Di depan, terlihat sebuah gapura bertuliskan "Selamat Datang di Desa Nganjuk". Arya tersenyum. “Akhirnya sampai juga. Semoga liburan kali ini menyenangkan,” gumamnya.

Mobil Arya memasuki halaman rumah kakek dan neneknya. Sebuah rumah joglo dengan halaman luas dan pohon mangga yang rindang menyambutnya. Arya memarkirkan mobilnya di depan teras dan keluar.

“Kek! Nek!” teriak Arya sambil melambaikan tangan.

Seorang lelaki tua dengan rambut putih beruban dan seorang perempuan tua dengan kerutan di wajahnya langsung berlari ke arah Arya. Kakek dan neneknya, yang sangat Arya cintai.

“Arya, cucuku!” teriak kakeknya sambil memeluk Arya erat-erat. “Kamu sudah sampai, Nak. Kakek senang sekali!”

“Arya, tole,” kata neneknya sambil mengelus rambut Arya. “Kamu sehat? Perjalananmu lancar?”

“Alhamdulillah, Kek, Nek. Saya sehat. Perjalanan lancar,” jawab Arya. “Kakek sama Nenek sehat juga?”

“Kakek sama Nenek sehat, Nak,” jawab kakeknya. “Kamu sudah makan siang?”

“Sudah, Kek. Saya makan rawon di jalan,” jawab Arya.

“Nenek sudah masak rendang kesukaanmu,” kata neneknya. “Kamu mau makan sekarang?”

“Nanti aja, Nek. Saya mau kasih oleh-oleh dulu,” jawab Arya. “Ini, Kek, Nek. Oleh-oleh dari Surabaya.”

Arya mengeluarkan beberapa kantong plastik berisi oleh-oleh dari bagasi mobilnya. Ada kue lapis, kerupuk, dan beberapa makanan ringan lainnya. Kakek dan neneknya tampak gembira melihat oleh-oleh yang dibawa Arya.

“Wah, banyak sekali oleh-olehnya, Nak,” kata kakeknya. “Nenek senang sekali.”

“Iya, Kek, Nek. Ini buat kalian,” jawab Arya. “Semoga kalian suka.”

“Tentu saja kami suka,” jawab neneknya. “Kamu baik sekali, Nak.”

Kakek dan neneknya pun mengajak Arya masuk ke dalam rumah. Aroma masakan yang sedap langsung tercium saat mereka masuk. Rumah kakek dan neneknya terasa begitu hangat dan penuh cinta.

“Kamu mau langsung makan, Nak?” tanya neneknya. “Nenek sudah siapkan.”

“Nanti aja, Nek. Saya mau beres-beres dulu,” jawab Arya. “Setelah itu, saya mau ngobrol sama kakek sama nenek.”

“Iya, Nak. Kamu beres-beres dulu aja,” jawab neneknya. “Kakek sama Nenek nunggu di ruang tamu.”

Arya pun membawa tasnya ke kamar. Dia merasa begitu bahagia bisa kembali ke desa dan bertemu dengan kakek dan neneknya. Liburan kali ini akan menjadi liburan yang tak terlupakan.

Setelah meletakkan tasnya di kamar, Arya keluar dan mencari kakek neneknya. Mereka sedang duduk di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat.

"Kek, Nek, Arya mau ke rumah Toni dulu, ya?" ucap Arya sambil tersenyum.

"Ke rumah Toni? Ngapain, Nak?" tanya Kakek penasaran.

"Mau ngasih oleh-oleh buat Toni, Kek. Dia kan suka banget sama kaos, waktu kecil dulu kita suka tukeran kaos," jelas Arya.

Nenek mengangguk mengerti. "Ya sudah, Nak. Hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Nek."

Arya pun berjalan keluar rumah. Rumah Toni memang tidak jauh dari rumah kakek neneknya. Hanya sekitar 5 menit jalan kaki. Arya sudah hafal jalanan desa ini, meskipun sudah lama tidak tinggal di sini.

Sesampainya di depan rumah Toni, Arya melihat Toni sedang asyik membersihkan sepeda motornya.

"Toni!" panggil Arya.

Toni mendongak dan langsung tersenyum lebar. "Arya! Kamu sudah datang?"

"Iya, Ton. Sudah lama nih nggak ketemu," jawab Arya sambil menghampiri Toni.

"Iya, Bro. Kamu makin keren aja, tinggal di kota," ujar Toni sambil menepuk bahu Arya.

"Kamu juga makin ganteng, Ton," jawab Arya sambil terkekeh.

Mereka berdua lalu duduk di teras rumah Toni. Arya mengeluarkan kaos baru dari tasnya. "Ini, Ton. Buat kamu. Otw dari Surabaya, mampir ke toko baju, sekalian beli buat kamu," ujar Arya.

"Wah, serius, Bro? Makasih banget ya!" seru Toni dengan mata berbinar-binar. "Ini kaos keren banget! Warna kesukaanku."

Toni langsung mengenakan kaos baru tersebut. "Pas banget, Bro. Makasih ya, Arya," ucap Toni sambil tersenyum lebar. "Kamu nggak sombong ya, tinggal di kota. Tetap ingat sama teman masa kecil."

"Hahaha, nggak lah, Ton. Gimana sih. Kita kan sahabat, ya. Kita kan dulu selalu bareng. Main bola, mancing, ngumpulin jajanan di warung Bu Ning," kata Arya sambil mengenang masa kecil mereka.

"Iya, Bro. Dulu kita sering banget main bareng. Kamu kan paling jago nge-dribble bola," ujar Toni.

"Kamu jago mancing, Bro. Sering banget dapat ikan mas besar," balas Arya.

Mereka pun kembali bernostalgia, mengenang masa kecil mereka yang penuh keceriaan. Arya merasa sangat senang bertemu dengan Toni. Meskipun mereka tinggal di tempat yang berbeda, persahabatan mereka tetap terjaga.

"Toni, kamu ngapain sih sekarang? Sekolah apa kerja?" tanya Arya.

"Aku bantu orang tua di sawah, Bro. Nggak lanjut sekolah. Udah puas belajar. Lagian, di sini banyak yang perlu aku bantu," jawab Toni.

"Ooo, gitu ya. Nggak apa-apa, Ton. Yang penting kamu bahagia," balas Arya.

Arya dan Toni pun ngobrol panjang lebar, membahas tentang kehidupan mereka masing-masing. Arya menceritakan tentang kehidupan di kota, kuliah, dan cita-citanya. Toni pun bercerita tentang kehidupan di desa, membantu orang tuanya di sawah, dan cita-citanya untuk memiliki sawah sendiri di masa depan.

Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Arya pun pamit untuk kembali ke rumah kakek neneknya.

"Ya udah, Ton. Gue balik dulu ke rumah kakek sama nenek. Nanti kita ketemu lagi," ucap Arya.

"Iya, Bro. Sampai ketemu lagi. Makasih ya, kaosnya," jawab Toni.

Arya pun berpamitan dan berjalan pulang. Dia merasa senang bisa bertemu dengan Toni dan berbagi cerita dengan sahabat masa kecilnya. Meskipun hidup di tempat yang berbeda, persahabatan mereka tetap terjalin erat.

***

Sore hari, Arya dan Toni memutuskan untuk ngobrol santai di warung kopi langganan mereka. Aroma kopi robusta yang kuat tercium menusuk hidung, mengiringi obrolan mereka yang penuh tawa.

"Ton, lo inget nggak dulu kita suka ngumpulin kartu Pokemon di sini?" tanya Arya sambil menyesap kopinya.

"Inget lah, Bro. Waktu itu kita kejar-kejaran sama anak-anak kampung sebelah buat ngumpulin kartu Pikachu," jawab Toni sambil terkekeh.

Mereka pun asyik mengenang masa kecil mereka yang penuh keceriaan.

Tiba-tiba, sebuah motor matic berhenti di depan warung. Seorang gadis berambut panjang lurus, mengenakan baju putih bermotif bunga, turun dari motornya. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih, matanya yang indah berbinar-binar, dan senyuman manis terukir di bibirnya.

"Wih, ada bidadari lewat," ucap Toni berbisik sambil menyikut lengan Arya.

"Cantik, ya?" sahut Arya.

"Cantik banget, Bro! Kayaknya baru pertama kali gue liat dia," ujar Toni.

"Iya, gue juga. Siapa ya, Ton?" tanya Arya penasaran.

"Itu anak Pak Lurah, namanya Rumini. Baru pindah dari Solo beberapa tahun lalu," jawab Toni.

"Hah? Serius? Gue nggak pernah liat dia," kata Arya.

"Iya, Bro. Orangnya pendiam, jarang keluar rumah. Paling cuma ke Puskesmas sama nganterin Pak Lurah ke acara-acara tertentu," jelas Toni.

"Oalah, jadi dia dokter ya?" tanya Arya terkejut.

"Iya, Bro. Denger-denger dia dokter muda di Puskesmas sini," jawab Toni.

Arya semakin penasaran dengan Rumini. Dia diam-diam memperhatikan Rumini yang sedang masuk ke dalam warung. Rumini memesan kopi susu dan duduk di meja paling pojok.

"Ton, lo kenal dia?" tanya Arya.

"Nggak terlalu kenal, Bro. Cuma pernah ngobrol sebentar sama bapaknya," jawab Toni.

"Lo mau kenalan sama dia, Bro?" tanya Toni sambil menyeringai.

"Eh, jangan. Malu gue," jawab Arya sambil geleng-geleng kepala.

"Ya udah, gue aja yang kenalan. Gue kan jago ngobrol," ujar Toni sambil bercanda.

Arya pun tertawa mendengar ucapan Toni. Mereka berdua kembali asyik ngobrol, sambil sesekali melirik ke arah Rumini. Arya merasa ada yang menarik perhatiannya pada Rumini. Dia penasaran dengan gadis itu.

"Ton, kapan-kapan kita ajak dia ngopi bareng, ya?" tanya Arya.

"Ajak aja, Bro. Tapi lo harus berani ngobrol sama dia ya," jawab Toni.

"Iya, gue usahain," jawab Arya.

Arya pun kembali ke dalam lamunan. Di kepalanya terbayang senyum manis Rumini. Arya merasa ada sesuatu yang berbeda dengan gadis itu. Dia penasaran dengan Rumini. Dia ingin lebih dekat dengan gadis itu.

"Gue harus ngobrol sama dia," gumam Arya dalam hati.

"Eh, Bro! Lo kenapa diem aja? Mikirin apa sih?" tanya Toni.

"Nggak, Ton. Gue cuma mikirin tentang Rumini," jawab Arya.

"Oh, ya. Dia memang cantik," kata Toni.

Arya pun tersenyum. Dia bertekad untuk lebih dekat dengan Rumini. Dia ingin mengenal gadis itu lebih jauh.

"Ton, gue harus berani," gumam Arya dalam hati.

Senyum pun terukir di wajah Arya. Dia bersemangat untuk memulai petualangan barunya.

Sepulang dari warung kopi, Arya langsung bersemangat bercerita kepada nenek tentang Rumini.

"Nek, tadi di warung kopi, aku ketemu anak Pak Lurah. Cantik banget, Nek! Namanya Rumini."

Nenek tersenyum mendengar cerita Arya. "Oh, Rumini? Ya, dia memang cantik. Gadis baik, pintar, dan ramah. Banyak yang naksir dia, Nak."

"Hah? Banyak yang naksir? Kenapa aku nggak pernah liat dia selama ini?" tanya Arya penasaran.

"Rumini itu orangnya pendiam, Nak. Jarang keluar rumah. Paling cuma ke Puskesmas sama nganterin Pak Lurah ke acara-acara tertentu. Lagian, dia sibuk kuliah kedokteran di Solo. Baru pulang beberapa bulan lalu," jawab Nenek.

"Kuliah di Solo? Terus dia kerja di Puskesmas sini?" tanya Arya.

"Iya, Nak. Dia langsung kerja di Puskesmas setelah lulus kuliah. Dia ingin membantu masyarakat di desanya," jawab Nenek.

"Hebat ya, Nek? Pintar, cantik, dan baik hati," puji Arya.

"Iya, Nak. Rumini memang gadis yang istimewa," jawab Nenek.

"Nek, kenapa banyak yang naksir dia? Siapa aja?" tanya Arya.

"Banyak, Nak. Anak-anak muda di desa ini, bahkan dari desa tetangga. Tapi, Pak Lurah nggak mau nerima lamaran mereka," jawab Nenek.

"Kenapa, Nek?" tanya Arya semakin penasaran.

"Pak Lurah bilang, Rumini masih muda. Belum saatnya untuk menikah. Dia ingin Rumini fokus ke pekerjaannya dulu," jawab Nenek.

"Ooo, gitu ya," jawab Arya.

"Iya, Nak. Pak Lurah memang sangat menyayangi Rumini. Dia ingin Rumini bahagia," tambah Nenek.

"Tapi Nek, aku merasa Rumini cocok sama aku. Aku juga mau membahagiakan dia," gumam Arya pelan.

Nenek tersenyum mendengar gumam Arya. "Kamu memang anak baik, Nak. Tapi ingat, jangan cepat-cepat mencintai seseorang, ya. Kenali dulu dengan baik. Lihat bagaimana dia bersikap dan perilakunya," nasihat Nenek.

"Iya, Nek. Aku mengerti," jawab Arya.

"Ya sudah, Nak. Kamu istirahat dulu ya. Nanti sore kita ke sawah bareng, nganterin Kakek nyiram padi," ajak Nenek.

"Iya, Nek. Nanti sore aku ikut," jawab Arya.

Arya pun kembali ke kamarnya. Dia masih terbayang wajah cantik Rumini. Arya merasa tertarik dengan Rumini. Dia ingin lebih mengenal gadis itu.

"Rumini..." gumam Arya dalam hati.

"Rumini adalah gadis impianku," tambah Arya dalam hati.

Arya semakin penasaran dengan Rumini. Dia ingin tahu lebih banyak tentang gadis itu. Dia ingin tahu apa yang ada di balik senyum manis dan tatapan mata Rumini.

"Aku harus bertemu dengannya lagi," gumam Arya dalam hati.

Arya pun bertekad untuk mencari kesempatan bertemu dengan Rumini. Dia ingin lebih dekat dengan gadis itu.

"Semoga aku bisa mendapatkan hatinya," harap Arya dalam hati.

***

Mentari sore mulai condong ke barat, langit berubah warna menjadi jingga kemerahan. Di pendopo kelurahan, suasana sudah ramai oleh warga desa yang ingin menyaksikan pertunjukan jaranan. Arya dan Toni ikut bergabung dengan kerumunan, duduk di bangku bambu yang tersedia.

"Wah, keren banget, Ton! Lama nggak nonton jaranan, jadi kangen," seru Arya sambil mengamati penari jaranan yang mengenakan kostum berwarna-warni dan topeng berhiaskan bulu merak.

"Iya, Bro. Kesenian jaranan ini memang memikat. Gerakannya dinamis, musiknya energik, dan ceritanya selalu menarik," jawab Toni.

Musik gamelan mengalun merdu, diiringi oleh dentuman gendang yang mengentak-entak. Para penari jaranan menari dengan lincah, menggerakkan kaki dan tangan mereka dengan gesit. Arya mengeluarkan handphonenya dan merekam video pertunjukan tersebut.

"Eh, Bro. Mau kenalan sama Mbah Surip, ketua Jaranan Turonggo? Dia orangnya ramah kok," ajak Toni.

"Boleh, Ton. Aku penasaran," jawab Arya.

Toni pun menghampiri Mbah Surip yang sedang duduk di pinggir pendopo, mengawasi para penarinya.

"Mbah Surip, ini teman saya, Arya. Dia dari Surabaya, baru pulang kampung," kata Toni.

"Oh, iya. Selamat datang, Mas Arya. Senang bisa bertemu denganmu," jawab Mbah Surip dengan ramah.

"Terima kasih, Mbah," jawab Arya. "Saya senang sekali bisa menyaksikan pertunjukan jaranan ini. Keren banget, Mbah."

"Hehehe, makasih ya, Mas. Semoga Mas Arya terhibur," jawab Mbah Surip.

"Mbah, jarang-jarang ya, anak muda yang suka nonton jaranan. Biasanya mereka sibuk sama gadget," kata Toni.

"Iya, Mas. Memang zaman sekarang, anak muda banyak yang lebih tertarik sama hiburan modern. Tapi, saya senang ada anak muda seperti Mas Arya yang masih peduli dengan budaya tradisional," kata Mbah Surip sambil tersenyum.

"Mbah, ini seni jaranan bagaimana ceritanya sih, Mbah? Kok bisa menarik perhatian banyak orang?" tanya Arya.

"Hmm, cerita seni jaranan itu panjang, Mas. Tapi, intinya seni ini menggambarkan keberanian dan kekuatan para kesatria dalam mempertahankan tanah airnya. Seni jaranan juga merupakan ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala nikmat dan karunia-Nya," jelas Mbah Surip.

"Oh, begitu, Mbah. Terima kasih atas penjelasannya," jawab Arya.

"Sama-sama, Mas. Semoga Mas Arya bisa mencintai seni jaranan seperti yang kami cintai," jawab Mbah Surip.

Arya tertawa kecil mendengar ucapan Mbah Surip. "Insyaallah, Mbah. Saya akan mencoba untuk mencintai seni jaranan seperti yang Mbah cintai," jawab Arya.

Mereka bertiga terus berbincang sampai pertunjukan jaranan selesai. Arya merasakan kehangatan dan kebersamaan yang menyenangkan. Dia terkesan dengan kebersamaan warga desa dalam menjaga dan melestarikan seni jaranan.

"Ton, Mbah Surip orangnya baik banget, ya?" kata Arya.

"Iya, Bro. Dia sangat mencintai seni jaranan. Dia mengajarkan kami untuk menghargai budaya kita sendiri," jawab Toni.

Arya mengangguk setuju. Dia melihat pertunjukan jaranan ini bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pelajaran tentang sejarah.

Pertunjukan jaranan memasuki babak akhir, suasana semakin meriah. Para penari berputar-putar dengan lincah, menyerukan yel-yel yang menggelegar. Arya masih terpesona dengan keunikan kesenian ini, hingga dia tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang berdiri di sampingnya.

"Eh, Rumini! Kamu di sini juga?" sapa Toni sambil tersenyum.

Arya langsung menoleh dan terkejut melihat Rumini berdiri di sampingnya.

"Iya, Toni. Aku bareng Papa," jawab Rumini dengan senyum manis.

"Oh, iya. Ini Arya, teman kecilku. Dia baru pulang dari Surabaya," kata Toni memperkenalkan Arya kepada Rumini.

"Hai, Arya. Senang bertemu denganmu," sapa Rumini ramah.

"Hai, Rumini. Senang bertemu denganmu juga," jawab Arya gugup.

"Kamu dari Surabaya, ya? Kuliah di mana?" tanya Rumini.

"Aku kuliah di Universitas Airlangga, jurusan Teknik Sipil," jawab Arya.

"Wah, keren. Aku kuliah di Universitas Sebelas Maret, jurusan Kedokteran," kata Rumini.

"Oh, jadi kamu dokter, ya?" tanya Arya terkejut.

"Iya, aku baru pulang dari Solo. Sekarang kerja di Puskesmas sini," jawab Rumini sambil tersenyum.

"Wah, hebat. Kamu dokter muda, ya?" puji Arya.

"Iya, masih belajar sih. Tapi aku senang bisa membantu masyarakat di desa ini," kata Rumini.

Arya merasa terpesona dengan Rumini. Gadis ini memiliki kepribadian yang menarik. Pintar, cantik, dan bersemangat membantu orang lain.

"Ton, aku mau bantu Mbah Surip dulu, ya. Kamu lanjut ngobrol sama Rumini," kata Toni sambil berpamitan.

Toni tahu Arya dan Rumini ingin berbincang lebih lama. Dia pun berpura-pura membantu Mbah Surip merapikan alat musik jaranan.

"Ya udah, Ton. Makasih, ya," jawab Arya.

Toni pun meninggalkan mereka berdua. Arya dan Rumini kemudian melanjutkan percakapan mereka.

"Kamu suka seni jaranan?" tanya Arya.

"Suka, kok. Aku dulu sering nonton jaranan bareng Papa," jawab Rumini.

"Aku juga suka. Keren, ya," jawab Arya.

"Iya, memang keren. Kesenian ini mencerminkan keberanian dan kekuatan para kesatria," kata Rumini.

Arya terkesima mendengar penjelasan Rumini. Gadis ini tidak hanya cantik, tetapi juga pintar dan mengerti tentang budaya.

"Kamu anak pak Lurah?" Tanya Arya .

"Iya," jawab Rumini kalem," Oh ya, kamu emang dari Surabaya? Lama nggak pulang kampung?" Tanya Rumini.

"Iya, aku baru pulang untuk libur kuliah," jawab Arya.

"Oh, iya. Kamu tadi bilang kuliah di mana?" tanya Rumini.

"Aku kuliah di Universitas Airlangga, jurusan Teknik Sipil," jawab Arya.

"Wah, hebat." Puji Rumini, "Kamu sendiri tahu, aku dokter puskesmas."di

"Oh, jadi kamu dokter, ya?" tanya Arya terkejut.

"Maaf, aku pamit dulu ya, papa aku sudah nunggu di mobil!"

"Oke, sampai ketemu lagi."

Rumi segera pergi dari pendopo kelurahan, karena pertunjukan seni jaranan sudah selesai. Arya pun segera mencari Toni yang masih bersama anggota jaranan.

Sepulang dari pertunjukan jaranan, Arya masih terngiang-ngiang wajah Rumini. Senyum manisnya, matanya yang indah, dan kepintarannya yang luar biasa, semuanya terukir jelas dalam pikirannya.

"Rumini..." gumam Arya pelan, hampir tak terdengar.

Dia memasuki kamarnya, meletakkan tas di atas meja, lalu terduduk di pinggir ranjang.

"Kenapa aku jadi kepikiran terus sama dia?" tanya Arya pada dirinya sendiri, sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

"Dia memang cantik, pintar, dan baik hati. Tapi, apa aku terlalu cepat terpesona?"

Arya mencoba memejamkan mata, berharap bisa terlelap. Namun, bayangan Rumini terus berputar-putar dalam benaknya.

"Kenapa sih aku nggak bisa ngelupain dia? Padahal baru ketemu tadi sore," gerutu Arya dalam hati.

Dia mencoba beranjak dari ranjang, berjalan ke jendela, berharap pemandangan malam bisa sedikit meredakan gelisahnya.

"Aku harus lebih mengenal dia," gumam Arya sambil menatap langit malam yang bertabur bintang.

"Aku penasaran dengan kisahnya, apa dia punya mimpi? Apa dia punya cita-cita?"

Arya menghela napas, "Tapi, bagaimana caranya?"

"Aku nggak mungkin ngomong langsung ke dia, dia kan anak Pak Lurah. Canggung banget!"

Arya menggaruk kepalanya, bingung. "Kayaknya aku harus cari cara lain,"

"Mungkin aku bisa lewatin rumah dia. Atau ngobrol sama Toni."

"Ah, malu ah. Aku nggak mungkin ngomong gitu ke Toni,"

Arya kembali terduduk di ranjang. Dia masih gelisah, tak kunjung bisa tidur.

"Kenapa sih aku jadi begini? Cuma ketemu beberapa jam, aku udah kepikiran terus," keluh Arya.

Dia berguling-guling di ranjang, mencoba mencari posisi yang nyaman. Namun, tak kunjung mendapat ketenangan.

"Ya sudahlah, mungkin ini baru awal," gumam Arya.

"Semoga saja aku bisa lebih dekat dengan dia. Semoga saja dia juga merasakan hal yang sama," harap Arya.

"Ya, itu saja. Semoga saja," gumam Arya pelan, akhirnya tertidur lelap dengan sebuah senyuman di wajahnya.

"Semoga saja...," bisiknya dalam mimpi.

***

Hari-hari Arya di desa Nganjuk terasa lebih berwarna dengan kehadiran Rumini. Setiap hari, mereka bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Mereka jalan-jalan di sawah, menikmati pemandangan alam yang indah, bersama-sama membantu warga panen padi, dan menikmati minum kopi di warung Langganan mereka.

Arya selalu menemani Rumini pergi ke Puskesmas. Dia rela menunggu berjam-jam di ruangan tunggu puskesmas, hanya untuk melihat Rumini bekerja dengan penuh semangat dan dedikasi.

Rumini pun terpesona dengan kepribadian Arya. Dia menyukai keramahan, kepedulian, dan kebaikan hati Arya. Arya selalu berusaha membuat Rumini tertawa dan bahagia.

Suatu sore, Arya menjemput Rumini di Puskesmas setelah selesai bekerja. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang.

"Rumini, aku ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Arya dengan tegang.

Rumini menoleh ke Arya dengan tatapan penasaran.

"Apa itu, Arya?" tanya Rumini.

"Aku mencintai mu, Rumini," jawab Arya dengan jujur.

Rumini terkejut mendengar pernyataan Arya. Dia menatap mata Arya dengan tatapan yang dalam.

"Aku juga mencintai mu, Arya," jawab Rumini dengan suara gemetar.

"Benarkah?" tanya Arya tidak percaya.

"Ya, aku mencintai mu sejak pertama kali melihat mu di warung kopi," jawab Rumini dengan tersipu.

"Aku juga mencintai mu sejak pertama kali melihat mu di warung kopi," jawab Arya dengan senyum lebar.

Arya dan Rumini berpelukan erat, menyatukan cinta mereka dalam pelukan yang hangat. Mereka bersama-sama menikmati kebahagiaan yang tak terhingga.

"Aku sangat bahagia, Arya," kata Rumini.

"Aku juga, Rumini," jawab Arya. "Aku bersyukur bisa menemukan cinta sejati di desa ini."

Arya dan Rumini terus berjalan sambil berpegangan tangan. Mereka menikmati setiap langkah yang mereka ambil bersama. Mereka bersama-sama menghiasi hidup mereka dengan cinta dan kebahagiaan.

"Aku ingin menikah dengan kamu, Rumini," kata Arya dengan serius.

"Ya, aku akan menunggu lamaran kamu, Arya," jawab Rumini.

Arya dan Rumini bersama-sama menatap masa depan yang cerah. Mereka ingin membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Mereka ingin menjalani hidup bersama dengan penuh cinta dan kebahagiaan.

Mereka berdua berpegangan tangan erat, menghadap sunset yang indah di ujung sawah. Matahari tenggelam perlahan, menandakan akhir dari suatu hari yang penuh dengan kebahagiaan.

"Aku cinta kamu, Rumini," bisik Arya ke telinga Rumini.

"Aku juga cinta kamu, Arya," jawab Rumini sambil menatap mata Arya dengan penuh arti.

***

Liburan kuliah Arya di desa Nganjuk terasa singkat. Waktu berlalu begitu cepat, menjelang hari keberangkatannya ke Surabaya. Hati Arya terasa berat. Dia harus kembali ke Surabaya untuk melanjutkan kuliahnya, meninggalkan Rumini, gadis yang telah mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan.

Sore itu, Arya datang ke rumah Rumini. Dia membawa sebuket bunga mawar merah, lambang cinta dan kebahagiaan. Dia ingin memberikan bunga itu kepada Rumini, sebagai tanda perpisahan dan ungkapan hatinya.

"Rumini," panggil Arya, suaranya sedikit gemetar.

Rumini keluar dari rumah dan menatap Arya dengan tatapan yang penuh pertanyaan.

"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Rumini.

"Aku ingin pamit, Rumini," jawab Arya. "Hari ini aku harus kembali ke Surabaya."

"Oh..." Rumini terdiam, matanya berkaca-kaca.

Arya menyerahkan buket bunga mawar merah itu kepada Rumini. "Aku ingin memberikan ini untuk mu," kata Arya.

Rumini menerima bunga itu dengan tangan gemetar. Dia mencium bunga itu dengan lembut.

"Terima kasih, Arya," kata Rumini dengan suara terbata-bata.

"Aku akan merindukan mu, Rumini," kata Arya.

"Aku juga akan merindukan mu, Arya," jawab Rumini.

Mereka berdiri diam sejenak, menikmati suasana senja yang indah. Matahari tenggelam perlahan, menandakan akhir dari suatu hari.

"Apa kita akan bertemu lagi?" tanya Rumini.

"Tentu saja. Aku akan menghubungi mu, Rumini," jawab Arya. "Aku akan mengunjungi mu lagi saat libur kuliah nanti."

"Janji?" tanya Rumini.

"Janji," jawab Arya.

Mereka berpelukan erat, menyatukan rasa cinta dan kesedihan dalam pelukan yang hangat. Mereka ingin menikmati setiap detik bersama, sebelum perpisahan mengusir mereka.

"Jangan lupa janjimu, Arya," bisik Rumini.

"Tidak akan pernah aku lupakan, Rumini," jawab Arya.

Arya melepaskan pelukannya dan menatap Rumini dengan tatapan yang penuh cinta.

"Aku mencintai mu, Rumini," kata Arya.

"Aku juga mencintai mu, Arya," jawab Rumini.

Mereka kembali berpelukan erat, menikmati hangatnya cinta yang membara. Mereka ingin mengingat momen ini, selama mereka terpisah.

Arya menarik napas dalam-dalam dan melepaskan pelukannya.

"Aku harus pergi, Rumini. Aku akan merindukan mu," kata Arya dengan suara gemetar.

"Aku juga akan merindukan mu, Arya," jawab Rumini.

Arya meninggalkan rumah Rumini dengan langkah yang berat. Dia berbalik dan menatap Rumini untuk terakhir kalinya.

"Aku akan menunggu mu, Arya," teriak Rumini.

"Aku juga akan menunggu mu, Rumini," jawab Arya.

Arya pun berjalan menjauh, meninggalkan Rumini yang menatapnya dengan tatapan sendu. Langkah kakinya terasa berat, seakan-akan ada beban yang menimpanya. Dia melambaikan tangan kepada Rumini, dan Rumini membalasnya dengan lambaian tangan yang lemah lembut.

Arya masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya keluar dari desa Nganjuk. Dia menatap ke arah belakang, melihat rumah Rumini yang semakin menjauh. Dia bisa merasakan kesedihan yang menyergapnya.

"Aku akan merindukanmu, Rumini," gumam Arya sambil mengusap matanya.

Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghubungi Rumini setiap hari. Dia juga berjanji untuk mengunjungi Rumini lagi saat libur kuliah nanti. Dia berharap, rasa cinta mereka bisa bertahan melewati jarak dan waktu.

Di perjalanan menuju Surabaya, Arya terkenang masa-masa indah yang dialaminya bersama Rumini. Dia tersenyum sedih saat mengingat kebahagiaan yang telah menyergap hatinya.

"Rumini, aku akan menunggu mu," gumam Arya. "Aku akan kembali ke sini, dan aku akan menikahimu."

Dia mengepalkan tangannya, berjanji pada diri sendiri untuk berusaha meraih mimpi bersama Rumini.

Beberapa bulan kemudian, Arya menghubungi Rumini. Dia menceritakan bagaimana kuliahnya dan menanyakan kabar Rumini.

"Rumini, aku selalu kangen kamu," kata Arya dengan suara yang penuh rasa rindu.

"Aku juga merindukan mu, Arya," jawab Rumini dengan suara yang gembira.

Mereka berbincang lama melalui telepon, membicarakan segala sesuatu. Mereka bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing, tentang cita-cita mereka, dan tentang cinta yang menyatukan mereka.

Arya berjanji untuk mengunjungi Rumini lagi pada liburan semester nanti. Rumini pun menantikan kedatangan Arya.

Mereka sama-sama berharap agar rasa cinta yang mereka miliki bisa bertahan melewati jarak dan waktu. Mereka bertekad untuk terus menjaga hubungan mereka, meskipun terpisahkan oleh jarak.

"Aku akan selalu menunggu mu, Rumini," bisik Arya.

"Aku juga selalu setia menunggu kamu, Arya," jawab Rumini.

Mereka berharap agar pertemuan mereka nanti bisa merajut cinta mereka yang sempurna.

Saat libur semester tiba, Arya kembali ke desa Nganjuk. Dia mengunjungi Rumini. Mereka bertemu lagi, menikmati kebahagiaan yang tak terhingga. Arya menyatakan keinginannya untuk menikahi Rumini. Rumini menerima lamaran Arya dengan senyum yang menawan.

Mereka berencana untuk menikah setelah Arya lulus kuliah. Mereka bertekad untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis, di desa Nganjuk yang indah.

Kabar bahagia tentang rencana pernikahan Arya dan Rumini sampai juga ke telinga Pak Lurah. Beliau pun memanggil Arya untuk bertemu di ruang kerjanya. Arya mengunjungi Pak Lurah dengan hati yang berdebar-debar.

“Mas Arya, silakan duduk,” sapa Pak Lurah ramah. “Saya sudah mendengar kabar bahagia tentang hubungan Mas Arya dan Rumini. Bagaimana kabar keduanya?”

“Alhamdulillah, Pak Lurah. Kami baik-baik saja,” jawab Arya sambil tersenyum.

Pak Lurah menatap Arya dengan tatapan yang penuh penilaian. “Saya tahu bahwa Mas Arya adalah seorang pemuda yang baik dan berpendidikan tinggi. Keluarga Mas Arya juga terhormat. Saya merasa senang dan tenang karena Rumini akan bersama dengan seorang laki-laki yang baik seperti Mas Arya.”

Arya merasa lega mendengar ucapan Pak Lurah. “Terima kasih, Pak Lurah. Saya berjanji akan menjaga dan membahagiakan Rumini.”

“Saya yakin Mas Arya akan menjaganya dengan baik. Saya merestui hubungan Mas Arya dan Rumini. Semoga kalian bisa membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia,” kata Pak Lurah sambil menyerahkan tangannya kepada Arya.

Arya menjabat tangan Pak Lurah dengan penuh hormat. “Terima kasih, Pak Lurah. Doakan kami ya, Pak.”

“Tentu saja, Mas. Saya doakan agar hubungan kalian berjalan lancar dan berujung bahagia,” jawab Pak Lurah sambil tersenyum.

Arya pun berpamitan dan meninggalkan kantor Pak Lurah dengan hati yang penuh sukacita. Dia merasa bahagia karena mendapat restu dari Pak Lurah. Sekarang, dia bisa melanjutkan rencana pernikahannya dengan Rumini dengan hati yang tenang.

Arya bertekad untuk membuat Rumini bahagia. Dia akan menjalani hidup bersama Rumini dengan penuh cinta dan kebahagiaan.

Kebahagiaan Arya dan Rumini merupakan bukti bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya. Mereka menjalin cinta bersama dengan penuh kebahagiaan dan harmonis.

Cinta Arya dan Rumini bisa memberikan inspirasi bagi kita semua. Cinta sejati adalah anugerah yang indah, yang patut kita syukuri dan jaga dengan baik.

Kisah cinta Arya dan Rumini mengajarkan kita tentang kekuatan cinta yang bisa menyatukan dua hati yang berbeda. Cinta mereka bertahan melewati jarak dan waktu, membuktikan bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.

*****



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)