Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,444
Karena Cinta
Romantis

Jantung Bim berdebar kencang. Ia menatap Ani yang sedang asyik mencorat-coret buku tulisnya. Senyum tipis Ani saat melihat Bim menghampiri membuat perut Bim berasa digelitik.

 

"Nanti sore ada ulangan sejarah kan?" tanya Bim, berusaha bersikap biasa.

 

Ani mengangguk, matanya masih tertuju pada bukunya. "Iya, aku mau belajar dulu."

 

"Bareng aja? Aku bisa bantu ngerjain soal-soal," tawar Bim.

 

Senyum Ani mengembang. "Boleh, tapi aku mau makan dulu. Kamu tunggu di kantin ya?"

 

Bim mengangguk, matanya tak lepas dari Ani. "Iya, aku tunggu."

 

Di kantin, Bim duduk termenung. Sekilas, ia melihat Rendi, teman sekelasnya, berbisik ke telinga Sarah, teman sebangku Ani. Rendi seringkali menggoda Ani, meski tak pernah dibalas. Bim terkejut mendengar Rendi mengatakan "Pacaran kok pelit ngakuin."

 

Bim menunduk, perasaannya mendadak berat. Sejak kapan Rendi tahu tentang hubungannya dengan Ani? Benarkah ia terlalu lamban menyatakan perasaannya?

 

"Kamu kok cemberut terus?"

 

Suara Ani mengejutkan Bim. Ani duduk di hadapannya, menyodorkan sebuah botol minuman. "Nih, minum dulu. Kamu dari tadi diam aja, kok nggak nyambung ngobrolnya."

 

Bim terkejut lagi. Ani perhatian sekali. "Aku cuma mikirin ulangan sejarah aja, nanti soalnya susah gimana?"

 

Ani tersenyum, mata birunya berbinar. "Tenang aja, nanti aku bantu ngerjain. Kamu fokus aja ke pelajaran lainnya."

 

Jantung Bim berdebar lagi, kali ini lebih kencang. Ia ingin sekali mengatakan perasaannya, tapi lidahnya serasa keluh. "Ani," panggilnya. "Ada yang mau aku tanyain."

 

"Apa?"

 

Bim menarik napas dalam-dalam. "Kamu pernah mikir apa yang bakal terjadi kalau kita..."

 

Kata-kata itu terhenti di tengah jalan. Bim tak bisa melanjutkan. Ia takut mengucapkan kata itu.

 

Ani menunggu, tatapannya penuh kebingungan.

 

"Kamu pernah mikir kita bisa bersama?" tanya Bim terbata-bata.

 

Ani tersenyum. "Aku nggak mikir sampai segitu, Bim. Kita kan udah sering bareng, ngapain mikirin itu semua?"

 

"Tapi..."

 

"Tapi apa?"

 

Bim menunduk. "Aku cuma nggak mau nyesel nanti."

 

Ani terdiam. Tatapannya membuat Bim takut. "Nyesel kenapa?"

 

Bim mengangkat wajahnya. "Aku takut nanti kamu nggak mau lagi bersama aku."

 

Senyum Ani menghilang. "Kenapa ngomong gitu?"

 

Bim tertegun. "Aku nggak tau harus ngomong gimana, Ani. Aku..."

 

"Aku tahu kok kamu mau ngomong apa," kata Ani, suaranya nyaris terdengar sedih.

 

Bim terkejut. "Kamu tahu?"

 

Ani mengangguk. "Iya, aku tahu."

 

"Tapi kenapa kamu..."

 

"Aku cuma pengen denger kamu bilang itu langsung," jawab Ani.

 

Bim terpaku. Seolah ada sesuatu yang menyentuh hatinya dalam-dal


"Kamu tahu?" tanya Bim, suaranya bergetar. "Kamu tahu aku mau ngomong apa?"


Ani mengangguk pelan. "Aku tahu, Bim. Kamu mau bilang kamu suka sama aku, kan?"


Bim terdiam, jantungnya berdebar kencang. "Kamu… kamu tahu dari mana?"


"Aku tahu kok, Bim. Kita udah dekat banget. Dari caramu ngeliatin aku, cara kamu ngobrol, cara kamu ngeliatin aku waktu aku lagi ngobrol sama Rendi. Aku tahu kamu suka sama aku, Bim."


Mata Bim berkaca-kaca. "Aku nggak pernah ngomong itu langsung, Ani."


"Iya, aku tahu," jawab Ani, tangannya menjangkau tangan Bim dan mencengkeramnya erat. "Tapi aku nggak papa, Bim. Aku juga suka sama kamu."


Bim terkejut, matanya membesar. "Kamu serius?"


Ani mengangguk lagi, senyum manis tersungging di bibirnya. "Iya, aku serius. Aku juga suka sama kamu, Bim."


Bim terdiam lama, mencerna kata-kata Ani. Hati nya berbunga-bunga, seolah terbang ke langit. Akhirnya ia berani mengucapkan kata-kata yang sudah lama ia pendam.


"Ani," panggil Bim, suaranya gemetar. "Aku… aku…"


Ani menunggu, tatapannya penuh kehangatan.


"Aku… aku cinta sama kamu," ujar Bim akhirnya, kata-kata itu keluar dari mulutnya seperti udara yang terlepas dari paru-paru.


Ani tersenyum lebar. "Aku juga cinta sama kamu, Bim," jawab Ani, suaranya manis menyeruak ke hati Bim.


Mereka sama-sama terdiam sejenak, merasa bahagia tak terhingga. Hanya satu kata yang telah lama terpendam, akhirnya terucap juga. Satu kata yang telah menjembatani dua hati yang lama menunggu.


Sejak hari itu, Bim dan Ani makin dekat. Mereka selalu bersama, berpegangan tangan ke mana-mana. Kata "cinta" yang dulunya sulit diucapkan, kini menjadi kata yang sering mereka ucapkan.


Kisah cinta mereka menjadi perbincangan seisi sekolah. Semua orang tahu bahwa Bim dan Ani adalah pasangan yang saling mencintai. Mereka merasa bahagia dengan hubungan mereka, meski kadang terjadi perselisihan kecil. Tapi selalu ada kata "cinta" yang menjembatani setiap perselisihan mereka.


Cinta itu indah, terutama ketika itu adalah cinta yang sejati. Seperti Bim dan Ani, yang saling mencintai dengan tulus dan murni. Mereka bersama menjalani hidup, menjalani petualangan yang menakjubkan disebut cinta.


Rendi terpaku di tempatnya, tubuhnya kaku bagai patung. Mata nya mengikuti gerakan tangan Ani yang mencengkeram tangan Bim, jari-jari mereka terjalin erat. Rendi mendengar kata "cinta" yang terucap dari mulut Bim, diikuti dengan balasan yang sama manisnya dari Ani.


Pandangan Rendi menjadi buram, seolah diliputi kabut kekecewaan. Hati nya berasa diremas keras, diputar-putar hingga merasa pusing. Di matanya, Ani yang selalu ia impikan menjadi milik orang lain.


Sepulang sekolah, Rendi langsung menuju kamar. Ia menutup pintu dengan keras, suara dentuman itu menyeruak ke telinga ibunya yang sedang menata meja makan di ruang tamu. Rendi berjalan ke arah dinding kamarnya, di sana terpajang foto Ani yang ia dapatkan saat acara perpisahan kelas VI SD.


Rendi menatap foto itu dengan tatapan benci. Ingatan tentang percakapan dengan Bim di kantin terputar ulang dalam pikirannya. Rendi terkejut mendengar Bim mengatakan bahwa ia dan Ani sudah dekat, bahwa Ani sudah menganggap Bim lebih dari teman.


Rendi menarik napas dalam-dalam, kecewa dan sakit hati menguasai jiwanya. Ia merasa terkhianati oleh Ani, perasaan yang selama ini ia pendam ternyata sia-sia. Tanpa sadar, tangan Rendi menjangkau foto Ani, lalu dengan gerak cepat ia merobek-robek foto itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil.


"Rendi!" Teriak ibunya dari luar kamar. "Kamu ngapain di situ? Kok suara kamu berisik banget?"


Rendi tak menjawab, ia terus merobek-robek foto Ani hingga hancur lebur. Tangis pecah dari dalam hatinya, tangis yang tercampur dengan kekecewaan dan kemarahan.


Suara ibunya makin keras "Rendi! Buka pintunya! Kenapa kamu ngunci kamarnya? Kamu sakit ya?"


Rendi berhenti merobek foto Ani. Ia tersadar bahwa ibunya sedang khawatir. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya, lalu mendekati pintu dan membuka kunci.


Ibunya masuk ke kamar, tatapannya tertuju pada serpihan foto Ani yang berceceran di lantai. "Rendi, kamu ngapain ini? Kenapa kamu merobek foto itu?"


Rendi menunduk, ia tak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Hati nya masih terasa sakit, kekecewaan pada Ani masih menguras segenap tenaganya.


"Kamu kenapa sih? Kenapa kamu ngamuk-ngamuk gitu?" tanya ibunya lagi.


Rendi menatap ibunya dengan tatapan kosong. "Aku cuma... cuma sedih aja, Bu."


Ibunya mendekati Rendi, memeluk anaknya itu dengan erat. "Sshh… sudah ya, Nak. Jangan sedih lagi ibunya mengelus punggung Rendi lembut, mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang dilanda badai emosi. “Cerita sama Mama, kenapa kamu sedih? Mama pasti bisa bantu.”


Rendi terdiam, air mata kembali menggenang di matanya. Ia tak mampu menceritakan tentang rasa sakitnya melihat Ani dan Bim, tentang rasa cintanya yang terpendam, tentang harapannya yang hancur berkeping-keping. “Gak papa, Ma. Cuma mimpi buruk aja.”


Ibunya tersenyum, meski ia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Rendi. “Mimpi buruk? Mimpi buruk apa? Cerita sama Mama, Mama bisa bantu menafsirkannya.”


Rendi menggeleng, ia tak ingin menceritakan apa yang terjadi. "Enggak usah, Ma. Udah reda kok." Ia berusaha tersenyum, tapi senyumnya terlihat dipaksakan.


Ibunya menarik Rendi untuk duduk di tepi ranjang, “Mama tahu kamu lagi sedih. Kamu bisa cerita sama Mama, Mama selalu ada buat kamu."


Rendi terdiam, matanya menatap foto Ani yang sudah hancur itu. Ia teringat masa-masa ketika ia menaruh perasaan pada Ani. Sejak kelas tujuh, ia selalu memperhatikan Ani dari kejauhan. Ia menyukai cara Ani tertawa, cara Ani berbicara, dan cara Ani memandang dunia.


“Ani orangnya baik, Rendi.” Ibunya mengucapkan nama Ani dengan lembut. "Kamu harusnya ngomong sama dia. Jangan diam terus."


Rendi menggeleng. “Aku takut, Ma. Aku takut dia nggak mau sama aku. Aku takut dia bakal ngetawain aku.”


Ibunya memeluk Rendi erat. "Tidak ada yang harus ditakutkan, Nak. Cobalah utarakan perasaanmu. Kalaupun dia nggak mau, itu bukan akhir dari segalanya. Mama selalu ada untukmu.”


Rendi tersenyum sedih. Ia mengerti apa yang dikatakan ibunya. Tapi tak mudah baginya untuk mengatakan perasaannya pada Ani, terutama setelah melihat kemesraan Ani dengan Bim di kantin.


"Mama yakin kamu bisa melewatinya," kata ibunya, mencoba menghibur Rendi. "Kamu anak yang kuat, Nak. Kamu bisa mengatasi segala masalah.”


Rendi mengangguk lambat. Ia berusaha menenangkan hatinya. Ia tahu ibunya benar, ia harus kuat. Ia harus move on dari Ani. Ia harus mencari bahagia baru di tempat lain.


“Rendi, jangan bersedih terus,” kata ibunya. “Mama cinta kamu. Mama selalu ada buat kamu.”


Rendi menatap ibunya, matanya berbinar lembut. Ia merasa bahagia memiliki ibu yang selalu menyayanginya. Ia memeluk ibunya erat.


“Terima kasih, Ma. Aku cinta Mama.”


Ibunya mencium kening Rendi dengan lembut. "Mama juga cinta kamu, Nak.”


Rendi terdiam, ia menatap foto Ani yang sudah hancur itu. Ia bertekad untuk melupakan Ani. Ia akan mencoba mencari bahagia baru di tempat lain. Ia akan move on.







Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)