Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,888
Bunga Di Antara Kopi
Romantis


Langit Jakarta sore itu mulai redup, menebarkan cahaya jingga yang mengintip malu-malu dari balik gedung pencakar langit. Di lantai 20 sebuah gedung perkantoran megah di bilangan Sudirman, seorang wanita berdiri di balik kaca besar, memandangi jalanan yang mulai padat oleh kendaraan.


Astri, 34 tahun, CEO dari Marabella Indonesia perusahaan kosmetik lokal yang sedang naik daun mengenakan setelan jas putih elegan dengan sepatu hak tinggi warna nude. Wajahnya cantik dan tegas, dipoles dengan riasan natural, menyiratkan kekuatan sekaligus keanggunan.

“Selamat, Bu Astri,” ucap sekretarisnya, Rena, sambil menyerahkan laporan penjualan kuartal pertama tahun ini. “Angka penjualannya naik dua puluh persen dari target.”

Astri tersenyum tipis. “Bagus. Tim marketing berhak dapat bonus bulan ini.”

Rena mengangguk dan undur diri. Setelah pintu tertutup, Astri kembali memandangi Jakarta yang mulai temaram. Sukses, uang, kekuasaan semuanya sudah ia genggam. Tapi, kenapa rasanya seperti ada yang hilang?

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Dimas, mantan tunangannya.

'Astri, semoga kamu baik-baik saja. Aku mau bilang… aku akan menikah bulan depan.'

Astri menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan ponsel itu ke atas meja. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat mengedipkan air mata yang hampir jatuh.

“Kenapa ya, dalam hal bisnis aku selalu bisa mengatur strategi. Tapi kalau soal cinta…” gumamnya sambil tertawa getir. “Selalu gagal.”

Ia duduk di kursi kerjanya, membuka laptop dan menatap jadwal rapat esok hari. Tapi pikirannya sudah melayang jauh.

Pikirannya kembali ke masa lalu, saat ia dan Dimas masih bersama. Pria itu menemani perjuangannya dari awal membangun Merabella. Tapi saat Astri semakin sibuk dan perusahaan berkembang, waktu untuk mereka semakin berkurang. Dimas merasa tersisih, merasa bukan lagi prioritas.

"Aku cinta kamu, Astri. Tapi aku butuh pasangan, bukan bos," kata Dimas dalam pertengkaran terakhir mereka.

Saat itu Astri hanya diam. Terlalu keras kepala untuk mengalah. Dan kini, penyesalan jadi teman paling setia.

Lalu terdengar ketukan di pintu.

“Masuk,” sahutnya.

Seorang pria muda masuk membawa dua gelas kopi.

“Ini kopi pesanan Ibu. Satu cappuccino, dan satu black coffee.”

Astri mengernyit. “Saya cuma pesan satu.”

Kata kurir itu tersenyum ramah. “Yang satu lagi hadiah dari barista kami. Katanya, kopi hitam untuk wanita kuat.”

Astri mengangkat alis, lalu tersenyum kecil.

“Lucu juga. Terima kasih, ya.”

Setelah pria itu keluar, Astri mencicipi kopi hitam itu. Pahit, tapi hangat. Seperti dirinya.

Ia menatap kopi itu sejenak. Mungkin, ada cerita baru yang akan dimulai dari secangkir kopi. Mungkin, ada seseorang yang akan membuat hatinya berdebar lagi.Tapi ia belum tahu. Cerita itu belum dimulai.

Malam mulai turun saat Astri akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan, menuruni lift, dan menuju lobi utama. Di sana, ia kembali mencium aroma kopi yang samar namun menggoda.

Di sudut lobi, sebuah kafe kecil berdiri. Desainnya minimalis namun hangat, dengan lampu-lampu temaram dan etalase berisi aneka pastry. Di balik meja barista, pria yang tadi mengantarkan kopi berdiri sambil menuang espresso ke dalam cangkir.

Astri, entah kenapa, menghampiri.

“Masih buka?” tanyanya.

Pria itu menoleh, senyumnya ramah. “Untuk tamu spesial, selalu.”

Astri tertawa kecil. “Kopi tadi enak. Saya kira saya cuma suka cappuccino, ternyata kopi hitam juga bisa menenangkan.”

Pria itu menaruh cangkir, lalu membersihkan tangannya dengan lap kecil. “Kopi hitam seperti hidup. Pahit, tapi jujur. Kadang kita butuh sesuatu yang tidak manis untuk bisa menghargai rasa yang sesungguhnya.”

Astri menatap pria itu lebih jelas. Wajahnya bersih, dengan mata tajam yang menenangkan. Tidak terlalu muda, mungkin seumur dengannya, atau sedikit lebih muda. Tapi ada kedewasaan dalam sikapnya.

“Nama saya Bara,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan. “Barista di sini. Dan pemilik kafe ini juga, kalau boleh sombong sedikit.”

Astri menjabat tangannya, senyum simpul di bibirnya. “Astri.”

“Nama yang cantik. Dan kuat,” kata Bara.

Astri tersenyum, kali ini lebih tulus. “Kamu selalu memberi komentar yang membuat kopi terasa seperti filosofi hidup, ya?”

Bara terkekeh, “Karena kopi memang hidup, Bu Astri. Setiap cangkir punya cerita. Tinggal bagaimana kita menyeduhnya.”

Astri menunduk sejenak, seperti menimbang sesuatu. “Kamu selalu di sini tiap malam?”

“Biasanya, iya. Tapi gak selalu di balik bar. Malam ini saya turun tangan karena barista saya cuti.”

Astri memandang sekeliling. Kafe itu memang tidak ramai, hanya dua meja yang terisi. Tapi ada ketenangan yang tidak ia temukan di ruang rapat atau pesta gala.

“Kalau begitu,” kata Astri, “boleh saya duduk dan menikmati kopi hitam lain malam ini?”

Bara mengangguk. “Tentu. Tapi kali ini, biar saya buatkan langsung. Spesial.”

Astri pun duduk di sudut kafe. Di hadapannya, secangkir kopi baru disajikan dengan penuh perhatian.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dan luka lama yang belum sembuh, mungkin inilah awal dari sesuatu. Sesuatu yang belum bernama, tapi sudah mulai terasa.

Hujan mulai turun perlahan, membasahi kaca jendela kafe. Suara rintiknya menciptakan irama yang tenang, menyatu dengan alunan jazz lembut dari speaker kecil di sudut ruangan. Astri mengaduk pelan kopinya, sementara Bara duduk di depannya, membawa dua potong croissant hangat.

“Camilan sederhana, tapi cocok untuk menemani kopi hitam,” kata Bara sambil tersenyum.

Astri mengangguk kecil, mengambil sepotong dan mencicipinya. “Kamu benar. Ini enak.”

Mereka terdiam sejenak. Suasana hangat mengisi celah-celah kesunyian. Hingga akhirnya Astri memecah keheningan.

“Kamu pernah gagal dalam cinta, Bara?” tanyanya, suaranya rendah, nyaris tak terdengar.

Bara mengangkat wajah, menatap mata Astri yang mulai redup. “Pernah. Dan cukup parah.”

Astri tersenyum pahit. “Aku juga.”

Bara mencondongkan tubuhnya sedikit, “Mau cerita...?”

Astri menarik napas dalam. “Namanya Dimas. Kami bertunangan. Dia bersamaku dari awal aku membangun Merabella. Tapi seiring waktu, aku semakin sibuk. Aku pikir… cinta bisa menunggu. Tapi ternyata, dia butuh perhatian yang tak bisa aku berikan.”

“Akhirnya dia pergi?” Bara menebak pelan.

“Lebih dari itu. Hari ini dia mengabariku, dia akan menikah,” jawab Astri sambil tertawa kecil yang getir. “Lucu, ya? Aku yang ditinggalkan, tapi aku yang merasa bersalah.”

Bara menatapnya tanpa menghakimi. “Kadang orang yang paling kuat justru yang paling terluka.”

Astri menatap Bara. “Kalau kamu? Apa ceritanya?”

Bara mengalihkan pandangannya sejenak, lalu menjawab pelan, “Namanya Siska. Kami buka kafe ini bersama. Dia yang punya ide desain, nama, bahkan menu awal. Tapi saat bisnis ini mulai berjalan… dia berubah.”

“Kenapa?” tanya Astri dengan lembut.

“Dia merasa aku terlalu terikat pada mimpi kecil. Katanya, aku harus berpikir besar. Franchise, investor, ekspansi. Tapi aku hanya ingin sederhana… kafe kecil, kopi yang jujur, pelanggan yang kembali bukan karena promosi, tapi karena rasa.”

“Dia pergi?” Tanya Astri.

Bara mengangguk. “Ya. Ke luar negeri, ikut program bisnis. Kami putus. Tapi kafe ini tetap ada. Sebagai pengingat bahwa tidak semua yang kita mulai bersama akan berakhir bersama.”

Astri menunduk, merasakan getir yang sama di dada.

“Mungkin… kita sama,” kata Astri pelan. “Sama-sama ditinggal bukan karena kita salah, tapi karena kita beda jalan.”

Bara tersenyum tipis. “Tapi siapa tahu… dua jalan yang berbeda bisa bertemu di persimpangan lain.”

Mata mereka bertemu. Diam-diam, luka di hati mereka saling menyapa, mencoba memahami. Dan di tengah aroma kopi, percikan rasa mulai tumbuh perlahan.

Sudah hampir dua minggu sejak pertama kali Astri duduk di sudut Kafe Amora bersama secangkir kopi hitam dan percakapan ringan bersama Bara. Sejak hari itu, hampir setiap sore ia kembali ke sana, kadang hanya sebentar, kadang hingga malam menjelang.

Kafe itu menjadi tempatnya bernafas, melarikan diri sejenak dari dunia bisnis yang keras dan penuh target.

Suatu sore, Astri kembali datang, mengenakan blouse krem dan celana bahan warna hitam. Rambutnya digerai sederhana. Ia duduk di meja favoritnya di dekat jendela, lalu seperti biasa, Bara menyambutnya dengan senyum hangat.

“Cappuccino, seperti biasa?” Tanya Bara.

Astri tersenyum, “Hari ini mau yang beda. Buatkan kopi hitammu yang spesial, seperti pertama kali aku ke sini.”

Bara mengangguk, “ Oke, dengan satu potong croissant?”

“Sekarang dua. Aku lapar,” jawab Astri sambil tertawa kecil.

Beberapa menit kemudian, Bara datang dengan nampan berisi kopi hitam dan dua croissant hangat.

“Silakan, kopi hitam dengan hati yang tidak terlalu pahit,” ujarnya sambil duduk di seberang Astri.

Astri mengangkat alis. “Maksudmu?”

Bara menatapnya lembut. “Kamu makin sering ke sini. Mungkin hati kamu udah mulai membaik.”

Astri terdiam sejenak, lalu menatap kopi di depannya. “Mungkin. Atau mungkin karena aku ketemu seseorang yang bikin aku lupa sama luka itu… meski cuma sebentar.”

Bara tersenyum, tapi tak berkata apa-apa. Suasana kembali tenang, hanya suara hujan rintik di luar sana. Lalu Astri membuka suara lagi.

“Kamu tahu, Bara… aku sudah lama tidak merasa seperti ini. Tenang. Dulu hidupku cuma soal angka, target, meeting, dan deadline. Tapi saat aku duduk di sini, semuanya seperti… berhenti sebentar.”

Bara mengangguk pelan. “Itulah kenapa aku memilih dunia ini. Menyajikan kopi itu seperti menyajikan momen. Kita gak bisa terburu-buru.”

Astri menatap wajah Bara yang tampak tenang dan tulus. Ada sesuatu dalam dirinya yang menenangkan, berbeda dari semua pria yang pernah ia kenal.

“Aku suka kamu, Bara,” kata Astri tiba-tiba, lalu buru-buru menambahkan, “Maksudku… aku suka caramu membuat kopi. Caramu ngomong. Kamu beda.”

Bara terkekeh pelan. “Aku juga suka ngobrol sama kamu, Astri. Biasanya tamu cuma datang, pesan, lalu pergi. Tapi kamu… kamu membawa cerita.”

Astri tersipu. “Tapi kita masih teman, kan?”

Bara mengangguk. “Tentu. Dan teman yang baik selalu tahu caranya menghargai jarak.”

Hati Astri berdesir. Ada perasaan hangat yang tak bisa dijelaskan. Mungkin belum cinta, tapi juga bukan sekadar ketertarikan. Dia tahu, hatinya mulai bergerak pelan-pelan, tapi pasti.

Dan di Kafe Amora yang hangat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh, meski keduanya belum berani menyebutnya dengan nama.

***


Sabtu sore itu, Kafe Amora dipenuhi pengunjung. Hujan di luar membuat orang-orang mencari tempat hangat untuk berteduh, dan aroma kopi seduhan Bara seolah menjadi undangan yang tak bisa ditolak.

Astri datang seperti biasa, tapi baru saja ia membuka pintu, pandangannya langsung tertuju ke dalam. Meja penuh. Bara tampak sibuk di balik bar, para barista kewalahan mengurus pesanan. Salah satu pelayan terlihat panik karena printer dapur sempat ngadat, sementara pelanggan mulai gelisah.

Tanpa pikir panjang, Astri menyingsingkan lengan kemejanya, menggantung tas di kursi dekat pintu, lalu melangkah ke balik bar.

“Bara!” panggilnya.

Bara menoleh dengan kaget. “Astri? Kamu… tunggu ya, lho kenapa kamu di sini?”

Astri tersenyum sambil mengambil apron warna merah maroon yang tergantung di dinding. Ia mengenakannya dengan cepat.

“Tenang, aku pernah jadi pelayan café waktu kuliah dulu. Biar aku bantu antar pesanan.”

Bara tercengang, lalu tertawa lebar. “Wah… CEO Merabella sekarang jadi waiters dadakan? Dunia bisa runtuh ini.”

Astri mengangkat alis, mengambil nampan dan meletakkan dua cangkir kopi di atasnya dengan percaya diri.

“Kalau dunia runtuh gara-gara ini, berarti duniamu kurang fleksibel, Barista,” candanya.

Bara hanya bisa menggeleng pelan, masih tersenyum. “Oke, Nona Waiters. Tapi hati-hati ya, jangan sampai jatuh cinta sama suasana kerja di sini.”

Astri melirik sambil jalan ke meja pelanggan. “Mungkin bukan suasananya yang bikin jatuh cinta.”

Bara nyaris menjatuhkan gelas ketika mendengar kalimat itu, tapi buru-buru berusaha fokus.

Selama hampir satu jam berikutnya, Astri mondar-mandir membawa kopi, pastry, dan senyuman. Pelanggan tampak heran sekaligus kagum melihat perempuan cantik dan elegan melayani mereka dengan ramah. Beberapa bahkan mengira Astri memang karyawan tetap di situ.

Saat suasana mulai mereda, Astri kembali ke bar, meletakkan nampan dan mengelap dahinya.

“Fiuh, seru juga ya. Capek tapi menyenangkan,” katanya sambil membuka apron.

Bara mengambilkan segelas air putih dan menyerahkannya. “Kamu hebat banget tadi. Karyawan baru yang langsung lulus uji.”

Astri duduk di kursi bar, meneguk air putih itu sambil tersenyum puas. “Tahu gak, Bar… aku belum pernah merasa sebahagia ini hanya karena bawa nampan dan senyum ke orang-orang.”

Bara menatapnya, lalu berkata pelan, “Karena bahagia itu sederhana, Astri. Kadang kita cuma perlu merasa berguna. Tanpa tekanan. Tanpa ekspektasi.”

Astri memandang Bara. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Di balik kesederhanaan itu, Bara punya sesuatu yang istimewa. Dan saat ini, Astri sadar... ia mulai mencintai bukan hanya tempat ini, tapi juga seseorang yang ada di dalamnya.

***


Kafe Amora hari itu tidak terlalu ramai. Hujan baru saja berhenti, menyisakan udara sejuk yang membawa aroma tanah basah dan kopi yang menguar dari bar. Astri duduk di tempat favoritnya, mengenakan cardigan abu-abu, sambil menyeruput cappuccino buatan Bara. Mereka sedang ngobrol santai, tertawa kecil di sela-sela cerita ringan.

“Dulu aku pernah salah kirim presentasi ke klien penting,” kata Astri sambil tertawa malu. “Yang kukirim malah file daftar belanja mingguan asistenku. Bayangin betapa malunya aku.”

Bara tertawa. “Untung kamu CEO. Kalau staf biasa, udah disuruh bikin presentasi ulang sepuluh kali.”

Mereka tertawa bersama. Suasana terasa hangat, tenang dan begitu dekat. Namun, tawa itu perlahan sirna saat seorang wanita berambut panjang, mengenakan blazer biru tua dan celana putih elegan, masuk ke dalam kafe. Langkahnya ragu, tapi sorot matanya langsung tertuju pada Bara dan Astri yang duduk berhadapan.

Bara menoleh. Seketika wajahnya berubah. Tegang.

“Siska?” Gumam Bara pelan.

Astri menoleh ke arah wanita itu. Ekspresinya bingung.

Siska berjalan cepat menghampiri. “Bar… kita perlu bicara.”

Bara berdiri, bingung, sementara Astri ikut bangkit dengan sopan. “Hai… aku Astri.”

Siska menatap tajam. “Aku tahu siapa kamu. Kamu perempuan yang sering ke sini, kan?”

Astri mengangguk pelan. “Iya. Aku teman Bara.”

Siska menatap Bara dengan nada penuh tuduhan. “Kamu bilang sudah move on. Tapi sekarang kamu duduk tertawa-tawa sama cewek lain? Semudah itu?”

“Siska, tolong… jangan bikin keributan di sini,” kata Bara tenang tapi tegas.

“Kenapa? Takut ketahuan kamu sudah lupa sama aku?” Suara Siska mulai meninggi. Beberapa pelanggan mulai menoleh.

Astri melangkah mundur sedikit, memberi ruang. Dia merasa tidak enak, tapi matanya tetap menatap Bara, ingin tahu bagaimana reaksi pria itu.

Bara menarik napas panjang. “Kamu yang pergi, Siska. Bukan aku. Kamu yang menyerah karena orang tuamu gak mau punya menantu penjual kopi.”

Siska menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku gak pernah berhenti sayang sama kamu, Bar… Tapi aku juga gak bisa terus melawan mereka.”

“Dan aku gak bisa terus jadi bayangan masa lalu kamu,” kata Bara, suaranya tenang namun dingin. “Aku sudah berdamai. Sekarang aku punya hidup sendiri. Aku bahagia.”

Siska menatap Astri dengan mata penuh cemburu. “Kamu gantikan aku, ya?”

Astri menggeleng, menatap Siska dengan lembut. “Aku bukan siapa-siapanya Bara. Kami cuma teman… dan aku tidak berniat merebut apa pun dari siapa pun.”

Siska terdiam, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan aroma parfum mewah yang tertinggal di udara.

Bara duduk kembali, menunduk. Astri pun duduk perlahan di hadapannya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Astri pelan.

Bara mengangguk. “Aku gak nyangka dia masih nyimpan rasa.”

Astri tersenyum kecil. “Hati memang gak pernah bisa dipaksa.”

Bara menatapnya dalam. “Termasuk hatiku yang pelan-pelan mulai nyaman… saat kamu ada di sini.”

Astri menunduk, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Di balik konflik yang baru saja terjadi, mungkin mereka justru melangkah lebih dekat satu sama lain.

***


Astri datang ke Kafe Amora lebih awal dari biasanya. Hari itu, ia mengenakan blouse putih sederhana dan jeans biru muda. Rambutnya dikuncir setengah, wajahnya tampak segar. Ia membawa satu set dokumen kerja, berniat menyelesaikan proposal sambil menikmati kopi dan, tentu saja, kehadiran Bara.

Tapi baru saja ia masuk, suasana terasa berbeda. Kafe ramai. Tapi bukan hanya oleh pelanggan biasa.

Ada sekelompok mahasiswi mengenakan jaket almamater Universitas Indonesia tertawa riang di dekat bar. Mereka tampak mengenal Bara dengan akrab. Bahkan salah satu dari mereka, seorang gadis berkacamata dengan suara cempreng, memanggilnya dengan manja.

“Mas Baraaa, cappuccinoku jangan lupa yaa. Plus senyumnya!”

Astri duduk di sudut favoritnya. Pandangannya tak bisa lepas dari Bara yang tertawa dan bercanda dengan para gadis itu. Beberapa bahkan menyentuh lengannya dengan santai. Salah satunya sempat foto bareng, menyandarkan kepala ke pundak Bara sambil tertawa.

Astri mengepalkan tangan di bawah meja. Di balik ketenangan wajahnya, hatinya mulai diremas rasa yang tak jelas namanya, cemburu. Ia mencoba fokus ke laptopnya, tapi huruf-huruf di layar seolah menari-nari, tak bisa dibaca.

Ia menatap kembali ke arah bar. Bara tampak sibuk, lalu menoleh sekilas ke arahnya dan tersenyum—tapi kemudian buru-buru kembali ke para gadis karena pesanan terus berdatangan.

Tak satu pun dari mereka menyadari perubahan raut wajah Astri. Ia berdiri pelan, membereskan laptop, lalu menyampirkan tas ke bahu. Ia melangkah pelan ke pintu, tak ingin mengganggu. Tak ingin terlihat rapuh.

Satu langkah, dua langkah…

Bara yang sedang membuat kopi sempat menoleh lagi dan kali ini dia melihat Astri pergi. Wajahnya berubah.

“Astri…!” Panggilnya pelan, tapi suaranya tenggelam oleh suara mesin espresso dan tawa para gadis.

Dia ingin mengejar, tapi pesanan terus berdatangan. Antrian makin panjang. Ia terpaksa bertahan di balik bar.

Pintu kafe tertutup pelan di belakang Astri.

Di luar, hujan rintik mulai turun. Astri menatap langit sambil menarik napas panjang. Matanya sedikit basah, tapi bukan karena hujan.

"Kenapa aku cemburu?" bisiknya lirih. "Padahal kita cuma teman..."

Namun hatinya tak bisa bohong. Diam-diam, ia sudah menaruh hati. Dan mungkin, dia takut… Bara tidak merasakan hal yang sama.

Mobil Astri melaju pelan menembus rintik hujan sore itu. Wiper mengusap kaca depan, namun pikirannya tetap berkabut. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanan menopang dagu. Lagu mellow mengalun pelan dari radio mobil, seolah menjadi latar bagi hati yang sedang kacau.

Wajah Bara terus terbayang dalam benaknya. Senyumnya yang hangat, tawa renyahnya yang tulus, bahkan tatapan mata teduhnya saat mereka mengobrol tentang luka masa lalu.

Tapi kemudian bayangan wajah ayah dan ibunya menyelinap masuk. Tegas. Penuh harapan tinggi. Selalu menginginkan Astri berpasangan dengan pria "setara" dalam status dan kedudukan.

"Papa gak mau kamu nikah dengan pria yang gak punya masa depan."

"Dia cuma barista, Astri. Kamu CEO perusahaan besar, masa kamu mau hidup dengan orang seperti itu?"

Suara hati itu seperti gema yang mengguncang dadanya, meski belum pernah diucapkan secara langsung soal Bara. Tapi ia tahu... ia tahu seperti apa orang tuanya.

Astri menggigit bibir. Ia teringat cerita Bara tentang Siska, mantan kekasihnya yang menyerah karena tekanan orang tua. Karena status sosial.

"Orang tuaku gak mau punya menantu penjual kopi."

Dan sekarang, Astri takut hal itu terjadi padanya. Ia takut menjadi Siska kedua. Takut harus memilih antara orang tua… dan rasa yang perlahan tumbuh.

“Hidup ini nggak semudah senyumannya Bara,” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri.

Ia berhenti di lampu merah, memandangi hujan yang jatuh seperti tirai di kaca. Lalu menunduk, menyeka air mata yang tiba-tiba saja jatuh tanpa aba-aba.

“Aku bahkan belum tahu apa dia punya rasa yang sama... dan aku sudah takut sejauh ini,” desisnya getir.

Mobil kembali melaju, membawa Astri pulang. Tapi hati dan pikirannya tertinggal di Kafe Amora. Di balik senyum Bara, dan di antara tawa mahasiswi-mahasiswi itu. Ia tahu, perasaan ini nyata. Tapi juga rumit.

Dan seperti aroma kopi yang menguar dari secangkir espresso, rasa itu sulit ditebak. Pahit, manis, atau hanya sesaat menghangat lalu menghilang?

Sudah tiga kali Bara mencoba menghubungi Astri. Dan tiga kali pula panggilannya hanya berujung pada nada sambung yang tak pernah terjawab.

Ia duduk di pojok ruang kafenya yang mulai sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan hanya suara hujan yang masih setia menemaninya. Di tangannya, layar ponsel menunjukkan nama Astri yang tak kunjung memberi respon.

Bara menghela napas panjang, meletakkan ponsel di meja kayu yang mulai lembab oleh embun malam.

“Apa aku melakukan kesalahan?” gumamnya pelan.

Di benaknya, adegan Astri melangkah keluar kafe siang tadi terus terulang. Wajahnya sendu, seperti menyimpan luka yang tak terucap. Dan Bara merasa bersalah karena tak bisa menghentikannya. Karena terlalu sibuk melayani, hingga tak sempat menjelaskan apa pun.

Ia menunduk, lalu mengetik pesan singkat: 'Astri, kalau kamu marah… atau merasa nggak nyaman, aku minta maaf. Aku cuma pengin jelasin. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama mereka. Apalagi sama Siska. Aku cuma... pengin kamu tahu itu.'

Tapi setelah beberapa detik, ia tak jadi mengirimkannya. Jempolnya ragu menekan tombol kirim. Akhirnya ia hapus kembali pesan itu, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi.

***


Di tempat lain, Astri duduk sendiri di kamarnya. Ponsel tergeletak di samping bantal, berkedip beberapa kali menandakan ada panggilan tak terjawab.

Ia memeluk lutut di atas ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang basah oleh hujan. Batinya berkecamuk.

“Aku nggak boleh terlalu dekat… aku nggak boleh jatuh hati,” bisiknya, seperti mantra yang harus ia ulang-ulang.

Bara terlalu baik. Terlalu tulus. Dan itulah yang membuat Astri takut. Karena ketulusan itu bisa membawanya jatuh terlalu dalam. Dan jika akhirnya harus berpisah karena latar belakang mereka, dia takut tak bisa bangkit lagi.

“Maaf, Bara... aku hanya ingin menjauh sebelum semuanya jadi terlalu nyata.”

Ponsel kembali berkedip. Tapi Astri memejamkan mata, membiarkannya begitu saja.

Dan di antara bunyi hujan malam itu, dua hati yang saling terpaut…mulai terpisah oleh jarak yang diciptakan oleh rasa takut.

***

Pagi itu, ruang CEO PT. Marabella Cosmetic tampak tenang, seperti biasa. Dinding kaca tinggi memperlihatkan panorama kota Jakarta yang mulai ramai, sementara aroma kopi hitam menyebar dari mesin di pojok ruangan.

Astri duduk di balik meja besar berbahan kayu jati, mengenakan blazer abu dan blouse biru muda. Di depannya, bertumpuk dokumen perjanjian kerja sama dengan mitra luar negeri. Tangannya sibuk membolak-balik berkas, tapi pikirannya jauh.

Sesekali, ia menatap layar ponsel yang tergeletak di sisi laptop. Tak ada notifikasi dari Bara hari ini. Mungkin... pria itu sudah menyerah.

Pintu diketuk pelan, lalu masuklah seorang wanita muda dengan setelan rapi dan tablet di tangan. Namanya Rena, sekretaris pribadi Astri. Usianya tak jauh beda, dan sudah bekerja dengannya sejak awal perusahaan berkembang.

“Ini kontrak dari Jepang yang Ibu minta,” ucap Rena sambil meletakkan map biru di meja.

Astri mengangguk, namun tak segera membuka map tersebut. Pandangannya mengambang. Rena yang peka langsung menangkap perubahan itu.

“Maaf Bu..., boleh saya tanya sesuatu?” Rena duduk pelan di kursi tamu.

Astri tersenyum samar. “Silakan, Ren. Kamu selalu boleh tanya apa pun.”

“Boleh tahu… ada apa ya, Bu? Akhir-akhir ini Ibu kelihatan beda. Lebih pendiam… dan sering menatap kosong,” tanya Rena hati-hati.

Astri tertawa kecil, lalu menarik napas panjang. “Kamu tahu Kafe Amora yang sering aku datangi belakangan ini?”

Rena mengangguk. “Tahu, tempatnya hangat dan nyaman. Baristanya katanya ramah, ya?”

Astri tersenyum tipis. “Namanya Bara.”

Kini giliran Rena yang menaikkan alis. “Baristanya?”

“Ya... aku kenal dia dari sana. Awalnya cuma sekadar ngobrol, lalu lama-lama... ya, aku nyaman. Tapi sekarang aku menjauh.”

“Karena dia... barista?”

Astri mengangguk pelan. “Bukan karena itu. Tapi... karena aku takut, Ren. Aku takut perasaanku tumbuh. Dan lebih takut lagi, kalau aku harus memilih seperti Siska... mantan kekasih Bara yang gagal karena orang tuanya menolak menantu penjual kopi.”

Rena menatapnya lekat-lekat. “Maaf, Bu... tapi bukankah Ibu selalu percaya pada perjuangan dan nilai manusia, bukan status?”

Astri terdiam.

“Bara mungkin cuma barista,” lanjut Rena pelan, “tapi kalau dia bisa buat Ibu tersenyum, merasa dihargai... mungkin itu lebih dari cukup. Orang yang tulus sekarang langka, Bu.”

Astri menatap mata Rena, bibirnya bergetar. “Tapi bagaimana kalau Papa dan Mama nggak setuju?”

“Bukankah Ibu yang pegang mahkota sekarang? Ini kerajaan yang Ibu bangun dari nol. Masa Ibu nggak bisa memperjuangkan cinta sendiri?” ucap Rena, lembut tapi penuh makna.

Astri tercekat.

Dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari memendam, matanya berkaca-kaca.

Rena tersenyum. “Kalau saya jadi Ibu... saya bakal cari tahu dulu perasaan Bara. Siapa tahu... dia juga lagi nunggu Ibu.”

Astri menatap jendela tinggi di belakang Rena. Di luar, langit Jakarta cerah. Tapi di dalam dirinya, badai hati mulai perlahan reda.

Mungkin... sudah saatnya mengambil keputusan. Untuk hati. Untuk rasa yang tak bisa terus disangkal.

***


Malam merambat pelan di langit Jakarta. Dari balkon lantai atas , Astri duduk sendirian di dekat jendela besar yang menghadap langsung ke kerlip lampu kota. Gelas berisi teh hangat di tangannya sudah dingin, nyaris tak tersentuh.

Di luar, langit tampak jernih, bertabur bintang. Tapi dalam hatinya, semuanya tetap terasa kelabu.

Ia bersandar di kursi malas, mengenakan piyama satin berwarna biru tua. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya tanpa make-up, polos dan lelah. Sorot matanya menatap jauh, seakan berharap jawabannya ada di antara bintang-bintang yang bertaburan di atas sana.

"Bara..."

Nama itu tak pernah jauh dari benaknya sejak hari ia menjauh. Padahal, hubungan mereka sebenarnya belum sampai pada tahap cinta yang diucapkan. Belum ada genggaman tangan, belum ada kata sayang. Tapi hati Astri sudah lebih dulu mengenal hangatnya kehadiran Bara.

Sosok barista sederhana dengan senyum yang menenangkan, yang pandai bercerita dan mendengar. Yang tidak pernah menilai, hanya menerima. Yang membuat Astri, si CEO sukses, merasa menjadi manusia biasa—yang punya hati, bukan hanya ambisi.

Namun semua itu seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi nyata. Karena di balik semua kenyamanan itu, ada realita yang tajam: perbedaan kelas sosial mereka seperti tembok tinggi yang tak mudah diruntuhkan.

"Bagaimana kalau Papa tahu? Bagaimana kalau Mama tahu aku jatuh cinta pada penjual kopi?"

Ia memejamkan mata, membayangkan wajah kedua orang tuanya. Ayahnya, seorang pengusaha properti yang keras dan perfeksionis. Ibunya, wanita elegan yang sangat menjaga citra dan lingkungan sosial.

Mereka ingin Astri menikah dengan pengusaha, atau paling tidak, seseorang dengan latar belakang keluarga terpandang.

“Bara... kita berasal dari langit yang berbeda,” bisiknya pelan, seakan bicara pada malam itu sendiri.

Air matanya tak jatuh. Tapi hatinya terasa seperti teriris perlahan. Ia tak tahu harus bertahan, atau melepaskan.

Yang ia tahu... dirinya rindu.Rindu suara tawa Bara. Rindu tatapan hangat yang selalu menenangkannya. Rindu cara pria itu menyebut namanya pelan, tanpa beban, tanpa harap, hanya tulus.

Astri menunduk, menggenggam tangannya sendiri.

“Kalau saja... dunia tidak sekejam ini pada cinta yang sederhana...”

Dan malam itu pun berlalu, meninggalkan seorang perempuan yang tengah duduk termangu, bertanya-tanya… apakah hati dan takdir akan bertemu di titik yang sama?

***


Ruang makan keluarga besar itu dihiasi mewah dengan lampu gantung kristal dan taplak meja panjang berwarna putih gading. Di ujung meja, duduk sepasang suami istri paruh baya, orang tua Astri: Tuan Pratama dan nyonya Raras. Keduanya tampak anggun dan berwibawa, mengenakan busana formal khas acara keluarga elite.

Di sisi kiri mereka, duduk seorang pria berwajah tampan dengan jas hitam dan senyum sok ramah, Bastian.

Astri duduk di seberangnya, mengenakan gaun formal berwarna navy. Wajahnya tenang, tapi hatinya bergejolak.

"Jadi, Astri," ujar ibunya sambil tersenyum, "Papa dan Mama pikir... Bastian adalah pasangan yang cocok buat kamu. Dia anak dari keluarga pengusaha besar juga, dan sudah lama kenal Papa. Kamu ingat kan dulu kalian main bersama waktu kecil?"

Astri menoleh ke Bastian, lalu ke kedua orang tuanya.

Bastian menyela, "Aku senang sekali bisa ketemu lagi dengan kamu, Astri. Sejak dulu aku tahu kamu bakal jadi wanita luar biasa. Dan sekarang... kamu memang luar biasa."

Astri hanya tersenyum tipis. Dalam hati, ia muak.

Setelah makan malam usai dan tamu lainnya mulai bubar, Astri memutuskan bicara empat mata dengan kedua orang tuanya di ruang kerja ayahnya.

“Papa... Mama,” ucapnya pelan, “aku nggak bisa.”

Tuan Pratama menoleh. “Maksud kamu?”

“Aku nggak bisa dijodohkan dengan Bastian. Dia bukan orang baik.”


Nyonya Raras mengernyit. “Apa maksudmu? Keluarganya terpandang. Dia sopan, mapan, dan...”


“Di luar kelihatannya begitu, tapi… banyak perempuan jadi korban dia. Ada yang hamil, ada yang nyaris bunuh diri. Teman-temanku dari kampus dulu cerita semuanya.”

Tuan Pratama menatap tajam. “Kamu yakin?”

“Sangat yakin, Pa. Dan aku mohon... jangan paksa aku. Aku masih punya harga diri, dan aku nggak mau jadi wanita berikutnya yang disakiti.”

Sesaat, ruangan itu hening. Tuan Pratama menatap mata putrinya dalam-dalam, lalu berdiri.

“Raras,” ucapnya pada sang istri. “Hubungi keluarga Bastian. Suruh mereka jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Kita tidak menjual anak perempuan kita ke pria brengsek hanya karena nama besar.”

Astri terkejut.

Sementara ibunya, meski awalnya menolak, akhirnya mengangguk kecil. “Baiklah. Mama kecewa, tapi kalau itu benar, Mama akan percaya kamu.”

Astri menghela napas lega. Malam itu, dia tidur tanpa ragu. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena dia tahu: dia tak akan dijual demi ambisi keluarga.

Namun, di balik ketenangan itu, ada satu bayang yang tak bisa hilang.

"Bara."


Dan Astri mulai berpikir... apakah jalan itu akan membawanya kembali pada kopi, dan pria yang membuat hatinya bergetar?

***


Hari-hari Astri yang biasanya padat dengan rapat, konferensi, dan tanda tangan kontrak kini berubah menjadi sunyi. Ia hanya berdiam di kamar, terbaring lemah di ranjang putih besar dengan selimut tebal menyelimuti tubuhnya. Tatapannya kosong, menatap langit-langit kamar tanpa arah.

Nafasnya pelan, tapi berat. Tubuhnya lemas, meski tak ada demam tinggi. Rasa sakit itu tak tampak di luar, tapi begitu dalam menusuk hati.

Nyonya Raras masuk ke kamar, membawa segelas air hangat dan handuk kecil.

"Astri... kamu belum makan lagi hari ini," ucap sang ibu cemas.


Astri hanya menggeleng pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, "Aku nggak lapar, Ma..."


Tak lama, datanglah seorang pria paruh baya dengan jas putih. Dokter keluarga mereka dr. Indra yang segera memeriksa tekanan darah dan kondisi fisik Astri.

Setelah melakukan pemeriksaan singkat, dr. Indra berpaling pada kedua orang tua Astri yang menunggu di luar kamar.

"Saya tidak menemukan gejala fisik yang mengkhawatirkan, Pak Pratama, Bu Raras... tapi saya khawatir ini bukan penyakit fisik."

"Maksudnya apa, Dok?" Tanya Tuan Pratama.

Dokter Indra menarik napas pelan. "Ini lebih ke psikosomatis. Tekanan jiwa. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, tapi dia pendam terlalu lama. Hatinya berontak, tapi dia menahannya sendiri. Lama-lama tubuhnya ikut menyerah."

Nyonya Raras menutup mulut, khawatir. "Tapi... Astri anak yang kuat. Selalu tegas, selalu percaya diri..."

"Justru itu masalahnya, Bu. Orang yang terlalu kuat kadang tak tahu cara meminta tolong. Saya sarankan... jangan terlalu banyak tekanan dulu. Ajak dia bicara, perlahan. Dia butuh orang yang mau mendengar, bukan mengatur."

Malam itu, Tuan Pratama duduk di sisi ranjang putrinya. Melihat Astri tertidur dengan kening berkerut, tubuhnya lemah, tapi masih menyimpan begitu banyak beban.

"Apa yang sebenarnya kamu simpan, Nak..." gumamnya.

Sementara di balik tirai jendela, malam bergulir perlahan. Dan di dalam hati Astri, ada nama yang tak bisa ia hapus, walau telah ia coba sekuat tenaga: Bara.

Langit sore menguning, memantulkan cahaya hangat ke dalam kamar Astri yang masih sunyi. Di sudut ruangan, nyonya Raras duduk dengan tenang sambil menggenggam tangan putrinya. Wajah sang ibu tampak lembut, penuh kasih.

Astri menoleh pelan, suaranya lirih, “Ma…”

“Iya, Sayang?” sahut ibunya lembut.

Astri menarik napas panjang. Ada gumpalan yang sejak lama tertahan di tenggorokannya. Kini, perlahan ia ingin melepas semuanya.

“Aku jatuh cinta, Ma…” katanya akhirnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

Nyonya Raras tersenyum samar. “Mama bisa menebaknya.”

Astri tertawa hambar. “Tapi Ma... dia bukan seperti orang-orang yang biasa aku temui di acara bisnis... bukan pengusaha, bukan pejabat, bukan siapa-siapa...”

Nyonya Raras menatap mata anaknya. “Lalu, siapa dia?”

Astri menunduk, “Dia barista kopi. Namanya Bara. Kami bertemu di Kafe Amora. Dia... sederhana, hangat, dan jujur. Tapi aku takut, Ma. Aku takut Papa dan Mama kecewa. Takut kalian nggak akan setuju.”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Tuan Pratama masuk. Ia mendengar sebagian percakapan tadi.

Ia berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang, berseberangan dengan istrinya. Tatapannya dalam dan tenang.

“Papa juga pernah muda, Astri,” katanya pelan. “Dan Papa pernah jatuh cinta... bukan karena status, bukan karena jabatan. Tapi karena dia membuat Papa bahagia.” Ia menatap istrinya penuh cinta.

Astri mulai menangis pelan. “Tapi... dia mungkin merasa minder. Seperti yang dirasakan mantan pacarnya dulu, yang keluarganya menolak karena dia hanya tukang kopi.”

Tuan Pratama mengangguk pelan. “Kalau dia mencintaimu dan bisa menjaga kamu dengan baik, Papa dan Mama tidak akan menolak. Status bukan ukuran. Kebahagiaan kamu adalah yang utama.”

NyonyaRaras menggenggam tangan Astri erat. “Cinta sejati kadang ditemukan di tempat yang paling tak disangka. Dan kalau hatimu yakin, maka ikuti.”

Air mata Astri jatuh. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan lega. Beban yang ia simpan selama ini akhirnya runtuh. Ia dipeluk oleh ibunya dengan erat, dan diusap oleh tangan hangat sang ayah.

Malam itu, hati Astri terasa ringan untuk pertama kalinya. Dan untuk pertama kalinya juga... ia membiarkan dirinya berharap.

***


Kafe Amora sore itu seperti biasa dipenuhi aroma kopi dan suara mesin espresso. Bara sedang sibuk di balik meja bar, mengenakan apron cokelat dan senyum khasnya yang selalu menenangkan pelanggan.

Namun, langkahnya terhenti saat pintu kaca terbuka, dan dua sosok yang tak asing melangkah masuk. Tuan Pratama dan nyonya Raras.

Bara menegakkan tubuh, sedikit gugup. Ia mengenali mereka dari foto yang pernah ditunjukkan Astri.

“Selamat sore… silakan duduk,” ucap Bara sopan, menyembunyikan kegugupannya.

Tuan Pratama langsung tersenyum ramah. “Kami ke sini bukan untuk minum kopi, Bara. Kami ke sini... karena putri kami.”

Bara membeku.

Ny. Raras melanjutkan dengan suara lembut, “Astri sedang sakit. Dia terlalu lama memendam perasaannya sendiri. Dia tidak pernah berhenti memikirkanmu, Bara.”

Bara menunduk, hatinya seakan diremas. “Saya… juga memikirkannya. Tapi saya tahu diri, Bu, Pak. Dunia kami berbeda...”

“Dan kami tidak peduli soal dunia itu,” kata Tuan Pratama tegas namun hangat. “Kami hanya peduli apakah kamu bisa membuat Astri bahagia. Kalau jawabannya iya... maka ikutlah kami sekarang.”

Bara tak bisa berkata apa-apa. Matanya mulai berkaca. Ia melepas apron, membereskan meja dengan tangan gemetar, lalu menatap kedua orang tua Astri.

“Baik… saya ikut.”

Astri masih terbaring lemah di kamarnya. Ia menatap jendela seperti hari-hari sebelumnya, namun kini hatinya berbisik, apakah dia akan datang?

Tiba-tiba terdengar suara langkah di lantai kayu.

Astri menoleh perlahan, dan matanya membelalak. Di ambang pintu berdiri sosok yang selama ini mengisi hatinya, Bara.

“Bara…” bisiknya lirih.

Bara melangkah mendekat. Di belakangnya, kedua orang tua Astri tersenyum dan menutup pintu perlahan, memberi mereka ruang.

Bara duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Astri.

“Kenapa kamu nggak bilang kamu sakit?” suaranya lirih, bergetar menahan emosi.

Astri tersenyum kecil meski lemah. “Karena aku takut kamu menjauh... seperti aku berusaha menjauh dari rasa ini…”

“Aku nggak pernah bisa jauh dari kamu, Astri. Aku pikir, aku bisa melupakan kamu, tapi kenyataannya... setiap cangkir kopi yang kuseduh, selalu kuingat kamu.”

Air mata mengalir di pipi Astri. “Aku mencintaimu, Bara…”

Bara menunduk, menyentuh kening Astri dengan bibirnya penuh kelembutan. “Dan aku mencintaimu. Sejak pertama kamu datang ke kafe itu dengan tatapan lelah... tapi tetap peduli.”

Di luar kamar, hujan mulai turun perlahan, membasuh jendela dengan gemericik halus—seperti langit ikut menangis bahagia.

Di dalam kamar, dua hati yang sempat terpisah akhirnya menyatu, tak lagi peduli status, jabatan, atau kelas sosial. Yang mereka tahu hanyalah… cinta yang tumbuh perlahan, namun mengakar kuat.

Akhir dari kisah ini bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari cerita mereka berdua. Astri dan Bara. Cinta yang diseduh oleh waktu.

*****



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)