Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,049
Takdir Tuhan Yang Terindah
Romantis

Takdir Tuhan Yang Terindah 


Di kafe yang remang-remang, Rey menyesap kopinya.  Aroma pahitnya seakan mencerminkan pahitnya perasaannya.  Ia menghela napas panjang, menatap foto pernikahan orang tuanya yang terpajang di dinding.  Senyum bahagia terpancar dari foto itu,  sesuatu yang terasa sangat jauh darinya saat ini.


"Pernikahan tanpa cinta," gumamnya, suara serak.  Ia tak pernah membayangkan akan terjebak dalam situasi seperti ini.  Dijodohkan dengan seorang gadis yang bahkan belum pernah ia lihat, hanya tahu namanya Aisyah, seorang lulusan pondok pesantren yang selalu bercadar.  Bayangan Aisyah, sosok misterius yang terselubung cadar, terus menghantuinya.


Seorang pelayan kafe mendekat. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"


"Tidak, terima kasih," jawab Rey singkat.  Pikirannya melayang pada sikap keluarga Aisyah yang begitu ketat.  Tidak boleh bertemu, tidak boleh melihat wajahnya sebelum akad nikah.  Apa yang disembunyikan?  Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.  Apakah Aisyah juga merasa dipaksa? Atau ada rahasia lain yang lebih besar?


Keesokan harinya, Rey kembali ke kafe yang sama.  Ia memesan kopi hitam lagi, berharap kafein bisa sedikit meredakan kegundahannya.  Ia membuka ponselnya, melihat foto-foto pernikahan yang ia temukan di internet.  Pasangan-pasangan yang tersenyum bahagia,  menunjukkan cinta dan kasih sayang mereka.  Kontras sekali dengan situasi yang ia hadapi.


Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya.  Nomor tak dikenal.  Ia membuka pesan itu dengan hati-hati.


"Assalamu'alaikum, Mas Rey," tulis pesan itu.


Rey mengerutkan kening.  Siapa ini?  Ia membalas pesan tersebut.


"Wa'alaikumsalam.  Siapa ini?"


"Saya Aisyah," balas pesan itu singkat.


Jantung Rey berdebar kencang.  Aisyah?  Aisyah yang misterius itu menghubunginya?  Ia merasa tak percaya.


"Aisyah?  Aisyah yang akan menikah denganku?" balas Rey.


"Iya, Mas.  Saya ingin bicara dengan Mas Rey."


Rey merasa jantungnya berdebar semakin kencang.  Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari Aisyah ini.  Ia merasa ada kehangatan di balik kata-kata singkatnya.


"Bicara apa?  Di mana?" tanya Rey.


"Besok sore, di taman kota.  Jam 4.  Tolong datang, Mas."


Rey terdiam sejenak.  Ia ragu, tapi rasa penasarannya lebih besar.  Ia membayangkan sosok Aisyah yang selama ini tersembunyi di balik cadar.  Apakah ia cantik?  Apakah ia baik hati?  Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.


"Baiklah," balas Rey.  Ia menutup ponselnya,  merasakan campuran rasa gugup dan penasaran.  Besok sore, ia akan bertemu dengan Aisyah, gadis yang akan menjadi istrinya.  Pertemuan yang akan menentukan nasib pernikahan mereka, pernikahan tanpa cinta yang mungkin akan berubah menjadi pernikahan penuh cinta, atau tetap menjadi sebuah misteri yang tak terpecahkan.  Ia menyesap kopinya,  mencoba menenangkan diri.  Besok, semuanya akan terungkap.


Matahari sore menyinari Taman Kota,  menciptakan suasana yang tenang dan damai. Rey duduk di bangku taman,  menatap jalanan.  Ia datang lebih awal,  detak jantungnya berdebar-debar.  Ia tak sabar, sekaligus gugup.  Bayangan Aisyah,  bola mata indah yang dilihatnya kemarin lewat pesan singkat,  terus terbayang di benaknya.


Beberapa menit kemudian,  sebuah motor berhenti tak jauh darinya.  Seorang gadis mengenakan hijab dan cadar turun dari motor,  diikuti seorang perempuan muda yang tampak seperti sepupunya.  Itu Aisyah.  Meskipun terbalut cadar,  Rey langsung mengenali sosoknya.  Ada aura yang berbeda,  yang membuatnya langsung tahu.


Aisyah berjalan mendekat,  langkahnya tenang dan anggun.  Rey terpaku,  tak mampu berkata apa-apa.  Ia hanya bisa menatap bola mata Aisyah yang terlihat dari balik cadar,  bola mata yang begitu indah dan menyejukkan.  Ia merasa ada magnet yang menariknya pada Aisyah.


"Assalamu'alaikum, Mas Rey," sapa Aisyah lembut.  Suaranya merdu,  menambah pesona sosok misterius di hadapannya.


"Wa'alaikumsalam," jawab Rey,  suaranya sedikit serak.  Ia masih terpesona.


Aisyah duduk di bangku di samping Rey.  Sepupunya hanya berdiri di dekat mereka,  tampak menjaga jarak.


"Maaf, Mas Rey," kata Aisyah,  "Saya hanya ingin mengatakan ini."  Ia berhenti sejenak,  menarik napas dalam.  "Saya ikhlas menerima Mas Rey sebagai suami.  Saya percaya,  Allah telah menakdirkan kita bersama."


Rey tertegun.  Kata-kata Aisyah begitu tulus,  menghangatkan hatinya.  Ia ingin membalas,  mengungkapkan perasaannya,  tapi lidahnya terasa kelu.  Ia merasa seperti terhipnotis oleh Aisyah,  terpaku oleh keindahan bola mata dan ketulusan hatinya.


"Saya..." Rey mencoba bicara,  tapi hanya mampu mengeluarkan satu kata.  Ia merasa ada sesuatu yang aneh,  perasaannya campur aduk.  Ada rasa kagum,  rasa cinta,  dan rasa tak percaya.  Semua terjadi begitu cepat.


Aisyah tersenyum,  senyum yang tak terlihat,  tapi Rey merasakannya.  "Saya harus pulang, Mas," kata Aisyah.  "Semoga kita bisa saling mengenal lebih dekat setelah pernikahan."


Sebelum Rey sempat membalas,  Aisyah sudah berdiri dan berjalan menuju motornya.  Sepupunya mengikutinya.  Rey hanya bisa menatap kepergian Aisyah,  merasakan sebuah kekosongan yang mendalam.  Ia merasa seperti baru saja mengalami mimpi.


Rey terpaku di tempat duduknya,  merasakan jantungnya berdebar kencang.  Ia merasa seperti kena sihir cinta.  Aisyah,  gadis misterius yang terselubung cadar,  telah mencuri hatinya.  Bola mata indahnya,  suaranya yang merdu,  dan ketulusannya telah membuat Rey jatuh cinta.  Ia tak mampu berkata-kata,  tak mampu berbuat apa-apa.  Ia hanya bisa terpaku,  menatap jalanan yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Aisyah.


Pikirannya melayang pada akad nikah yang akan segera dilangsungkan.  Ia tak sabar untuk bertemu Aisyah lagi,  untuk melihat wajahnya yang masih menjadi misteri.  Ia ingin tahu,  apakah wajah Aisyah secantik bola matanya.  Ia ingin tahu,  apakah Aisyah merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan.  Ia ingin tahu,  apakah pernikahan mereka akan menjadi pernikahan tanpa cinta,  atau akan menjadi pernikahan yang dipenuhi cinta dan kasih sayang.


Rey menghela napas panjang,  merasakan sebuah harapan baru yang tumbuh di hatinya.  Pernikahan tanpa cinta yang awalnya ia tolak,  kini terasa begitu dekat dan penuh arti.  Ia merasa tak sabar untuk memulai babak baru dalam hidupnya,  babak baru bersama Aisyah,  gadis misterius yang telah mencuri hatinya.  Ia tersenyum,  senyum yang penuh harap dan bahagia.


Ruangan kecil di rumah keluarga Aisyah terasa pengap,  dipenuhi aroma harum bunga melati dan sedikit tegang.  Hanya keluarga inti kedua mempelai yang hadir,  sesuai keinginan kedua keluarga.  Suasana khidmat menyelimuti acara akad nikah yang sederhana itu.  Rey duduk di hadapan penghulu,  wajahnya tegang.  Ia menatap tempat duduk Aisyah,  yang masih tertutupi cadar.  Detak jantungnya berdebar kencang.  Ini momen yang menentukan,  momen yang akan mengubah hidupnya selamanya.


Penghulu memulai prosesi akad nikah.  Suaranya lantang dan tegas,  menciptakan suasana yang semakin khidmat.  Rey memperhatikan setiap kata yang diucapkan penghulu,  mencoba menenangkan diri.  Ia menarik napas dalam,  mencoba meredakan kegugupannya.


"Mas Rey," kata penghulu,  "sebelum kita melanjutkan akad nikah,  apakah Anda sudah mantap untuk menikahi Aisyah binti Sulaiman?"


Rey mengangguk,  suaranya tercekat di tenggorokan.  "Insya Allah,  saya sudah mantap,  Pak Penghulu."


Penghulu tersenyum.  "Baiklah.  Sekarang,  sebutkan ijab kabul Anda dengan mas kawin sepuluh ribu rupiah tunai."


Rey meraih uang sepuluh ribu rupiah yang telah disiapkan.  Uang itu terasa begitu ringan di tangannya,  tapi beban di hatinya terasa begitu berat.  Ia menatap tempat duduk Aisyah lagi,  mencoba membayangkan wajahnya yang masih tersembunyi di balik cadar.  Ia ingin sekali melihat wajah Aisyah,  tapi ia juga menghormati keputusan Aisyah untuk hanya memperlihatkan wajahnya kepada suami.


Dengan suara bergetar,  Rey mengucapkan ijab kabul.  "Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah binti Sulaiman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."


Hening.  Semua orang menahan napas.  Hanya terdengar detak jam dinding yang berdetak pelan.  Rey merasa waktu berhenti.  Ia menunggu jawaban dari penghulu,  menunggu penegasan bahwa ia telah sah menjadi suami Aisyah.


"Sah!"  teriak penghulu lantang,  suaranya memecah keheningan.


Seketika itu juga,  suasana ruangan berubah.  Keluarga Aisyah bersorak gembira,  mengucapkan selamat kepada Rey dan Aisyah.  Rey merasa lega,  sebuah beban berat telah terangkat dari pundaknya.  Ia telah sah menjadi suami Aisyah.


Namun,  kegembiraan itu tak mampu menutupi rasa penasarannya.  Ia masih belum melihat wajah Aisyah.  Ia ingin sekali melihat wajah istrinya,  wajah yang selama ini menjadi misteri.


Setelah prosesi akad nikah selesai,  Aisyah diizinkan untuk melepas cadarnya di kamar. Aisyah hanya memperlihatkan wajahnya kepada Rey,  bukan kepada orang lain.  Rey merasa jantungnya berdebar kencang saat Aisyah melepas cadarnya.  Ia menatap wajah Aisyah dengan penuh kekaguman.  Wajah Aisyah begitu cantik,  melampaui bayangannya.  Kecantikan yang alami,  tanpa polesan make up.  Kecantikan yang memancarkan cahaya keimanan.


Rey merasa takjub.  Ia tak menyangka Aisyah secantik ini.  Ia merasa beruntung telah mendapatkan Aisyah sebagai istrinya.  Ia mencium kening Aisyah,  menyatakan rasa syukurnya kepada Allah SWT.  Pernikahan mereka,  pernikahan yang awalnya terasa seperti sebuah paksaan,  kini terasa begitu indah dan penuh makna.


Ia tahu,  perjalanan rumah tangga mereka masih panjang,  tapi ia yakin,  dengan cinta dan kasih sayang,  mereka akan mampu melewati semua rintangan.  Ia menggenggam tangan Aisyah,  merasakan kehangatan yang begitu menenangkan.  Ia siap untuk memulai kehidupan baru bersama Aisyah,  istrinya yang cantik dan solehah.


Masih dalam kamar pengantin,  suasana terasa hangat dan intim.  Cahaya lampu kamar menerangi wajah Aisyah yang cantik jelita.  Rey masih terpesona oleh kecantikan istrinya.  Ia duduk di tepi ranjang,  sambil menggenggam tangan Aisyah.


"Sayang," kata Rey lembut,  "aku masih belum percaya,  kita akhirnya menikah."


Aisyah tersenyum,  matanya berkaca-kaca.  "Aku juga,  Mas," jawabnya.  "Rasanya seperti mimpi."


"Tapi," lanjut Rey,  "aku penasaran.  Kenapa keluarga kita menjodohkan kita?  Kita bahkan tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun."


Aisyah menarik napas dalam,  lalu mulai bercerita.  "Sebenarnya," katanya,  "aku dan Mas Rey pernah bertemu sebelumnya.  Saat kita masih kecil,  waktu SD."


Rey mengerutkan kening.  "SD?  Aku tidak ingat."


"Iya," kata Aisyah,  "waktu itu aku masih kecil,  aku diganggu oleh beberapa anak laki-laki.  Mereka menggoda dan melecehkan aku.  Aku takut dan menangis."


Rey tertegun.  Ia mulai mengingat sesuatu.  "Aku ingat," katanya,  "ada seorang gadis kecil yang diganggu beberapa anak laki-laki.  Aku membelanya,  aku berantem dengan mereka."


Aisyah mengangguk,  matanya berkaca-kaca.  "Itu Mas Rey," katanya,  "Mas Rey yang membelaku.  Mas Rey yang menyelamatkanku."


Rey tercengang.  Ia tidak menyangka bahwa gadis kecil yang ia bela dulu adalah Aisyah,  istrinya sekarang.  Ia merasa takjub dan tersentuh.  Ia tidak pernah melupakan kejadian itu,  tapi ia tidak pernah menyangka bahwa gadis kecil itu adalah Aisyah.


"Setelah kejadian itu," lanjut Aisyah,  "aku langsung masuk pondok pesantren.  Aku tidak pernah bertemu Mas Rey lagi.  Aku tidak menyangka,  kita akan bertemu lagi,  dan menikah."


Rey menggenggam tangan Aisyah erat-erat.  "Ini takdir," katanya,  "takdir yang indah.  Aku bersyukur,  Allah mempertemukan kita lagi."


Aisyah tersenyum,  meneteskan air mata bahagia.  "Aku juga,  Mas," katanya.  "Aku bersyukur,  Allah telah menakdirkan kita bersama."


Rey mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah,  lalu mencium keningnya lembut.  "Aku mencintaimu,  Sayang," bisiknya.


"Aku juga mencintaimu,  Mas," jawab Aisyah,  suaranya bergetar.


Mereka berdua saling berpelukan,  merasakan kehangatan cinta yang begitu dalam.  Pernikahan mereka,  pernikahan yang awalnya terasa seperti sebuah paksaan,  kini terasa begitu indah dan penuh makna.  Mereka telah menemukan cinta sejati,  cinta yang telah tertanam sejak masa kecil.  Cinta yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT.



Mereka berdua tahu,  perjalanan rumah tangga mereka masih panjang,  tapi mereka yakin,  dengan cinta dan kasih sayang,  mereka akan mampu melewati semua rintangan.  Mereka akan selalu bersama,  sampai akhir hayat.  Kisah mereka,  kisah pernikahan tanpa pacaran,  kini telah menjadi kisah cinta yang romantis dan penuh keajaiban.  Kisah cinta yang dimulai dari sebuah pertengkaran kecil di masa SD,  dan berakhir dengan sebuah pernikahan yang penuh cinta dan kebahagiaan.  Kisah cinta yang membuktikan bahwa takdir Allah SWT selalu indah.

*****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)