Masukan nama pengguna
Cinta Bukan Dosa
Di tengah keramaian Surabaya yang tak pernah tidur, Dini melangkah anggun di atas panggung catwalk. Lampu sorot berpendar di sekitarnya, menciptakan aura magis yang membuatnya terlihat seperti bintang. Suara tepuk tangan menggemuruh, mengiringi setiap langkahnya. Di balik lensa kamera, Arya, fotografer pribadi Dini, memperhatikan dengan penuh kekaguman.
Dini menghampiri Arya setelah pertunjukan selesai dengan senyuman manis di wajahnya.
"Arya, kamu tidak memberi tahu aku betapa menawannya aku malam ini," ucap Dini sambil menyentuh bahunya dengan lembut.
Arya tersenyum canggung sambil menurunkan kameranya.
"Kau selalu menawan, Dini. Itu sudah pasti. Tapi malam ini, kau seperti bintang yang baru saja terbang dari langit."
Dini tertawa pelan, rambutnya bergoyang lembut. "Sekali lagi, terima kasih. Tanpa fotomu, aku tak akan terlihat seindah ini."
Arya terlihat melankolis sesaat, sebelum menjawab, "Aku hanya melakukan pekerjaan ku. Tapi... setiap kali aku melihatmu, hatiku selalu bergetar."
Dini menahan napasnya, sedikit terkejut. Dia tahu bahwa Arya memiliki perasaan padanya, tetapi ia selalu berusaha mengabaikan sinyal itu, takut mengubah dinamika di antara mereka.
"Arya," Dini memulai, "aku... kita kan teman? Dan hubungan kita baik-baik saja seperti ini, kan?"
Arya menundukkan kepala, menyembunyikan raut wajahnya yang mendadak suram. "Tentu, kita adalah teman. Tapi, terkadang aku berharap kita bisa lebih dari itu."
Dini merasa hatinya berdesir mendengar ucapannya. "Aku tidak tahu, Arya. Aku... aku sangat sibuk dengan karir ini. Tapi, kamu adalah orang yang sangat penting bagiku."
"Dan kau adalah segalanya bagiku," jawab Arya, mantap namun lembut. "Tapi aku tak ingin terjebak dalam zona pertemanan ini jika hatiku terus berdegup dengan cara yang berbeda."
Dini menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Mungkin kita bisa membicarakan ini lagi suatu hari nanti. Saat keadaan lebih tenang."
Arya mengangguk pelan, meskipun wajahnya tampak kecewa. "Baiklah. Tapi ingat, Din. Aku akan selalu ada di sini, apapun yang kamu pilih."
Melihat Arya menjauh, Dini merasakan ada kepedihan di hatinya. Dia tahu dia menyukai Arya, tetapi mengakui perasaannya berarti membuka pintu yang mungkin tak bisa ditutup lagi. Keduanya terjebak dalam permainan cinta yang rumit, tapi bagaimana mereka bisa melangkah maju jika satu sama lain saling takut untuk mengungkapkan cinta terpendam mereka?
Di sudut studio, Arya berdiri dengan kamera di tangannya, meski kelopak mata Dini sudah tak terlihat lagi, bayangannya tetap membekas. Semua potret yang diambilnya bagai potret cerita mereka yang masih terhenti di bagian yang salah.
Hari itu, mereka pulang dengan jantung berdetak lebih cepat, namun narasi cinta mereka masih terpendam, terjebak dalam tumpukan rasa yang belum terungkap.
***
Dini duduk dengan tegang di ruang tamu, wajahnya memancarkan ketidaknyamanan. Ayahnya, Pak Candra, berdiri di hadapannya, ekspresi marah jelas terlihat di wajahnya.
"Dini, aku tidak ingin kamu terjebak dalam hubungan bodoh ini," kata ayah tegas. "Arya bukanlah orang yang sepadan untukmu. Lihatlah status keluarganya, dia tidak punya masa depan yang jelas!"
"Kenapa, Ayah? Kenapa harus lihat dari status ekonomi?" Dini membantah, suaranya bergetar. "Arya mencintaiku dan aku mencintainya. Itu yang terpenting!"
"Yang terpenting adalah menjaga nama baik keluarga kita!" seru ayahnya, menggelengkan kepala. "Kau harus berpikir lebih matang. Hidup tidak hanya tentang cinta!"
Dini merasa air mata menggenang di matanya. "Ayah, kamu tidak mengerti! Arya kerja keras, dia punya impian. Kenapa aku tidak bisa berjuang bersamanya?"
"Karena ini bukan hanya tentang kalian berdua!" Ayah berteriak, suasana semakin memanas. "Aku tidak ingin melihatmu berakhir menderita karena pilihan pria yang salah!"
Dini menatap ayahnya dengan marah dan hancur. "Mungkin aku lebih baik menderita, karena mencintai Arya aku inginkan, daripada hidup dalam penyesalan karena mengikuti kehendak mu!"
Tanpa basa-basi Dini beranjak pergi, meninggalkan ayahnya yang terdiam dan terkejut, memikirkan perpecahan antara kewajiban dan cinta yang sedang bergejolak di dalam keluarganya.
Dini mengunci diri di kamar, napasnya berat. Momen-momen bahagia bersama Arya belakangan ini terasa jauh, seolah hilang ditelan kekhawatiran dan ketakutan. Dia tahu, sewaktu-waktu ayahnya bisa saja memanggilnya untuk membicarakan hubungan ini. Dan saat itu pun tiba.
“Dini! Kita perlu bicara!” suara ayahnya menggema dari ruang tamu. Dini menghela napas, berusaha menguatkan diri. Ia membuka pintu dan melangkah keluar, menemukan sang ayah duduk tegas di sofa, wajahnya serius dan penuh kekecewaan.
“Ayah tidak suka kamu pacaran dengan Arya,” katanya langsung, tak ada basa-basi. Dini merasa hatinya bergetar.
“Kenapa, Ayah? Dia orang yang baik. Kita saling mencintai,” jawab Dini berusaha meyakinkan ayahnya.
“Kau tahu, Dini? Dia bukan dari kalangan kita. Dia tidak punya apa-apa! Bagaimana kau bisa membuang masa depanmu untuk seorang laki-laki yang tidak bisa memberi apa-apa?” mata ayahnya menyala, suaranya meningkat.
“Dia mungkin tidak kaya, Ayah, tapi dia punya impian, usaha, dan dia mencintaiku! Itu yang terpenting!” Dini berusaha menyampaikan perasaannya, rasa frustasi mulai menyelimuti.
“Kamu tidak mengerti, Dini! Cinta tidak cukup untuk membangun kehidupan yang stabil. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Dia tidak akan bisa melindungi kamu!” Ayahnya berdiri, melangkah mendekat, menatap putrinya serius dengan alis berkerut.
“Aku tidak mempermasalahkan statusnya, Ayah! Cinta itu tidak mengenal batasan!” Dini tak mampu menahan emosi, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Kenapa Ayah tidak bisa menerima Arya? Dia berjuang keras untuk hidupnya sendiri.”
“Karena aku melihat orang seperti dia setiap hari, Dini. Mereka datang untuk merusak perempuan yang terbiasa dengan kenyamanan. Jangan sampai kau terjebak dalam ilusi!” Saat ini suaranya lebih lembut, tetapi tetap menekankan ketidaksetujuan yang kuat.
Dini merasa seluruh tubuhnya bergetar. “Jadi, Ayah mau aku menikah dengan seseorang yang kaya, tapi tidak mencintaiku? Begitu? Menikah hanya untuk status dan uang?” Pertanyaannya mengguncang keheningan. “Aku tidak mau hidup seperti itu!”
Ayahnya terlihat terdiam sejenak, tetapi kemarahan di wajahnya kembali muncul. “Ini bukan soal uang, Dini. Ini soal kehormatan keluarga kita.”
“Kehormatan? Atau hanya ego Ayah? Kenapa Ayah tidak bisa melihat bahwa kebahagiaan seseorang tidak selalu diukur dari uang?” Dini merasa marah dan sedih sekaligus, setiap ucapan dari ayahnya adalah seperti pisau.
Dini merasa terjebak antara cinta dan kewajiban. Ia ingin berlari ke pelukan Arya, tetapi ia tahu pertengkaran dengan ayahnya belum selesai.
“Aku tidak akan memutuskan hubunganku dengan Arya, Ayah. Kita akan mencari cara untuk menghadapi ini bersama.” Dini berbalik dan melangkah menuju pintu kamarnya, menutupnya rapat.
Kesunyian menghampiri, tapi hatinya tetap terbakar dengan keyakinan akan cinta mereka. Dalam kegelapan itu, dia tahu satu hal: cinta tidak hanya perlu diperjuangkan, ia juga perlu dibela. Dan Dini bersedia melakukan apapun untuk Arya.
***
Dini duduk di tepi ranjangnya, wajahnya tampak lesu. Ia memandang ibunya yang berdiri tegak di pintu kamar. Terlihat jelas rasa kecewa di wajahnya.
“Ibu, Arya bukan orang buruk. Dia baik, penuh impian, dan mencintai Dini dengan tulus!” Dini berusaha menahan air mata.
Ibu menyandarkan tubuhnya, “Dini, Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Arya itu… siapa dia? Hanya anak petani! Kamu tidak bisa menghabiskan hidupmu dengan orang seperti itu.”
“Ibu, bukan statusnya yang menentukan cinta! Apa Ibu mau Dini mencintai orang-orang kaya yang hanya berpura-pura?” Dini berdiri, kemarahan membara di dadanya.
“Cinta tidak cukup! Masa depanmu yang lebih penting! Ibu tidak mau melihatmu terpuruk!” IBu menjawab dengan tegas.
Dini berusaha menekan rasa sakit di hatinya, “Tapi Ibu, cinta itu yang memberi arti hidup. Apa Ibu akan memisahkan kami hanya karena status?”
Ayah Dini masuk, melihat ketegangan di antara mereka. “Dini, kami berdua sepakat. Ini bukan hanya tentangmu, tapi tentang keluarga kita.”
Dini merasa terpojok, “Jadi, kalian lebih memilih status daripada kebahagiaanku? Kalian tidak mengerti betapa saya mencintai Arya.”
“Cinta tidak cukup untuk hidup,” ibunya. “Ibu akan mengirim kamu ke perguruan tinggi di Bandung. Ini demi kebaikanmu.”
Dini tertegun. Dalam hatinya bergejolak kepedihan dan kemarahan. “Tapi cinta itu juga butuh perjuangan, Ibu! Kenapa Ibu tak bisa memberikan kesempatan pada Arya?”
“Ibu sudah bilang cukup!” Bentaknya lalu pergi meninggalkan Dini yang terisak sendirian. Dalam hati Dini bertekad, ia takkan menyerah pada cintanya, meski jalan di depannya semakin gelap.
Dini mengejar langkah orang tuanya, wajahnya penuh determinasi.
"Ibu, Ayah, Arya adalah orang yang baik. Statusnya tidak menentukan cinta kita!"
Ibu membalas dengan nada dingin, "Dini, kamu harus memikirkan masa depanmu. Dia tidak setara."
"Bahagia itu lebih penting daripada status! Kenapa Ibu dan Ayah tidak bisa mengerti?" Dini hampir menangis.
Ayahnya menyahut, "Cinta tidak cukup! Dia tidak bisa memberikan apa-apa untuk masa depanmu."
Suara orang tuanya tetap keras, menolak keputusan Dini.
***
Dini duduk di sudut kamarnya, wajahnya memucat saat mendengar suara langkah kaki orang tuanya mendekat. Dia tahu, setelah kejadian tadi malam, semuanya akan berubah. Ketika pintu terbuka, sosok ibunya memasuki ruangan dengan tatapan serius.
“Dini, apa keputusan kamu?" Tanya Ibunya tegas.
“Bu, saya hanya...” Dini mencoba menjelaskan.
“Diam! Kamu tahu betapa sakitnya hati kami mengetahui kamu berpacaran tanpa restu?” suara ibu menggema di dinding kamar.
Dini menunduk, tidak bisa mengelak. Hatinya berat, mengingat Arya. Selama ini, mereka berbagi mimpi, tawa, dan rahasia di balik dinding rumah ini.
Di sisi lain kota, Arya duduk termenung di atas motor tua miliknya. Pikirannya melayang pada kenangan bersama Dini. Dia merasa putus asa. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dini.
“Arya, maaf. Mama marah besar. Mereka mengurungku. Aku tidak tahu harus bagaimana,” tulis Dini.
Arya membalas dengan cepat, “Dini, kita tidak bisa biarkan ini terjadi. Kamu butuh kesempatan untuk masa depanmu.”
Seolah tahu apa yang sebenarnya terjadi, Arya memutuskan untuk kembali ke Jogja. Dia menyimpan rasa sakitnya dalam-dalam. Menjelang malam, Arya berdiri di depan rumah Dini. Hatinya bergetar ketika dia melihat lampu kamar Dini menyala.
Sementara itu, Dini mengambil kesempatan keluar. Dia membuka jendela kamar dan melihat wajah Arya yang penuh harapan itu.
“Arya! Kenapa kamu datang?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Aku tidak bisa tinggal di sini, Dini. Kita tidak akan bisa bersama jika orangtuamu terus begini. Kamu harus fokus pada pendidikanmu,” jawab Arya penuh rasa sakit.
“Tapi… aku tidak ingin kehilangan kamu,” Dini merayu, air mata mulai mengalir.
“Aku juga tidak ingin kehilanganmu, tapi ini demi kebaikanmu. Kamu harus mengejar impianmu tanpa terpengaruh oleh cinta ini,” Arya mengalihkan pandangan, mencoba menahan emosinya.
Dini meraih tangan Arya. “Tapi kami bisa berjuang bersama! Aku bisa melawan mereka!”
Arya menarik tangannya perlahan. “Tidak, Dini. Cintaku padamu terlalu besar untuk membiarkanmu tersakiti. Pergilah, jadi yang terbaik. Suatu hari nanti, mungkin takdir akan mempertemukan kita lagi.”
Dini merasakan hatinya hancur saat mendengar kata-kata Arya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan tangisnya. “Jika itu yang kamu inginkan… aku tidak akan melawan.”
Arya mengangguk. “Selalu ingat, aku mencintaimu. Ini bukan akhir, hanya awal dari perjalanan kita masing-masing.”
Dengan ucapan terakhir itu, Arya berbalik dan berjalan menjauh. Dini hanya bisa berdiri di jendela, menangis dalam kesunyian malam. Hari-hari yang penuh cinta kini berubah menjadi kenangan pahit, tetapi dia tahu, keputusan Arya adalah yang terbaik untuk masa depannya.
***
Dini duduk sendirian di pojok kantin kampus, menatap piring kosong di depannya. Suara riuh rendah teman-temannya seakan menjadi latar yang semakin menguatkan rasa sepinya. Sejak Arya memutuskan untuk pulang ke Jogja, hidupnya terasa hampa dan sunyi. Jarak yang memisahkan mereka bukan hanya fisik, tetapi juga hati yang perlahan-lahan terasa menjauh.
Dia teringat kepada tawa Arya yang selalu bisa membuat harinya cerah, dan bagaimana mereka biasa menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, waktu pemotretan, berbagi mimpi dan cinta. Kini, semua itu tinggal kenangan pahit yang menghantui setiap harinya.
Dengan air mata yang mengambang di pelupuk mata, Dini memilih untuk menceritakan rasa sakitnya kepada sahabat-sahabatnya. Dia mengisahkan betapa hancurnya hatinya dan betapa rindu ini selalu menghimpit dadanya. Teman-temannya mendengarkan dengan empati, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan Arya di hati Dini.
Ketika senja tiba dan kantin mulai sepi, Dini menyadari bahwa meski dia dikelilingi oleh teman-temannya, dia masih merasa sendiri. Setiap detik berlalu, setiap kenangan bersamanya, semakin menguatkan rasa lara yang harus dia tanggung. Dini hanya bisa berharap agar suatu saat nanti, jarak ini tidak lagi menjadi penghalang bagi cinta mereka.
***
Dini duduk termenung di sudut kafe, matanya memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Teman-teman dekatnya, Sari dan Rian, memperhatikannya dengan penuh rasa prihatin. Dini sebenarnya ingin bertemu Arya, lelaki yang membuatnya berdebar setiap kali mereka bertemu, namun hubungan mereka terhalang oleh perbedaan yang dianggap serius oleh keluarga.
"Kenapa kamu tidak bicara langsung dengan Arya saja?" Sari mencoba membuka percakapan.
“Aku sudah mencoba, Sari. Tapi orangtuaku tidak setuju. Mereka ingin aku fokus pada kuliah, bukan urusan cinta,” suara Dini terdengar putus asa.
Rian yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Dini, kita bisa membantu kamu. Kita bisa merencanakan pertemuan diam-diam, agar kamu bisa berbicara dengan Arya.”
Dini menatap Rian dengan rasa harap dan ragu. “Tapi bagaimana caranya? Jika ketahuan, pasti orangtuaku akan sangat marah.”
“Coba kita cari waktu yang tepat, mungkin saat akhir pekan. Kita buat rencana yang matang,” Sari menjawab dengan semangat.
"Aku sudah minta sama Arya datang ke Surabaya, di taman kota ini," ujar Rian.
Setelah beberapa menit berdiskusi, mereka akhirnya sepakat. Pada hari Sabtu, Dini akan bertemu Arya di taman kota. Sari dan Rian akan mengawasi dari jauh untuk memastikan semuanya aman. Dini mengangguk pelan, merasa bercampur antara takut dan bersemangat.
***
Hari yang ditunggu pun tiba. Dini sudah memilih baju favoritnya, berharap Arya akan terkesan. Dia berangkat lebih awal, berusaha menenangkan diri, sembari membawa secarik kertas yang berisi semua hal yang ingin ia sampaikan kepada Arya. Saat sampai di taman, Dini melihat bangku kayu yang sering mereka duduki berdua.
“Di sini saja,” bisik suara Rian dari jauh, sambil memberi isyarat agar Dini cepat menuju tempat yang sudah disepakati.
Tak lama kemudian, Dini melihat sosok Arya berjalan mendekat, senyumnya langsung membuat jantungnya berdebar. Dia memperbaiki posisinya dan berusaha terlihat tenang.
“Dini!” Arya tampak terkejut sekaligus senang. “Kau ternyata datang juga.”
“Ya, aku datang,” Dini menjawab dengan suara pelan.
Mereka duduk bersebrangan, suasana terasa hangat namun tegang. Arya membuka pembicaraan, “Sebentar lagi akhir semester, aku jadi ingin tahu bagaimana kabarmu.”
“Aku baik, hanya merindu…” Dini berhenti, kemudian melanjutkan, “merindukan kita ini.”
“Dini, aku tidak ingin kita terpisah. Aku berjuang untuk bisa lebih dekat denganmu,” tutur Arya serius. “Tapi orang tuaku juga memperhatikan pergaulanku. Mereka ingin aku fokus pada karir.”
Dini melirik ke arah Rian dan Sari yang mengawasi dari jauh. “Kalau aku bilang aku bertekad untuk memperjuangkan kita, apa kamu mau berjuang bersamaku?”
“Dengan sepenuh hati,” jawab Arya mantap. “Tapi kita harus hati-hati, Din.”
Dini mengangguk. “Aku janji, kita tidak akan terburu-buru. Namun, aku ingin kita tetap berhubungan.”
“Setiap hari, Dini,” Arya membalas sambil menggenggam tangan Dini.
Keduanya tersenyum, merasakan udara sejuk sore itu yang seolah merestui keputusan mereka. Dalam perjalanan pulang, Dini tak henti-hentinya tersenyum, merasakan beban di hatinya berkurang drastis.
***
Setelah pertemuan itu, Dini merasa ada harapan baru. Dia tahu bahwa walaupun ada rintangan di depan, dia dan Arya memiliki tekad yang sama untuk berjuang demi cinta mereka. Rian dan Sari menjadi pendukung setia, siap membantu kapan saja Dini membutuhkan mereka. Kini, semangat baru mengisi langkah Dini dalam mengejar cita dan cinta.
Setelah kejadian yang membuat Dini harus berlama-lama di dalam rumah, suasana di rumahnya menjadi semakin tegang. Dini duduk di sudut kamarnya, merasa kesal dan bingung. Keterasingan itu semakin terasa ketika dia mendengar suara ayahnya, berbicara dengan nada marah di ruang tengah.
"Apa kamu tahu betapa malu aku, Dini?!" teriak ayah. "Kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri! Sudah aku bilang, jangan sekali-kali bertemu dengan dia!"
Dini membuka pintu kamarnya sedikit, mencoba mendengar lebih baik. "Tapi, ayah! Dia baik dan…"
"Dia baik?!" potong ayah. "Dia adalah anak kampung! Dia bukan orang yang bisa kamu percayai! Aku sudah tidak mau mendengarkan alasanmu!"
Dini keluar dari kamarnya dengan berani. "Tapi, yah! Aku jatuh cinta padanya! Tidak ada yang salah dengan itu!"
Ayah terdiam sejenak, terkejut dengan ketegasan Dini. "Cinta? Cinta itu tidak hanya soal perasaan! Cinta juga harus disertai dengan pemikiran yang matang! Kamu masih muda, Dini! Kamu tidak tahu apa-apa tentang cinta!"
"Tapi, aku tahu rasanya!" sahut Dini, emosinya mulai tersirat dari suaranya yang bergetar. "Arya selalu membuatku bahagia. Aku tidak mau kehilangan dia hanya karena kalian tidak setuju!"
"Kadang aku bertanya-tanya, dari mana kamu mendapatkan pikiran semacam ini. Apakah kamu sudah benar-benar berpikir tentang konsekuensi dari tindakanmu?" tanya ayah dengan nada mengesalkan.
Dini menggelengkan kepala, air mata mulai menetes dari pelupuk matanya. "Aku hanya butuh dukunganmu, yah. Jika kamu tidak bisa terima, itu tidak adil!"
"Lalu, kamu anggap aku ini orang tua yang tidak adil?" tanya ayah, suaranya tinggi. "Kalau kamu terus bersikap begini, kamu akan terus terkurung dalam rumah ini! Jangan harap aku akan membebaskan lagi!"
Dini merasa hatinya hancur. "Ini bukan tentang kebebasan, yah. Ini tentang perasaanku! Aku ingin kamu mengerti, tapi kamu malah memandangi segala sesuatu dengan kaku!"
Ayah menatap putrinya dengan serius. "Dini, kamu harus ingat, aku melindungi mu. Aku tidak ingin kamu terluka. Dan itu adalah tanggung jawabku sebagai seorang ayah."
Di antara pertengkaran yang keras itu, hening sejenak menyelimuti ruang tengah. Keduanya tersadar akan cinta yang saling mereka miliki meski dalam cara yang berbeda. Dini kemudian menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Aku hanya ingin kamu mempercayai pilihanku. Apakah itu tidak mungkin, ayah?"
Ayah terlihat lebih lembut, tetapi tetap tegas. "Mungkin kita bisa berdiskusi lebih baik tentang ini. Tapi kamu harus berjanji, tidak ada lagi kebohongan."
Dini mengangguk pelan, merasa sedikit lega. "Aku berjanji, yah."
Dirinya terpaksa mengalah agar tidak terkurung di rumah. Dia punya rencana untuk pergi ke Jogja menemui kekasih hatinya. Dini pergi diam-diam ke stasiun kereta api Gubeng Surabaya. Butuh waktu tiga jam sampai ke kota Jogja.
***
Dini melangkah pelan-pelan di trotoar jalanan Jogja, mengenang semua momen indah yang pernah dia habiskan di kota ini bersama Arya. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma yang familiar, aroma kopi dan makanan jalanan yang menggoda. Kali ini, ia tidak akan membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja.
Setelah beberapa jam menunggu di kafe, akhirnya Dini membaca pesan