Masukan nama pengguna
Mentari sore menyorot aspal jalanan Surabaya, memancarkan warna jingga kemerahan yang membuat suasana kota terasa syahdu. Fey, dengan rambut gondrongnya yang diikat asal, duduk di sebuah bangku di depan warkop Pak Slamet, menyesap kopi hitamnya. Dia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang, wajah-wajah yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, otak Fey tengah melayang jauh, memikirkan pulau Bawean yang baru saja didengarnya dari obrolan di warkop ini.
"Bawean itu angker, Mas," kata Pak Slamet, pemilik warkop yang terkenal ramah. "Orang-orang bilang, setelah magrib, rumah-rumah di sana tertutup rapat. Gak ada yang berani keluar."
Fey menyeringai, "Oh, ya? Kenapa begitu?"
Pak Slamet mengerutkan kening, "Kata orang, ada makhluk halus yang berkeliaran di malam hari. Makhluk itu suka mengganggu orang yang keluar malam."
"Wah, cerita seram, Pak. Ada yang pernah ketemu?" Fey penasaran.
"Dulu, ada seorang nelayan yang pernah ngelakuin kesalahan di laut. Dia dihukum oleh makhluk halus itu dan jadi hilang. Sampai sekarang, jenazahnya gak ketemu." Pak Slamet menceritakan dengan suara berbisik.
Fey mengerutkan kening, matanya berbinar. "Jadi, Bawean itu pulau mistis, Pak?"
"Ya, Mas. Banyak cerita mistis tentang pulau itu. Orang-orang lebih suka beraktivitas di siang hari saja." Pak Slamet menyeduh kopi dengan tangan gemetar, seakan takut membahas topik yang terlalu mistis.
Fey menarik napas panjang, "Saya penasaran, Pak. Saya ingin ke sana."
Pak Slamet tercengang. "Mas Fey, apa yang Mas Fey ingin cari di sana?"
"Saya ingin mencari inspirasi, Pak. Saya ingin menulis cerita tentang pulau Bawean. Saya ingin membuktikan sendiri cerita-cerita mistis yang beredar." Fey berkata dengan penuh semangat.
Pak Slamet menghela napas, "Mas Fey, hati-hati. Pulau Bawean itu berbahaya, Mas."
Fey tersenyum, "Terima kasih, Pak Slamet. Saya akan berhati-hati. Saya ingin membuktikan bahwa cerita-cerita mistis itu tidak selalu benar."
Fey meninggalkan warkop Pak Slamet dengan hati yang berdebar-debar. Dia tak sabar untuk segera menjelajahi pulau Bawean. Dia ingin merasakan sendiri suasana mistis yang menyelimuti pulau itu. Dia ingin menemukan kebenaran di balik cerita-cerita mistis yang beredar. Dia ingin membuktikan bahwa dia bukanlah seorang pengecut. Fey ingin membuktikan, bahwa dia adalah seorang penulis sejati yang berani menghadapi tantangan dan mengungkap rahasia.
***
Udara pagi Surabaya terasa sedikit dingin. Fey menggigil sedikit, mengencangkan jaketnya sambil menenteng tas ransel berisi perlengkapan menulis dan beberapa buku. Bus jurusan Gresik melaju pelan, meninggalkan hiruk pikuk kota Surabaya di belakang. Fey menikmati perjalanan, menikmati pemandangan persawahan hijau dan deretan pohon kelapa yang tertiup angin sepoi-sepoi.
Tiga jam kemudian, Fey tiba di Pelabuhan Gresik. Dia langsung menuju dermaga tempat kapal menuju Bawean sandar. "Bawean, Mas?" tanya seorang petugas pelabuhan sambil menunjuk ke arah sebuah kapal yang sudah penuh dengan penumpang.
"Iya, Pak," jawab Fey. Dia membayar tiket dan menaiki kapal.
"Wah, ada penulis yang mau ke Bawean!" seorang pria dengan topi caping dan baju koko berteriak dari belakang. Fey menoleh, matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang pria berbadan kekar.
"Iya, Pak. Saya mau cari inspirasi untuk novel saya."
"Eh, kalau cari inspirasi di Bawean, hati-hati Mas. Di sana banyak cerita seram," pria itu memperingatkan.
Fey tersenyum. "Ya, saya sudah dengar sedikit. Saya ingin membuktikan sendiri."
Pria itu mengangguk, "Hati-hati, Mas."
Fey berjalan menuju kantin kapal. Dia ingin makan siang dan sekalian mencari informasi lebih lanjut tentang Bawean. Di kantin, dia bertemu dengan beberapa orang yang berpakaian khas Madura. Mereka terlihat ramah dan senang diajak ngobrol.
"Mas, mau ke Bawean ya?" tanya seorang perempuan berjilbab.
"Iya, Bu. Saya ingin cari inspirasi untuk menulis cerita."
"Oh, kalau mau cari inspirasi, banyak tempat di Bawean yang menarik. Tapi ingat, Mas, Bawean itu punya cerita sendiri. Ada yang mengatakan, pulau ini dihuni oleh makhluk halus. Jangan lupa, di Bawean banyak pantangan yang harus dipatuhi. Kalau tidak, bisa kena musibah."
Fey terdiam, penasaran. Dia ingin mendengar lebih banyak cerita tentang Bawean. "Cerita apa, Bu?"
"Banyak, Mas. Misalnya, jangan sembarangan mengambil batu di tepi pantai. Konon, batu itu adalah tempat tinggal makhluk halus. Jangan sembarangan masuk ke hutan di malam hari. Hutan di sana dijaga oleh penunggu."
"Wow, cerita yang mengerikan, Bu." Fey mencatat semua cerita yang dia dengar.
"Ya, Mas. Bawean itu punya cerita sendiri. Tapi, saya yakin, Mas akan menemukan inspirasi yang bagus di sana."
Perjalanan tiga jam terasa singkat. Fey memperhatikan pulau Bawean yang perlahan muncul dari cakrawala. Pulau itu terlihat hijau dan asri. Namun, di balik keindahannya, tersembunyi cerita mistis yang membuat Fey semakin penasaran.
Kapal merapat dengan pelan, membelah air laut yang tenang. Fey melangkah turun, menghirup udara segar yang terasa berbeda dari kota Surabaya. Pulau Bawean menyambutnya dengan suasana yang tenang dan damai.
Dia menenteng tas ranselnya, berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju pemukiman penduduk. Rumah-rumah berdinding kayu dan atap seng terlihat sederhana namun terawat. Anak-anak bermain riang di tepi jalan, sementara orang dewasa sibuk dengan aktivitas mereka.
Fey bertanya kepada seorang anak kecil yang sedang bermain layang-layang, "Dek, rumah Pak Kepala Desa di mana?"
"Di sana, Mas," anak itu menunjuk ke arah sebuah rumah yang lebih besar dan rapi dari yang lain.
Fey berterima kasih dan berjalan menuju rumah tersebut. Dia mengetuk pintu dengan ragu.
"Ya, siapa ya?" suara seorang wanita terdengar dari dalam.
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. "Mas, mau ketemu Pak Kepala Desa?" tanyanya.
"Iya, Bu. Saya Fey, seorang penulis dari Surabaya. Saya ingin bertamu dan mencari inspirasi di sini."
"Oh, Mas Fey. Silakan masuk, Mas. Suami saya lagi di belakang."
Fey masuk ke dalam rumah. Rumah itu sederhana namun terkesan hangat dan nyaman. Aroma kayu dan rempah-rempah memenuhi ruangan.
Seorang pria berwajah ramah dengan kumis tipis menyambutnya. "Selamat datang, Mas Fey. Silakan duduk!"
"Terima kasih, Pak. Saya ingin mencari informasi tentang pulau Bawean. Saya ingin menulis cerita tentang tempat ini."
Pak Kepala Desa tersenyum, "Mas Fey ingin menulis tentang Bawean? Bagus sekali. Banyak cerita menarik di sini. Mas Fey tinggal di sini saja, selama di Bawean. Saya punya kamar kosong."
Fey terkejut, "Benarkah, Pak? Terima kasih banyak."
"Sama-sama, Mas. Saya senang ada penulis yang mau datang ke Bawean. Saya juga senang bisa bercerita tentang Bawean."
"Ini istri saya, ibunya Karmila. Dan ini anak perempuan kami, Karmila."
"Selamat datang, Mas Fey. Saya Karmila," ucap seorang gadis remaja dengan ramah.
Fey merasa nyaman berada di rumah Pak Kepala Desa. Keluarga ini sangat ramah dan bersahaja. Fey merasa bahagia bisa mendapatkan tempat tinggal dan juga teman baru di pulau Bawean.
Fey mulai menjelajahi pulau Bawean. Dia mendengarkan cerita-cerita rakyat, mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan cerita, dan juga mencoba merasakan suasana mistis di pulau itu. Dia mendapatkan banyak inspirasi untuk novelnya.
Sore itu, setelah menikmati hidangan sederhana berupa ikan bakar dan sayur bening, Fey duduk di beranda rumah Pak lurah, ditemani secangkir kopi hangat. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut dan bunga kamboja, membuat suasana terasa nyaman.
"Mas Fey, Bawean ini punya banyak misteri, lho," ujar pak Lurah, memecah keheningan. "Dulu, orang-orang bilang pulau ini dihuni oleh makhluk halus. Mereka menyebutnya 'Penunggu'."
"Penunggu?" Fey mengerutkan kening, penasaran.
"Ya, Penunggu. Mereka menjaga pulau ini. Kata orang-orang dulu, kalau ada orang yang melanggar aturan, mereka akan dihukum. Ada yang menghilang, ada yang sakit keras. Pokoknya, macam-macam."
Karmila, putri pak Lurah ikut nimbrung. "Saya pernah dengar cerita dari nenek. Katanya, Penunggu itu suka menampakkan diri di malam hari. Biasanya, di hutan-hutan dan di tepi pantai. Kalau bertemu, jangan berani menatap matanya, Mas. Nanti bisa kena penyakit."
Fey makin penasaran. "Kenapa orang-orang dulu takut sama Penunggu?" tanyanya.
"Karena dulu, kehidupan di sini sangat sederhana. Orang-orang sangat bergantung pada alam. Mereka percaya, Penunggu itu menjaga agar alam tetap lestari. Kalau ada yang melanggar aturan, alam akan marah dan bisa merugikan mereka." Pak Lurah menjelaskan dengan tenang.
"Terus, sekarang bagaimana, Pak? Masih ada yang percaya sama Penunggu?" Fey bertanya lagi.
"Masih ada, Mas. Tapi, tidak semua orang. Sekarang, hidup di Bawean sudah lebih modern. Orang-orang sudah tidak terlalu takut sama Penunggu. Tapi, kalau sudah larut malam, tetap saja ada rasa was-was. Mungkin, itu karena cerita-cerita tentang Penunggu tetap melekat di hati."
Fey terdiam, menyeruput kopi sambil memikirkan cerita yang dia dengar. Dia merasa tertarik dengan misteri yang menyelimuti pulau Bawean. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Penunggu. Dia ingin merasakan sendiri suasana mistis di pulau ini.
"Mas Fey, kalau mau mencari cerita tentang Penunggu, Mas Fey bisa ke hutan," kata pak Lurah. "Di sana tempatnya Penunggu."
Fey mengangguk, "Terima kasih, Pak. Saya akan pergi ke sana."
"Hati-hati, Mas. Jangan sembarangan," pesan Pak Kepala Desa.
Fey tersenyum, "Saya akan berhati-hati, Pak."
Lalu Fey pamit untuk pergi tidur, karena besok harus pergi ke hutan seperti kata pak Lurah. Dia ingin buktikan cerita orang-orang.
***
Mentari pagi menerobos celah pepohonan, menyapa Fey yang masih terlelap dalam tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengucek matanya, dan melihat tenda kecilnya yang berdiri kokoh di tengah rimbunnya pepohonan. Udara pagi terasa sejuk dan segar. Aroma tanah basah dan dedaunan menyegarkan pikiran.
"Malam pertama di hutan," gumam Fey dalam hati. "Tidak ada tanda-tanda makhluk astral. Mungkin hanya cerita."
Dia bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari tenda. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara pagi yang bersih.
"Semoga hari ini ada cerita menarik," harapnya.
Dia berjalan ke sungai kecil yang mengalir di dekat tendanya. Airnya jernih dan dingin, menyegarkan tubuh yang lelah. Ia mandi dengan cepat, lalu kembali ke tenda. Lalu mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api untuk memasak kopi dan mie rebus.
"Ini dia yang paling enak di pagi hari," ujar Fey sambil menyesap kopi panas.
Setelah sarapan, Fey duduk di bawah pohon besar, mengeluarkan buku catatan dan pulpennya. Dia mulai menulis cerita yang dia dapatkan dari penduduk lereng hutan.
"Hutan ini dulunya tempat tinggal para dewa," Fey menulis. "Mereka mendiami hutan ini, menjaga keseimbangan alam. Tapi, suatu ketika, para dewa meninggalkan tempat ini. Mereka pergi karena kecewa dengan perilaku manusia."
Fey mengingat cerita yang didengarnya dari penduduk lereng gunung. Mereka menceritakan tentang legenda hutan, tentang para dewa yang menghuni hutan ini, tentang hutan yang disucikan, tentang pantangan-pantangan yang harus dipatuhi.
"Tapi, mengapa mereka harus meninggalkan tempat ini?" Fey bertanya-tanya dalam hati.
"Apakah mereka kecewa dengan perusakan alam?"
"Atau, ada alasan lain?"
Fey terus menulis, mencoba merangkai cerita-cerita yang dia dengar. Dia ingin mengungkapkan misteri hutan ini. Ingin tahu mengapa para dewa meninggalkan tempat ini.
"Aku harus menemukan jawabannya," ujar Fey dalam hati.
Fey merasa yakin, di dalam hutan Cemara, dia akan menemukan inspirasi yang dia cari.
Mentari pagi semakin tinggi, menyapa puncak-puncak pohon cemara yang menjulang tinggi. Fey melangkahkan kaki, menelusuri jalan setapak yang tersembunyi di antara rimbunnya pepohonan. Udara terasa sejuk dan lembap. Suara burung-burung berkicau memenuhi telinga, menenangkan pikirannya.
"Hutan ini memang memikat," gumam Fey dalam hati. "Aku bisa merasakan energi positif yang terpancar dari sini."
Dia terus berjalan, menikmati keindahan alam yang menenangkan. Dia merasa seperti sedang berada di dunia lain, jauh dari hiruk pikuk kota Surabaya.
"Mungkin di sini, aku akan menemukan inspirasi yang aku cari," harapnya.
Tiba-tiba, pandangan Fey terhenti. Di antara bebatuan besar yang menjulang tinggi, dia melihat sosok seorang gadis. Gadis itu mengenakan gaun putih panjang. Rambutnya terurai panjang, menutupi wajahnya. Fey tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Namun, dia merasa ada sesuatu yang aneh pada gadis itu.
"Siapa dia?" Fey bertanya dalam hati.
Fey terpaku, memandangi sosok gadis itu. Namun, sebelum dia bisa mendekati, gadis itu menghilang di balik pepohonan.
"H-h-halo?" Fey memanggil dengan ragu.
"Halo?" Fey memanggil sekali lagi.
Namun, tidak ada jawaban. Gadis itu benar-benar hilang.
"Kemana dia pergi?" Fey bertanya dalam hati.
Fey merasa penasaran. Dia ingin mengetahui siapa gadis itu. Dia ingin tahu mengapa gadis itu menghilang dengan cepat.
"Aku harus mengejarnya," Fey berkata dalam hati.
Fey berlari, mencoba mencari gadis itu di balik pepohonan. Namun, dia tidak bisa menemukannya. Gadis itu seperti ditelan oleh hutan.
"Kemana dia pergi?" Fey bertanya dalam hati, kecewa.
"Dia bukan manusia biasa," Fey berkata dalam hati.
Fey merasa ada sesuatu yang aneh pada gadis itu. Dia merasa gadis itu bukanlah manusia biasa. Mungkin, dia adalah makhluk gaib yang mendiami hutan ini.
"Apakah dia Penunggu?" Fey bertanya-tanya dalam hati.
Fey merasa bulu kuduknya berdiri. Dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya.
"Aku harus berhati-hati," Fey berkata dalam hati.
Fey memutuskan untuk kembali ke tendanya. Dia merasa tidak aman berada di hutan sendirian.
"Aku harus kembali ke tendanya," Fey berkata dalam hati.
Fey berbalik, kembali ke tendanya. Dia terus memikirkan sosok gadis yang dia lihat. Dia merasa penasaran dengan siapa gadis itu dan apa yang dia lakukan di hutan ini.
"Aku harus mencari tahu," Fey berkata dalam hati.
Fey merasa yakin, dia akan bertemu dengan gadis itu lagi. Dia akan mencari tahu siapa gadis itu dan apa yang dia lakukan di hutan ini.
"Aku akan menemukanmu," Fey berkata dalam hati.
Fey berjalan dengan cepat, meninggalkan hutan. Dia berharap bisa menemukan jawaban dari misteri yang baru saja dia temukan.
***
Fey duduk di depan tendanya, menyesap kopi pahit sambil merenungkan kejadian aneh yang baru saja dialaminya. Sosok gadis bergaun putih itu terus menghantuinya.
"Apakah dia hantu?" Fey bergumam pelan, "Atau mungkin dia jelmaan dari Penunggu?"
Pikirannya kembali melayang pada cerita-cerita yang dia dengar dari penduduk Bawean. Mereka bercerita tentang sebuah kerajaan kuno yang pernah singgah di pulau ini. Putri raja, yang terkenal dengan kecantikannya, mendadak jatuh sakit dan meninggal dunia di Bawean. Sejak saat itu, pulau ini mendapat julukan lain, "Pulau Putri".
"Mungkinkah gadis itu adalah putri raja?" Fey bertanya dalam hati. "Atau mungkin, dia adalah arwah penasaran yang masih bergentayangan di sini?"
Fey semakin penasaran. Dia ingin mengungkap misteri di balik sosok gadis itu. Dirinya ingin tahu siapa gadis itu dan mengapa dia muncul di hadapannya.
"Aku harus mencari tahu," Fey bertekad dalam hati.
Tiba-tiba, Fey melihat sosok yang familiar berjalan mendekat dari kejauhan. Karmila, putri Pak Kepala Desa.
"Karmila...!" Fey memanggil.
Karmila tersenyum ramah. "Mas Fey..." Sahut Karmila, "Lagi mikir apa?"
"Aku sedang berpikir," jawab Fey.
"Pikirkan apa, Mas?" Karmila penasaran.
"Aku sedang memikirkan cerita tentang putri raja yang meninggal di pulau ini," jawab Fey.
"Oh, ceritanya memang terkenal, Mas. Banyak orang yang percaya kalau putri raja itu masih nampak di sini," kata Karmila.
"Kau percaya, Mila?" tanya Fey.
"Tidak tahu, Mas. Tapi, aku pernah dengar cerita kalau ada yang melihat sosok perempuan bergaun putih di hutan ini. Katanya, sosok itu penampakan dari putri raja."
Fey tercengang. "Benarkah, Mila?"
"Iya, Mas. Aku pernah dengar dari tetua kampung. Kata beliau, gadis itu suka menampakkan diri kepada orang-orang yang datang ke hutan ini."
"Apakah kau pernah melihatnya?" tanya Fey.
"Tidak, Mas. Tapi, aku tidak berani masuk ke hutan sendirian. Nenekku selalu memperingatkan aku untuk berhati-hati."
"Aku juga merasa ada sesuatu yang aneh di hutan ini," ujar Fey. "Aku juga melihat sosok gadis bergaun putih tadi."
"Benarkah, Mas?" Karmila terkejut. "Dia seperti apa?"
"Dia cantik, Mila. Rambutnya panjang, wajahnya kulihat dengan jelas. Tapi, dia menghilang dengan cepat."
"Mungkin dia adalah putri raja," kata Karmila. "Atau mungkin, dia adalah arwah penasaran yang masih bergentayangan di sini."
"Aku harus mencari tahu, Mila," ujar Fey. "Aku ingin mengungkap misteri di balik sosok gadis itu."
"Mas Fey mau mencarinya?" Karmila bertanya.
"Iya, Mila. Aku ingin tahu siapa dia dan apa yang dia lakukan di hutan ini."
"Aku ingin ikut, Mas," kata Karmila. "Aku ingin tahu juga."
Fey tersenyum. "Baiklah, Mila. Kita cari tahu bersama."
Karmila tampak gembira. "Asyik! Ayo, Mas Fey. Aku akan bantu Mas Fey mencari gadis itu."
Kehadiran Karmila membuat suasana berubah gembira. Fey merasa tidak sendirian lagi. Dia merasa lebih berani untuk menghadapi misteri yang menyelimuti Gunung Cemara.
"Terima kasih, Mila," ujar Fey. "Kau sudah membuatku merasa lebih tenang."
"Sama-sama, Mas Fey. Aku akan menemani Mas Fey."
Fey dan Karmila berpegangan tangan, melangkah bersama-sama ke dalam hutan. Mereka ingin mengungkap misteri di balik sosok gadis bergaun putih itu. Mereka ingin tahu siapa gadis itu dan mengapa dia masih bergentayangan di hutan ini.
Cahaya mentari siang terhalang dedaunan lebat, menciptakan suasana remang-remang di dalam hutan. Fey dan Karmila berjalan beriringan, pegangan tangan mereka semakin erat. Suasana terasa mencekam, terasa seperti ada yang mengawasi mereka.
"Mila, kau merasakannya?" Fey bertanya dengan suara pelan.
"Iya, Mas. Aku merasakannya," jawab Karmila dengan suara bergetar. "Aku merasa bulu kudukku berdiri."
"Tenang, Mila. Aku di sini. Tidak akan terjadi apa-apa." Fey berusaha menenangkan Karmila.
"Tapi, Mas. Aku takut. Aku mendengar suara-suara aneh," ujar Karmila.
Fey terdiam, mendengarkan. Ternyata benar, di antara suara-suara burung dan gemerisik dedaunan, terdengar suara-suara aneh. Ada tawa samar, ada suara orang memanggil namanya, ada suara langkah kaki yang berderit, dan bahkan ada suara tangisan yang membuat bulu kuduknya merinding.
"Mila, kita harus menetralkan energi negatif di sini," ujar Fey.
"Bagaimana caranya, Mas?" Karmila bertanya dengan mata terbelalak.
"Kita akan melakukan meditasi supranatural," jawab Fey.
"Meditasi supranatural?" Karmila mengerutkan kening. "Aku tidak tahu tentang meditasi supranatural."
"Tidak apa-apa, Mila. Aku akan membantumu," ujar Fey. "Ikut aku."
Fey mengajak Karmila duduk di bawah pohon besar. Fey kemudian memandu Karmila untuk melakukan meditasi supranatural.
"Tarik napas dalam-dalam, Mila. Rasakan energi positif yang mengalir di tubuhmu. Bayangkan cahaya putih yang menyelubungi tubuhmu. Cahaya putih ini akan melindungi kita dari energi negatif."
Karmila mengikuti arahan Fey. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Dia membayangkan cahaya putih yang menyelubungi tubuhnya.
"Sekarang, fokuskan pikiranmu pada energi negatif yang ada di sekitar kita. Visualisasikan energi negatif itu dalam bentuk asap hitam. Kemudian, bayangkan cahaya putih yang kita miliki menyerap asap hitam itu. Bayangkan asap hitam itu menghilang."
Karmila berusaha fokus pada arahan Fey. Dia membayangkan asap hitam yang mengepul di sekitar mereka. Kemudian, dia membayangkan cahaya putih yang menyerap asap hitam itu.
Fey dan Karmila terus melakukan meditasi. Mereka berusaha untuk menetralkan energi negatif yang ada di sekitar mereka. Mereka berharap, dengan melakukan meditasi ini, mereka bisa menghadapi suasana mencekam di hutan ini.
Fey membuka matanya perlahan, menarik napas dalam-dalam. Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang. Suara-suara aneh yang menyeramkan tadi menghilang.
"Bagaimana, Mila?" Fey bertanya dengan suara pelan. "Kau merasakannya?"
Karmila mengangguk, "Aku merasakannya, Mas. Aku merasa lebih tenang. Suara-suara aneh itu hilang."
Fey tersenyum, "Itulah kekuatan meditasi supranatural. Energi positif yang kita pancarkan bisa menetralkan energi negatif yang ada di sekitar kita."
Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri hutan. Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin aneh suasana yang mereka rasakan. Mereka seperti terjebak dalam ilusi.
"Mas, aku merasa kita seperti berputar-putar," ujar Karmila. "Kita selalu kembali ke tempat yang sama."
"Benar, Mila. Kita seperti terperangkap dalam ilusi." Fey mengamati sekeliling, mencoba mencari jalan keluar. Namun, seolah-olah dinding yang tak terlihat menghalangi mereka.
"Apakah ini ulah Penunggu?" Fey bertanya dalam hati. "Atau, mungkin ini adalah upaya untuk menguji kita?"
Karmila mulai merasa takut. Wajahnya berubah pucat. "Mas, aku takut. Kita seperti terjebak di sini."
Fey menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. "Tenang, Mila. Kita akan menemukan jalan keluar."
Fey kemudian mencoba membaca mantra. Dia mengepalkan tangan kanannya ke atas, berkonsentrasi pada energi positif yang mengalir di tubuhnya. Tiba-tiba, cahaya putih terpancar dari kepalan tangannya.
"Ini dia!" gumam Fey dalam hati.
Dengan penuh keyakinan, Fey menghantamkan cahaya putih itu ke bayangan yang menghalangi mereka. Terdengar raungan keras, seperti suara binatang yang marah.
"Sial!" gumam Fey dalam hati.
Seketika itu, ilusi yang menyelimuti mereka menghilang. Mereka bisa melihat jalan yang sebenarnya.
"Mas, apa yang terjadi?" Karmila terkejut, menatap Fey dengan mata terbelalak.
"Itu adalah ilusi yang dibuat oleh Penunggu," jawab Fey. "Mereka mencoba untuk menguji kita."
"Tapi, Mas. Bagaimana kita bisa keluar dari ilusi itu?" Karmila bertanya dengan suara gemetar.
"Aku menghancurkan ilusi itu dengan energi positif yang aku punyai," jawab Fey. "Aku beruntung bisa melakukannya."
Fey dan Karmila kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berjalan dengan hati-hati, tetap waspada terhadap ancaman yang mungkin menyergap mereka.
"Kita harus berhati-hati," ujar Fey. "Penunggu mungkin masih mengawasi kita."
"Iya, Mas," jawab Karmila. "Aku akan berhati-hati."
Mereka berdua berjalan terus menyusuri hutan yang menyeramkan itu. Mereka bertekad untuk menemukan gadis bergaun putih itu dan mengungkap misteri yang menyelimuti hutan Cemara.
Mentari mulai merunduk, menghilang di balik pepohonan, meninggalkan langit jingga kemerahan. Kabut tipis mulai menyelimuti hutan, menciptakan suasana magis namun juga sedikit menyeramkan.
"Mila, sudah sore," ujar Fey. "Kita harus kembali ke tenda. Kata penduduk setempat, kalau sudah senja, kabut tebal akan turun dan membuat jalan di hutan tak terlihat."
Karmila mengangguk, "Iya, Mas. Aku juga merasa tidak nyaman berada di sini. Aku takut."
Fey menggandeng tangan Karmila, menariknya keluar dari hutan. Mereka berjalan beriringan, kembali ke tenda mereka yang berdiri di tepi sungai kecil.
"Untung kita membawa tenda, Mila," kata Fey sambil tersenyum. "Nggak kebayang kalau kita harus tidur di hutan tanpa tenda."
"Iya, Mas. Syukurlah," jawab Karmila.
Fey segera menyalakan api unggun. Api yang membara membuat suasana tenda terasa hangat dan nyaman.
"Mila, tolong bikin kopi dua gelas," kata Fey sambil mencari bekal yang mereka bawa dari rumah.
"Siap, Mas," jawab Karmila. Dia segera membuat kopi dan menyiapkan bekal yang berisi nasi ayam geprek.
"Wah, nasinya banyak, Mas," ujar Karmila sambil tersenyum. "Aku bisa makan banyak ni."
"Makan saja banyak, Mila," jawab Fey. "Nanti aku buat lagi kok."
Mereka berdua duduk di depan api unggun, menikmati kopi dan nasi ayam geprek. Suasana tenda terasa hangat dan nyaman. Mereka bercerita tentang petualangan mereka hari ini.
"Mas, tadi aku ketakutan banget di hutan," ujar Karmila sambil tertawa. "Untung ada Mas Fey. Kalau tidak, aku pasti langsung kabur dari hutan."
"Iya, Mila. Aku juga ketakutan tadinya," jawab Fey. "Tapi, aku harus tetap tenang demi keselamatanmu."
"Mas Fey baik banget," ujar Karmila sambil tersenyum. "Aku seneng bisa berpetualang bareng Mas Fey."
Fey tersenyum, "Aku juga seneng, Mila. Kita akan menemukan misteri di hutan Cemara ini bersama-sama."
"Iya, Mas," jawab Karmila. "Kita akan mencari gadis bergaun putih itu besok."
Mereka berdua kemudian tertawa bersama. Suasana tenda semakin hangat dan nyaman. Mereka berencana untuk melanjutkan petualangan mereka besok hari. Mereka ingin menemukan gadis bergaun putih itu dan mengungkap misteri yang menyelimuti hutan Cemara.
***
Api unggun yang menyala perlahan meredup, meninggalkan bara pijar yang menghangatkan suasana dingin malam. Fey dan Karmila duduk di dekatnya, menikmati secangkir kopi hangat sambil berbincang.
"Mila, aku merasakan sesuatu," bisik Fey dengan suara serak. "Ada yang mengawasi kita."
Karmila merasakan bulu kuduknya berdiri. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sumber suara yang dia dengar. Namun, tak ada apa-apa selain gelapnya hutan dan beberapa pohon yang menjulang tinggi.
"Mas, aku takut," bisik Karmila dengan suara gemetar.
Fey menarik tangan Karmila, menariknya mendekat ke tubuhnya. "Tenang, Mila. Aku di sini."
Fey kemudian menatap ke gelapnya hutan dengan tatapan yang tajam. Dia bisa merasakan keberadaan makhluk gaib yang sedang mengawasi mereka.
"Dia sedang menunggu momen yang tepat untuk menyerang," gumam Fey dalam hati.
Tiba-tiba, sepasang mata berbinar terlihat dari balik gelapnya hutan. Sebuah sosok menyeramkan muncul dari balik pohon. Sosok itu berpakaian gaun putih panjang. Rambutnya terurai panjang, menutupi wajahnya.
"Dia lagi-lagi muncul," gumam Fey dalam hati.
Tanpa basa-basi, gadis bergaun putih itu menyerang Fey dengan kekuatan gaib yang mengerikan. Fey berhasil menghindar dengan cepat.
"Kau berani menyerang aku?" teriak Fey dengan suara yang keras.
"Aku akan membalas dendam!" Teriak gadis bergaun putih itu dengan suara yang mengerikan.
Pertempuran pun meletus. Fey dan gadis bergaun putih itu bertempur dengan kekuatan gaib. Fey menghentakkan kakinya ke tanah, menciptakan gelombang kekuatan gaib yang menghantam gadis bergaun putih itu. Gadis bergaun putih itu terpelanting jatuh, mengeluarkan suara kesakitan.
Fey segera mengikat gadis bergaun putih itu dengan mantra "Suket Kolojono". Mantra itu bersifat kuat, dapat mengikat setan, jin, demit, dan genderuwo sehingga tak bisa lepas.
"Sekarang, kau harus menjelaskan semua ini!" ujar Fey dengan suara yang tegas.
Gadis bergaun putih itu menangis, "Aku Sofie. Aku adalah putri dari keluarga bangsa Belanda. Aku dan keluarga dibantai oleh para penyamun di hutan ini. Aku ingin membalas dendam!"
Karmila teringat cerita yang dia dengar dari neneknya. "Benarkah, Sofie? Dulu banyak orang yang hilang di hutan ini. Mereka terjebak dalam ilusi dan tidak pernah kembali."
"Iya," jawab Sofie. "Aku ingin menghukum setiap orang yang datang ke hutan ini."
"Kau harus berhenti, Sofie. Dendam takkan membantumu. Kau hanya akan terjebak dalam lingkaran penderitaan." Fey berkata dengan nada lembut, berusaha menenangkan arwah penasaran itu.
Sofie terisak, air mata mengalir di pipinya meskipun tak terlihat karena tertutup rambut panjangnya. "Tapi aku ingin mereka merasakan apa yang kurasakan."
Fey menghela napas, memahami kesedihan Sofie. "Aku mengerti, Sofie. Tapi kebencian hanya akan melahirkan kebencian. Kau harus melepaskan amarahmu, mencari ketenangan. "
Fey memandang Karmila yang terpaku dengan kejadian yang baru terjadi. "Mila, tolong bantu aku membantu Sofie menemukan ketenangan."
Karmila mengangguk. "Aku akan mencoba."
Fey mendekati Sofie, mencoba membantu menenangkan arwah penasaran itu. "Sofie, ikhlaskan peristiwa masa lalu. Kau harus melepaskan amarahmu. Kau harus menemukan ketenangan."
Fey mencoba menjelaskan tentang pentingnya melepaskan dendam. Dia bercerita tentang keindahan hidup yang bisa dirasakan jika kita melepaskan amarah dan kebencian. Fey bercerita tentang kebaikan yang bisa kita lakukan untuk menghilangkan rasa sakit yang kita alami.
Sofie terdiam sejenak, menyerap kata-kata Fey. Ia mulai memahami omongan Fey. Dia mulai merasakan ketenangan yang sudah lama tak dia rasakan.
"Aku akan melepaskan dendam," ujar Sofie dengan suara yang lebih lembut.
Fey menarik napas panjang, merasakan energi positif yang mengalir di tubuhnya. Dia kemudian menghilangkan mantra "Suket Kolojono" yang mengikat Sofie.
Sofie mengucapkan terima kasih kepada Fey. "Terimakasih, kau telah membantuku menemukan ketenangan."
"Sama-sama, Sofie," jawab Fey. "Sekarang, kau harus berjanji untuk tidak menyerang siapapun lagi."
Sofie mengangguk. "Aku berjanji akan berlaku baik dan mencari ketenangan."
Fey memandang Sofie dengan tatapan yang penuh kepercayaan. Namun, dirinya tak mudah percaya. Dia merasakan ada sesuatu yang tak beres pada Sofie. Masih merasakan bahwa Sofie masih memiliki rasa dendam yang terpendam dalam hatinya.
"Aku akan mengawasi mu, Sofie," ujar Fey dalam hati.
Fey kemudian memutuskan untuk melepaskan arwah Sofie. Dia tak ingin Sofie terus menyerang orang-orang yang datang ke hutan ini. Dia tak ingin Sofie terus terjebak dalam penderitaan.
Fey menarik napas dalam-dalam, kemudian mengucapkan mantra pemusnahan. Seketika itu, tubuh Sofie menghilang dalam sekejap mata.
"Selamat jalan, Sofie," ujar Fey. "Semoga kau menemukan ketenangan di alam sana."
Fey dan Karmila kemudian duduk di dekat api unggun. Suasana tenda terasa lebih tenang dan nyaman. Mereka merasa lega karena telah membantu Sofie menemukan ketenangan.
"Mas, aku takut," bisik Karmila, tangannya masih gemetar meski Sofie sudah menghilang.
Fey menenangkan Karmila dengan mengusap lembut punggungnya. "Tenang, Mila. Semuanya sudah berakhir."
Fey merasakan kelegaan yang campur aduk dengan sedih. Dia merasa berhasil membantu Sofie, namun juga sedih karena harus melepaskan arwah penasaran itu.
"Sofie adalah korban dari kejahatan manusia," gumam Fey. "Dia hanya ingin membalas dendang, tapi dia terjebak dalam lingkaran penderitaan."
Fey menatap api unggun yang menyala lembut. "Aku harus mencari tahu siapa yang membunuh keluarga Sofie," gumam Fey. "Aku harus mencari tahu apakah pelakunya masih hidup dan apakah mereka masih berulah."
"Mas, kita harus berhati-hati," ujar Karmila. "Mungkin masih ada yang lain di hutan ini."
Fey mengangguk. "Iya, Mila. Kita harus tetap waspada."
Fey dan Karmila kemudian beristirahat di dalam tenda. Mereka berencana untuk melanjutkan petualangan mereka besok hari. Mereka ingin menemukan misteri di balik cerita tentang keluarga bangsa Belanda yang terbunuh di hutan ini. Mereka ingin mencari tahu siapa pelakunya dan apakah mereka masih hidup.
"Kita harus mencari tahu kebenarannya," ujar Fey dalam hati.
Fey bertekad untuk mengungkap misteri yang menyelimuti hutan Cemara. Dia ingin menghentikan kejahatan yang terjadi di hutan ini. Dia ingin menghidupkan kembali kedamaian yang pernah ada di hutan ini.
"Aku akan melakukan segala sesuatu untuk mencapai tujuan itu," ujar Fey dalam hati.
***
Keesokan harinya, Fey dan Karmila kembali menjelajahi hutan. Mereka berjalan dengan hati-hati, tetap waspada terhadap ancaman yang mungkin menyergap mereka. Mereka ingin menemukan bukti-bukti tentang kejahatan yang terjadi di hutan ini.
Mereka berjalan menelusuri jalan setapak yang ditumbuhi rumput liar. Mereka melihat beberapa pohon tua yang menjulang tinggi. Mereka merasakan suasana hutan yang sepi dan menyeramkan.
"Mas, aku merasa ada yang mengawasi kita," ujar Karmila. "Aku merasa takut."
Fey menarik napas panjang, mencoba menenangkan Karmila. "Tenang, Mila. Kita akan berhati-hati. Kita akan mencari tahu siapa yang mengawasi kita."
Fey kemudian mencari jejak-jejak yang ada di hutan ini. Dia mencari tanda-tanda keberadaan pelaku kejahatan yang menyerang keluarga Sofie.
"Mas, lihat!" teriak Karmila. "Ada sebuah lubang di tanah!"
Fey mendekati lubang itu. Lubang itu terlihat dalam dan gelap. Fey merasa ada sesuatu yang menyeramkan di dalam lubang itu.
"Mungkin ini adalah tempat persembunyian para penyamun," ujar Fey.
Fey mencondongkan tubuh, menatap ke dalam lubang gelap itu. "Mila, tolong pegang tanganku."
Karmila mengangguk takut, menggenggam tangan Fey erat-erat. "Mas, aku takut."
"Tenang, Mila. Aku di sini." Fey menenangkan Karmila.
Fey kemudian mencoba mengintip ke dalam lubang gelap itu. Dia melihat sesuatu yang berwarna putih berkilauan di dasar lubang.
"Mungkin itu tulang belulang," gumam Fey dalam hati.
Fey bertekad untuk mencari tahu apa yang ada di dalam lubang itu. Dia merasa bahwa lubang itu memiliki hubungan dengan kejahatan yang terjadi di hutan ini.
Fey kemudian mencoba turun ke dalam lubang itu. Dia berpegangan pada akar pohon yang menjulur ke bawah.
"Mila, tunggu aku di atas," pesan Fey pada Karmila.
"Iya, Mas," jawab Karmila dengan suara gemetar.
Fey terus menuruni lubang itu. Semakin dalam dia menuruni lubang itu, semakin gelap suasana di sekitarnya. Dia merasakan udara yang lembap dan bau tanah yang menyengat.
"Aku harus berhati-hati," gumam Fey dalam hati.
Tiba-tiba, Fey merasakan ada sesuatu yang menyerang kaki kirinya. Dia menjerit kesakitan.
"Aduh!" teriak Fey.
Fey terjatuh ke bawah. Dia merasakan ada sesuatu yang merayap di kakinya. Dia mencoba menendang sesuatu itu, namun sesuatu itu terlalu kuat.
"To-tolong, Mila!" Teriak Fey.
Karmila mendengar teriakan Fey. Dia berlari ke tepi lubang itu. Dia melihat Fey terbaring di dasar lubang.
"Mas Fey...!" Teriak Karmila.
Karmila mencoba menurunkan diri ke dalam lubang itu, namun dia takut terjatuh. Dia kemudian segera mencari akar pohon untuk dijadikan tali.
"Tolong! Tolong!" Teriak Fey dari lubang.
Fey mencoba menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. Dia merasakan sesuatu yang merayap di kakinya semakin kuat. Dia merasakan nyeri yang menyeksa.
"Aku harus menyelamatkan diriku," gumam Fey dalam hati.
Fey kemudian mencoba merangkak menjauh dari sesuatu yang menyerang kakinya. Dia merangkak dengan kesulitan, karena kakinya sangat sakit.
"Aku harus menemukan jalan keluar," gumam Fey dalam hati.
Fey terus merangkak mencari jalan keluar. Dia merasakan sesuatu yang menyerang kakinya semakin mendekati. Dirinya merasakan kematian yang mengancam.
"Aku harus segera bisa keluar," gumam Fey dalam hati.
Fey terus merangkak dengan kesulitan. Dia merasakan sesuatu yang menyerang kakinya semakin dekat. Dia merasakan kematian yang mengancam.
"To-tolong!" teriak Fey dengan suara yang lemah.
Karmila mendengar teriakan Fey yang semakin lemah. "Mas Fey! Mas Fey!" Teriaknya dengan suara gemetar. Dia segera menurunkan tali akar yang bisa digunakan untuk menarik Fey keluar dari lubang gelap itu. Untung dia mendapatkan seutas tali akar yang cukup kuat untuk menarik Fey ke atas.
"Mas Fey! Mas Fey! Pegang tali ini! Aku akan menarikmu ke atas!" teriak Karmila dengan suara yang sekuat tenaga.
Fey yang sedang berjuang menarik napas mendengar suara Karmila. Dia mencoba mencari asal suara itu. Fey melihat seutas tali akar menjulur ke bawah. Dengan kesulitan, dia meraih tali itu.
"Mila! Aku akan naik!" teriak Fey dengan suara yang lemah.
Tiba-tiba, Fey merasakan ada banyak tangan yang menarik-narik kakinya. Dia merasakan nyeri yang menyeksa.
"Tolong! Tolong!" Teriak Fey dengan suara yang sangat lemah.
Fey teringat akan korek api gas yang ada di sakunya. Dia mencoba meraih korek api gas itu.
"Aku harus menyelamatkan diriku," gumam Fey dalam hati.
Fey berhasil meraih korek api gas itu. Dia kemudian melemparkan korek api gas itu ke arah batu besar yang ada di dekatnya.
"Semoga berhasil," gumam Fey dalam hati.
Korek api gas itu menghantam batu besar itu. Terjadilah ledakan yang menggelegar. Makhluk tak kasat mata yang menyerang Fey berteriak ketakutan dan menghilang dalam sekejap.
Karmila terus menarik tali akar itu dengan sekuat tenaga. Dia terus menarik Fey ke atas sampai Fey berhasil keluar dari lubang gelap itu.
Fey terhuyung-huyung ke atas. Karmila segera memeluk Fey dengan erat. Air matanya mengalir deras.
"Mas Fey! Aku sangat khawatir padamu!" ucap Karmila dengan suara yang gemetar.
Fey membalas pelukan Karmila. Dia menghapus air mata Karmila dengan lembut.
"Aku baik-baik saja, Mila," ujar Fey dengan suara yang lemah. "Aku hanya terluka sedikit."
Karmila melepaskan pelukannya. Dia memeriksa luka Fey. Luka Fey terlihat mengerikan. Luka itu terlihat merah dan berdarah.
"Mas Fey! Lukamu sangat parah!" teriak Karmila dengan suara yang gemetar.
Fey menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Aku baik-baik saja, Mila. Aku hanya terluka sedikit. Kita harus segera pergi dari hutan ini."
Fey berusaha menahan rasa sakit yang menusuk di kakinya, namun tubuhnya gemetar tak tertahankan. Karmila dengan sigap mencari daun sirih cina yang berkhasiat menyembuhkan luka.
"Mas Fey, tahan sedikit ya," ujar Karmila dengan suara lembut, matanya berbinar dengan kekhawatiran.
Karmila dengan hati-hati memetik daun sirih cina dan mengolahnya menjadi obat tradisional.
"Ini akan menghilangkan rasa sakitmu, Mas," ucap Karmila sambil meletakkan daun sirih itu pada luka Fey.
Fey menjerit kesakitan saat daun sirih itu ditempelkan pada lukanya. "Aduh!" teriaknya.
"Sabar ya, Mas. Nanti juga hilang rasanya," ujar Karmila sambil mengucapkan doa agar luka Fey segera sembuh.
Karmila kemudian membalut luka Fey dengan slayer yang dipakai untuk mengikat rambutnya. Tangannya bergetar saat membalut luka Fey. Matanya tak berkedip memandang Fey yang terlihat pucat dan kesakitan.
"Maafkan aku, Mas," ujar Karmila dengan suara yang bergetar. "Aku tak bermaksud menyakitkanmu."
Fey menatap Karmila dengan tatapan yang dalam. Dia terkejut dengan perhatian Karmila. Dia merasakan kehangatan yang menyeruak di hatinya.
"Tidak apa-apa, Mila," jawab Fey dengan suara yang lemah. "Aku baik-baik saja. Terima kasih telah membantuku."
Fey menatap Karmila dengan tatapan yang dalam. Dia merasakan sesuatu yang berbeda pada Karmila. Dia merasakan ketertarikan yang mendalam.
"Aku cinta padamu, Mila," gumam Fey dalam hati.
Fey diam-diam mencintai Karmila. Dia terpesona dengan keberanian, kehangatan, dan ketulusan Karmila. Dia merasakan bahwa Karmila adalah wanita yang sempurna untuknya.
Karmila menarik napas panjang, melihat Fey yang terlihat pucat. Dia merasa kasihan pada Fey. Ia ingin melindungi Fey dari semua bahaya.
"Mas, kita harus pergi dari hutan ini," ujar Karmila. "Aku takut ada yang menyerang kita lagi."
Fey mengangguk. "Iya, Mila. Kita harus pergi dari hutan ini."
Fey kemudian berdiri dengan kesulitan. Karmila menopang Fey untuk berdiri.
"Mas, aku akan membantumu," ujar Karmila dengan suara yang lembut.
Fey tersenyum kecil. Dia merasa terharu dengan perhatian Karmila.
"Terima kasih, Mila," jawab Fey. "Kau sangat baik padaku."
Fey dan Karmila kemudian berjalan keluar dari hutan itu. Mereka berjalan dengan hati-hati, tetap waspada terhadap ancaman yang mungkin menyergap mereka.
"Mas, gak usah khawatir aku merawat luka kamu," ujar Karmila dengan suara yang lembut.
Fey tersenyum,"Terimakasih, aku merasa beruntung bertemu dengan gadis sebaik kamu."
Fey dan Karmila berjalan dengan perlahan, menuruni lereng gunung. Langkah Fey masih tertatih, kakinya masih terasa sakit. Karmila setia menopang Fey, matanya tak berkedip memandang Fey.
"Mas, jangan terlalu cepat," ujar Karmila dengan suara lembut. "Tenang saja, aku akan menjagamu."
Fey menatap Karmila dengan tatapan yang dalam. Dia merasakan kehangatan yang menyeruak di hatinya. Dia merasakan bahwa Karmila adalah wanita yang sempurna untuknya.
"Terima kasih, Mila," jawab Fey dengan suara yang lemah. "Kau sangat baik padaku."
Karmila menarik napas panjang, melihat Fey yang terlihat pucat. Dia merasa kasihan pada Fey. Dia ingin melindungi Fey dari semua bahaya.
"Mas, aku selalu ada bersama kamu," ujar Karmila dengan suara yang lembut.
Fey tersenyum. "Aku tahu, Mila. Kau adalah malaikat penyelamatku."
Fey dan Karmila terus menuruni lereng gunung. Mereka berjalan dengan hati-hati, tetap waspada terhadap ancaman yang mungkin menyergap mereka.
"Mas, apa kita harus kembali ke rumah ke rumah orang tuaku?" tanya Karmila.
"Iya, Mila. Kita harus beristirahat dan mengobati lukaku."
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Lurah. Mereka berjalan dalam diam, menikmati suasana sore yang sejuk dan tenang.
Fey menatap Karmila dengan tatapan yang penuh cinta. Dia merasa bahagia memiliki Karmila di sisinya.
"Mila, aku ingin mengungkapkan perasaanku padamu," ujar Fey dengan suara yang lembut.
Karmila menoleh ke Fey dengan mata yang berbinar-binar.
"Aku cinta padamu, saat pertama kali melihat mu."
"Mas, aku juga mencintaimu," ujar Karmila dengan suara yang gemetar.
Fey tersenyum lebar. Dia merasa bahagia mendengar perasaan Karmila.
"Aku ingin menikahimu, Mila," ujar Fey dengan suara yang penuh cinta.
Karmila terkejut mendengar permintaan Fey. Dia merasa bahagia dan terharu.
"Iya, Mas," jawab Karmila dengan suara yang gemetar. "Aku mau menikah denganmu."
Fey memeluk Karmila erat-erat. Dia merasakan kebahagiaan yang tak terhingga.
"Aku sangat mencintaimu, Mila," ujar Fey dengan suara yang penuh cinta.
Karmila membalas pelukan Fey. Dia merasakan kebahagiaan yang sama.
"Aku juga mencintaimu, Mas," jawab Karmila dengan suara yang penuh cinta.
Fey dan Karmila terus berjalan menuju rumah Pak Lurah. Mereka berjalan dengan langkah yang ringan, hatinya penuh dengan kebahagiaan. Mereka merasa bahagia karena telah menemukan cinta di tengah petualangan mereka yang mengerikan.
Mereka berencana untuk menikah setelah Fey sembuh. Mereka ingin membangun hidup bersama dan membawa Karmila pulang ke Surabaya.
*****