Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,915
Cinta Rania
Romantis

Cinta Rania 


Mentari pagi menyinari wajah Rania yang masih mengantuk.  Rambutnya yang panjang terurai,  menutupi sebagian wajahnya yang masih sembab karena kurang tidur.  Ia buru-buru bersiap untuk sekolah,  hari ini ada ulangan Matematika yang membuatnya cemas.  Bukan karena ia tidak mengerti materi,  tapi karena ia selalu gugup saat ujian.


Di sekolah,  Rania bertemu dengan teman-temannya,  Alya dan Dinda.  Mereka bertiga selalu bersama,  seperti tiga serangkai yang tak terpisahkan.  Alya,  yang periang dan ceria,  selalu berhasil mencairkan suasana tegang.  Sedangkan Dinda,  yang pendiam dan cerdas,  seringkali menjadi penengah di antara mereka.


Saat ulangan berlangsung,  Rania merasa kesulitan berkonsentrasi.  Pandangannya selalu tertuju pada seorang pemuda yang duduk di barisan depan,  seorang siswa yang terkenal pintar dan tampan bernama  Arga.  Arga terlihat tenang dan fokus mengerjakan soal,  sesekali tersenyum kecil saat ia berhasil menyelesaikan soal yang sulit.  Senyum itu,  yang membuat jantung Rania berdebar-debar.


Setelah ulangan,  Rania merasa lega.  Ia berharap nilainya bagus.  Ia juga berharap bisa bertemu Arga dan mungkin,  berbicara dengannya.  Namun,  Arga sudah pergi lebih dulu.  Rania hanya bisa menghela napas,  menyesali keberaniannya yang kurang.


Sore harinya,  Rania bertemu Alya dan Dinda di perpustakaan.  Mereka bertiga sedang mengerjakan tugas kelompok.  Tiba-tiba,  Arga datang mendekati mereka.  Ia terlihat sedikit gugup.


"Hai," sapa Arga,  suaranya lembut.  Rania terkesiap,  wajahnya memerah.


Arga mengambil tempat duduk di sebelah Rania, membuat jantung gadis itu berdebar-debar tak karuan.  Rasanya mau copot saja!  Cowok yang selama ini hanya menghiasi mimpinya, kini duduk di sampingnya. 


"Alamak… ganteng banget," gumam Rania dalam hati, pipinya memerah.  


Arga memulai percakapan, "Eh, soal nomor lima tadi… aku lihat kamu agak lama mengerjakannya.  Ada kesulitan?"


Rania yang sudah salting setengah mati, hanya mampu mengangguk-angguk gugup.  Lidahnya terasa kelu.  Ia hanya bisa menatap Arga dengan tatapan kosong, sesekali melirik Alya dan Dinda yang menahan tawa.


Alya, yang tak kuasa menahan jahilnya, menyikut pelan lengan Dinda. 

"Eh, Ran, jawab dong!  Jangan bengong aja.  Nanti Arga kira kamu bisu!" bisik Alya,  suaranya terdengar nyaring di telinga Rania.


Wajah Rania semakin memerah.  Ia berusaha menjawab,  "A-aku…  aku…  nggak kesulitan kok," ucapnya terbata-bata.


Dinda, ikut nimbrung, "Iya, Ran.  Dia cuma pura-pura kesulitan biar bisa ngobrol lama sama Arga.  Kan, kamu suka banget sama dia."  Dinda berkata dengan nada bercanda, namun matanya berkilat jahil.


Arga yang mendengar percakapan mereka, ikut tertawa.  "Oh, jadi begitu?" tanyanya,  senyumnya semakin lebar.  Rania merasa jantungnya semakin berdebar kencang.


"Eh, eh…  jangan salah paham, ya!"  Rania berusaha menjelaskan,  namun malah semakin terlihat kikuk.  Ia mencoba memperbaiki posisinya,  tapi malah menjatuhkan buku paket Matematikanya.


"Ups," kata Rania,  merasa malu setengah mati.


Alya dan Dinda tertawa lepas.  "Gimana sih, Ran?  Udah salting,  malah bikin malu sendiri," kata Alya,  sambil membantu Rania mengambil bukunya.


Arga ikut membantu mengambil buku tersebut.  Tangan mereka tak sengaja bersentuhan.  Rania merasakan aliran listrik mengalir di tubuhnya.  Arga tersenyum,  "Jangan khawatir,  aku juga sering melakukan kesalahan seperti itu kok."


Suasana menjadi sedikit lebih cair.  Percakapan mereka berlanjut,  membahas soal ulangan Matematika,  hobi,  dan hal-hal lain yang membuat Rania merasa lebih nyaman di dekat Arga.  Meskipun awalnya canggung dan konyol,  pertemuan tak terduga itu justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih berarti.


Alya, Rania, dan Dinda berjalan menuju kantin, perut mereka sudah keroncongan.  Mereka sengaja tidak membawa bekal hari ini,  setelah kejadian memalukan kemarin diejek anak TK karena membawa bekal nasi uduk yang aromanya terlalu menyengat.  


Begitu sampai di kantin,  mata Rania langsung menangkap pemandangan yang membuatnya mendidih.  Arga,  yang selama ini mengisi pikirannya,  sedang duduk berdampingan dengan Tanti,  si primadona IPS yang terkenal cantik dan modis.  Mereka terlihat akrab,  Tanti bahkan tertawa lepas saat Arga bercerita sesuatu.


Api cemburu langsung membakar hati Rania.  Wajahnya memerah,  tangannya mengepal.  Ia merasa sesak,  seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.


"Ran…  kamu kenapa?" tanya Alya,  melihat perubahan ekspresi wajah Rania yang drastis.


Rania hanya mampu menggelengkan kepala,  matanya berkaca-kaca.  Ia tak mampu berkata-kata,  perasaannya campur aduk.  Cemburu,  sedih,  dan kecewa.


Dinda,  yang lebih peka,  menarik tangan Rania.  "Ayo,  kita pergi dari sini," katanya lembut.  Ia tahu,  Rania tidak akan sanggup makan dengan melihat pemandangan itu.


"Tapi…  aku lapar,"  ucap Rania lirih,  suaranya terdengar bergetar.


"Nanti kita makan di tempat lain,  yang lebih tenang,"  kata Alya,  mencoba menenangkan Rania.  "Jangan biarkan orang lain merusak suasana hatimu."


Mereka bertiga meninggalkan kantin,  meninggalkan Arga dan Tanti yang masih asyik berbincang.  Rania berjalan cepat,  langkahnya gontai.  Alya dan Dinda berusaha mengimbangi langkahnya,  sambil terus menenangkan sahabat mereka.


Sesampainya di perpustakaan,  Rania langsung duduk di salah satu meja,  menelungkupkan wajahnya di atas meja.  Tangisnya pecah.


"Ssst…  jangan menangis, Ran,"  hibur Alya,  menepuk pelan punggung Rania.


"Aku…  aku cemburu,"  isak Rania,  suaranya teredam oleh isakannya.


Dinda mengelus rambut Rania.  "Aku tahu,  tapi jangan terlalu dipikirkan, ya.  Mungkin mereka hanya teman biasa."


"Tapi…  lihat saja,  mereka terlihat sangat akrab,"  ucap Rania,  suaranya masih bergetar.


Alya dan Dinda berusaha menghibur Rania,  mencoba meredakan rasa cemburunya.  Mereka bercerita tentang hal-hal lucu untuk mengalihkan perhatian Rania.  Perlahan-lahan,  tangis Rania mereda.  Meskipun rasa cemburunya belum sepenuhnya hilang,  ia merasa sedikit lebih tenang setelah mendapat dukungan dari dua sahabat terbaiknya.


Bel tanda pelajaran berbunyi, menandakan waktu belajar kembali dimulai.  Namun,  Rania masih terpaku pada kejadian di kantin tadi.  Pikirannya melayang,  perasaannya campur aduk.  Bayangan Arga dan Tanti yang akrab masih terbayang jelas di benaknya.  Ia sulit berkonsentrasi pada pelajaran Pak Budi, guru Matematika yang sedang menjelaskan materi integral.


Rania hanya duduk termenung,  tatapannya kosong.  Ia tak mendengarkan penjelasan Pak Budi,  telinganya hanya menangkap suara samar-samar.  Sesekali ia menghela napas panjang,  mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.


Alya,  yang duduk di sebelahnya,  memperhatikan Rania dengan seksama.  Ia tahu sahabatnya itu sedang galau.  Rania terlihat murung dan melamun sepanjang pelajaran.  Ia mencoba menyentuh lengan Rania,  tapi Rania tak memberikan reaksi.


"Ran…," panggil Alya pelan,  tapi Rania tetap tak bergeming.


Alya menghela napas.  Ia mengambil selembar kertas kecil dari tasnya,  lalu dengan sedikit tenaga,  melemparkannya ke arah Rania.


"Aduh!"  Rania terkejut,  kertas itu mengenai kepalanya.  Ia tersentak kaget,  tatapannya kembali fokus.


"Eh,  ngapain sih,  Ly?"  tanya Rania,  sedikit kesal.


Alya tersenyum jahil.  "Biar kamu nggak bengong terus.  Udah kayak patung aja dari tadi,"  jawab Alya.  "Pak Budi udah jelasin integral sampai tiga kali,  kamu masih aja bengong."


Rania menggaruk kepalanya yang sedikit gatal.  "Maaf,  Ly.  Aku lagi nggak fokus aja,"  ucapnya,  suaranya terdengar lesu.


"Lagi mikirin Arga, ya?"  tebak Dinda,  yang duduk di belakang mereka.


Rania hanya mengangguk pelan.  Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi.  Alya dan Dinda saling berpandangan.  Mereka tahu,  Rania sedang dilanda cemburu.


"Udahlah,  Ran.  Jangan terlalu dipikirin.  Mungkin Arga cuma berteman biasa sama Tanti,"  kata Alya,  mencoba menghibur Rania.


"Iya,  Ran.  Jangan sampai pelajaranmu terganggu gara-gara cowok,"  tambah Dinda.


Rania menghela napas panjang.  Ia mencoba untuk fokus kembali pada pelajaran.  Meskipun hatinya masih sedikit galau,  ia berusaha untuk tidak membiarkan perasaannya mengganggu konsentrasinya.  Dukungan dari Alya dan Dinda sedikit banyak membantunya untuk kembali fokus pada pelajaran.  Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan perasaan cemburunya menguasai dirinya.


Rania menunggu bus kota di halte dekat sekolah.  Sudah hampir satu jam berlalu,  namun bus yang ditunggunya belum juga datang.  Ia terus melirik jam tangannya,  perasaan gelisah mulai menggerogoti hatinya.  Ia harus segera pulang,  ayahnya masih ada rapat di kantor dan tak bisa menjemputnya.


Tiba-tiba,  sebuah motor berhenti di depannya.  Arga,  yang mengendarai motor tersebut,  tersenyum ramah padanya.


"Ran,  mau pulang?" tanya Arga.


Rania terkejut.  "Eh,  Arga?  Iya,  tapi…  aku lagi nunggu bus," jawabnya.


"Busnya lama banget,  nih.  Naik aja sama aku,"  ajak Arga.


Rania ragu-ragu.  "Gak papa,  Ga?  Nanti kamu repot,"  katanya.


"Gak papa kok.  Daripada kamu nunggu lama-lama,"  kata Arga,  nada suaranya lembut.  Ia menatap Rania dengan tatapan yang membuat jantung Rania berdebar.


Rania akhirnya mengalah.  Ia naik ke boncengan motor Arga.  Sepanjang perjalanan,  Arga mengajaknya mengobrol.  Ia tahu Rania masih menyimpan rasa cemburu pada Tanti.


"Ran,"  Arga memulai pembicaraan,  "soal yang tadi di kantin,  aku mau jelasin."


Rania hanya mengangguk,  menunggu penjelasan Arga.


"Aku sama Tanti cuma teman biasa.  Nggak ada hubungan apa-apa,"  kata Arga,  suaranya tegas.  "Aku…  aku sebenarnya sudah lama memperhatikanmu."


Rania terdiam,  mendengarkan penjelasan Arga dengan seksama.  Jantungnya berdebar-debar.


"Sejak pertama kali kita ketemu di acara MOS,  aku sudah suka sama kamu,"  lanjut Arga.  "Kamu…  kamu baik,  pintar,  dan lucu.  Aku…  aku mencintaimu,  Ran."


Rania tercengang.  Ia tak menyangka Arga akan mengatakan hal itu.  Perasaannya campur aduk,  antara senang,  kaget,  dan bahagia.


"Aku…  aku juga suka sama kamu,  Ga,"  ucap Rania,  suaranya sedikit bergetar.


Arga tersenyum,  senyum yang membuat Rania merasa sangat bahagia.  Ia berhenti di depan rumah Rania.  Arga menatap Rania dengan penuh kasih sayang.


"Terima kasih sudah mengantarku pulang,  Ga,"  kata Rania,  wajahnya memerah.


"Sama-sama,  Ran,"  jawab Arga.  Ia meraih tangan Rania,  menegakkan tubuh Rania agar bisa turun dari motor dengan aman.  "Aku akan selalu ada untukmu."


Rania tersenyum,  hatinya dipenuhi kebahagiaan.  Ia tak menyangka,  perasaannya pada Arga ternyata berbalas.  Pertemuan tak terduga di halte bus itu,  justru menjadi awal dari kisah cinta mereka yang indah.

Rania masuk ke kamarnya, masih merasa seperti mimpi. Peristiwa di halte tadi masih terasa begitu nyata, namun juga terasa terlalu indah untuk dipercaya. Ia berjalan menuju tempat tidurnya, ingin merebahkan tubuh yang lelah.


Baru saja ia hendak merebahkan diri, ponselnya berdering. Nama Arga terpampang di layar. Jantung Rania berdebar kencang, campuran bahagia dan deg-degan memenuhi dadanya. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon.


"Halo," sapa Rania, suaranya sedikit bergetar.


"Hai, Ran," sahut Arga, suaranya terdengar lembut dan hangat. "Gimana? Udah mau tidur kah?"


"Belum, Ga," jawab Rania. "Aku gak bisa tidur, masih nggak percaya sama yang tadi."


Arga tertawa kecil. "Aku juga nggak percaya, bisa seberani ini ngungkapin perasaan."


"Aku juga seneng banget, Ga," ucap Rania, suaranya dipenuhi kebahagiaan.


"Aku juga, Ran. Aku udah lama suka sama kamu, tapi aku selalu ragu untuk ngungkapinnya," kata Arga. "Aku takut kamu nggak suka sama aku."


"Aku juga suka sama kamu, Ga," kata Rania, suaranya sedikit terbata-bata. "Sebenarnya… aku udah suka sama kamu sejak lama. Aku selalu memperhatikanmu dari jauh, tapi aku terlalu pemalu untuk mendekatimu."


"Benarkah?" tanya Arga, suaranya terdengar tak percaya.


"Iya," jawab Rania. "Aku selalu memperhatikanmu saat ulangan, saat kamu tersenyum… aku selalu merasa jantungku berdebar-debar."


Arga terdiam sejenak. "Aku juga merasakan hal yang sama, Ran. Setiap kali melihatmu, aku selalu merasa jantungku berdebar-debar."


Keduanya terdiam sejenak, hanya suara napas mereka yang terdengar. Suasana hening diselingi debaran jantung yang sama-sama berpacu.


"Aku… aku senang kamu juga merasakan hal yang sama," ucap Rania, suaranya bergetar.


"Aku juga, Ran," jawab Arga. "Aku nggak sabar untuk menghabiskan waktu bersamamu."


Mereka masih berbincang lama, berbagi cerita tentang perasaan mereka masing-masing. Arga menceritakan bagaimana perasaannya saat pertama kali melihat Rania, dan bagaimana ia selalu memperhatikan Rania dari kejauhan. Rania juga menceritakan tentang perasaannya yang terpendam selama ini, dan bagaimana ia selalu merasa gugup setiap kali bertemu dengan Arga.


Mendengar kata-kata romantis Arga, Rania merasa berbunga-bunga. Ia merasa sangat beruntung memiliki Arga, pria yang selama ini mengisi mimpinya. Percakapan mereka berakhir larut malam, dengan janji untuk bertemu lagi esok hari. Rania merebahkan diri di kasur, senyum mengembang di wajahnya. Ia tertidur dengan perasaan bahagia dan tenang, hati yang dipenuhi cinta.


TAMAT.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)