Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,726
Di Ujung Waktu
Romantis

Di Ujung Waktu 


Mentari senja menyapa langit, melukis warna jingga di balik pepohonan rindang di SMA Harapan Bangsa. Di kantin sekolah, hiruk pikuk para siswa bercampur dengan aroma kopi dan gorengan yang menggugah selera. Di tengah keriuhan itu, ada dua sosok yang tengah asyik berbincang.

 

“Raka, lihat nih! Aku dapet nilai 90 buat ujian fisika!” seru Marini, matanya berbinar penuh semangat, sambil menunjukkan rapornya. Rambutnya yang diikat ponytail bergoyang seiring dengan gerakannya, seperti senyum yang menular.

 

Raka, dengan gitar kesayangannya di tangan, tersenyum hangat. “Wah, hebat! Pantesan kamu selalu ranking satu di kelas,” pujinya. “Mau pesen apa? Aku traktir deh.”

 

“Hmm… boleh juga. Aku mau es jeruk sama pisang goreng, ya!”

 

Saat Raka beranjak ke konter kantin, Marini menyelinap ke meja sebelah. “Sshht… aku punya kabar gembira, Rak!” bisiknya, penuh harap. “Aku terpilih jadi ketua OSIS!”

 

Raka kembali ke meja dengan dua minuman dan pisang goreng. Dia terdiam, takjub, dan menatap Marini dengan mata berbinar. “Wah, beneran? Keren banget! Pasti kamu bakal jadi ketua OSIS yang luar biasa.”

 

“Iya, doain ya!” Marini tersenyum lebar, lalu menyesap es jeruknya.

 

Senja perlahan beranjak, digantikan oleh gelap malam. Raka mengantar Marini pulang dengan sepeda. Jalanan kota dipenuhi gemerlap lampu, menemani perjalanan mereka.

 

“Kamu hebat banget, Rak! Keren banget nge-cover lagu ‘Hujan’ tadi di acara pensi,” puji Marini.

 

Raka mengangguk, sedikit malu. “Enggak juga sih, biasa aja.”

 

“Enggak kok! Suara kamu merdu banget, aku suka!”

 

Raka mengarahkan pandangannya ke Marini. “Kamu juga hebat, kok! Seneng banget lihat kamu tadi pas lagi ngedance sama teman-teman di acara pensi. Enerjik banget!”

 

“Hahaha… aku lagi latihan buat lomba dance antar sekolah, minggu depan!” kata Marini, masih dengan semangat yang sama.

 

Sepanjang perjalanan, keduanya berbagi cerita dan tawa. Raka terpesona dengan keceriaan dan semangat Marini, yang selalu berhasil membuatnya tersenyum.

 

Tiba-tiba, Marini mengerem sepeda. “Raka, aku lupa ngasih ini!” katanya, lalu menyerahkan sebuah kotak musik kecil berwarna biru. “Ini buat kamu, hadiah dari aku. Thanks, ya, udah selalu ngedukung aku. Aku sayang kamu.”

 

Raka terkesima dengan kotak musik itu. “Makasih, Rin. Aku juga sayang kamu.” Dia mencium kening Marini dengan lembut, lalu berpamitan.

 

“Sampai jumpa besok!”

 

Di bawah langit malam yang penuh bintang, Raka mengayuh sepedanya pulang. Dalam hati, dia menyimpan sebuah janji untuk selalu ada di sisi Marini.

 

***


"Oke, Tim! Fokus! Kita bisa!" Teriakan pelatih bergema di GOR Surabaya, menjejakkan semangat di hati para pemain. Tim basket SMA Harapan Bangsa bersiap menghadapi lawan tangguh, tim basket SMA Barunawati Surabaya, dalam turnamen antar sekolah tingkat provinsi.

 

Di antara sorak sorai para pendukung, Marini berdiri tegak, matanya berbinar penuh semangat. Di bangku penonton, sosok Raka yang setia mendukungnya dengan senyum hangat. Kehadiran Raka memberi kekuatan tersendiri bagi Marini. "Kita bisa, Rin! Aku percaya kamu!" Bisikan Raka seakan menjadi mantra penyemangat.

 

Pertandingan berlangsung sengit.  Kedua tim saling serang dengan strategi jitu. Marini berlari kencang, meliuk-liuk melewati pertahanan lawan, dan menorehkan poin demi poin. Namun, taktik lawan yang agresif membuat Marini kelelahan. Napasnya tersengal-sengal, kakinya terasa pegal.

 

Saat jeda istirahat, Raka langsung menghampiri Marini. “Rin, minum dulu! Kamu kelihatan lelah,” kata Raka, memberikan botol minuman. “Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Kesehatan kamu yang utama.”

 

Marini mengangguk, menyesap air dingin dari botol. Rasa lelahnya sedikit berkurang. “Enggak apa-apa, Rak. Aku masih semangat!”

 

Raka tersenyum, lalu dengan sigap memijat kaki dan tangan Marini. “Ini, biar agak enteng,” katanya lembut. “Aku tahu kamu kuat, Rin, tapi jangan lupa untuk jaga kondisi kamu. Jangan sampai kamu terluka.”

 

Sentuhan Raka begitu menenangkan. Teman-teman Marini yang melihat pemandangan itu terdiam, haru. Rasa sayang dan perhatian Raka pada Marini begitu nyata.

 

“Kamu beneran sayang banget sama Marini, ya, Rak?” tanya salah seorang teman Marini, tersirat kekaguman di matanya.

 

Raka hanya tersenyum. “Tentu saja. Aku selalu mendukungnya dalam keadaan apapun.”

 

Peluit tanda dimulainya babak kedua berbunyi. Marini kembali ke lapangan, semangatnya terbakar. Di setiap gerakannya, dia merasakan dukungan Raka yang tak terpisahkan.

 

"Raka, aku siap!" teriak Marini, memberikan semangat kepada timnya.

 

Pertandingan semakin menegangkan.  Skor terus berkejaran. Namun, dengan semangat dan kerja sama tim yang solid, Tim SMA Harapan Bangsa akhirnya berhasil mengungguli Tim Barunawati Surabaya. Sorak sorai kemenangan memenuhi GOR,  menandai kemenangan yang penuh perjuangan.

 

Marini, dengan napas tersengal-sengal, mendekati Raka yang langsung menyambutnya dengan pelukan hangat.

 

“Kita menang, Rak!” teriak Marini, bahagia. “Kita berhasil!”

 

Raka tersenyum, matanya berbinar penuh kebahagiaan. “Kamu hebat, Rin. Kamu luar biasa.”

 

Di bawah sorak sorai kemenangan, Raka dan Marini saling berpandangan. Dalam hati, mereka berdua tahu, perjalanan mereka berdua masih panjang.


***


"Akhirnya libur juga!" Seru Marini, berseri-seri,  menggelengkan kepalanya, seiring dengan irama lagu yang diputar di dalam bus.  Raka, yang duduk di dekatnya, ikut tersenyum.  "Iya, Rin.  Seneng banget, bisa liburan bareng teman-teman."

 

Bus pariwisata yang membawa mereka melaju kencang menuju Trawas, Mojokerto.  Pembina Pramuka, Pak Joko,  mengusulkan kegiatan lintas alam untuk mengisi waktu liburan sekolah.  Semua siswa kelas XI  antusias menyambut acara ini.

 

Suasana di dalam bus begitu riuh.  Para siswa bernyanyi, bercanda,  dan berbagi cerita.  Raka, dengan gitar kesayangannya,  menghibur teman-teman dengan lagu-lagu romantis.  Suara merdunya mengalun indah, mengisi ruang bus dengan nuansa hangat.

 

Marini menatap Raka,  terpesona dengan ketampanan Raka yang semakin terpancar saat memainkan gitar.  "Raka, kamu keren banget!  Suara kamu selalu bikin tenang,"  ujarnya, tersipu malu.  Raka menoleh,  menatap Marini dengan mata penuh kasih sayang.  "Kamu juga keren, Rin.  Semangat banget,  selalu bersemangat."

 

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan,  bus akhirnya tiba di lokasi.  Pak Joko langsung membagi siswa menjadi beberapa kelompok.  Raka dan Marini,  tak terpisahkan,  tergabung dalam satu kelompok.

 

"Oke,  kelompok ini,  Raka,  Marini,  dan  Agus,  siap menjelajahi jalur C!"  kata Pak Joko.  "Jangan lupa berhati-hati,  dan ikuti instruksi dari kakak pembina yang mendampingi kalian!"

 

"Siap, Pak!"  jawab mereka serentak.

 

Raka, Marini,  dan Agus  mulai menyusuri jalur C.  Jalur ini cukup menantang.  Tanjakan,  turunan,  dan bebatuan menjadi rintangan yang harus mereka taklukkan.  Namun,  mereka  saling membantu,  saling menyemangati.  Keharmonisan mereka  menjadikan perjalanan  lebih  menyenangkan.

 

Saat  menjelajahi sebuah  tebing,  Marini  bermaksud  mengambil  foto  pemandangan  yang  sangat  indah.  Tanpa  sadar,  kakinya  terpeleset  di  batu  licin.  "Aduh!"  jeritnya,  terasa  sakit  di  kakinya.

 

Raka  yang  ada  di  dekatnya  langsung  berlari  mendekati  Marini.  "Rin,  kamu kenapa?"  tanyanya,  khawatir.

 

"Kaki aku terkilir,  Rak.  Sakit banget,"  jawab Marini,  terlihat  kesakitan.

 

"Tenang,  Rin.  Aku  akan  membantu  kamu,"  kata  Raka.  Dia  dengan  sigap  memijat  kaki  Marini,  berusaha  meredakan  rasa  sakit.

 

Namun,  Marini  tak  bisa  berjalan.  "Aku  gak  bisa  jalan,  Rak,"  ujarnya,  suaranya  bergetar.

 

"Tenang,  Rin.  Aku  akan  gendong  kamu,"  kata  Raka.  Dia  berjongkok,  mengusap  rambut  Marini,  dan  menatap  matanya  dengan  penuh  kasih.

 

"Aku  tidak  mau  merepotkan  kamu,  Rak,"  kata  Marini.

 

"Kamu  tidak  merepotkanku,  Rin.  Aku  ingin  membantumu,"  jawab  Raka.

 

Raka  mengendong  Marini  dengan  hati-hati.  Dia  membawa  Marini  menuju  tempat  bus  dengan  langkah  yang  tegas.  Di  sepanjang  jalan,  Raka  terus  menanyakan  kondisi  Marini.

 

"Kamu  baik-baik  saja,  kan,  Rin?"  tanya  Raka.

 

"Aku  baik-baik  saja,  Rak.  Terima  kasih  sudah  membantuku,"  jawab  Marini,  suaranya  lemah,  namun  tersirat  rasa  syukur.

 

"Tidak apa-apa, Rin. Aku selalu ada untukmu," kata Raka, dengan suara yang lembut.

 

Raka terus berjalan dengan langkah pasti, menggendong Marini. Di sepanjang jalan, dia menyapa teman-teman yang bertemu dengannya.

 

"Raka, Marini kenapa?" tanya Agus, kawan satu kelompok mereka.

 

"Kakinya terkilir, Gus. Nggak bisa jalan," jawab Raka, tanpa menghentikan langkahnya.

 

Agus mengangguk, ikut merasa khawatir. Dia melihat Raka yang dengan sabar dan penuh kasih sayang menggendong Marini.

 

Sampai di tempat bus, Raka langsung menurunkan Marini dengan hati-hati.

 

"Sini, Rin. Duduk dulu," kata Raka, menunjuk kursi kosong di dekat jendela.

 

Marini duduk,  terlihat lemas. Raka langsung menghampiri Pak Joko,  menjelaskan kondisi Marini.

 

"Pak,  Marini kakinya terkilir.  Dia  kelihatannya  nggak  bisa  jalan,"  lapor Raka.

 

Pak Joko  menanggapi dengan serius.  "Wah,  kasian.  Gimana  kondisi  Marini?"  tanya Pak Joko.

 

"Sedikit  sakit,  Pak.  Tapi  dia  kuat  kok,"  jawab  Raka.

 

Pak Joko  menoleh  ke  Marini.  "Marini,  kamu  baik-baik  saja?"  tanyanya.

 

"Saya  baik-baik  saja,  Pak.  Terima  kasih  atas  perhatiannya,"  jawab  Marini,  meskipun  suaranya  terdengar  lemah.

 

Pak Joko  mengusulkan  agar  Marini  diantar  ke  rumah  sakit  terdekat.  Namun,  Raka  menolak  usulan  itu.

 

"Tidak  perlu,  Pak.  Saya  akan  menjaganya  di  sini.  Saya   yakin  dia  akan  baik-baik  saja,"  kata  Raka,  tegas.

 

Pak Joko  menangguk,  setuju  dengan  Raka.  "Baiklah,  Raka.  Kamu  jaganya  ya,  Marini.  Jangan  sampai  dia  terlalu  lelah.  "

 

Raka  menangguk,  matanya  tak  beranjak  dari  wajah  Marini.  Dia  terus  menemani  Marini  di  dalam  bus,  memijat  kakinya  dengan  lembut,  dan  memberikan  minuman  dingin  untuknya.

 

Marini  menatap  Raka,  terharu  dengan  perhatian  Raka  yang  tulus.  "Raka,  terima  kasih  sudah  selalu  ada  untukku,"  ujarnya,  suaranya  gemetar.

 

"Tidak  apa-apa,  Rin.  Aku  selalu berusaha membuat kamu nyaman,"  jawab  Raka,  sambil  mengusap  rambut  Marini  dengan  lembut.

 

Suasana  dalam  bus  kembali  hening,  hanya  suara  detak  jantung  Marini  dan  Raka  yang  terdengar  jelas.  Di  tengah  rintangan  yang  menyapa  mereka,  cinta  mereka  semakin  kuat.

 

Kisah  cinta  mereka  berlanjut  dengan  tes  yang  lebih  berat.  Raka  bertekad  untuk  selalu  mendampingi  Marini,  menemani  dia  melalui  setiap  tantangan  hidup.


***


Sinar matahari pagi yang lembut menembus jendela kamar Marini.  Suasana kamar begitu hening,  hanya terdengar suara napas Marini yang  lemah.  Sejak pulang dari kegiatan lintas alam,  Marini  sering  jatuh sakit.  Badannya  lemah,  wajahnya  pucat,  dan  nafsu  makan  menurun.

 

"Rin,  kamu  bangun  dulu,  Sayang.  Sudah  siang  ini,"  ujar Ibu Marini,  lembut,  sambil  mengusap  dahi  Marini.

 

Marini  membuka  matanya  perlahan,  menatap  Ibu  dengan  tatapan  lemah.  "Ibu,  kepala  aku  pusing,"  ujarnya,  suaranya  serak.

 

Ibu  mengelus  rambut  Marini  dengan  penuh  kasih sayang.  "Sabar  ya,  Sayang.  Ibu  sudah  minta  dokter  untuk  cek  kesehatan  kamu."

 

"Ibu,  aku  khawatir,"  bisik  Marini,  suaranya  bergetar.

 

"Kenapa,  Sayang?  Kamu  khawatir  apa?"  tanya  Ibu,  khawatir.

 

"Aku  khawatir  aku  sakit  berat,  Bu,"  jawab  Marini,  air  matanya  menetes  pelan.

 

Ibu  Marini  menarik  Marini  ke  pelukannya.  "Jangan  khawatir,  Sayang.  Ibu  selalu  ada  untukmu.  Kita  hadapi  bersama."

 

Saat itu juga,  tiba-tiba  terdengar  ketukan  di  pintu.  Ibu  Marini  membuka  pintu,  terlihat  Pak  Yanto,  guru  wali  kelas  Marini,  dan  beberapa  temannya,  datang  menjenguk.

 

"Marini,  kamu  baik-baik  saja?  "  tanya  Pak  Yanto,  wajahnya  menunjukkan  kekhawatiran.

 

"Bapak  Yanto,  terima  kasih  sudah  menjenguk  Marini,"  kata  Ibu  Marini,  dengan  senyum  yang  terlihat  lelah.

 

Marini  terlihat  terkejut.  "Pak  Yanto,  teman-teman,  kenapa  datang?"  tanyanya,  suaranya  terdengar  lemah.

 

"Kami  ingin  menjengukmu,  Marini.  Kami  khawatir  dengan  kondisi  kamu,"  jawab  Agus,  salah  satu  teman  Marini.

 

"Kami  juga  ingin  memberimu  semangat  dan  doa,"  kata  Raka,  dengan  senyum  yang  menenangkan.

 

Marini  terharu  dengan  perhatian  teman-temannya.  "Terima  kasih  sudah  menjengukku,  teman-teman.  Aku  terharu,"  ujarnya,  dengan  air  mata  yang  mengalir  pelan.

 

Pak  Yanto  dan  teman-teman  Marini  bergantian  menanyakan  kondisi  Marini  dan  memberinya  semangat.  Suasana  kamar  Marini  dipenuhi  dengan  kehangatan  dan  keakraban.

 

Raka  duduk  di  samping  Marini,  mengusap  tangan  Marini  dengan  lembut.  "Kamu  pasti  bisa  lewatin  ini,  Rin.  Kita  bersama-sama  mendukungmu,"  kata  Raka,  dengan  suara  yang  menenangkan.

 

Marini  menatap  Raka,  matanya  berbinar  harapan.  "Terima  kasih,  Rak.  Aku  beruntung  mempunyai  teman  sebaik  kamu."

 

Suasana  kamar  semakin  hangat  dengan  canda  dan  tawa  teman-teman  Marini.  Meskipun  dalam  kondisi  yang  lemah,  Marini  terlihat  lebih  tenang  dan  bahagia  dengan  kehadiran  teman-temannya. Ibu  Marini  terlihat  tersenyum  melihat  keakraban  yang  terjalin.


***


Sebuah kabar mengejutkan mengguncang hati Raka.  Seorang teman menelepon, menyampaikan berita bahwa Marini terbaring koma di rumah sakit.  Raka langsung bergegas menuju rumah sakit, jantungnya berdebar kencang,  takut dan khawatir bercampur menjadi satu.

 

Di ruang rawat inap,  Raka menemukan Ibu Marini dan Bapak Marini,  wajah mereka pucat dan lesu.  Dokter menjelaskan bahwa Marini menderita leukimia,  sebuah penyakit ganas yang menyerang sel darah putih.  Kemungkinan sembuh sangat kecil.

 

"Kami  sudah  putus  asa,  Raka,"  ujar  Ibu Marini,  air  matanya  mengalir  deras.  "Kami  tak  tahu  harus  bagaimana  lagi."

 

Raka  memeluk  Ibu Marini,  mencoba  memberikan  penghiburan.  "Ibu  jangan  berputus  asa.  Kita  percaya  pada  kekuatan  doa.  Marini  pasti  bisa  lewatin  ini,"  kata  Raka,  suaranya  bergetar.

 

Raka  terus  menemani  Marini  di  samping  ranjangnya.  Dia  mengusap  tangan  Marini,  menatap  wajah  Marini  yang  pucat  dengan  tatapan  penuh  kasih sayang.  Dia  bercerita  tentang  kehidupan  sehari-hari,  menyanyikan  lagu-lagu  kesukaan  Marini,  dan  berdoa  untuk  kesembuhan  Marini.

 

"Rin,  bangunlah,  Sayang.  Aku  menunggu  kamu,"  bisik  Raka,  air  matanya  mengalir  pelan.

 

Tangan  Raka  mencengkeram  erat  tangan  Marini.  Air  matanya  jatuh  di  tangan  Marini.  Seolah  terjadi  keajaiban.  Tangan  Marini  bergerak  pelan.  Kelopak  matanya  terbuka  perlahan.

 

"Raka?"  bisik  Marini,  suaranya  lemah.

 

Raka  terkejut.  Matanya  membesar  tak  percaya.  "Rin,  kamu sudah bangun!"  serunya,  suaranya  bergetar  kegembiraan.

 

Marini  tersenyum  lemah.  "Aku  di  mana,  Rak?"  tanyanya.

 

"Kamu  di  rumah  sakit,  Rin.  Kamu  sakit,"  jawab  Raka,  dengan  suara  yang  terbata-bata.

 

Marini  terkejut.  "Sakit?  Sakit  apa?"  tanyanya.

 

"Kamu  sakit  leukimia,  Rin,"  jawab  Raka.

 

Marini  terdiam,  matanya  menatap  Raka  dengan  tatapan  yang  bingung.  "Leukimia?  Apa  itu?"  tanyanya.

 

Raka  menjelaskan  tentang  penyakit  leukimia.  Marini  terlihat  terkejut  dan  takut.  Namun,  Raka  menenangkannya.

 

"Tenang  saja,  Rin.  Kamu  pasti  bisa  lewatin  ini.  Kita  bersama-sama  mendukungmu,"  kata  Raka,  sambil  mengusap  rambut  Marini.

 

Ibu Marini  dan  Bapak Marini  mendekati  ranjang  Marini.  Mereka  terharu  melihat  Marini  siuman.

 

"Marini,  Sayang.  Kamu  sudah  bangun!"  ujar  Ibu  Marini,  suaranya  bergetar  kegembiraan.

 

Marini  tersenyum  lemah.  "Ibu,  aku  baik-baik  saja."

 

"Ya  Allah,  terima  kasih.  Engkau  telah  menyelamatkan  putriku,"  kata  Ibu  Marini,  dengan  air  mata  yang  mengalir  deras.

 

Dokter  mendekati  ranjang  Marini,  memeriksa  kondisi  Marini.  "Keajaiban  ini  sulit  dijelaskan.  Marini  telah  melewati  masa  kritis.


***


Mentari pagi menyapa dengan hangat, menyapa hari yang baru bagi SMA Harapan Bangsa. Suasana sekolah ramai dengan aktivitas siswa yang berlalu lalang.  Namun, ada satu hal yang tak biasa terjadi hari ini. Di pintu gerbang sekolah,  terlihat sebuah kursi roda  didorong oleh seorang pemuda tampan.

 

"Rin, hati-hati ya.  Jalannya agak sedikit bergelombang,"  kata Raka, dengan lembut, sambil menuntun kursi roda  yang  ditempati  Marini.

 

Wajah Marini terlihat berseri-seri.  Meskipun tubuhnya harus bersandar pada kursi roda,  senyumnya tak pernah padam.

 

"Aku baik-baik saja, Rak.  Tenang saja," jawab Marini,  sambil  menatap  Raka  dengan  mata  yang  berbinar.

 

Mereka berdua perlahan memasuki  sekolah,  menjelajahi lorong yang penuh dengan kenangan.

 

"Rin,  kamu  mau  ke  kelas  dulu  atau  ke  kantin?"  tanya Raka.

 

"Ke  kelas  dulu,  ya.  Aku  ingin  bertemu  teman-teman,"  jawab Marini.

 

Raka  mengangguk,  kemudian mendorong  kursi roda  Marini  menuju  ruang kelas.

 

Saat  mendekati  pintu  kelas,  terlihat  sekelompok  siswa  yang  berkerumun  di  depan  pintu.  Mereka  terdiam  sejenak,  lalu  tersenyum  lebar  ketika  melihat  Marini  dan  Raka.

 

"Marini!  Kamu  sudah  sembuh!"  teriak  Agus,  salah  satu  teman  Marini.

 

"Alhamdulillah,  Marini  sudah  baik-baik  saja!"  kata  teman-teman  lainnya,  dengan  suara  yang  penuh  kegembiraan.

 

Raka  mendorong  kursi roda  Marini  masuk  ke  dalam  kelas.  Semua  mata  tertuju  pada  Marini.  Suasana  kelas  yang  awalnya  riuh  mendadak  hening.

 

Marini  tersenyum  lebar.  "Hai,  teman-teman!  Aku  senang  bisa  kembali  ke  sekolah."

 

"Rin,  kamu  kuat banget!  Kita  kangen  banget  sama  kamu,"  ujar  Sarah,  sambil  memeluk  Marini.

 

"Iya,  Rin.  Kita  seneng  kamu  sudah  sembuh,"  kata  teman-teman  lainnya,  sambil  menyerbu  Marini  dengan  pelukan  hangat.

 

Raka  tersenyum,  melihat  Marini  yang  kembali  disambut  dengan  hangat  oleh  teman-temannya.  Dia  merasa  bahagia  melihat  Marini  yang  kuat  dan  optimis.

 

"Rin,  aku  duduk  di  sampingmu,  ya?"  tanya  Raka.

 

"Iya,  Rak.  Silakan,"  jawab  Marini.

 

Raka  duduk  di  samping  Marini,  sambil  menarik  kursi  dekat  ke  kursi roda  Marini.  Dia  terus  menemani  Marini  sepanjang  pelajaran.

 

Saat  jam  istirahat,  Raka  membantu  Marini  menuju  kantin.  Di  kantin,  teman-teman  Marini  menyerbu  Marini  dengan  makanan  kesukaannya.

 

"Rin,  makan  yang  banyak,  ya!  Biar  cepet  sembuh,"  kata  Agus.

 

"Iya,  Rin.  Jangan  capek-capek,  ya,"  kata  Sarah.

 

Marini  tersenyum,  menikmati  suasana  keakraban  bersama  teman-temannya.  Dia  merasa  bahagia  bisa  kembali  bersekolah  dan  bersama  dengan  teman-temannya.

 

"Terima  kasih,  teman-teman.  Aku  seneng  bisa  kembali  bersama  kalian,"  kata  Marini,  suaranya  bergetar  kegembiraan. 

Raka  menatap  Marini  dengan  tatapan  yang  penuh  cinta.

Mentari sore mulai meredup, langit Surabaya dihiasi warna jingga kemerahan. Raka dengan sigap membantu Marini keluar dari kelas, menuntun kursi roda nya menuju mobil.

"Rin, hati-hati ya. Jangan terlalu cepat bergerak," ujar Raka, lembut, sambil memasukkan kursi roda ke bagasi mobil.

"Iya, Rak. Aku baik-baik saja kok," jawab Marini, sambil tersenyum.

Raka menutup bagasi mobil, kemudian membuka pintu mobil untuk Marini.

"Silakan, Rin," kata Raka, menyerahkan tangannya untuk membantu Marini masuk ke dalam mobil.

Marini menyerahkan tangannya pada Raka, kemudian duduk nyaman di kursi penumpang.

"Kamu tidak perlu repot-repot jemput aku sekolah, Rak. Aku bisa dianter ayah," kata Marini.

"Tidak apa-apa, Rin. Aku ingin menjemputmu. Lagipula, aku kan sudah janji akan selalu menemanimu," jawab Raka, sambil menyalakan mesin mobil.

"Kamu baik banget, Rak," kata Marini, tersenyum.

Raka menggeleng, sambil menyalakan radio. Alunan musik yang menenangkan menemani perjalanan mereka.

"Rin, kamu sudah makan siang?" tanya Raka.

"Sudah, Rak. Tadi aku makan di kantin bareng teman-teman," jawab Marini.

"Makan yang banyak, ya. Biar cepat sembuh," kata Raka.

"Iya, Rak. Aku akan makan yang banyak," jawab Marini, tersenyum.

"Mereka benar-benar baik ya, Rin? Aku senang kamu punya teman-teman yang setia," kata Raka, suaranya penuh kehangatan.

Marini menangguk, matanya berbinar. "Iya, Rak. Aku beruntung memiliki teman-teman yang baik seperti mereka."

"Kamu juga beruntung mempunyai aku," ujar Raka, sambil menatap Marini dengan mata yang penuh cinta.

Marini tersipu malu. "Iya, sih. Aku beruntung memiliki kamu, Rak."

Mereka tertawa bersama, menikmati suasana yang hangat di dalam mobil. Raka menyetir mobil dengan hati-hati, menelusuri jalan kota Surabaya yang ramai.

"Rin, kamu mau makan di mana malam ini?" tanya Raka.

"Aku ingin makan mie ayam di warung favoritku, Rak. Yang ada di dekat rumahmu," jawab Marini.

"Oke, Rin. Kita makan di sana," jawab Raka.

Mereka terus berbincang santai, mengobrol tentang hal-hal sepele, tentang pelajaran di sekolah, tentang rencana liburan mereka yang tertunda karena penyakit Marini, dan tentang mimpi mereka di masa depan.

"Rin, kamu ingin menjadi apa nanti kalau sudah lulus?" tanya Raka.

"Aku ingin menjadi dokter, Rak. Aku ingin membantu orang-orang yang sakit," jawab Marini, matanya berbinar penuh semangat.

"Wah, keren! Pasti kamu akan jadi dokter yang baik hati," kata Raka.

"Kamu juga akan jadi musisi yang sukses, Rak. Aku yakin itu," jawab Marini.

"Terima kasih, Rin. Aku akan terus berjuang untuk mewujudkan mimpiku," kata Raka.

Mobil Raka berhenti di depan warung mie ayam favorit Marini. Raka turun dari mobil, membantu Marini keluar dari mobil.

"Ayo, Rin. Kita makan," kata Raka, sambil menuntun Marini menuju warung.

Marini tersenyum bahagia. Dia merasa sangat beruntung memiliki Raka, seorang kekasih yang setia dan mencintainya tanpa syarat.

Mereka duduk di meja dan menikmati hidangan mie ayam yang lezat. Di samping Marini, Raka terus memberikan perhatian dan kasih sayang.

"Rin, aku selalu ada untukmu," bisik Raka, sambil menatap mata Marini.

Marini tersenyum, tanganya mencengkeram erat tangan Raka. "Aku juga selalu ada untukmu, Rak."

Mentari sore mulai tenggelam, menghilang di balik pepohonan yang menjulang tinggi. Raka dan Marini masih berbincang santai, menikmati kehangatan cinta mereka.

Di ujung waktu, kisah cinta Raka dan Marini berakhir dengan bahagia. Meskipun perjalanan cinta mereka penuh liku dan tantangan, mereka tetap kuat bersama, menjalani hidup dengan cinta dan semangat. Cinta mereka tak kan pernah padam, meskipun waktu terus berjalan.

*****

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)