Masukan nama pengguna
Di Ujung Waktu
Mentari senja menyapa langit, melukis warna jingga di balik pepohonan rindang di SMA Harapan Bangsa. Di kantin sekolah, hiruk pikuk para siswa bercampur dengan aroma kopi dan gorengan yang menggugah selera. Di tengah keriuhan itu, ada dua sosok yang tengah asyik berbincang.
“Raka, lihat nih! Aku dapet nilai 90 buat ujian fisika!” seru Marini, matanya berbinar penuh semangat, sambil menunjukkan rapornya. Rambutnya yang diikat ponytail bergoyang seiring dengan gerakannya, seperti senyum yang menular.
Raka, dengan gitar kesayangannya di tangan, tersenyum hangat. “Wah, hebat! Pantesan kamu selalu ranking satu di kelas,” pujinya. “Mau pesen apa? Aku traktir deh.”
“Hmm… boleh juga. Aku mau es jeruk sama pisang goreng, ya!”
Saat Raka beranjak ke konter kantin, Marini menyelinap ke meja sebelah. “Sshht… aku punya kabar gembira, Rak!” bisiknya, penuh harap. “Aku terpilih jadi ketua OSIS!”
Raka kembali ke meja dengan dua minuman dan pisang goreng. Dia terdiam, takjub, dan menatap Marini dengan mata berbinar. “Wah, beneran? Keren banget! Pasti kamu bakal jadi ketua OSIS yang luar biasa.”
“Iya, doain ya!” Marini tersenyum lebar, lalu menyesap es jeruknya.
Senja perlahan beranjak, digantikan oleh gelap malam. Raka mengantar Marini pulang dengan sepeda. Jalanan kota dipenuhi gemerlap lampu, menemani perjalanan mereka.
“Kamu hebat banget, Rak! Keren banget nge-cover lagu ‘Hujan’ tadi di acara pensi,” puji Marini.
Raka mengangguk, sedikit malu. “Enggak juga sih, biasa aja.”
“Enggak kok! Suara kamu merdu banget, aku suka!”
Raka mengarahkan pandangannya ke Marini. “Kamu juga hebat, kok! Seneng banget lihat kamu tadi pas lagi ngedance sama teman-teman di acara pensi. Enerjik banget!”
“Hahaha… aku lagi latihan buat lomba dance antar sekolah, minggu depan!” kata Marini, masih dengan semangat yang sama.
Sepanjang perjalanan, keduanya berbagi cerita dan tawa. Raka terpesona dengan keceriaan dan semangat Marini, yang selalu berhasil membuatnya tersenyum.
Tiba-tiba, Marini mengerem sepeda. “Raka, aku lupa ngasih ini!” katanya, lalu menyerahkan sebuah kotak musik kecil berwarna biru. “Ini buat kamu, hadiah dari aku. Thanks, ya, udah selalu ngedukung aku. Aku sayang kamu.”
Raka terkesima dengan kotak musik itu. “Makasih, Rin. Aku juga sayang kamu.” Dia mencium kening Marini dengan lembut, lalu berpamitan.
“Sampai jumpa besok!”
Di bawah langit malam yang penuh bintang, Raka mengayuh sepedanya pulang. Dalam hati, dia menyimpan sebuah janji untuk selalu ada di sisi Marini.
***
"Oke, Tim! Fokus! Kita bisa!" Teriakan pelatih bergema di GOR Surabaya, menjejakkan semangat di hati para pemain. Tim basket SMA Harapan Bangsa bersiap menghadapi lawan tangguh, tim basket SMA Barunawati Surabaya, dalam turnamen antar sekolah tingkat provinsi.
Di antara sorak sorai para pendukung, Marini berdiri tegak, matanya berbinar penuh semangat. Di bangku penonton, sosok Raka yang setia mendukungnya dengan senyum hangat. Kehadiran Raka memberi kekuatan tersendiri bagi Marini. "Kita bisa, Rin! Aku percaya kamu!" Bisikan Raka seakan menjadi mantra penyemangat.
Pertandingan berlangsung sengit. Kedua tim saling serang dengan strategi jitu. Marini berlari kencang, meliuk-liuk melewati pertahanan lawan, dan menorehkan poin demi poin. Namun, taktik lawan yang agresif membuat Marini kelelahan. Napasnya tersengal-sengal, kakinya terasa pegal.
Saat jeda istirahat, Raka langsung menghampiri Marini. “Rin, minum dulu! Kamu kelihatan lelah,” kata Raka, memberikan botol minuman. “Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Kesehatan kamu yang utama.”
Marini mengangguk, menyesap air dingin dari botol. Rasa lelahnya sedikit berkurang. “Enggak apa-apa, Rak. Aku masih semangat!”
Raka tersenyum, lalu dengan sigap memijat kaki dan tangan Marini. “Ini, biar agak enteng,” katanya lembut. “Aku tahu kamu kuat, Rin, tapi jangan lupa untuk jaga kondisi kamu. Jangan sampai kamu terluka.”
Sentuhan Raka begitu menenangkan. Teman-teman Marini yang melihat pemandangan itu terdiam, haru. Rasa sayang dan perhatian Raka pada Marini begitu nyata.
“Kamu beneran sayang banget sama Marini, ya, Rak?” tanya salah seorang teman Marini, tersirat kekaguman di matanya.
Raka hanya tersenyum. “Tentu saja. Aku selalu mendukungnya dalam keadaan apapun.”
Peluit tanda dimulainya babak kedua berbunyi. Marini kembali ke lapangan, semangatnya terbakar. Di setiap gerakannya, dia merasakan dukungan Raka yang tak terpisahkan.
"Raka, aku siap!" teriak Marini, memberikan semangat kepada timnya.
Pertandingan semakin menegangkan. Skor terus berkejaran. Namun, dengan semangat dan kerja sama tim yang solid, Tim SMA Harapan Bangsa akhirnya berhasil mengungguli Tim Barunawati Surabaya. Sorak sorai kemenangan memenuhi GOR, menandai kemenangan yang penuh perjuangan.
Marini, dengan napas tersengal-sengal, mendekati Raka yang langsung menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Kita menang, Rak!” teriak Marini, bahagia. “Kita berhasil!”
Raka tersenyum, matanya berbinar penuh kebahagiaan. “Kamu hebat, Rin. Kamu luar biasa.”
Di bawah sorak sorai kemenangan, Raka dan Marini saling berpandangan. Dalam hati, mereka berdua tahu, perjalanan mereka berdua masih panjang.
***
"Akhirnya libur juga!" Seru Marini, berseri-seri, menggelengkan kepalanya, seiring dengan irama lagu yang diputar di dalam bus. Raka, yang duduk di dekatnya, ikut tersenyum. "Iya, Rin. Seneng banget, bisa liburan bareng teman-teman."
Bus pariwisata yang membawa mereka melaju kencang menuju Trawas, Mojokerto. Pembina Pramuka, Pak Joko, mengusulkan kegiatan lintas alam untuk mengisi waktu liburan sekolah. Semua siswa kelas XI antusias menyambut acara ini.
Suasana di dalam bus begitu riuh. Para siswa bernyanyi, bercanda, dan berbagi cerita. Raka, dengan gitar kesayangannya, menghibur teman-teman dengan lagu-lagu romantis. Suara merdunya mengalun indah, mengisi ruang bus dengan nuansa hangat.
Marini menatap Raka, terpesona dengan ketampanan Raka yang semakin terpancar saat memainkan gitar. "Raka, kamu keren banget! Suara kamu selalu bikin tenang," ujarnya, tersipu malu. Raka menoleh, menatap Marini dengan mata penuh kasih sayang. "Kamu juga keren, Rin. Semangat banget, selalu bersemangat."
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, bus akhirnya tiba di lokasi. Pak Joko langsung membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Raka dan Marini, tak terpisahkan, tergabung dalam satu kelompok.
"Oke, kelompok ini, Raka, Marini, dan Agus, siap menjelajahi jalur C!" kata Pak Joko. "Jangan lupa berhati-hati, dan ikuti instruksi dari kakak pembina yang mendampingi kalian!"
"Siap, Pak!" jawab mereka serentak.
Raka, Marini, dan Agus mulai menyusuri jalur C. Jalur ini cukup menantang. Tanjakan, turunan, dan bebatuan menjadi rintangan yang harus mereka taklukkan. Namun, mereka saling membantu, saling menyemangati. Keharmonisan mereka menjadikan perjalanan lebih menyenangkan.
Saat menjelajahi sebuah tebing, Marini bermaksud mengambil foto pemandangan yang sangat indah. Tanpa sadar, kakinya terpeleset di batu licin. "Aduh!" jeritnya, terasa sakit di kakinya.
Raka yang ada di dekatnya langsung berlari mendekati Marini. "Rin, kamu kenapa?" tanyanya, khawatir.
"Kaki aku terkilir, Rak. Sakit banget," jawab Marini, terlihat kesakitan.
"Tenang, Rin. Aku akan membantu kamu," kata Raka. Dia dengan sigap memijat kaki Marini, berusaha meredakan rasa sakit.
Namun, Marini tak bisa berjalan. "Aku gak bisa jalan, Rak," ujarnya, suaranya bergetar.
"Tenang, Rin. Aku akan gendong kamu," kata Raka. Dia berjongkok, mengusap rambut Marini, dan menatap matanya dengan penuh kasih.
"Aku tidak mau merepotkan kamu, Rak," kata Marini.
"Kamu tidak merepotkanku, Rin. Aku ingin membantumu," jawab Raka.
Raka mengendong Marini dengan hati-hati. Dia membawa Marini menuju tempat bus dengan langkah yang tegas. Di sepanjang jalan, Raka terus menanyakan kondisi Marini.
"Kamu baik-baik saja, kan, Rin?" tanya Raka.
"Aku baik-baik saja, Rak. Terima kasih sudah membantuku," jawab Marini, suaranya lemah, namun tersirat rasa syukur.
"Tidak apa-apa, Rin. Aku selalu ada untukmu," kata Raka, dengan suara yang lembut.
Raka terus berjalan dengan langkah pasti, menggendong Marini. Di sepanjang jalan, dia menyapa teman-teman yang bertemu dengannya.
"Raka, Marini kenapa?" tanya Agus, kawan satu kelompok mereka.
"Kakinya terkilir, Gus. Nggak bisa jalan," jawab Raka, tanpa menghentikan langkahnya.
Agus mengangguk, ikut merasa khawatir. Dia melihat Raka yang dengan sabar dan penuh kasih sayang menggendong Marini.
Sampai di tempat bus, Raka langsung menurunkan Marini dengan hati-hati.
"Sini, Rin. Duduk dulu," kata Raka, menunjuk kursi kosong di dekat jendela.
Marini duduk, terlihat lemas. Raka langsung menghampiri Pak Joko, menjelaskan kondisi Marini.
"Pak, Marini kakinya terkilir. Dia kelihatannya nggak bisa jalan," lapor Raka.
Pak Joko menanggapi dengan serius. "Wah, kasian. Gimana kondisi Marini?" tanya Pak Joko.
"Sedikit sakit, Pak. Tapi dia kuat kok," jawab Raka.
Pak Joko menoleh ke Marini. "Marini, kamu baik-baik saja?" tanyanya.
"Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih atas perhatiannya," jawab Marini, meskipun suaranya terdengar lemah.
Pak Joko mengusulkan agar Marini diantar ke rumah sakit terdekat. Namun, Raka menolak usulan itu.
"Tidak perlu, Pak. Saya akan menjaganya di sini. Saya yakin dia akan baik-baik saja," kata Raka, tegas.
Pak Joko menangguk, setuju dengan Raka. "Baiklah, Raka. Kamu jaganya ya, Marini. Jangan sampai dia terlalu lelah. "
Raka menangguk, matanya tak beranjak dari wajah Marini. Dia terus menemani Marini di dalam bus, memijat kakinya dengan lembut, dan memberikan minuman dingin untuknya.
Marini menatap Raka, terharu dengan perhatian Raka yang tulus. "Raka, terima kasih sudah selalu ada untukku," ujarnya, suaranya gemetar.
"Tidak apa-apa, Rin. Aku selalu berusaha membuat kamu nyaman," jawab Raka, sambil mengusap rambut Marini dengan lembut.
Suasana dalam bus kembali hening, hanya suara detak jantung Marini dan Raka yang terdengar jelas. Di tengah rintangan yang menyapa mereka, cinta mereka semakin kuat.
Kisah cinta mereka berlanjut dengan tes yang lebih berat. Raka bertekad untuk selalu mendampingi Marini, menemani dia melalui setiap tantangan hidup.
***
Sinar matahari pagi yang lembut menembus jendela kamar Marini. Suasana kamar begitu hening, hanya terdengar suara napas Marini yang lemah. Sejak pulang dari kegiatan lintas alam, Marini sering jatuh sakit. Badannya lemah, wajahnya pucat, dan nafsu makan menurun.
"Rin, kamu bangun dulu, Sayang. Sudah siang ini," ujar Ibu Marini, lembut, sambil mengusap dahi Marini.
Marini membuka matanya perlahan, menatap Ibu dengan tatapan lemah. "Ibu, kepala aku pusing," ujarnya, suaranya serak.
Ibu mengelus rambut Marini dengan penuh kasih sayang. "Sabar ya, Sayang. Ibu sudah minta dokter untuk cek kesehatan kamu."
"Ibu, aku khawatir," bisik Marini, suaranya bergetar.
"Kenapa, Sayang? Kamu khawatir apa?" tanya Ibu, khawatir.
"Aku khawatir aku sakit berat, Bu," jawab Marini, air matanya menetes pelan.
Ibu Marini menarik Marini ke pelukannya. "Jangan khawatir, Sayang. Ibu selalu ada untukmu. Kita hadapi bersama."
Saat itu juga, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ibu Marini membuka pintu, terlihat Pak Yanto, guru wali kelas Marini, dan beberapa temannya, datang menjenguk.
"Marini, kamu baik-baik saja? " tanya Pak Yanto, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Bapak Yanto, terima kasih sudah menjenguk Marini," kata Ibu Marini, dengan senyum yang terlihat lelah.
Marini terlihat terkejut. "Pak Yanto, teman-teman, kenapa datang?" tanyanya, suaranya terdengar lemah.
"Kami ingin menjengukmu, Marini. Kami khawatir dengan kondisi kamu," jawab Agus, salah satu teman Marini.
"Kami juga ingin memberimu semangat dan doa," kata Raka, dengan senyum yang menenangkan.
Marini terharu dengan perhatian teman-temannya. "Terima kasih sudah menjengukku, teman-teman. Aku terharu," ujarnya, dengan air mata yang mengalir pelan.
Pak Yanto dan teman-teman Marini bergantian menanyakan kondisi Marini dan memberinya semangat. Suasana kamar Marini dipenuhi dengan kehangatan dan keakraban.
Raka duduk di samping Marini, mengusap tangan Marini dengan lembut. "Kamu pasti bisa lewatin ini, Rin. Kita bersama-sama mendukungmu," kata Raka, dengan suara yang menenangkan.
Marini menatap Raka, matanya berbinar harapan. "Terima kasih, Rak. Aku beruntung mempunyai teman sebaik kamu."
Suasana kamar semakin hangat dengan canda dan tawa teman-teman Marini. Meskipun dalam kondisi yang lemah, Marini terlihat lebih tenang dan bahagia dengan kehadiran teman-temannya. Ibu Marini terlihat tersenyum melihat keakraban yang terjalin.
***
Sebuah kabar mengejutkan mengguncang hati Raka. Seorang teman menelepon, menyampaikan berita bahwa Marini terbaring koma di rumah sakit. Raka langsung bergegas menuju rumah sakit, jantungnya berdebar kencang, takut dan khawatir bercampur menjadi satu.
Di ruang rawat inap, Raka menemukan Ibu Marini dan Bapak Marini, wajah mereka pucat dan lesu. Dokter menjelaskan bahwa Marini menderita leukimia, sebuah penyakit ganas yang menyerang sel darah putih. Kemungkinan sembuh sangat kecil.
"Kami sudah putus asa, Raka," ujar Ibu Marini, air matanya mengalir deras. "Kami tak tahu harus bagaimana lagi."
Raka memeluk Ibu Marini, mencoba memberikan penghiburan. "Ibu jangan berputus asa. Kita percaya pada kekuatan doa. Marini pasti bisa lewatin ini," kata Raka, suaranya bergetar.
Raka terus menemani Marini di samping ranjangnya. Dia mengusap tangan Marini, menatap wajah Marini yang pucat dengan tatapan penuh kasih sayang. Dia bercerita tentang kehidupan sehari-hari, menyanyikan lagu-lagu kesukaan Marini, dan berdoa untuk kesembuhan Marini.
"Rin, bangunlah, Sayang. Aku menunggu kamu," bisik Raka, air matanya mengalir pelan.
Tangan Raka mencengkeram erat tangan Marini. Air matanya jatuh di tangan Marini. Seolah terjadi keajaiban. Tangan Marini bergerak pelan. Kelopak matanya terbuka perlahan.
"Raka?" bisik Marini, suaranya lemah.
Raka terkejut. Matanya membesar tak percaya. "Rin, kamu sudah bangun!" serunya, suaranya bergetar kegembiraan.
Marini tersenyum lemah. "Aku di mana, Rak?" tanyanya.
"Kamu di rumah sakit, Rin. Kamu sakit," jawab Raka, dengan suara yang terbata-bata.
Marini terkejut. "Sakit? Sakit apa?" tanyanya.
"Kamu sakit leukimia, Rin," jawab Raka.
Marini terdiam, matanya menatap Raka dengan tatapan yang bingung. "Leukimia? Apa itu?" tanyanya.
Raka menjelaskan tentang penyakit leukimia. Marini terlihat terkejut dan takut. Namun, Raka menenangkannya.
"Tenang saja, Rin. Kamu pasti bisa lewatin ini. Kita bersama-sama mendukungmu," kata Raka, sambil mengusap rambut Marini.
Ibu Marini dan Bapak Marini mendekati ranjang Marini. Mereka terharu melihat Marini siuman.
"Marini, Sayang. Kamu sudah bangun!" ujar Ibu Marini, suaranya bergetar kegembiraan.
Marini tersenyum lemah. "Ibu, aku baik-baik saja."
"Ya Allah, terima kasih. Engkau telah menyelamatkan putriku," kata Ibu Marini, dengan air mata yang mengalir deras.
Dokter mendekati ranjang Marini, memeriksa kondisi Marini. "Keajaiban ini sulit dijelaskan. Marini telah melewati masa kritis.
***
Mentari pagi menyapa dengan hangat, menyapa hari yang baru bagi SMA Harapan Bangsa. Suasana sekolah ramai dengan aktivitas siswa yang berlalu lalang. Namun, ada satu hal yang tak biasa terjadi hari ini. Di pintu gerbang sekolah, terlihat sebuah kursi roda didorong oleh seorang pemuda tampan.
"Rin, hati-hati ya. Jalannya agak sedikit bergelombang," kata Raka, dengan lembut, sambil menuntun kursi roda yang ditempati Marini.
Wajah Marini terlihat berseri-seri. Meskipun tubuhnya harus bersandar pada kursi roda, senyumnya tak pernah padam.
"Aku baik-baik saja, Rak. Tenang saja," jawab Marini, sambil menatap Raka dengan mata yang berbinar.
Mereka berdua perlahan memasuki sekolah, menjelajahi lorong yang penuh dengan kenangan.
"Rin, kamu mau ke kelas dulu atau ke kantin?" tanya Raka.
"Ke kelas dulu, ya. Aku ingin bertemu teman-teman," jawab Marini.
Raka mengangguk, kemudian mendorong kursi roda Marini menuju ruang kelas.
Saat mendekati pintu kelas, terlihat sekelompok siswa yang berkerumun di depan pintu. Mereka terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar ketika melihat Marini dan Raka.
"Marini! Kamu sudah sembuh!" teriak Agus, salah satu teman Marini.
"Alhamdulillah, Marini sudah baik-baik saja!" kata teman-teman lainnya, dengan suara yang penuh kegembiraan.
Raka mendorong kursi roda Marini masuk ke dalam kelas. Semua mata tertuju pada Marini. Suasana kelas yang awalnya riuh mendadak hening.
Marini tersenyum lebar. "Hai, teman-teman! Aku senang bisa kembali ke sekolah."
"Rin, kamu kuat banget! Kita kangen banget sama kamu," ujar Sarah, sambil memeluk Marini.
"Iya, Rin. Kita seneng kamu sudah sembuh," kata teman-teman lainnya, sambil menyerbu Marini dengan pelukan hangat.
Raka tersenyum, melihat Marini yang kembali disambut dengan hangat oleh teman-temannya. Dia merasa bahagia melihat Marini yang kuat dan optimis.
"Rin, aku duduk di sampingmu, ya?" tanya Raka.
"Iya, Rak. Silakan," jawab Marini.
Raka duduk di samping Marini, sambil menarik kursi dekat ke kursi roda Marini. Dia terus menemani Marini sepanjang pelajaran.
Saat jam istirahat, Raka membantu Marini menuju kantin. Di kantin, teman-teman Marini menyerbu Marini dengan makanan kesukaannya.
"Rin, makan yang banyak, ya! Biar cepet sembuh," kata Agus.
"Iya, Rin. Jangan capek-capek, ya," kata Sarah.
Marini tersenyum, menikmati suasana keakraban bersama teman-temannya. Dia merasa bahagia bisa kembali bersekolah dan bersama dengan teman-temannya.
"Terima kasih, teman-teman. Aku seneng bisa kembali bersama kalian," kata Marini, suaranya bergetar kegembiraan.
Raka menatap Marini dengan tatapan yang penuh cinta.
Mentari sore mulai meredup, langit Surabaya dihiasi warna jingga kemerahan. Raka dengan sigap membantu Marini keluar dari kelas, menuntun kursi roda nya menuju mobil.
"Rin, hati-hati ya. Jangan terlalu cepat bergerak," ujar Raka, lembut, sambil memasukkan kursi roda ke bagasi mobil.
"Iya, Rak. Aku baik-baik saja kok," jawab Marini, sambil tersenyum.
Raka menutup bagasi mobil, kemudian membuka pintu mobil untuk Marini.
"Silakan, Rin," kata Raka, menyerahkan tangannya untuk membantu Marini masuk ke dalam mobil.
Marini menyerahkan tangannya pada Raka, kemudian duduk nyaman di kursi penumpang.
"Kamu tidak perlu repot-repot jemput aku sekolah, Rak. Aku bisa dianter ayah," kata Marini.
"Tidak apa-apa, Rin. Aku ingin menjemputmu. Lagipula, aku kan sudah janji akan selalu menemanimu," jawab Raka, sambil menyalakan mesin mobil.
"Kamu baik banget, Rak," kata Marini, tersenyum.
Raka menggeleng, sambil menyalakan radio. Alunan musik yang menenangkan menemani perjalanan mereka.
"Rin, kamu sudah makan siang?" tanya Raka.
"Sudah, Rak. Tadi aku makan di kantin bareng teman-teman," jawab Marini.
"Makan yang banyak, ya. Biar cepat sembuh," kata Raka.
"Iya, Rak. Aku akan makan yang banyak," jawab Marini, tersenyum.
"Mereka benar-benar baik ya, Rin? Aku senang kamu punya teman-teman yang setia," kata Raka, suaranya penuh kehangatan.
Marini menangguk, matanya berbinar. "Iya, Rak. Aku beruntung memiliki teman-teman yang baik seperti mereka."
"Kamu juga beruntung mempunyai aku," ujar Raka, sambil menatap Marini dengan mata yang penuh cinta.
Marini tersipu malu. "Iya, sih. Aku beruntung memiliki kamu, Rak."
Mereka tertawa bersama, menikmati suasana yang hangat di dalam mobil. Raka menyetir mobil dengan hati-hati, menelusuri jalan kota Surabaya yang ramai.
"Rin, kamu mau makan di mana malam ini?" tanya Raka.
"Aku ingin makan mie ayam di warung favoritku, Rak. Yang ada di dekat rumahmu," jawab Marini.
"Oke, Rin. Kita makan di sana," jawab Raka.
Mereka terus berbincang santai, mengobrol tentang hal-hal sepele, tentang pelajaran di sekolah, tentang rencana liburan mereka yang tertunda karena penyakit Marini, dan tentang mimpi mereka di masa depan.
"Rin, kamu ingin menjadi apa nanti kalau sudah lulus?" tanya Raka.
"Aku ingin menjadi dokter, Rak. Aku ingin membantu orang-orang yang sakit," jawab Marini, matanya berbinar penuh semangat.
"Wah, keren! Pasti kamu akan jadi dokter yang baik hati," kata Raka.
"Kamu juga akan jadi musisi yang sukses, Rak. Aku yakin itu," jawab Marini.
"Terima kasih, Rin. Aku akan terus berjuang untuk mewujudkan mimpiku," kata Raka.
Mobil Raka berhenti di depan warung mie ayam favorit Marini. Raka turun dari mobil, membantu Marini keluar dari mobil.
"Ayo, Rin. Kita makan," kata Raka, sambil menuntun Marini menuju warung.
Marini tersenyum bahagia. Dia merasa sangat beruntung memiliki Raka, seorang kekasih yang setia dan mencintainya tanpa syarat.
Mereka duduk di meja dan menikmati hidangan mie ayam yang lezat. Di samping Marini, Raka terus memberikan perhatian dan kasih sayang.
"Rin, aku selalu ada untukmu," bisik Raka, sambil menatap mata Marini.
Marini tersenyum, tanganya mencengkeram erat tangan Raka. "Aku juga selalu ada untukmu, Rak."
Mentari sore mulai tenggelam, menghilang di balik pepohonan yang menjulang tinggi. Raka dan Marini masih berbincang santai, menikmati kehangatan cinta mereka.
Di ujung waktu, kisah cinta Raka dan Marini berakhir dengan bahagia. Meskipun perjalanan cinta mereka penuh liku dan tantangan, mereka tetap kuat bersama, menjalani hidup dengan cinta dan semangat. Cinta mereka tak kan pernah padam, meskipun waktu terus berjalan.
*****