Masukan nama pengguna
Kalau mau dapat jodoh datanglah pada Razak. Kalau mau cepat mendapatkan momongan datanglah pada Razak. Kalau rezeki seret datanglah pada Razak. Kalau mau cepat kaya datanglah pada Razak. Kalau mau istri tetangga meninggalkan suaminya dan jatuh ke dalam pelukan Anda datanglah pada Razak. Uang dicolong tetangga datanglah pada Razak. Anak gadis kabur digondol pacarnya datanglah pada Razak. Kena santet datanglah pada Razak. Ketempelan jin sungai, penunggu pohon putao, penunggu sawah, jin hitam, jin merah, jin putih datanglah pada Razak. Sekali minum ramuan yang telah dijampi-jampi yang dicampur ludah Razak langsung sembuh. Tak perlu menunggu waktu lama, apalagi insya Allah. Termasuk meminta jimat pendatang rezeki berlimpah dan penolak bala datanglah pada Razak. Dijamin ampuh dan terbukti sakti. Mau tubuh kebal tahan bacok bergurulah pada Razak. Musuh pasti lari terkencing-kencing seperti dikejar-kejar setan. Itulah yang dirasakan oleh keluarga Sumi dan Jamal. Rumah tangga mereka belakangan ini seret. Rezeki mampet. Menurut hasil penerawangan yang dilakukan oleh Razak, ada tetangga yang tengah mengguna-gunai mereka, dan Sumi langsung percaya begitu saja karena kesaktian Razak sudah tidak diragukan lagi. Tapi, suaminya, Jamal tidak percaya terhadap tipu daya muslihat Razak.
“Pak, Pak, sampeyan itu hendak ditolong oleh orang yang tepat tidak mau kayak orang kaya saja. Lha wong orang yang sudah kaya, yang kerja jadi pemerentah, yang kerja di kantoran, maupun yang kerja di kantor dewan sana masih merasa menjadi orang miskin saja. Buktinya, selama ini mereka masih suka korupsi. Terbukti kan kalau sekarang perut mereka gendut-gendut. Coba bayangkan kalau mereka tidak korupsi, mana mungkin mereka bisa kaya dan tinggal di rumah gedongan? Jadi sampeyan yang kerjanya cuman serabutan. Kadang kerja di sawah kalau ada orang nyuruh, tapi kalau tidak ada, kerjanya cuman ongkang-angking di atas kursi. Sok-sokan tidak mau dibantu orang,” mulut Sumi merepet-repet saat mencuci piring di dapur. Sementara suaminya, Jamal merokok di ruang tengah. Kuping tebalnya sudah terbiasa mendengar repetan mulut istrinya sejak tiga bulan yang lalu, saat dirinya dirumahkan oleh pabrik kain tempatnya bekerja.
“Aku mau saja dibantu orang, tapi membantunya tidak seperti itu juga. Cara membantunya sama sekali tidak masuk akal.” Jamal menyedot ujung rokoknya dalam-dalam. Lalu diembuskannya asap rokok itu ke langit-langit ruangan.
“Memangnya kalau mau membantu itu yang bagaimana? Si Razak kan membantunya dengan cara yang cepat dan pasti?” sengak Sumi dengan nada kesal. Ia bosan melihat suaminya menganggur lama-lama di rumah. Bukannya mencari pekerjaan, justru Jamal menghambur-hamburkan tembakau dengan cara dibakar. Bukankah membakar tembakau sama saja dengan membakar uang? Sementara keluarganya sangat membutuhkan uang.
“Kalau memang niat hendak membantu orang, ya membantunya itu dengan cara menawarkan pekerjaan yang halal. Bukan dengan cara seperti yang disarankan oleh Razak. Nah, kalau memang tulang kelinci yang katanya Razak dapat mendatangkan keberuntungan, kenapa tidak digunakan untuk dirinya saja supaya lekas kaya ketimbang membohongi orang bodoh bulat-bulat?”
Sumi sangat kesal terhadap Jamal karena tempo hari ia tidak mau menerima tawaran Razak, dukun sakti itu. Kala itu, Razak melihat kondisi rumah tangga Sumi dan Jamal yang morat-marit memberi sebuah saran bagaimana supaya kehidupan mereka ke depan menjadi lebih baik. Apalagi saat ini, anak gadis Jamal yang telah menginjak remaja hampir mau lulus kelas XII yang membutuhkan biaya besar buat ujian. Merasa simpati, Razak menyuruh Jamal agar menyembelih seekor kelinci abu-abu dan tulangnya nanti jangan dibuang melainkan digantung di atas pintu rumah. Kepada Jamal, Razak menjelaskan bahwa kelinci merupakan hewan pembawa keberuntungan yang dapat mendatangkan rezeki dan kekayaan. Jamal sama sekali tidak langsung mempercayai bualan Razak meskipun telah banyak orang yang percaya bahwa lelaki itu adalah dukun sakti. Tentu saja, Sumi yang selama ini telah menyaksikan keampuhan jampi-jampi yang dilakukan Razak percaya.
“Buat apa Razak tulang kelinci? Meski toh dia tidak meletakkan tulang kelinci di atas pintu rumahnya, tidak sedikit orang yang telah sembuh dari penyakit santet dan guna-guna karenanya. Rezeki datang begitu saja padanya tanpa dia bekerja. Lha sampeyan? Memangnya sampeyan siapa? Pengangguran! Memangnya sampeyan orang sakti? Dukun? Kiai? Iya kalau kiai, tanpa bekerja pun tetap saja orang meminta bantuannya untuk menyembuhkan dirinya dari gangguan setan,” tak kalah Sumi memberondong suaminya dengan amunisi andalannya sambil menekuk-nekuk mangkuk.
Ini semua tidak lain karena ulah Razak, dukun munafik itu. Ia telah menebarkan bibit-bibit masalah di dalam pagar ayu orang sehingga Sumi terprovokasi oleh ucapan liciknya.
“Kamu itu yakin kepada Allah atau kepada tulang kelinci?”
“Ya, iya tapi kan tulang kelinci hanya sebagai perantara dari rezeki yang diberikan oleh Allah kan, Pak? Kalau tidak ada perantaranya mana bisa? Dari mana coba? Apakah Allah langsung memberikan rezeki-Nya kepada kita?”
Jamal tersenyum culas mendengar penuturan istrinya yang menurutnya bodoh.
“Tulang kelinci kok kamu anggap perantara rezeki dari Allah. Ajaran dari mana kamu mengatakan seperti itu? Siapa yang ngomong?” Jamal mengisap rokok tembakaunya kuat-kuat hingga rahangnya mau copot dari tempatnya.
“Ya sudah kalau sampeyan tidak percaya. Terserah! Kalau ada apa-apa besok jangan salahkan aku. Aku tidak mau tahu.” Sumi membanting piringnya ke lantai.
Belum lama Sumi menukas kalimatnya dengan memecahkan piring terdengar suara uluk salam dari luar rumah. Jamal menanamkan ujung rokok ke dalam asbak lalu keluar. Ternyata seorang lelaki berseragam biru. Pulpennya dimasukkan ke dalam saku baju. Pegawai PLN. Seraya mengulum senyum, lelaki itu menyerahkan secarik kertas pemberitahuan. Jamal langsung membaca nominal yang harus ia bayar. Ia menepuk jidatnya dengan tangan. Ia sama sekali tidak punya uang sepeser pun. Ia malu hendak meminjam pada tetangganya yang bekerja sebagai pegawai Telkom. Sudah dua bulan berturut-turut ia belum melunasi hutangnya yang lama. Ia tidak mau menambah kasbon lagi. Untungnya tetangganya itu tahu diri dan tidak menagih uangnya pada Jamal.
“Kenapa hidupku miskin seperti ini, Ya Allah,” ucap Jamal membatin sambil memejamkan kedua matanya. “Apakah ujian ini akan Engkau berikan selamanya untukku yang lemah ini?”
Ia sama sekali tidak tahu ujian apa yang diberikan oleh Tuhan terhadap rumah tangganya sejak ia memutuskan menikah dengan Sumi. Meskipun ia telah bekerja selama belasan tahun di pabrik kain, sampai saat ini ia belum bisa membeli sepeda motor. Padahal karyawan lain yang hanya bekerja dalam hitungan bulan, motornya baru-baru. Baru keluar dari dealer. Sementara mereka pergi ke pabrik naik motor, Jamal tetap mengayuh sepeda ontel tua yang ia beli di pasar loak. Di rumahnya hanya ada dua buah lemari kayu yang sudah lapuk, satu unit televisi tabung, dan kursi beludru yang sudah bolong. Dan itu pun ia beli dengan cara ngutang. Berbeda sekali ketika ia menikah dengan istri pertamanya. Kala itu ia bisa membeli dua unit sepeda motor, kulkas, dipan, dan kursi. Selain itu ia juga bisa menabung. Ah, entahlah apa penyebab semua ini. Jamal meratapi kondisi kehidupan rumah tangganya yang kocar-kacir. Selain miskin, ia juga memiliki istri yang cerewet dan boros.
Belum lama pegawai PLN itu pergi, putrinya yang baru pulang dari sekolah langsung menyodorkan selembar kertas pemberitahuan. Dalam surat itu, orangtua diwajibkan untuk melunasi semua uang SPP, Penilaian Akhir Sekolah, ANBK, uang ijazah, dan uang rekreasi ke Bali. Melihat total nominal dengan angka nol yang berderet-deret, mata Jamal berkunang-kunang.
“Dapat uang dari mana aku untuk membayar semua ini?” batinnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menerima saran dari Razak. Ia memohon-mohon kepada dukun muda itu agar memberikan jimat ampuh yang dapat mendatangkan rezeki yang banyak sehingga ia dapat mengatasi keuangan rumah tangganya.
“Dulu sampeyan tidak percaya sama saya, Cak, Cak. Sekarang ketika sampeyan sudah di puncak keputusasaan, sampeyan mengemis-ngemis sama saya. Kenapa sampeyan tidak minta sama Allah SWT?” Razak menyeringai licik. Jamal pun meminta maaf karena telah meremehkan dirinya. “Begini saja, Cak. Saya punya cara yang jauh lebih ampuh daripada tulang kelinci. Tapi, apakah sampeyan mau?”
“Apa itu?”
Razak mendekatkan mulutnya ke telinga Jamal lalu mengatakan, “Bagaimana kalau anak gadis sampeyan tidur sama saya semalam saja. Kalau dia sudah tidak perawan karena saya, dijamin sampeyan bakal kaya dan cepat dapat kerja.”
Jamal berpikir, apakah ia tega menukar kehormatan anak gadisnya demi mendapatkan rezeki yang berlimpah agar ia terlepas dari kesulitan ini? Apakah Allah pernah meminta tumbal kepada umat-Nya agar bisa ditukar dengan pemberian-Nya? []
Selesai