Cerpen
Disukai
0
Dilihat
10,213
Burung Pembawa Kematian
Horor

Entah sudah berapa kali dukun Rahman menghamburkan amunisinya kepada Rokib bahwa burung dalam sangkar yang ditenggerkan di teras rumahnya adalah burung pembawa kematian. Namun rupanya telinga Rokib cukup tebal sehingga membuat hati dukun muda yang dikenal sakti itu muntab. Lelaki jangkung macam tiang listrik itu masih saja ngangon burung berbulu indah itu di rumahnya. Hingga musibah datang membuat ayahnya jatuh sakit. Adapun penyakit yang diderita oleh Pak Sayedi bukanlah sembarang penyakit, dan termasuk penyakit langka yang susah didapatkan penawarnya. Tidak sedikit tetangga Rokib yang hingga kini masih percaya dan tunduk patuh terhadap perintah dukun yang dianggap sebagai manusia sakti mandraguna yang dapat melihat dan berhubungan dengan alam ghaib itu, menganggap penyakit yang diderita oleh Pak Sayedi karena guna-guna semacam, santet. Tidak jarang pula yang berasumsi bahwa penyakit itu diakibatkan oleh burung yang diangon oleh Rokib. Tetapi, Rokib masih bersikukuh terhadap pendiriannya. Ia menganggap bahwa semua ini adalah tipu daya setan.

“Sudahlah, Cak. Jual saja burung itu ketimbang bapak yang menjadi korbannya,” desak istrinya, Surti yang saat itu lagi menyuapi anak bungsunya dengan bubur pisang.

“Memangnya kamu percaya dengan apa yang dikatakan oleh dukun munafik itu?” sengak Rokib yang waktu bersamaan memberi minum burung-burung peliharaannya.

Rokib memang seorang pecinta burung. Berbagai burung dikoleksinya. Mulai burung merpati, lovebird, burung jalak, dan berbagai jenis burung. Semua burungnya dikurung dalam sangkar yang bagus. Setiap pagi dan sore ia akan memberi makan burung-burungnya dengan kroto. Ia juga merawat burung-burung itu layaknya merawat anaknya sendiri. Kadang jika burung-burung itu ada yang tertarik untuk membelinya, maka ia pun akan menjualnya dengan harga gemulai. Dari menjual burung-burung piarannya, ia dapat memenuhi kebutuhan anak istrinya sebab pekerjaannya sebagai buruh tani semakin sepi.

“Bukankah sampeyan telah melihat dengan mata dan kepala sendiri kalau Cak Rahman itu benar-benar dukun sakti yang dapat menyembuhkan penyakit seseorang?”

“Ah, aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Rahman. Ia tidak lebih dari seorang pembohong yang malas bekerja lalu mengaku-ngaku sebagai dukun sakti agar dipercaya oleh orang-orang.” Rokib meletakkan kurung burungnya di ujung teras agar terkena sinar matahari.

“Buktinya, Cak Telas yang waktu sakit dan hampir meninggal langsung ditolong oleh Cak Rahman dan sekarang lihatlah, Cak Telas sehat walafiat setelah dia menyembelih ayam hitam,” istrinya terus memaksa Rokib agar percaya kepada Rahman.

Tetapi Rokib tahu betul siapa Rahman, si dukun munafik itu. Ia tidak langsung meyakini begitu saja terhadap apa yang dikatakan maupun yang dilakukan oleh Rahman kepada pasien-pasiennya. Menurut Rokib, adapun orang-orang yang datang untuk menghambakan diri dengan meminta pertolongan dari Rahman tidak lebih dari seorang yang berputus asa. Mereka tidak yakin terhadap pertolongan yang telah dijanjikan oleh Tuhan kepada umat-Nya sehingga ketika mereka dalam kondisi kepepet, lalu mereka mendatangi seseorang yang dianggap dapat menolong permasalahan hidup mereka. Bukankah apa yang mereka lakukan termasuk telah menduakan Tuhan? Kenapa mereka tidak sadar?

“Yang menyembuhkan Cak Telas itu Gusti Allah, bukan Rahman, Dek.”

“Ya... Iya, tapi kan melalui Cak Rahman kan, Cak?” istrinya tetap bergeming untuk mencari alasan bahwa Rahmanlah yang telah menyelamatkan nyawa Cak Telas.

“Kamu kan pernah dengar sendiri ketika Rahman mengatakan, “Lihatlah Telas, kalau bukan aku yang menyelamatkan nyawanya, maka pasti dia sudah mati.” Berarti kan Rahman tidak mengakui bahwa dirinya hanyalah sebagai perantara yang telah menyembuhkan Cak Telas. Maksudnynya dia menganggap bahwa hidup dan matinya seseorang berada di tangannya?” Rokib menjemur burung-burungnya yang lain. Saat itu burung perkututnya berbunyi seolah mengiyakan perkataan tuannya. “Setuju! Setuju!”

Istrinya sudah tidak tahu mau melakukan apa lagi supaya suaminya itu sadar dan mengimani apa yang diucapkan oleh Rahman benar-benar nyata sesuai dengan realita. Yang jelas, ia sangat yakin bahwa burung yang dipelihara oleh suaminya itu adalah penyebab sakitnya ayah mertuanya yang menurut penerawangan Rahman merupakan penyakit kiriman dari salah seorang tetangganya yang iri. Maka sesuai dengan apa yang disarankan oleh dukun itu, burung tersebut harus dijual atau dilepaskan ke alam bebas supaya penyakit ayahnya itu sembuh.

“Terserah kamu, Cak. Yakin atau tidak yakin terhadap apa yang dikatakan oleh Cak Rahman, terserah. Lha wong kamu orangnya memang bebal, susah dikandani.” Istrinya membuang muka. Kesal hatinya melihat suaminya yang susah untuk yakin kepada dukun. “Tapi, jika terjadi apa-apa sama Bapak, jangan salahkan siapa-siapa. Salahkan burungmu itu!”

“Aku heran sama kamu, Dek. Sejak Rahman datang ke sini hatimu sungguh cepat berubah. Mendadak kamu percaya terhadap dukun. Padahal kamu itu rajin beribadah. Rajin shalat, rajin membaca Alquran, rajin membaca buku, dan pendidikanmu tidak buruk amat meski kamu cuman lulusan SMP. Tapi yang membuatku heran sama kamu, setiap dari anak-anak kita ada sakit perut lalu nangis sepanjang hari, kamu malah menganggapnya bukan penyakit biasa. Lalu kamu pergi ke Rahman munafik itu dan kamu percaya kalau anak kita ketempelan setanlah, jinlah, kuntilanaklah, atau semacamnya lah. Memang Tuhan tidak hanya menciptakan manusia di dunia ini, namun juga menciptakan jin dan setan. Apakah kamu tidak pernah berpikir, kalau Tuhan menciptakan jin-jin itu hanya untuk beribadah kepada Tuhan? Sementara tugas saudaranya yang membelot adalah menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, bukan menempel di tubuh manusia. Kamu bodoh atau tidak tahu?” Rokib duduk di atas kursi sambil memilin rokok tembakau buatan sendiri.

Istrinya muntab mendengar Rokib menceramahinya karena dikatakan bodoh atau tidak tahu. Ia tahu dan tidak perlu bertanya kepada siapa pun bahwa selain menciptakan manusia, Tuhan juga menciptakan makhluk ghaib seperti jin dan setan. Adapun jin diciptakan tujuannya agar beribadah kepada Allah, sementara setan yang ditugasi di sungai-sungai, rumah-rumah angker, kuburan-kuburan keramat, laut-laut angker, atau lorong-lorong jembatan tugasnya adalah menakut-nakuti manusia dengan cara menempel atau merasuki tubuh manusia. Kalau ada gadis yang kerasukan dan mengamuk, kelakuan siapa lagi kalau bukan setan? Selain merasuki tubuh manusia setan juga bekerjasama dengan dukun santet. Tugasnya adalah membuat sakit orang.

“Entahlah, Cak. Dengan cara apa lagi aku harus meyakinkan kamu supaya percaya dengan omongan Cak Rahman. Susah. Sebaiknya kamu itu menuruti apa yang dikatakan oleh dia agar keluarga kita selamat dari mara bahaya yang disebabkan oleh burung itu!” Tunjuknya ke arah burung cantik bersuara emas tak bersalah itu.

Semakin hari penyakit aneh yang diderita oleh Pak Sayedi bertambah parah hingga membuat Rokib semakin panik. Ia sudah membawa ayahnya pergi periksa ke dokter, namun hasilnya nihil karena peralatan yang dimiliki oleh dokter klinik tersebut kurang memadai. Akhirnya, Pak Sayedi harus menahan rasa sakitnya sepanjang hari. Pada saat itu, orang-orang yang telah membuktikan kesaktian dukun Rahman memberi saran agar Rokib mendatangkan dukun sakti itu ke rumahnya guna mengobati penyakit Pak Sayedi. Akhirnya runtuh juga pertahanan Rokib.

“Apa yang kukatakan semuanya benar, Kib. Apakah kamu masih ragu kalau aku pernah bertemu dengan Tuhan dan Nabi Muhammad? Sebelum aku menjadi dukun, aku pernah sampai ke alam ghaib. Berperang melawan panglima-panglima jin dan setan, dan aku menang sehingga mereka menjadi tunduk dan bersedia menjadi perewanganku. Mau tanya apa kamu soal alam ghaib, aku bisa menjawabnya.” Rahman sesumbar di hadapan Rokib dengan menopang kaki kanannya di atas kaki kirinya. Batu akik besar-besar menyesaki jari-jemari tangannya. Tubuhnya memang kecil dan ringkih, tapi kesombongannya setinggi langit.

“Iya, Cak. Aku sempat meragukan sampeyan.” Rokib menunduk di hadapan Rahman.

“Aku pernah bilang, kalau burung itu pembawa kematian, pembawa musibah terhadap keluargamu. Dan benar, tak lama setelah itu ayahmu sakit aneh. Kena santet. Makanya kalau jadi orang jangan ngeyel.”

“Lalu bagaimana, Cak?”

“Biar burung itu aku ambil saja. Kita lihat saja dalam dua hari ini, apakah ayahmu sembuh atau tidak.”

Maka, diberikanlah burung pembawa kematian yang cantik dan bersuara emas itu kepada Rahman. Dukun itu berjanji akan melepaskannya ke alam bebas agar penyakit Pak Sayedi ikut lepas dari tubuhnya. Akan tetapi, setelah burung itu dibawanya pulang ternyata Rahman tidak pulang ke rumahnya melainkan ke pasar burung. Lalu ia menjual burung mahal tersebut ke salah satu pedagang burung dengan harga 1,5 juta rupiah. Setelah menjual burung pembawa keburutungan itu, ia mampir di toko handphone, dan membeli handphone baru buat anaknya. Burung pembawa kematian ternyata membawa keberuntungan buat Rahman.

“Dasar dukun palsu!” umpat Rokib yang mendengar cerita itu dari salah seorang tetangganya. []

 

Selesai

Probolinggo, Desember 2022


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)