Masukan nama pengguna
Surat untuk Heraclius
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi. Semoga keselamatan terlimpahkan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya kamu akan selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.
Wahai Ahli Kitab, marilah berpegang teguh kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun, dan tidak pula sebagian kita menjadian sebagian yang lain sebagai sesembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka; “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri ( kepada Allah)”.
Heraclius, penguasa Romawi yang paling disegani oleh seluruh bangsa kala itu membaca surat yang ditulis oleh Nabi Muhammad Saw, itu dengan dada bergetar. Kedua tangannya juga bergetar seperti pohon kecil yang diguncang oleh angin selatan.
Kala itu, Baginda Rasulullah Saw, memilih Dihyah bin Khalifah al-Kalbi untuk membawa surat itu. Ia diperintah agar menyerahkan surat itu kepada penguasa Bushra, agar Bushra menyerahkannya kepada Kaisar. Setelah surat itu membuat dada Heraclius bergetar hebat, ia lantas meminta salah satu penguasa Quraisy yakni Abu Sufyan bin Harb agar bercerita kepadanya tentang siapa sosok lelaki yang mengaku kepada dirinya bahwa lelaki itu adalah seorang nabi dan utusan Allah. Saat itu, Abu Sufyan bin Harb sedang melakukan perdagangan bersama pedagang Arab lain ke negeri Syam. Mereka menemui Kaisar bertemu di sebuah daerah bernama Iliya’. Kaisar Romawi mengundang mereka ke majelisnya dengan didampingi pembesar-pembesar Romawi yang ada di sekelilingnya. Lalu ia memanggil juru bahasanya.
“Siapa di antara kalian yang lebih dekat nasabnya dengan lelaki yang mengaku nabi itu?”
“Aku yang paling dekat nasabnya di antara mereka,” jawab Abu Sufyan bin Harb.
“Dekatkan dia dariku, juga sahabat-sahabatnya, dan berdirikan mereka di belakangnya,” lanjut Kaisar Heraclius. “Aku akan menanyakan kepada orang ini tentang lelaki yang mengaku nabi itu. Jika ia membohongiku, dustakanlah orang ini oleh kalian.”
“Demi Allah, kalaulah tidak karena takut menanggung malu jika ketahuan berdusta, pasti aku berdusta tentang Nabi Saw,” sahut Abu Sufyan bin Harb.
“Pertanyaanku yang pertama tentangnya adalah, bagaimana nasab keturunannya menurut kalian?” tanya Kaisar kembali kepada Abu Sufyan bin Harb.
“Dalam masyarakat kami, dia memiliki nasab yang baik.”
“Apakah ada salah seorang di antara kalian yang pernah mengaku sebagai nabi sebelumnya?”
“Tidak ada.”
“Apakah ada di antara kakek-kakeknya yang menjadi seorang raja?”
“Tidak ada,” jawab Abu Sufyan kembali.
“Ia diikuti pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang lemah?”
“Diikuti oleh orang-orang lemah.”
“Mereka semakin bertambah atau semakin berkurang?”
“Semakin bertambah.”
“Apakah salah seorang di antara mereka ada yang murtad karena benci kepada agamanya setelah memeluknya?”
“Tidak ada.” Abu Sufyan bin Harb menggeleng.
Kaisar menghela napas panjang. Kemudian, juru bahasanya melanjutkan,
“Pernahkah kalian menuduhnya berbohong sebelum ia mengaku nabi?”
“Belum pernah, Tuan.”
“Pernahkah ia berkhianat?”
“Belum pernah, setidaknya untuk saat ini, kami tidak pernah melihat dirinya melakukan sebuah pengkhianatan.”
“Apakah kalian memeranginya?” lanjutnya.
“Ya.”
“Bagaimana peperangan antara kalian dengannya?”
“Perang di antara kami seimbang, kadang dia yang menang, kadang kami yang menang.”
“Apa yang ia perintahkan kepada kalian?”
“Sembahlah Allah, janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan seseatu pun, tinggalkan apa yang dikatakan oleh leluhur kalian. Ia memerintahkan kami melakukan shalat, berkata jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung tali silaturrahim,” jawab Abu Sufyan.
Pengiriman surat Rasulullah Saw, kepada Heraclius terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah.
***
Beberapa waktu kemudian ...
Sebelum Perang Tabuk dan Yarmuk yang mempertemukan pasukan Islam dengan tentara Romawi, terjadilah Perang Mu’tah. Adapun penyebab peperangan ini bermula ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw, mengutus sahabat al-Harist bin Umair al-Azdi guna menyampaikan surat beliau kepada kepada penguasa Bushra. Kemudian ia dihadang oleh Syurahbil bin Amr al-Ghassani, seorang penguasa yang mendapat mandat dari Kaisar atas Propinsi Balqa’, Syam. Al-Haris lalu diborgol, kemudian dihadapkan kepada Kaisar yang kemudian menebas batang lehernya.
Pembunuhan atas delegasi dan duta merupakan bentuk kriminal paling keji, setara bahkan melebihi pernyataan kondisi perang, sehingga ketika berita itu sampai di telinga Rasulullah Saw, beliau pun marah besar. Kemudian, menyiapkan pasukan yang berkekuatan 3000 prajurit. Ini adalah pasukan Islam terbesarm belum pernah terkumpul kekuatan seperti itu sebelumnya kecuali yang terjadi dalam Perang Ahzab.
Dalam perang ini, Kanjeng Nabi Muhammad Saw, mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan seraya mengangkat panji berwarna putih dan memberikannya kepada Zaid. Beliau juga menyampaikan wasiat kepada mereka agar mendatangi tempat terbunuhnya Sahabat al-Harits bin Umair dan menyeru penduduk di sana untuk masuk Islam. Apabila mereka menerima ajakan tersebut Rasulullah Saw, berpesan agar tidak memerangi mereka, dan apabila menolaknya, maka mereka harus diperangi.
Pada hari itu, Pasukan Kaum Muslimin bergerak menuju utara hingga singgah di Ma’an, sebuah kawasan di negeri Syam. Yaitu setelah utara Hijaz. Ketika itulah para informan menyampaikan bahwa Heraclius telah sampai di Ma’ab, sebuah daerah di Balqa’ dengan berkekuatan 100.000 pasukan Romawi dan disuplai pula oleh 100.000 orang dari kabilah-kabilah seperti Lakhm, Judzam, Balqain, Bahra’ dan Baly.
Kaum Muslimin sama sekali belum pernah memprediksikan bahwa mereka akan berhadapan dengan pasukan yang amat besar, yang akan diserang secara mendadak oleh mereka di negeri yang jauh ini. Betapa tidak, apakah pasukan kecil yang hanya berkekuatan 3000 prajurit mampu menyerang pasukan yang amat besar dan kuat bak samudera luas dengan berkekuatan 200.000 prajurit?
Setelah dua malam bermalam di Ma’an, di sana, di Mu’tah, dua kelompok saling bertemu dan dimulailah pertempuran sengit. Tiga ribu orang melawan dua ratus ribu prajurit. Suatu pertempuran fantastis yang pernah disaksikan dunia dengan penuh ketercengangan dan kebingungan. Akan tetapi bila angin keimanan bersiul, maka ia akan membawa keajaiban-keajaiban itu.
Zaid bin Haritsah, orang yang paling dicintai oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw, mengambil panji dan mulai berperang dengan sangat gagah dan berani tiada tandingannya, kecuali pada orang-orang yang sepertinya dari kalangan pahlawan-pahlawan Islam. Ia masih berperang dan berperang hingga tubuhnya dihunjami ujung-ujung tombak musuh, lalu gugur sebagai syahid.
Ketika itu Ja’far bin Abi Thalib mengambil alih panji dan mulai berperang dengan gaya yang amat mencengangkan. Ketika itu merasa kelelahan oleh pertempuran, ia melompat dari atas kudanya lantas menyembelihnya. Kemudian ia mulai berperang lagi hingga terputus tangan kanannya. Lalu ia mengambil panji dengan kanan kirinya dan ia masih demikian hingga tangan kirinya pun terputus. Lalu ia mendekap panji tersebut dengan kedua pundaknya dan masih saja ia mengangkatnya sampai akhirnya terbunuh. Ia menjadi syahid lantaran salah seorang pasukan Romawi menebas tubuhnya menjadi dua bagian. Dan oleh sebabnya, Kanjeng Nabi Muhammad Saw, memberinya gelar Ja’far Dzul Janahain.
Tatkala Ja’far terbunuh setelah berperang dengan gagah berani, Abdullah bin Rawahah mengambil alih panji dengan menunggang kuda. Ia pun maju dan mulai berusaha untuk dari tunggangannya, namun kebimbangan merasuki jiwanya hingga ia membuang kebimbangan itu. Ia pun kemudian turun, lalu sepupunya mendatanginya dengan membawa tulang berdaging. Setelah memakan daging tersebut ia melanjutkan peperangan hingga pada akhirnya ia terbunuh sebagai syahid.
Perang tersebut berakhir setelah pasukan Islam berada di bawah komanda seorang panglima Islam paling berani yang dikenal sebagai Pedangnya Allah, Sahabat Khalid bin Walid.
***
Perang Tabuk merupakan perang kedua setelah Perang Mu’tah yang mempertemukan dua pasukan besar antara Pasukan Islam dengan Pasukan Romawi. Perang ini merupakan perang penentuan antara dua kelompok dan sebagai pembalasan pasukan Islam terhadap pasukan Heraclius. Perlu diketahui bahwa Kaisar Romawi tidak pernah menganggap remeh dampak Perang Mu’tah yang begitu besar bagi kepentingan Kaum Muslimin.
Dalam peperangan ini, Kanjeng Nabi Muhammad Saw, membawa pasukan berkekuatan 30.000 prajurit menuju Tabuk. Namun, dalam peperangan ini sama sekali tidak terjadi pertempuran antara dua pasukan, dan kaum Muslimin mendapatkan kemenangan.
“Dua peperangan ini tentu saja sangat menyakitkan bagi Kaum Nashrani sehingga mereka terus meniup-niupkan proganda agar melihat Islam jatuh. Namun, yang lebih menyakitkan lagi bagi hati Heraclius adalah pernyataan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, di dalam suratnya yang menyatakan bahwa Isa bukanlah Tuhan.”
“Ingatlah, Heraclius-Heraclius. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “”Jadilah”” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “”Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”” Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. Ali Imran: 59-61).
Sesungguhnya yang haq adalah yang paling benar, dan yang benar belum tentu haq.[]
Selesai
Probolinggo, Ujung Desember 2022