Masukan nama pengguna
Hujan Bulan Desember
Pertemuan ini sepertinya telah ditakdirkan oleh langit. Sebagai manusia aku pun tidak bisa menolak kehendak yang telah dituliskan. Aku hanya sebagai aktor dalam sebuah film yang disutradarai oleh Sang Maha Sutradara. Dan di sinilah kami berdua akhirnya dipertemukan kembali setelah puluhan tahun dipisahkan oleh takdir. Wajahnya dan senyumannya sama sekali tak lekang oleh zaman. Ia tetaplah seperti yang dulu, saat pertama kali aku mengenal dirinya.
“Apakah kamu bahagia selama bersama dengannya?” pertanyaan itu muncul begitu saja dari bibirnya sehingga aku pun harus menjawabnya.
“Aku tidak bisa mencintainya walaupun aku telah berusaha memaksa agar cinta itu muncul. Setiap kali cinta hendak muncul, ia pun kembali tenggelam dan akhirnya tidak pernah muncul kembali. Apakah kau juga merasakan begitu?” aku balik bertanya padanya.
Ia mengulum senyum. Seolah aku telah menganggapnya bahwa selama ini dirinya telah mencintai lelaki yang menjadi suaminya, dan memberinya anak-anak yang cantik dan menggemaskan.
“Apakah kau merasa aku telah bahagia tinggal bersamanya?” Ia menyandarkan dadanya di pagar yang membatasi Sungai Thames. Dari kejauhan lampu-lampu Buckingham Palace terlihat indah memesona. Menara Big Ben yang legendaris itu menyaksikan kami saling berbagi pengalaman dalam mengarungi bahtera rumah tangga bersama orang yang tidak pernah kami bisa mencintainya.
“Bukankah selama ini kau terlihat bahagia bersamanya?”
Mendung kelabu kami biarkan melintas di atas langit kota London asalkan tidak meneteskan air mata kesedihannya. Angin sepoi-sepoi membelai-belai wajahnya yang tidak pernah keriput sedikit pun. Ia masih sama seperti gadis cantik yang pernah kukenal dulu di SMP. Seorang gadis yang membuatku memahami artinya jatuh cinta.
“Di hadapan keluarganya aku berpura-pura mencintainya. Begitu juga ketika aku menghadiri sebuah acara di tempatnya bekerja, atau ketika kami sedang berada di depan teman-temannya. Aku tidak bisa memaksa cinta itu hadir meskipun perlahan,” suaranya tenggelam dikalahkan oleh suara deru mesin kapal yang membelah Sungai Thames.
Meskipun renjana sudah hampir tenggelam di kaki barat, tapi para pelancong yang datang dari belahan dunia ini seolah tidak pernah mati. Kota London tetap menyala sepanjang siang dan malam. Mereka saling berjalan berdua, bertiga, beramai-ramai, kadang pula sendirian untuk menikmati pemandangan bangunan kota yang penuh sejarah. Lalu mereka berfoto selfie dengan Istana Buckingham Palace, Big Ben, dan taman sebagai background-nya.
Entahlah kenapa langit mentakdirkan kami berdua bisa bertemu di negeri ini. Padahal sudah puluhan tahun aku telah berusaha melupakan dirinya. Bahkan namanya telah kutenggelamkan bersama seluruh tulisan yang menulis tentang dirinya. Apalagi sejak dirinya memutuskan untuk menerima lamaran seorang lelaki yang sama sekali tidak ia cinta. Setelah itu aku sudah tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya. Begitu pun ketika ia memutuskan untuk menikah, mengikat janji suci bersama lelaki itu. Setali tiga uang dengannya, dua tahun setelah dirinya melahirkan anak pertamanya aku memutuskan untuk mengakhiri masa lajangku dengan seorang perempuan yang tidak pernah aku cintai sebelumnya.
Sejak menikah, aku diterima bekerja di salah satu SMA sebagai guru Sastra. Kehidupan rumah tanggaku dengan istriku berjalan datar. Biasa-biasa saja. Sebagai seorang suami tentu saja aku harus bertanggung jawab untuk membahagiakan istriku. Semua kebutuhannya aku penuhi walaupun masih harus menunggu gaji yang baru kuterima di akhir bulan. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, istriku kadang mengutang dulu pada pemilik toko sembako dekat rumah dan kami akan melunasi setelah aku menerima uang gajian.
Sebenarnya, sebelum aku diterima menjadi seorang guru, pekerjaanku adalah seorang editor di sebuah majalah Sastra online yang bermarkas di Jogja. Aku memutuskan resign karena tidak mau meninggalkan istriku. Apalagi jarak Jogja dengan kota tempat tinggalku sangat jauh dan harus menempuh belasan jam dengan kereta api. Akhirnya, salah seorang seniorku saat kuliah di UGM dulu, yang sekarang telah menjadi kepala sekolah di yayasan milik kakaknya menarikku untuk mengisi kursi guru Sastra yang memang ia sediakan untukku. Padahal untuk menjadi seorang guru di kota ini sangat sulit.
Terbukti tidak sedikit lulusan sarjana dari UGM maupun Unibraw di kota ini yang berprofesi sebagai tukang bakso, berjualan empek-empek Palembang, roti odading khas Bandung, batagor, atau berjualan es cendol keliling. Ijazah mereka sama sekali tidak terpakai karena bidang yang mereka ambil sewaktu kuliah tidak ada tempat di sini, kecuali bagi mereka yang mengambil jurusan pendidikan guru SD atau Teknik Sipil yang memang disediakan buat calon guru SD atau PNS. Sejatinya mereka tidak malas untuk bekerja, tapi karena bidang yang mereka tekuni sama sekali tidak tersedia. Akhirnya mereka pun memilih bekerja dengan berdagang.
“Sungguh, bahkan kota London pun menjadi saksi bahwa kau masih sama seperti dulu.”
“Tapi kelihatan agak gendutan dikit kan?” Ia tertawa kecil.
Aku manggut-manggut dan ikutan tertawa.
“Tidak. Tidak gendut tapi lebih padat berisi. Tapi masih cantik seperti Afifah yang pernah aku kenal seperti dulu.”
“Kau tahu, kenapa langit sepertinya tidak merestui pernikahan kita dengan pasangan masing-masing sehingga langit memutuskan untuk mempertemukan kita di sini?”
“Mungkin langit jauh lebih merestui hubungan kita.”
“Zam.” Ia memanggilku masih sama seperti dulu.
“Mmm ...” Aku menyembunyikan kedua tanganku ke dalam saku palto hitam yang kukenakan. Kedua mataku menengok ke arahnya.
“Jujur saja.”
“Jujur kenapa?” Aku menatap kedua matanya seolah ingin menembus ke dalam hatinya yang menyimpan berjuta-juta kenangan masa lalu.
“Saat aku melayani suamiku, aku tidak bisa sepenuhnya melayani dirinya. Saat hamil pun aku terpaksa merawat dan menjaga bayi yang ada di dalam perutku. Menurutmu apakah aku berdosa?”
“Bukankah Nabi Saw telah mengingatkan kepada kaum perempuan agar tidak menerima pinangan seorang pria yang tidak ia cinta? Namun kenapa dulu kamu menerima pinangannya?”
“Itu kulakukan karena ayahku dengan ayahnya kadung berjanji bahwa kelak jika kami sudah dewasa, maka kami harus menikah. Dan aku melakukannya ini karena harus melaksanakan wasiat dari ayah.”
“Sudahlah. Kau tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi termasuk pernikahanmu.”
Langit kota London semakin menghitam. Burung bangau putih melintas di hadapan kami. Mula-mula ia menukik lalu tenggelam di permukaan Sungai Thames, setelah itu kembali terbang di langit. Kadang manusia mengalami hal yang sama dengan burung bangau itu. Mula-mula, kehidupan manusia berada di puncak, lalu nyungsep, setelah itu kembali ke atas puncaknya. Para pelancong semakin memadati taman Buckingham Palace sambil berselfie ria. Ditemani dengan alunan musik dan lagu pengamen jalanan London yang tiada henti memberikan hiburan kepada para pendatang.
Ketika udara semakin dingin dan mendung semakin tebal, kami berdua kembali ke hotel yang menghadap ke Sungai Thames. Kami memang menginap di hotel yang sama dengan kamar saling bersebelahan. Tentu saja kami tidak ditemani oleh pasangan masing-masing maupun anak-anak.
“Apakah kamu masih mencintaiku seperti dulu?” Afifah bertanya saat kami berada di balkon hotel yang menghadap ke arah sungai yang membelah kota London itu.
“Aku akan mencintaimu apabila suamimu melepas dirimu dan istriku kukembalikan ke sangkarnya.”
Dalam dekapan hujan yang turun di akhir Desember cinta seolah berkata bahwa sebaiknya kami menyatu seperti saat kami berdua berpisah di musim dan bulan yang sama. []
Selesai
Probolinggo, Ujung Desember 2022