Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,143
Tidak Ada Tutug Oncom di Neraka
Slice of Life

Siang tadi, Agus meneleponku. Agus menanyakan kabar dan mendoakanku agar selalu sehat. Tentu itu merupakan sesuatu yang sedikit mengejutkan, karena sebelumnya ia tidak pernah bersikap demikian. Aku merasa curiga kalau Agus ada maksud lain. Lalu ternyata memang benarlah dugaanku. Agus hendak meminjam uang.

"Dua puluh juta, Gus? Yang betul aja kamu? Butuh buat apa?"

Nada bicaraku sedikit meninggi. Kemudian aku berupaya tetap tenang, menyadari bahwa aku tengah berada di warung makan saat itu.

Tidak habis pikir. Memangnya apa yang Agus bayangkan tentang penulis yang sering kere seperti aku ini? Bisa-bisanya ia berniat meminjam uang sebesar itu kepadaku. 

"Bayar pinjol," katanya setelah beberapa saat.

Dua kata yang seketika membuat wajahku memanas. Mungkin kalau saja aku tidak menahan diri, bisa-bisa ada api yang keluar dari ubun-ubunku ini. Ingin aku mengucapkan anjing dan goblok kepada Agus, tapi aku berusaha tidak mengeluarkan semua kata-kata itu. Ada banyak orang yang di sekelilingku yang mungkin akan terganggu.

 "Gus, sejak kapan kamu pakai pinjol begitu? Kamu main slot?"

"Bukan, Ndra. Bukan slot. Amit-amit."

"Lha, terus buat apa?"

"Ketipu, Ndra."

"Astaghfirullah, Gus. Goblok kamu ini."

Akhirnya aku tetap mencaci Agus juga, meskipun dengan satu kata yang paling halus menurutku dan diawali pula dengan kalimat istighfar.

"Mau bagaimana lagi, Ndra. Kata Yayan, kalau kita investasi uang sekian juta, bakalan untung dua kali lipat. Makanya aku berani pinjam dulu. Tapi ternyata itu penipuan."

"Ya, goblok namanya. Yayan yang nipu?"

"Bukan Yayan. Yayan juga ketipu."

"Orang-orang goblok kalian ini."

Aku meminum segelas es teh di depanku tanpa sisa, berharap kemarahanku terhadap situasi ini sedikit mereda. Namun saat Agus kembali bicara, aku semakin ingin bilang anjing dan goblok lagi.

"Pinjam setengahnya saja, Ndra. Jujur, aku sudah mau menyerah saja rasanya. Pinjam ke mana-mana, tapi gak ada yang kasih. Makan aja gak enak, rasanya kayak mau mati, Ndra."

Aku memijit keningku. Pening. Aku ingat tentang tabunganku yang sebenarnya tidaklah seberapa, tapi secepat kilat realitas kembali menarikku. Hidup sebagai penulis yang tidak terkenal-terkenal amat itu sulit, penghasilan tidak tentu. Tabunganku jumlahnya tidak kunjung maju-maju. Mana bisa aku berikan kepada Agus begitu saja? Ya, Agus memang temanku sejak aku masih kecil, tapi ….

"Sorry, Ndra. Aku tahu penghasilanmu dari menulis juga sedikit, aku cuma tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku beneran merasa dunia ini mau berakhir."

Aku terdiam sebentar. Suara Agus terdengar bergetar. Bukan hanya suara yang kudengar begitu pilu. Di sana, terdengar juga harga diri seorang lelaki yang jatuh dan hancur. 

"Aku transfer buat makan aja, Gus. Gak bisa aku bantu lebih."

Kukatakan itu dengan tegas tanpa menunggu tanggapan apa pun darinya dan cepat-cepat aku menutup sambungan telepon. Aku segera mengirim uang dua ratus ribu untuk Agus melalui m-banking. 

Ya, itu saja. Kukira sudah, itu saja.

Namun, sepulang dari rumah makan, lewat sore hari sampai malam, saat aku hendak tidur, aku malah semakin kepikiran soal Agus. 

Bukan hanya soal Agus saja dan utang pinjolnya. Namun sampai tentang emaknya Agus pun memenuhi kepalaku. 

Mak Enah. Semasa kecil aku dan teman-teman Agus yang lain memanggil emaknya dengan panggilan Mak Enah. 

Dulu, pertemananku dengan Agus telah mengenalkanku kepada seluruh keluarganya. Bapaknya, emaknya, adiknya. Semua tentang mereka. 

Selama menghabiskan masa SD sampai dengan SMA di Tasik, aku menjadi kian akrab dengan keluarga Agus. Khususnya ketika SD. Keluargaku dan keluarga Agus memang sama-sama masih lengkap, tapi yang menjadikannya berbeda adalah ayah dan ibuku adalah orang-orang sibuk, sedang keluarga Agus sering ada di rumah. Mungkin dari segi ekonomi aku beruntung sekali, tapi dari segi kasih sayang keluarga, tidak sama sekali. Keluarga Agus adalah keluarga cemara, impian semua anak di dunia. 

Ini mungkin terdengar seperti kisah klasik di dalam sinetron atau drama. Namun, begitulah adanya. 

Satu hal yang paling kuingat tentang emaknya Agus alias Mak Enah adalah tutug oncom buatannya. Nasi hangat yang dicampur dengan oncom bakar atau oncom goreng. Ya, oncom yang hampir mirip rasanya dengan tempe bosok, tapi oncom selalu punya aroma yang lebih kuat. Sangat gurih sekali, meskipun hanya ditambahi garam, tanpa penyedap apa pun. Tidak lupa juga dengan ikan asin dan sambal sebagai pendamping. Dulu, aku hampir tidak pernah merasa bosan makan tutug oncom ketika bermain di rumah Agus. Berbeda dengan Agus yang kadang mengeluh karena hampir tiap hari makan dengan menu itu.

Aku pernah bilang kepada Agus, saat kami sudah beranjak remaja. "Gus, ibumu kenapa tidak buat warung makan saja? Menunya tutug oncom. Pasti terkenal."

Agus hanya tertawa. 

Aku bercanda, tapi sebenarnya saat itu aku pun tidak sepenuhnya main-main. Aku selalu kagum dengan tutug oncom hangat buatan Mak Enah dan ingin semua orang merasakan hal yang sama. Lebih dari itu, aku berharap perekonomian keluarga Agus akan menjadi lebih baik setelahnya. Namun mungkin emaknya tidak tertarik untuk berdagang. Jadilah tutug oncom itu selalu menjadi spesial. Hanya bisa dinikmati kalau aku bermain di rumah Agus.

Tahun-tahun berlalu dan kami sudah menjadi anak kuliahan. Aku dan Agus kuliah di kota yang berbeda. Agus sangat serius, sedang aku lelah. Lelah dengan semuanya. 

Karena kami beda kota, kami jadi jarang bertemu. Kami bahkan jarang pulang ke Tasik. Hal ini karena Agus ingin fokus kuliah, sedangkan aku karena hubunganku dengan ayahku semakin buruk. Ayahku memaksakan kehendaknya tentang jurusan kuliah dan masa depan yang harus kujelang. Aku muak dan membangkang. Rasanya aku tidak bisa terus bertemu dengan sosok yang membuatku tidak bisa menahan kesal.  

Agus tidak pernah menasehatiku, karena ia tahu apa yang aku mau. Saat kubilang akan jadi penulis saja, ia mendukung. 

Ayahku tidak lagi mengrimkan uang dan aku berhenti kuliah. Kemudian menjadi penulis. Sulit, tapi tidak pernah kusesali. 

Aku dan Agus perlahan jarang berkomunikasi setelah itu. Namun apa yang Agus sampaikan saat meminjam uang tadi, saat setiap kalimat yang sempat membuatku geram, kini menjadi sesuatu yang menyakitkan dan membuatku teringat betapa dekatnya kami di masa lampau.

Sebelum tidur, selalu. Hal-hal kecil berubah menjadi seperti sel kanker. Menggerogoti. Apalagi permasalahan besar seperti masalah Agus. Ia yang bilang mau mati, tetapi sekarang aku yang merasa sedang sekarat. 

Bagaimana kalau Agus betulan mati?

Bagaimana kalau emaknya Agus tahu Agus punya utang dan mati?

Tidak adil. Setelah semua yang kami lalui dalam hidup, seharusnya kami menjadi orang-orang yang bahagia dan sukses. Bukan ditipu atau sengsara seperti ini. 

Aku mencoba menarik kembali kenyataan saat ini yang ada di depan mata. Memaksa diri terpejam, dengan beberapa kalimat zikir yang sengaja kuucap berkali-kali di dalam hati. Berharap damai, meminta tenang sekedar untuk semalam.

Namun sayangnya, itu tidak terjadi. Aku bermimpi. Mimpi buruk sekali. Aku melihat Agus mati bunuh diri. Aku melihat arwahnya Agus menghampiriku dan menangis dengan hebat. Ia bilang ia kangen emaknya, tapi tidak bisa kembali. Ia bilang ia menyesal karena sudah memutuskan untuk mati dan merindukan tutug oncom emaknya itu. 

Ia bilang di neraka tidak ada tutug oncom. Di neraka pun mungkin tidak akan ada emaknya, karena emaknya orang yang baik. Agus merintih, menangis, dan aku hanya diam di hadapannya. Tidak berdaya. Tidak bisa melakukan apa-apa.

***

Suara azan Subuh membangunkanku. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Sempat mengumpat dulu sebenarnya, tapi langsung sadar dan menenangkan diri. Aku ke dapur dan meminum segelas air putih.

Kubuka ponsel dan mengecek saldo tabunganku. Agus, kamu ini benar-benar membuatku frustasi.

Aku meneleponnya setelah salat Subuh. 

"Kamu baru bangun?" tanyaku.

"Bukan baru bangun, memang tidak tidur."

"Ibumu di kampung, sehat?"

"Sehat, Alhamdulillah. Kenapa, Ndra?"

"Syukurlah kalau begitu. Kamu gak akan bunuh diri 'kan, Gus?"

"Heh, kayaknya enggak, Ndra. Amit-amit."

"Kemarin kamu bilang mau mati rasanya."

"Ya, mau mati rasanya memang. Bayangkan saja. Aku tidak akan kuliah lagi dan harus cari pinjaman 20 juta, Gus. Ini aku juga mau pulang ke kampung sebenarnya. Tapi bingung mau bilang apa ke Emak sama Bapak."

"Aku transfer 25 juta, Gus. Dari tabunganku. Pulang saja ke Tasik. Buka usaha apa di sana. Mau buka warung makan tutug oncom juga bisa."

"Beneran, Ndra?"

Hanya dua kata itu, selanjutnya terdengar isak tangis dari Agus. Aku menyeka ujung mata setelah beberapa saat. Aku juga menangis, nyaris tanpa suara. 

"Makasih, Ndra. Makasih banyak. Maaf, aku pasti akan ganti secepat mungkin. Aku tahu kamu juga sulit mencari uang. Aku berjanji tidak akan jadi orang bodoh lagi."

"Iya, Gus. Memang harus diganti. Itu tabunganku."

"Iya, Ndra. Makasih banyak. Kamu sudah menyelamatkan aku, Ndra."

Bukan aku yang menyelamatkan kamu, Gus. Tapi Tuhan, melalui puluhan atau ratusan tutug oncom buatan emakmu itu di masa lalu.

Setelah kami selesai bertelepon, tinggal hening Subuh yang ada. Aku membuka jendela. Di luar masih gelap, sebuah pesan tidak lama masuk ke dalam ponselku.

"Tadi kutelepon Emak. Katanya sudah lama kamu tidak pulang ke Tasik. Ayo kita bareng ke kampung. Kita makan tutug oncom hangat buatan emakku lagi, Ndra."

Aku tidak sanggup membendung air mata. Aku kembali menangis. Kali ini, lebih bersuara. Lebih keras dari sebelumnya. (*)

2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)