Masukan nama pengguna
Aku menatap layar ponsel. Berkali-kali membaca berbagai postingan yang tengah hangat akhir-akhir ini. Instagram, Facebook, X, Tiktok, semuanya, bergantian aku cek. Ya, bagai sebuah kesibukan yang tidak bisa dipisahkan dari keseharianku, membuka berbagai akun media sosial sudah menjadi kebiasaan yang tak dapat dienyahkan dan seolah-olah mungkin bisa disebut sebagai kebutuhan.
Banyak sekali video-video yang menarik untuk disimak. Berbagai macam informasi, gosip artis kekinian, tren yang terus berganti setiap harinya dan selalu ingin aku ikuti. Sayangnya, semuanya kadang terasa terlalu cepat, atau mungkin aku saja yang lambat? Tak mampu mengikuti perputaran zaman dan kerap merasa tertinggal di belakang. Terus merasa tertinggal di belakang, jauh. Jauh sekali.
Setelah lulus SMA, tidak banyak kegiatan yang bisa aku lakukan. Aku sedang menunggu pengumuman hasil tes ke perguruan tinggi. Terlalu banyak waktu luang dan aku sudah terlalu bosan juga jalan-jalan bersama teman-teman. Menonton film di bioskop, memburu tempat wisata baru, tempat makan baru, dan banyak lagi. Benar-benar sudah bosan. Berbeda dengan media sosial, membukanya berjam-jam, aku tak pernah diterpa kejenuhan sama sekali. Hanya kadang-kadang mataku saja yang perih karena terlalu lama menatap layar ponsel, tapi toh itu tak akan lama, setelah istirahat beberapa saat saja, mataku akan kembali baik-baik saja dan dapat kembali menyelami dunia digital yang menyenangkan.
Sekarang, sudah pukul delapan pagi dan aku masih berbaring di tempat tidur. Memang sangat asyik berbalas komentar di salah satu status teman Instagram dan melihat-lihat postingan artis idolaku di di sana. Ah, betapa santai dan menyenangkan. Terasa seperti hidup ini tak ada beban.
Jam segini, Mama dan Papa pasti sudah pergi ke kantor. Rumah sudah sangat sepi. Mungkin hanya Bi Ratmi dan Mang Ujang di dapur. Aku pun bisa leluasa bermalas-malasan di kamar tanpa takut diomeli. Kalau dipikir-pikir, sudah lama juga sih, aku tidak diomeli oleh Papa atau Mama.
[Wah, cantiknya ....]
Aku mengetik pujian di kolom komentar Instagram seorang perempuan cantik. Tak berapa lama, ia membalas dengan mengucapkan terima kasih. Kemudian, aku membaca komentar lainnya.
[Dasar pamer!]
[Cantik!]
[Oplas pasti!]
[Efek kamera itu ....]
Aku tertawa membacanya. Ah, orang-orang memang suka sekali berkomentar. Bahkan di balasan komentar tersebut banyak yang berkata kasar. Kata-kata seperti anjing dan babi, banyak sekali. Seru sekali membacanya. Selain itu, berbagai ekspresi lewat emotikon juga mereka layangkan. Ada emot sedih, tertawa, bahkan marah.
Sebenarnya, sang pemilik postingan seakan tak peduli dengan hujatan-hujatan itu. Malah sepertinya ia juga senang-senang saja. Namanya dikenal banyak orang dan ia juga terlihat tengah mengiklankan sebuah produk miliknya sendiri. Atau sebenarnya ia sakit hati? Entahlah ....
Namun, di sana ada dua pihak yang saling menghujat. Dua pihak itu adalah sama-sama orang yang sedang berkomentar. Aih, lucunya. Padahal mereka mungkin tidak saling mengenal, tapi saling menghina sampai segitunya.
Tak terasa, sekarang, sudah hampir pukul sepuluh. Perutku mulai berbunyi. Tentu saja, aku belum makan apa pun dari tadi.
Aku beranjak, ponsel masih di tangan. Ya, jangan sampai notifikasi penting terlewatkan.
Meja makan masih penuh, Bi Ratmi tentu sudah hapal kebiasaanku. Jika hari libur, ia tidak akan buru-buru membereskan makanan di meja. Sepertinya, Mama dan Papa, mereka benar-benar sayang sekali padaku. Sampai-sampai, anaknya yang belum sarapan ini, tidak tega mereka usik, huh.
Aku melahap sepiring nasi goreng. Entah berapa lama ini akan habis, sebab setiap satu suapan, aku sibuk membaca dan membalas komentar. Di Instagram banyak postingan artis terkenal dan berita terhangat. Ini menyenangkan! Sangat menyenangkan!
Setelah hampir satu jam, akhirnya sepiring nasi goreng, selesai sudah. Saatnya kembali ke kamar. Tiduran sambil terus melihat setiap postingan dan video-video.
Aku pun melonjak kaget ketika salah satu komentarku dibalas oleh artis.
"Wah!"
Semakin bersemangat aku melihat berbagai postingan dan bahkan, foto-foto yang di-upload sang artis beberapa waktu lalu, aku lihat kembali berulang-ulang. Ah, senang sekali. Menyelam di setiap postingan artis terkenal, melihat-lihat barang baru di akun yang menjual berbagai macam barang hits, dan banyak hal lainnya yang bisa dilihat lewat benda mungil yang kugenggam saat ini. Dunia seperti ada di dalam tanganku. Semuanya mudah sekali untuk kujangkau dan kuraih. Aku tak ingin melewatkan satu pun informasi.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, aku benar-benar belum beranjak dari kamar. Mama dan Papa belum pulang, bahkan aku berkali-kali melihat kontak WhatsApp Mama, berharap ia menanyakan sesuatu, tapi tidak. Tidak sama sekali. Mereka terlalu sibuk, rupanya.
Aku menarik napas panjang, menatap ke langit-langit kamar. Suara bip pertanda baterai lemah berbunyi. Ah, sayang sekali. Aku beranjak, mencari charger.
"Eh, kok gak masuk?" berulang kali aku mencoba membenarkan colokannya.
Aku menepuk keningku sendiri. "Mati lampu pasti!"
Aku mencoba mengingat di mana letak power bank. Aduh, malas sekali mencarinya. Mungkin di ruang tamu?
Aku melangkah terburu-buru. Namun sesampainya di ruang tamu, Papa dan Mama membuka pintu. Mereka sudah pulang rupanya. Namun, mereka terlihat seperti sedang mencari sesuatu.
"Cari apa, Ma?" tanyaku datar.
"Power bank, sayang," ujarnya tanpa melihatku sama sekali.
"Kalo ketemu, Papa dulu yang pake ya, ini Papa ada kerjaan penting," ucap Papa kemudian. Ia terlihat sangat serius.
Aku diam. Sepertinya, mereka memang lebih membutuhkan benda itu daripada aku.
"Ini, Pa!" teriakku, saat aku menemukan power bank dengan cepat dan menyodorkannya.
"Makasih." Ia mengucapkan itu tanpa melihatku sama sekali. Persis seperti Mama tadi. Hei, mereka anggap aku apa?
Papa duduk santai di sofa. Aku juga. Mama melakukan hal yang sama sambil membuka kaus kakinya. Ia melihatku yang sedari tadi menatapnya, lalu tersenyum. Sesuatu yang tiba-tiba terasa aneh bagiku.
"Eh, kita jarang banget ya? Kumpul kayak gini?" tanyanya kemudian.
Pertanyaan Mama, bagiku bagaikan sebuah kapal yang menabrak gunung es kokoh dan besar. Esnya tidak pecah, tapi kapalnya yang karam. Tidak berhasil sama sekali.
Aku hanya tersenyum datar. Melihat Papa, melihat Mama, dan kembali masuk ke kamar.
Kembali tiduran dan menatap ponsel. Baterainya hampir habis. Aku menutupi kepala dengan bantal. Perlahan, aku menangis. Dalam hati, tak henti aku mengutuk keadaan ini. Tak henti aku mengutuk Papa, Mama, dan bahkan diriku sendiri.
Ah, mungkin benar, aku dan kamu, aku dan mereka, kita, bisa menjadi dekat karena dunia maya. Namun, di sisi lain, itu telah menciptakan dinding besar yang bukan hanya sekadar kecanggungan dan pengabaian dari orang-orang yang kucinta. Lebih dari itu, semacam kesunyian yang tak dapat dijabarkan oleh kata-kata.
Kesunyian yang ... anjing sekali rasanya.
(*)