Masukan nama pengguna
Aku tidak mengerti mengapa buku kumcer bersampul abu-abu itu sekarang sangat laris di pasaran. Melihat iklannya wara-wiri di media sosial saja membuatku muak. Hadeuh ....
Mungkin, aku membenci buku tersebut karena penulisnya. Ya, karena penulisnya itu mantan kekasihku. Aku sungguh tidak habis pikir bagaimana bisa sekarang ia benar-benar jadi penulis terkenal. Padahal dulu, tulisan mantan pacarku itu jeleknya minta ampun. Benar-benar jelek, aku yakin pasti tidak akan ada orang waras yang sudi membaca semua tulisan-tulisannya.
Biar kuceritakan sedikit, ya. Mantan pacarku itu dulu betul-betul penulis yang aneh dan seringkali sok tahu. Ia banyak menulis kisah romantis, tapi bagiku tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Ia kerap menulis cerita horor, tapi sekali lagi, bisa kukatakan kalau cerita horornya itu sama sekali tak membuatku ketakutan. Bagaimana, ya? Sejujurnya, aku sudah kehabisan kata-kata untuk menjelaskan seburuk apa tulisan-tulisan yang ia buat.
Aku putus dengannya karena memang aku dengannya sudah tidak cocok. Sebenarnya, putusnya pun baik-baik. Keputusan itu merupakan sebuah kesepakatan yang dipikirkan matang-matang oleh kami. Ya, aku pikir sih, begitu. Akan aku anggap demikian.
Semuanya berjalan dengan oke-oke saja, sampai kemudian ia memiliki kekasih baru. Entah kenapa aku jadi mulai membencinya sejak saat itu. Aku melihat ia begitu memperjuangkan cintanya terhadap kekasihnya yang baru. Aku jadi bertanya-tanya. Mengapa dulu ia tak sungguh-sungguh mencintaiku? Atau ... selama bersamaku, ia memang tidak pernah benar-benar jatuh cinta? Jika iya, menyebalkan sekali.
Mantanku itu bahkan rela menemui kekasih barunya yang jauh. Padahal dulu, saat berhubungan denganku, ia tak pernah memiliki niat serius untuk menemuiku. Aku sampai menghitung jarak antara rumah kekasih barunya dan rumahku, mana yang lebih jauh.
Ya, benar. Mungkin karena kenyataan-kenyataan itulah, aku membenci kumcer bersampul abu-abu yang sedang laris di pasaran itu. Hampir semua teman komunitas menulisku membicarakan kumcer tersebut. Aku makin muak karenanya.
"Sudahlah, cobalah kau baca dulu," ucap Leo, ketika ada acara kumpul-kumpul di kafe bersama beberapa penulis. Aku sudah menduga bahwa kumcer abu-abu itu akan jadi salah satu topik.
"Tidak mau. Melihatnya saja membuatku tak berselera," jawabku dengan ketus.
"Cobalah membacanya tanpa memikirkan siapa penulisnya. Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau kamu sudah move on dan mau membuka hati kepada orang baru? Katanya kamu sudah lupa dan tidak peduli. Iya, 'kan?"
Aku mendengkus kesal. Kenapa harus kumcer itu yang laku di pasaran dan jadi topik pembicaraan?
"Ayolah. Baca saja. Lihat isinya, bukan siapa yang menulisnya. Kamu harus belajar."
"Belajar? Belajar dari apa? Dari siapa? Aku tahu gaya tulisannya seperti apa. Aku tahu bagaimana dia menulis. Tulisannya biasa saja. Malah bisa dibilang tulisannya sangat jelek. Aku lebih suka baca tulisan anak SD ketimbang tulisan-tulisannya."
Kali ini, Leo yang mendengkus kesal. Aku masih berusaha mempertahankan harga diriku. Aku sudah meyakinkan diri untuk tidak tergoda menyentuh kumcer abu-abu yang tergeletak di depan kami.
"Sudah kalau begitu. Aku tidak akan memaksa. Tapi buku kumcer ini untuk kamu. Bawa saja ke rumah. Tidak mungkin aku bawa dua. Lemariku sudah penuh."
"Loh, dari siapa?"
"Dari penulisnya. Siapa lagi? Ada tanda tangannya juga. Spesial untukmu."
"Aduh, angkuh sekali dia."
"Bukan angkuh, tapi, sudahlah. Aku tidak mau berdebat. Kau selalu tak mau kalah kalau debat tentang apa pun."
Aku tersenyum saja. Sepertinya Leo sudah menyerah membujuk dan mengagung-agungkan penulis itu. Ya, memang sudah seharusnya ia tidak dipuji.
Aku ingin tertawa ketika akhirnya aku membawa kumcer abu-abu itu ke rumah. Aku merasa ini adalah kenyataan yang komedik. Apakah mantan kekasihku itu sudah merasa sangat cerdas sehingga dengan angkuhnya memberiku bukunya? Ditambah tanda tangannya pula. Haha. Memangnya aku akan mau membaca?
Tentu saja. Aku akan membacanya. Bukan, bukan karena aku merasa akan menyukainya. Aku hanya ingin tahu, seberapa jelek tulisannya itu. Aku hanya penasaran mengapa tulisannya yang selalu jelek itu bisa mempengaruhi orang-orang untuk membeli bukunya. Pembicaraan mengenai bukunya pun masih riuh di berbagai komunitas dan pertemuan para penulis.
Aroma buku baru menguar ketika aku melepas plastik yang membungkus kumcer itu dengan serampangan. Ah, untuk apa memperlakukan buku mantan kekasihku dengan hati-hati. Toh, nanti juga pasti aku akan membuangnya ke tong sampah. Akan kubuang ke tong sampah! Atau kalau mau sedikit lebih untung, akan kujual ke tukang rongsokan.
Aku membaca judul kumcer itu dengan diakhiri tawa mengejek. Oh, kumcer apa ini? Membuatku migrain saja rasanya.
Membuka lembar-lembar pertama, ada satu halaman penuh ucapan terima kasih. Saat aku membacanya, aku semakin merasa benci saja. Nama kekasihnya tak luput ia cantumkan. Sungguh menggelikan. Memangnya, hanya ia yang punya kekasih? Terlihat bangga sekali, padahal aku juga tahu hubungan mereka pasti tidaklah selalu mulus-mulus saja. Mereka pasti hanya menampilkan hal-hal mesra dan bahagia hanya demi pencitraan semata. Aku malah sangat yakin, suatu hari, sebentar lagi, hubungan mereka pasti akan segera kandas. Perempuan mana yang tahan dengan laki-laki sepertinya? Tidak akan ada dan tidak akan pernah ada.
Aku membuka halaman selanjutnya. Satu judul cerpen menyambutku. Aku mencoba membacanya perlahan. Seperti kata Leo, aku mungkin harus membaca tulisan ini tanpa memikirkan siapa penulisnya. Namun, tetap saja. Aku selalu mengakhiri setiap paragraf dari cerpen itu dengan tawa mengejek. Wajah mantan kekasihku selalu saja terbayang tiap kali aku membaca isi kumcernya.
Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku bisa membaca cerpen demi cerpen dari buku ini dengan tanpa memikirkan penulisnya. Sungguh benar-benar mustahil. Aduh, parah. Parah sekali.
Halaman demi halaman kumcer itu pun terus kubaca. Tak terasa aku sudah membaca setengahnya. Cukup menarik sebenarnya. Aku tersenyum menyadari bagaimana kalimat demi kalimat dari cerpen-cerpennya, semakin lama membuatku terhanyut.
Sudah sekitar satu jam lebih, aku membaca. Kumcer itu hampir tuntas. Aku sedikit tidak percaya dan mulai bertanya-tanya. Apakah, memang yang menulis kumcer ini adalah mantan pacarku? Rasanya mustahil.
Lucu sekali. Kenyataan ini lucu sekali. Aku ingin mengumpat, tapi aku juga ingin memujinya.
Entah, mungkin setelah putus dariku, justru otaknya berjalan lebih baik. Mungkin, setelah putus dariku, itu justru adalah awal baginya untuk berusaha lebih keras. Setelah dipikir-pikir, kumcer ini memang pantas dicari-cari dan laris di pasaran.
Aku menyukai kumcer paling buruk ini sekaligus membencinya. Alasannya masih sama, apa lagi kalau bukan karena penulisnya.
Ah, rupanya ia berhasil pergi dariku dan menemukan semua yang seharusnya ia miliki. Aku yang gagal, tapi tak apa. Setidaknya aku masih hidup dan dengan entengnya masih bisa mengutuk banyak hal, termasuk mengutuknya.
Miris.
Tasikmalaya, 2021