Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
1,768
The Hollow Rite
Horor

Tanah itu murah terlalu murah untuk sesuatu yang berada di kaki perbukitan Gyeonggi, Korea Selatan.

Elijah Park, seorang ahli okultisme lulusan luar negeri, mewarisinya dari paman jauh yang bahkan tak pernah ia temui. Sebuah rumah tua berdiri di atasnya, dikelilingi kabut dan pepohonan yang tak pernah benar-benar diam. Warga desa menyebutnya The Hollow “Yang Kosong”. Tapi tak ada yang mau bicara lebih dari itu. Hanya bisik-bisik. Tentang suara. Tentang tangisan dari dalam tanah.

Elijah mengabaikannya. Ia butuh ketenangan untuk menyelesaikan bukunya tentang ritual kematian kerajaan kuno.Tapi malam pertama, rumah itu berbisik.

Lantainya seakan bernapas. Dindingnya merintih. Dan di balik gulungan kaligrafi usang di ruang tengah, ia menemukan sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi: sebuah pintu jebakan.Tangga batu menurun tajam ke ruang bawah tanah. Gelap. Lembap. Bau tanah tua dan dupa mati.

Di tengah ruangan itu: sebuah peti mati kayu hitam, dililit oleh talisman merah yang mulai mengelupas. Di dinding terukir simbol-simbol kuno tulisan penolak roh. Tapi semuanya pudar.Dan di atas peti, dengan darah kering, tertulis:“Kuburkan darahmu. Jangan pernah ucapkan namanya.”Elijah tahu ia harus pergi.Tapi rasa ingin tahunya lebih kuat daripada rasa takut.

Ia memotret semuanya. Mencatat simbol. Dan—dalam keinginan bodoh untuk memahami lebih dalam—ia melepas satu talisman dari peti.Malam itu, rumah mulai bernapas.Bukan suara kayu. Tapi suara daging. Seperti kulit yang meregang. Ia mendengar langkah di lantai atas—padahal ia sendirian. Bisikan di balik dinding. Dan satu kata yang terus diulang:"Gwi-in... Gwi-in..."

Ia mencarinya. Gwi-in roh penjaga makam. Biasanya dikubur hidup-hidup bersama jenazah bangsawan. Dijadikan pelindung. Atau... kurban.Pagi harinya, laptopnya rusak. Semua foto berubah jadi satu gambar: wajahnya sendiri, mulut menganga, dan sosok hitam berdiri di belakangnya.Ia menghapus semua data.Tapi gangguan tak berhenti.

Ia memanggil Hye-jin, temannya yang seorang geomancer ahli fengshui kematian dan ritual pemakaman kuno.Begitu Hye-jin melihat rumah itu, wajahnya pucat.“Kamu membuka sesuatu yang harusnya tetap tidur,” katanya lirih.Mereka kembali ke ruang bawah tanah.Semua talisman hilang.Tutup peti sedikit bergeser.Dan tubuh di dalamnya... tidak membusuk.Kulitnya pucat transparan. Rangka rusuknya tampak berdenyut seperti jantung. Kukunya panjang dan menghitam. Tumbuh. Menyatu dengan kayu peti.“Aku pikir ini... sedang berubah,” bisik Elijah.

“Bukan berubah,” Hye-jin membalas. “Itu sedang mengingat.”Mereka kabur keluar. Tidur di luar rumah. Tapi pada pukul 3:41 pagi, tanah bergetar.Dari bawah mereka, terdengar jeritan.Bukan satu. Tapi banyak. Tumpang tindih. Seperti ribuan roh menjerit serempak.Tanah merekah. Asap hitam keluar dari bawah rumah.Hye-jin membuka kitab ritual warisan keluarganya. Ia menemukan satu Ritual Kosong.

Sebuah upacara penyegelan untuk roh-roh tua yang bahkan tak bisa disebutkan namanya.Mereka menggambar lingkaran pelindung. Menyalakan lilin hitam. Mencampur darah anjing dan garam.Elijah ragu sebelum melukai telapak tangannya.“Kenapa harus darah?” tanyanya.Hye-jin tak menjawab.Saat mereka memulai mantra, tanah runtuh.Peti di bawah terbuka.

Sebuah tangan merangkak keluar putih pucat, sendi bersusun, mirip serangga.Lalu wajahnya muncul. Licin. Tak bermata. Tapi tersenyum.Lilin padam. Garis pelindung retak. Udara berubah beku.Roh itu tidak berjalan. Ia muncul sekejap berpindah dari sudut ke sudut.Hye-jin berteriak. Tapi suara roh itu lebih kuat:"Kau adalah darahnya..."Elijah melihat semuanya.

Kilasan masa lalu. Leluhurnya sendiri menyegel wanita hidup-hidup di dalam peti, untuk menyimpan roh jahat yang lebih besar.Ia bukan hanya pewaris tanah itu.Ia adalah kuncinya.

Tanpa pilihan, Elijah melangkah ke tengah lingkaran, menekan darah dari telapak tangannya ke dada roh itu.

Ia mengucapkan mantra dari Ritual Kosong.Bukan dari buku.Tapi dari ingatan.Seolah-olah ia sudah pernah melakukannya.

Roh itu menjerit. Mulutnya terbuka lebar hingga tak masuk akal, memuntahkan asap dan jeritan dan rasa sakit.

Lalu hening segalanya runtuh tiga hari kemudian elijah sadar di rumah sakit rumah tua itu lenyap, ditelan tanah tak ada yang bertanya hye-jin pergi tanpa kabar pesan terakhirnya:

“Beberapa garis darah memang diciptakan untuk membawa kutukan.”

Elijah tak pernah menulis bukunya tapi kadang, saat malam layarnya berkedip dan muncul bayangan di balik bahunya wajah yang tersenyum menunggu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)