Masukan nama pengguna
Semua terasa sunyi seketika.
Airlangga duduk di serambi masjid, merapikan tali sepatunya yang sudah agak usang sepatu yang katanya dulu pernah dipakai waktu syuting film pertamanya, tapi sekarang lebih sering dipakai jalan sore cari warung kopi.
Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berrok putih dan mengenakan sweater biru dongker. Langkahnya cepat, setengah terburu-buru seperti ibu-ibu muda yang dikejar waktu jemput suami pulang kerja padahal, mungkin dia cuma buru-buru karena panas.
Airlangga berdiri, berjalan ke arah belakang masjid. Itu satu-satunya jalan menuju rumahnya yang besar, sunyi, dan dikelilingi tembok tinggi yang katanya dulu dibangun bukan buat keamanan, tapi biar nggak bisa lihat mantan lewat.
Dia menoleh sebentar. Gadis itu sedang membuka bagasi mobilnya sambil mengatur tas jinjing di bahunya. Ada sesuatu yang anggun dan biasa dari caranya berdiri, seperti seseorang yang selalu belajar kuat walau hari-harinya kadang diam-diam hancur.
Sudah hampir tiga bulan Airlangga tidak melihatnya lagi.
Mungkin dia sibuk. Mungkin Airlangga juga terlalu sibuk dengan dunia film yang katanya seni, tapi kadang lebih mirip dunia pura-pura. Dunia yang sibuk mengejar eksistensi, tapi lupa ngurus hati sendiri.
Saat Airlangga hampir sampai di portal perumahannya, tanpa sengaja langkahnya berpapasan. Gadis itu naik ke sebuah mobil hitam. Airlangga hanya bisa menebak-nebak mobil online, atau pacarnya? Atau... hidup yang bukan miliknya lagi?
Tak lama, seorang tetangga melintas, menuntun anjing sedang yang bulunya lebih rapi dari rambut Airlangga seminggu terakhir. Tetangganya menyapa dengan ramah.
"Ke mana, Bos?"
Airlangga tersenyum lemas. "Nggak ke mana-mana... cuma cari angin. Rumah kerasa sempit, padahal gede."
"Ohhh..." Tetangganya cuma mengangguk. Kadang memang jawaban singkat itu yang paling jujur.
Airlangga mendekat, basa-basi yang diam-diam ingin tahu.
"Yang rumah putih deket masjid itu, yang tadi lewat... dia siapa ya?"
"Anak dokter. Anaknya cantik, ramah. Jarang keluar rumah, katanya lagi bantu ibunya urus klinik kecil di dalam," jawab tetangga sambil mengelus kepala anjingnya yang mulai mengantuk.
Airlangga mengangguk kecil. Bibirnya tersenyum, tapi matanya tidak. Ia tahu, dunia gadis itu penuh cahaya dan pengabdian, sedangkan dirinya masih sibuk menata bayangan dari layar-layar bioskop kecil yang belum tentu ditonton orang.
"Bagus ya... ada yang bisa hidup sambil nolong orang lain," gumamnya pelan.u perduli.