Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
4,745
Cincin di laci sebelah
Drama

Danu (34) adalah pria yang nyaris menjadi suami—tapi selalu gagal sampai garis akhir. Kali ini, dia sedang menyiapkan pernikahannya dengan Gita, wanita karier yang mapan dan tegas. Semua sudah siap: gedung, katering, undangan. Namun yang tidak pernah siap adalah hati Danu.

Suatu siang, ketika sedang membereskan garasi rumah kontrakannya, ponselnya berbunyi. Nama pengirim: Tania bekas.

Bukan bekas barang. Bekas pacar.

Tania, cinta lama yang menghilang lima tahun lalu tanpa penjelasan.

Isi pesannya sederhana:

“Halo, Danu. Kamu masih suka memperbaiki motor?”

Danu mengetik. Lalu menghapus. Kemudian mengetik lagi.

Akhirnya dia hanya membalas:

“Masih. Kenapa?”

Balasannya cepat.

“Aku mau menitipkan motor suamiku. Dia sudah tiada.”

Tiga hari kemudian, mereka bertemu di warung nasi Padang yang dulu sering mereka datangi. Namun kini terasa asing. Tania datang dengan wajah lelah, mengenakan gamis biru pudar dan sepatu flat yang sedikit longgar. Di tangannya, terdapat kunci motor tua yang diselipkan di gantungan Doraemon.

“Ini motor terakhir yang dia punya. Aku tidak bisa menyimpan barangnya. Tapi aku juga tidak kuat membuangnya,” katanya.

Danu menatap Tania. Wajahnya tak lagi menunjukkan gadis galak yang dulu sering menantang dunia. Namun juga tidak ada air mata.

Mereka makan bersama. Danu masih ingat, Tania selalu makan rendang terakhir. “Biar pamungkas,” katanya dulu.

Tapi kali ini, rendangnya dimakan duluan.

Motor itu akhirnya dibawa pulang oleh Danu. Motor tua Supra 125 yang sudah aus, tapi tangkinya masih wangi bensin. Danu membersihkan, memoles, bahkan memberi stiker kecil bertuliskan “T-04”inisial nama mereka dulu.

Setiap malam, Danu sering duduk di garasi. Motornya tidak dijual. Entah mengapa. Gita sempat bertanya,

“Itu motor siapa, Nu? Kayak motor mantan kamu dulu.”

Danu menjawab, “Motor titipan.”

Seminggu sebelum hari H, Danu datang lagi ke rumah Tania. Membawa motor itu.

“Gak jadi aku jual,” katanya.

Tania terkejut. “Lho, kenapa?”

“Motor ini… sudah seperti saksi hidup. Saksi kamu yang dulu, dan saksi aku yang sekarang. Aku tidak bisa berpisah darinya.”

“Nu, itu motor suamiku. Bukan kenangan kita.”

“Justru itu. Aku bukan mau menyimpan kenangan. Aku cuma ingin mengerti… kenapa waktu itu kamu pergi?”

Tania diam. Lalu menjawab lirih, “Karena aku takut hidup bersama orang yang cuma bisa bercanda tapi tidak bisa diajak serius.”

Danu tertawa kecil. “Lha sekarang? Aku mau menikah, tapi hidupku malah terasa kurang lucu.”

Tania tersenyum. “Jangan batalkan pernikahanmu, Nu.”

“Kenapa? Karena aku sudah tidak lucu?”

“Karena aku sudah tidak bisa kembali. Aku sudah terlalu patah untuk diajak utuh.”

Danu pulang dengan dada berat. Di rumah, Gita duduk di meja makan, membaca katalog souvenir.

“Kamu dari mana?” tanya Gita tanpa menoleh.

“Dari masa lalu,” jawab Danu pelan.

Gita menutup katalog. “Nu, kamu sayang aku, kan?”

“Sayang.”

“Tapi kamu sayang dia juga, kan?”

Danu terdiam. Lalu mengangguk.

Gita berdiri. Melepas cincin dari jari manisnya, dan meletakkannya di laci meja makan.

“Kalau kamu sudah siap dengan seseorang yang tidak ada di masa lalumu… ambil cincin ini lagi.”

Beberapa bulan kemudian, motor itu tetap ada di garasi Danu. Tak pernah dijual. Kadang dipakai keliling gang. Kadang dibiarkan berdebu.

Gita? Sekarang menjadi partner kerja Danu di bengkel kecil yang mereka buka. Mereka belum menikah, tapi juga belum benar-benar berpisah.

Tania? Pindah ke luar kota. Membuka kedai kue kecil. Kadang Danu melihat story-nya dari akun bisnis: foto brownies, teh hangat, dan satu caption yang membuat dadanya selalu hangat:

“T-04. Terima kasih karena pernah menjadi jeda paling nyaman.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)