Masukan nama pengguna
Langit Manhattan sore itu jingga keemasan.
Raka, arsitek 29 tahun asal Jakarta, menatap layar laptopnya sambil menghela nafas. Deadline desain hotel bintang lima di Dubai membuat kepalanya pening.
Ia keluar sejenak ke taman kecil di Bryant Park. Saat itulah ia mendengar alunan biola yang lembut, penuh emosi, menembus dinginnya angin November.
Di sana, di bawah pohon mapel, berdiri seorang wanita Asia, memainkan Clair de Lune dengan mata terpejam.
Sekelompok orang berkumpul menonton, tetapi hanya Raka yang memperhatikan jemari gadis itu bergetar, seakan menahan tangis.
Setelah lagu selesai, ia bertepuk tangan paling keras. Gadis itu membungkuk singkat, hendak beranjak pergi.
Raka memberanikan diri:
"Permainannya indah sekali... kau dari sekolah musik mana?"
Gadis itu tersenyum tipis, agak malu.
"Aku bukan murid sini… cuma melarikan diri sebentar dari dunia yang terlalu bising."
"Melarikan diri?"
"Nama aku Akari," katanya lirih.
"Raka."
Dan itulah awalnya.
Beberapa minggu berikutnya, mereka sering bertemu. Akari bercerita:
Ia violinist profesional di Tokyo, namun hidup dalam bayang-bayang ayahnya yang keras — seorang maestro musik klasik. Ia kabur ke New York demi mencari kebebasan.
Sedangkan Raka, hidupnya juga tak kalah rumit. Ia bekerja keras demi menebus kesalahan masa lalu: sebuah proyek gedung di Jakarta yang runtuh karena kesalahan teknis timnya, membuatnya nyaris kehilangan lisensi.
Mereka sama-sama punya luka, sama-sama mencari makna baru.
Mereka berjalan di Central Park, menonton Broadway, duduk di kafe-kafe kecil New York.
Cinta mulai tumbuh — perlahan, dalam diam.
Namun mereka tahu: ini sementara. Visa Akari akan habis, dan kontrak kerja Raka juga akan segera berakhir.
Saat musim salju datang, Akari berkata dengan mata berkaca:
"Aku harus kembali ke Tokyo, Raka..."
Raka menatapnya dalam-dalam.
"Aku ikut ke Tokyo."
Akari menggeleng.
"Kau tak bisa tinggalkan karirmu di sini. Hidupmu baru mulai stabil."
"Kau lebih penting dari karirku."
"Tidak, Raka. Cinta bukan soal pengorbanan buta. Aku tak mau kau menyesal di kemudian hari."
Dan begitulah mereka berpisah — di bandara JFK, diiringi salju pertama turun.
Setelah Akari pergi, hidup Raka hampa.
Setiap malam ia membuka pesan singkat dari Akari, kadang video call. Tapi jarak 10.000 km bukan hal mudah.
Proyek besarnya di Dubai sukses. Tawaran pekerjaan bergengsi berdatangan. Tapi semua itu terasa hampa.
Sampai akhirnya, suatu malam, ibunya di Jakarta menelepon:
"Nak, kamu bahagia? Karirmu bagus, tapi hatimu kosong. Kalau hatimu tahu siapa yang membuatmu hidup kembali, kejar dia. Uang bisa dicari. Cinta kadang cuma datang sekali."
Kalimat itu menyadarkannya.
Dua bulan kemudian. Tokyo.
Akari baru saja selesai konser di Nippon Budokan. Ia berjalan keluar panggung, kelelahan, saat melihat seseorang berdiri di lorong.
Raka.
"Kenapa kau di sini?" bisik Akari dengan mata melebar.
Raka tersenyum:
"Karena aku memilih bahagia."
Akari meneteskan air mata.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita jalani saja. Kita berjuang. Aku sudah mendaftar lisensi arsitek di Jepang. Kalau harus mulai dari nol, aku siap."
Akari menutup wajahnya sambil tertawa menangis.
"Kau gila..."
"Tapi aku gila karena mencintaimu."
Mereka berpelukan di lorong konser kosong, di bawah langit Tokyo yang sama — di mana cinta akhirnya menemukan rumahnya.