Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,894
TAMU TERAKHIR
Horor

TAMU TERAKHIR

Di ujung desa yang sepi, berdirilah sebuah rumah tua dengan cat mengelupas dan jendela yang selalu tertutup tirai tebal. Atapnya miring, nyaris roboh di salah satu sisi, dan halaman depannya ditumbuhi rumput liar setinggi lutut. Tak ada suara dari dalam, bahkan burung pun jarang hinggap di pohon-pohon sekitar. Rumah itu seperti dilupakan waktu.

Rumah tersebut dihuni oleh seorang wanita tua bernama Bu Ratna, yang tak pernah keluar sejak suaminya meninggal dua puluh tahun lalu. Orang-orang bilang ia masih menunggu, tapi tak pernah dijelaskan menunggu apa. Yang pasti, sejak hari kematian suaminya, tak seorang pun melihatnya menjejakkan kaki di luar pagar. Rumah itu menjadi bisu, tetapi tetap hidup. Dan Bu Ratna tetap tinggal di dalamnya—sendiri, dalam keheningan yang membuat orang enggan mendekat.

Orang-orang menyebutnya aneh. Sebagian bilang ia penyihir. Anak-anak desa hanya berani lewat depan rumahnya sambil lari-lari. Tapi tak ada yang tahu pasti seperti apa hidup Bu Ratna, kecuali satu orang: Sari, relawan perpustakaan keliling yang baru pindah ke desa itu.

Sari pertama kali menemui Bu Ratna saat hujan deras, saat motornya mogok persis di depan pagar rumah tua itu. Karna tidak ada pilihan lain. Meski ragu, ia tetap mengetuk pintu.

Bu Ratna membukakan pintu tanpa berkata sepatah kata pun. Hanya matanya yang bicara: kosong, seperti sumur kering yang dalam.

“Permisi, motor saya mogok… boleh saya numpang berteduh sebentar?” tanya Sari, canggung.

Wanita tua itu hanya mengangguk pelan dan membuka pintu lebih lebar.

Sari menginap malam itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena hujan tak kunjung reda dan tak ada sinyal di HP-nya. Rumah Bu Ratna gelap dan dingin, dengan lampu minyak sebagai penerangan. Tak ada TV, tak ada jam dinding, hanya sebuah jam meja tua dengan jarum yang berhenti di pukul 02.00.

Dan malam itu pula, ia mulai merasakan sesuatu yang ganjil.

---

Sekitar pukul dua dini hari, Sari terbangun. Bukan karena dingin, bukan karena nyamuk. Tapi karena suara.

Langkah kaki. Berat, perlahan, bolak-balik di lantai atas.

Ia mencoba menenangkan diri. Mungkin suara kayu yang memuai. Mungkin kucing. Tapi langkah itu terlalu... manusiawi.

Keesokan harinya, Sari mencoba bertanya.

“Bu Ratna, ibu tinggal sendiri?”

Bu Ratna mengangguk.

“Di atas... ada kamar kosong?”

Bu Ratna menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, “Sudah lama tidak dibuka.”

Sari tidak berani bertanya lebih jauh.

---

Beberapa minggu setelah kejadian itu, Sari kembali ke rumah Bu Ratna. Kali ini bukan karena motornya mogok. Tapi karena ada rasa penasaran yang menempel seperti debu di balik pintu—tidak terlihat, tapi membuat sesak.

Ia membawa buku dan roti manis.

“Aku ada waktu luang, Bu. Boleh mampir?”

Bu Ratna menatapnya lama, lalu membuka pintu dan berkata, “Masuklah.”

Kebiasaan itu berlanjut. Setiap minggu, Sari datang—kadang membaca buku keras-keras, kadang hanya duduk diam berdua dengan Bu Ratna di ruang tamu. Mereka tidak banyak bicara, tapi Sari merasa ada sesuatu yang hangat di antara keheningan itu.

Namun, langkah di lantai atas tetap terdengar. Setiap malam yang ia lewati di sana, pukul 02.00, suara itu kembali. Bolak-balik. Tak pernah gagal.

Suatu malam, keberanian Sari meluap.

Ia bangkit dari tempat tidur, mengendap-endap ke tangga tua. Tangannya menggenggam senter dari HP. Tangga itu berderit di setiap langkah.

Saat tiba di lantai atas, ia melihat koridor gelap dengan tiga pintu. Semuanya tertutup.

Langkah berhenti.

Sari mendekat ke pintu paling ujung—kamar yang paling besar. Ia meraih kenop dan perlahan membukanya.

Kosong.

Tapi udara di dalam kamar itu lebih dingin, lebih pekat. Di sudut ruangan, ada kursi goyang tua. Di atasnya tergantung jas pria berwarna cokelat tua. Di meja samping tempat tidur, ada foto tua: seorang pria berkumis tebal dengan senyum tipis.

Di bawah foto itu ada tulisan dengan tinta kabur: “Jangan ditinggal.”

Sari menutup pintu perlahan.

---

Keesokan harinya, Bu Ratna bicara lebih banyak dari biasanya.

“Kau tidak seharusnya naik ke atas,” katanya dengan suara datar.

Sari menunduk. “Maaf, Bu. Saya hanya... penasaran.”

“Rasa penasaran seringkali membawa petaka.”

Lalu, untuk pertama kalinya, Bu Ratna bercerita.

Dulu, suaminya adalah guru di kota. Mereka pindah ke desa ini untuk hidup tenang setelah pensiun. Tapi hanya beberapa bulan setelah mereka menempati rumah itu, suaminya meninggal mendadak karena serangan jantung—tepat pukul 02.00 dini hari, di kamar atas.

Sejak itu, Bu Ratna tak pernah membuka kamar itu lagi. Tapi setiap malam, ia mendengar langkah kaki suaminya berjalan bolak-balik, seperti malam terakhir sebelum ia meninggal.

“Dia belum pergi,” katanya lirih. “Dia masih menunggu.”

Sari terdiam. Mencoba memahami. Mencoba menerima bahwa mungkin, tidak semua yang kita lihat adalah semua yang ada.

---

Beberapa bulan kemudian, Sari akan pindah. Masa baktinya sebagai relawan selesai. Ia datang ke rumah Bu Ratna untuk terakhir kalinya, membawa sebuah kotak kecil berisi buku, syal hangat, dan foto mereka berdua.

“Terima kasih, Bu. Untuk segalanya.”

Bu Ratna mengangguk. Ia terlihat lebih tua dari biasanya. Matanya kosong, tapi ada air di sudutnya.

“Maukah kau tinggal malam ini?” tanyanya tiba-tiba.

Sari ragu, tapi mengangguk.

Malam itu, mereka duduk berdampingan di ruang tamu. Diam. Seperti biasa.

Pukul mendekati dua.

Langkah kaki terdengar lagi.

Tapi kali ini, suara itu tidak bolak-balik. Ia hanya berjalan sekali. Dari ujung koridor… hingga ke tangga.

Dan berhenti.

Pintu ruang tamu terbuka sedikit. Tidak ada angin.

Sari menoleh pada Bu Ratna.

Wanita tua itu menatap ke depan, matanya berkilat seperti melihat sesuatu yang tak bisa Sari lihat.

“Sudah saatnya,” bisiknya.

Sari memegang tangannya. Dingin.

Bu Ratna menutup mata.

Langkah terakhir terdengar seperti pintu ditutup perlahan.

---

Tiga hari setelahnya, warga desa menemukan jasad Bu Ratna duduk di kursi ruang tamu. Damai. Seperti tidur. Tidak ada tanda-tanda paksaan atau penyakit. Tubuhnya berselimut syal biru tua yang tampak baru. Senyum kecil masih terpatri di wajahnya, seolah ia benar-benar telah bertemu seseorang yang telah lama dinanti.

Tapi yang membuat bulu kuduk mereka berdiri adalah jarum jam meja tua di sampingnya.

Setelah bertahun-tahun mati, jarum itu kembali bergerak.

Dan berhenti tepat pukul 02.00.

Yang lebih aneh, ketika warga hendak membawa jasad Bu Ratna keluar, jam itu berdetak sekali—"tik"—lantas mati kembali. Seolah hanya ingin mencatat momen itu. Seolah ia tahu: tugasnya telah selesai.

Beberapa hari kemudian, rumah itu kembali sunyi. Tapi malam-malam di desa tak lagi sama. Angin membawa bisikan. Tepat pukul dua pagi..

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)