Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,305
SURAT DARI KAMAR 304
Horor

Surat dari Kamar 304

Di kota kecil yang dikelilingi pegunungan dan kabut tipis setiap pagi, berdirilah sebuah hotel tua bernama Hotel Delima. Bangunannya tiga lantai, temboknya masih kokoh tapi penuh lumut, dan jendelanya nyaris semua tertutup tirai renda kekuningan yang usang. Hotel itu dahulu terkenal pada masanya, tempat orang-orang kaya menginap kala berlibur atau sekadar singgah dalam perjalanan panjang. Tapi kini, hanya sedikit tamu yang datang. Pemiliknya, Pak Harun, lelaki berusia enam puluh lima tahun, tetap merawat tempat itu meski nyaris tidak menghasilkan apa-apa lagi.

Dari semua kamar yang ada, ada satu kamar yang tak pernah dibuka—Kamar 304.

Tak ada kunci duplikat. Tak ada yang membersihkannya. Bahkan saat hujan mengguyur dan angin menggoyangkan jendela-jendela tua, suara dari kamar itu selalu terdengar samar, seperti bisikan, atau kadang... seperti tangis.

“Sudah sejak tiga puluh tahun lalu kamar itu ditutup,” kata Pak Harun suatu malam saat berbincang dengan seorang tamu muda bernama Galih, seorang penulis yang sengaja mencari tempat sepi untuk menyelesaikan novelnya. “Dan tak ada yang boleh membukanya.”

Galih, yang menyukai kisah-kisah misterius, merasa terusik. Ini menarik perhatiannya.

“Mengapa?” tanyanya.

Pak Harun menggeleng pelan. “Itu bukan cerita untuk sembarang orang. Lebih baik kamu tidak tahu.”

Tapi malam itu, saat hujan turun deras dan suara petir menggema dari bukit, Galih tak bisa tidur. Ia menatap lorong hotel yang sepi dari balik pintu kamarnya, kamar 302. Dua kamar dari tempatnya berdiri adalah pintu tua bertuliskan angka 304. Gagangnya berkarat, dan tampak jelas tak pernah disentuh.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika ia memutuskan keluar dan mendekat.

Kamar 304 terasa lebih dingin dari sekitarnya. Galih meraih gagangnya—terkunci. Tapi saat ia akan kembali ke kamarnya, ia melihat secarik kertas terselip di bawah pintu. Ia menunduk, mengambilnya.

Kertas itu tua, kekuningan. Tulisannya halus, dengan tinta hitam samar.

“Jika kau membaca ini, tolong jangan abaikan. Aku butuh bantuan. Aku tidak tahu ini tahun berapa, tapi aku masih di sini. Namaku Livia. Dan aku terjebak di kamar ini.”

Galih tercekat. Tangannya gemetar. Ia menatap pintu itu, lalu kembali ke kamarnya dengan cepat.

Keesokan paginya, ia mendatangi Pak Harun dan menunjukkan surat itu. Lelaki tua itu menegang. Matanya menatap surat itu lama, lalu ia duduk perlahan.

“Dulu... Livia adalah seorang tamu di hotel ini. Seorang gadis muda, cantik, lembut. Ia menginap di kamar 304 bersama tunangannya, Arfan. Mereka berencana menikah setelah liburan itu.”

Galih mendengarkan dengan seksama. Angin dari jendela membuat gorden berayun pelan.

“Tapi malam sebelum mereka pulang, terdengar teriakan dari kamar itu. Para tamu terbangun saat itu. Saat kami tiba di depan pintu, terkunci dari dalam. Kami dobrak bersama polisi. Dan kami hanya menemukan Livia. Sendiri. Ketakutan. Tangannya berlumuran darah.”

Galih menelan ludah.

“Arfan hilang. Tak pernah ditemukan. Livia... seperti kehilangan kewarasan. Ia hanya berkata, ‘Dia dibawa.’ Tak jelas siapa yang ia maksud. Ia dibawa ke rumah sakit jiwa dua hari kemudian, lalu... meninggal setahun setelahnya.”

“Dan sejak itu... kamar itu ditutup?”

Pak Harun mengangguk. “Kadang ada suara. Kadang cahaya. Kadang... surat seperti itu. Entah datang dari mana.” Ia menatap Galih lekat-lekat. “Kalau kau menerima surat itu, mungkin kau dipilih.”

“Dipilih untuk apa?”

Pak Harun tidak menjawab.

Malam berikutnya, Galih tidak menulis. Ia menunggu. Dan benar, tepat pukul dua dini hari, suara bisikan terdengar di luar pintunya. Ia bangkit, membuka pintu. Lorong sepi. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Pintu kamar 304... terbuka sedikit.

Dan kertas lain tergeletak di depan pintunya.

“Jika kau bisa mendengarku, datanglah. Aku tahu cara keluar. Tapi aku tidak bisa sendiri. Tolong”

Galih membawa senter dan merekam lewat ponselnya. Ia mendorong pintu 304. Suara engsel berderit menyambutnya. Bau lembap dan dingin menusuk hidung. Kamarnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk dari celah tirai.

Di dalam, ada meja rias tua, ranjang besi, dan cermin tinggi berdebu. Galih melangkah pelan. Hatinya berdebar keras. Ia mendekati cermin. Dan di sana, dalam pantulan, ia melihat seorang gadis muda cantik tapi agak pucat berdiri di belakangnya.

Ia menoleh—tidak ada siapa-siapa.

Ia kembali menatap cermin. Gadis itu masih ada. Rambut panjang, mata sendu, gaun putih tipis. Livia.

“Kau bisa melihatku,” bisiknya.

“Ya,” jawab Galih pelan.

Livia tersenyum sedih. “Aku... bukan hantu. Aku terjebak. Antara waktu. Antara dunia. Arfan—dia ditarik sesuatu. Aku mencoba menyusulnya, tapi aku terlalu lemah.”

Galih menatap gadis itu dalam-dalam. “Bagaimana aku bisa membantumu?”

“Temukan surat Arfan. Ia meninggalkan petunjuk. Tapi surat itu... disembunyikan seseorang.”

---

Selama dua hari berikutnya, Galih menelusuri hotel. Ia memeriksa rak-rak lama, laci-laci berdebu, bahkan catatan tamu dari puluhan tahun lalu. Dan akhirnya, di balik lukisan tua di ruang bawah tanah, ia menemukannya.

Surat dengan amplop bertuliskan: Untuk yang datang setelahku.

Isinya adalah pengakuan Arfan. Ia mengaku membuka sebuah buku tua yang dibeli di pasar antik, buku tentang ritual memisahkan waktu—sebagai iseng belaka. Tapi buku itu nyata. Ia mencoba membaca mantra bersama Livia di malam terakhir liburan mereka, tak tahu bahwa itu akan membuka celah antara dunia.

Dan dari celah itu... “sesuatu” datang. Mengambil Arfan. Menyeretnya ke ruang waktu yang membeku.

Surat itu ditutup dengan kalimat:

“Jika kau membaca ini, jangan sia-siakan. Bukalah kembali cermin pada pukul dua. Bacalah doaku. Dan kembalikan Livia.”

---

Malam ketiga, Galih kembali ke kamar 304. Cermin berdiri di tempat yang sama. Ia membaca doa dari surat itu. Angin berhembus kencang. Tirai menari liar. Cermin bergetar.

Dan dari dalam cermin, tangan Livia menjulur.

Galih mengulurkan tangan. Begitu jemari mereka bersentuhan, kilatan cahaya memenuhi kamar. Ia merasa tubuhnya tersedot, dadanya sesak.

Lalu, sunyi.

Ia terbangun di lantai kamar. Cermin pecah. Tak ada Livia. Tak ada suara. Tapi... surat baru tergeletak di lantai.

“Terima kasih. Aku bebas. Tapi Arfan... masih terjebak. Jika kau ingin, aku akan menunggu. Di antara waktu. Sampai ada yang datang lagi.”

---

Galih pulang dua hari kemudian. Ia tak pernah kembali ke hotel itu. Tapi novel yang ia tulis setelahnya menjadi bestseller: Kamar 304. Banyak yang mengira itu fiksi. Tapi Galih tahu, sebagian dari dirinya... masih tertinggal di sana.

Di antara waktu.

Kadang, saat malam terlalu sunyi dan pikirannya melayang, ia bermimpi tentang cermin tua, tentang tangan yang meraih dari balik bayangan, surat dan bisikan lembut yang memanggil namanya. Seolah ada yang belum selesai. Seolah... ia harus kembali.

---

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)