Masukan nama pengguna
"Rekaman Terakhir"
Namanya Iqbal. Usianya 34 tahun. Seorang editor video lepas yang menghabiskan sebagian besar waktunya di apartemen kecil lantai lima, kawasan padat di Jakarta Selatan. Ia bukan orang yang mudah bergaul—lebih suka mendengar suara klip daripada percakapan manusia. Dunia Iqbal hanya seputar laptop, headphone, dan klien yang bahkan tak pernah ia temui langsung.
Hingga malam itu datang.
Sebuah email masuk pukul 01.12 dini hari, dari alamat tak dikenal: `watchdogproject.id@protonmail.com`.
Subjeknya singkat: "Pekerjaan Khusus - Rekaman Rahasia"
Isi email itu mengajaknya mengedit video untuk proyek dokumenter investigatif. Tidak banyak detail. Hanya tautan Google Drive berisi folder "Material Mentah - Penting Banget". Bayarannya besar. Sangat besar. Dua puluh juta rupiah untuk pekerjaan dua hari. Dengan syarat: jangan menyebarkan, dan jangan bertanya.
Iqbal awalnya ragu. Tapi rasa penasaran dan kebutuhan uang menang. Ia klik tautan itu.
Isi foldernya hanya satu file: `cam03_terakhir.mp4`.
Video itu berdurasi 14 menit. Tidak ada suara, hanya rekaman hitam putih dari kamera pengintai di lorong apartemen sempit. Kamera mengarah ke sebuah pintu unit apartemen bernomor 7B.
Rekaman terlihat biasa, kecuali ketika menit ke-04:23...
Seorang wanita terlihat keluar dari unit 7B. Wajahnya panik. Ia menoleh kanan-kiri, lalu berdiri mematung di depan kamera selama beberapa detik—seolah sadar sedang diawasi.
Wanita itu lalu menempelkan secarik kertas kecil ke dinding, tepat di bawah kamera. Setelah itu, ia lari.
Iqbal menekan pause. Memundurkan rekaman. Menatap kertas itu. Ada tulisan samar tertangkap: “Jangan percaya suara dari kamar mandi.”
Seketika bulu kuduknya berdiri.
Di menit ke-07:10, seorang pria keluar dari 7B. Tubuhnya besar, mengenakan hoodie. Ia berjalan ke arah kamera, lalu... tersenyum ke arah lensa.
Iqbal memundurkan lagi. Matanya menajam. Pria itu… tersenyum terlalu lama. Seperti tahu seseorang akan menontonnya.
Malam itu, Iqbal tak bisa tidur. Ia mencoba mencari info soal unit 7B, tapi apartemennya tidak memiliki nomor itu. Anehnya, bangunan dalam video persis dengan tempat ia tinggal. Bahkan, ubin retak di ujung lorong itu… mirip dengan retakan di lorong lantai 5 tempat tinggalnya.
Iqbal bangkit dari kursi. Keluar kamar. Ia ingin memastikan.
Lorong di lantai lima sunyi. Lampu redup. Tidak ada suara, kecuali detak jantungnya sendiri. Ia melangkah pelan ke ujung lorong. Unit terakhir adalah 5E. Tidak ada 7B.
Tapi... di dinding ujung lorong itu, ada bekas tempelan kertas. Jejak lem yang belum kering.
Ia mendekat. Tangannya gemetar menyentuh bekas itu.
Tiba-tiba, suara datang dari kamar mandi apartemennya.
Pelan. Sayup. Suara perempuan. “Iqbal…”
Iqbal membeku di lorong.
Pintu apartemennya tertutup. Tapi suara itu jelas berasal dari dalam. Bukan dari tetangga. Bukan dari TV. Itu suara nyata. Dan yang membuatnya makin menggigil—suara itu memanggil namanya.
“Iqbal… buka… pintu…”
Panik, ia segera kembali ke apartemennya. Jantung berdebar keras seperti dipalu. Tapi saat ia buka pintu dan masuk, semuanya senyap. Tak ada siapa-siapa. Tak ada suara.
Iqbal berkeliling. Memeriksa kamar, dapur, dan akhirnya... kamar mandi.
Lampu menyala. Keran tertutup. Kamar mandi kecil dan tak ada celah tersembunyi. Tapi uap air menempel di cermin, seperti baru saja seseorang mandi.
Dan di cermin itu, dengan goresan jari, tertulis:
“Kau sudah menontonnya. Sekarang, kau bagian dari ceritanya.”
Iqbal mundur. Matanya tak lepas dari tulisan itu. Ini bukan kebetulan. Ini bukan prank. Ada yang sangat salah dengan video tadi.
Ia kembali ke laptop. Membuka ulang file cam03_terakhir.mp4. Kali ini, ia perhatikan menit demi menit lebih teliti. Ia menyadari sesuatu yang semula luput:
Di detik terakhir—tepat di detik 13:59—kamera seperti bergetar. Sejenak, layar buram. Tapi saat stabil kembali, sesuatu berubah.
Rekaman terakhir menunjukkan koridor kosong… tapi dengan nomor kamar: 5C.
Itu nomor unit apartemennya sendiri.
Dan berdiri di depan pintu itu… adalah dirinya sendiri, dengan hoodie abu-abu, wajah tertunduk.
Rekaman itu berakhir dengan dirinya mendongak dan... tersenyum ke arah kamera. Senyum yang sama dengan pria misterius sebelumnya.
Iqbal terlonjak dari kursi. Ia menoleh ke kaca jendela.
Di luar gelap. Tidak ada gerakan. Tapi di cermin kamar mandi, goresan baru muncul:
“Lihat di bawah kasur.”
Dengan langkah ragu dan napas tertahan, ia menuju ranjang. Menunduk, mengangkat seprei... dan menemukan flashdisk kecil berwarna hitam.
Ia segera colokkan ke laptop.
Isi flashdisk hanya satu file video. Tanpa nama. Tanpa durasi. Ia klik.
Gambarnya gelap. Tapi suara rekaman terdengar: seseorang—mungkin dirinya sendiri—bernapas berat dan berkata:
“Aku nggak tahu siapa mereka. Tapi mereka tahu di mana aku tinggal. Video itu bukan bukti, tapi perangkap. Kalau kamu lihat ini… sudah terlambat…”
Layar mendadak mati.
Iqbal mematikan laptop. Ia tidak tahu harus percaya apa. Tapi yang pasti: video itu bukan sembarang proyek. Ada yang mengamatinya. Mungkin sudah lama. Dan video itu… mungkin bukan editan.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nomor tidak dikenal. Ia angkat, dengan suara bergetar.
“Halo?”
Tak ada jawaban. Hanya suara napas.
Kemudian... suara perempuan berbisik:
“Sudah kubilang... jangan percaya suara dari kamar mandi.”
Sambungan putus.
Iqbal tidak tidur malam itu. Ia merasa seperti hidupnya telah digeser ke semacam dimensi lain, bukan secara supranatural… tapi secara psikologis.
Setiap sudut apartemennya terasa seperti diawasi. Setiap suara menjadi mencurigakan. Ia mencoba meyakinkan dirinya: ini hanya psikosomatik. Efek dari kelelahan, insomnia, mungkin sugesti video aneh itu.
Tapi hal berikutnya meruntuhkan semua logika:
Pukul 03.04 dini hari, laptopnya menyala sendiri. Kamera webcam berkedip. Lalu layar berubah, menampilkan jendela baru:
“REKAMAN LIVE – CAM03”
Video live feed itu menampilkan… dirinya sendiri.
Tapi dari sudut yang tidak masuk akal—dari atas, dari langit-langit, seperti kamera pengintai. Ia melihat dirinya sendiri duduk, terpaku. Dan ketika ia melambai, sosok di layar pun melambai… satu detik terlambat.
Itu bukan cerminan. Bukan feed realtime. Itu adalah rekaman yang belum terjadi.
Ia mencabut laptop dari colokan. Mematikan semua perangkat. Ia mulai menyusun rencana: pergi dari apartemen ini. Menginap di tempat adiknya. Lalu bawa laptop ke profesional keamanan siber.
Tapi saat ia membuka pintu apartemen…
Lorongnya tidak seperti biasa.
Lampu-lampunya redup, seperti di dalam video. Ada bekas tempelan kertas di dinding. Ubin yang retak di ujung lorong kini… tidak ada. Diganti dengan model yang persis seperti dalam rekaman.
Dan yang membuat Iqbal benar-benar kehilangan kata-kata:
Nomor unitnya berubah. Bukan 5C lagi.
Tertulis: 7B.
Ia kembali masuk. Menggigil. Dunia terasa menyempit. Seakan-akan dirinya kini berada dalam video yang ia tonton. Di dalam alur yang sudah ditentukan. Apakah ini sebuah eksperimen? Apakah ia sedang dimanipulasi?
Pikirannya mulai kacau. Ia coba keluar lagi… tapi lorong menggelap total.
Dari kejauhan, suara langkah kaki mendekat.
Perlahan. Teratur.
Dan terdengar suara… yang sangat ia kenal:
“Iqbal…”
Wanita itu muncul dari kegelapan. Wajahnya familiar—karena ia melihatnya di video pertama.
Wanita yang menulis pesan: “Jangan percaya suara dari kamar mandi.”
Tapi kini wajahnya pucat, matanya kosong.
“Aku juga dapat pekerjaan itu dulu,” katanya, suaranya berat. “Aku juga disuruh mengedit.”
Iqbal mundur, tubuhnya gemetar.
“Apa yang mereka cari?” tanyanya lirih.
Wanita itu tersenyum lemah. “Cerita…”
“Cerita?”
“Mereka suka menonton orang menyusun cerita tentang dirinya sendiri. Sampai akhirnya lupa… siapa yang sebenarnya menulis.”
Keesokan harinya, adik Iqbal datang ke apartemen setelah beberapa kali gagal menghubunginya. Tapi unit 5C kosong. Tak ada barang. Tak ada tanda pernah dihuni.
Manajemen apartemen bilang, unit itu sudah lama kosong sejak pemiliknya pindah ke luar kota.
Tapi anehnya… saat petugas membersihkan unit untuk disewakan, mereka menemukan sebuah laptop terbuka di lantai.
Satu file terbuka di dalamnya.
Judulnya: Cerpen_Iqbal_Revisi3.docx
Baris terakhirnya tertulis:
“Iqbal tersenyum ke kamera. Akhirnya ia mengerti… cerita ini bukan miliknya lagi. Karena ia hanya editor dari naskah yang sudah ditulis entah oleh siapa. Dan sekarang, bagian dari ceritanya… adalah kamu.”
TAMAT