Masukan nama pengguna
DUA DUNIA SELINA
Selina terbangun di sebuah kamar asing. Langit-langitnya putih bersih, tanpa retakan atau noda. Dindingnya dipenuhi rak buku yang rapi, dan aroma kopi menguar dari luar kamar. Tapi yang paling aneh bukan itu.
Yang paling aneh adalah… pria yang berdiri di depan tempat tidurnya, mengenakan dasi biru dan tersenyum hangat.
“Selamat pagi, Sayang,” katanya.
Selina mengerjapkan mata. “Kamu siapa?”
Pria itu tertawa pelan. “Lucu. Tadi malam kamu nggak lupa sama aku waktu minta peluk sebelum tidur.”
Selina menyentuh kepalanya. Kepalanya sakit, seperti baru ditabrak truk. Ia duduk perlahan dan memandangi tangannya—ada cincin di jari manisnya.
“Maaf, ini... tahun berapa sekarang?” tanyanya.
Pria itu memiringkan kepala, bingung. “2025. Kenapa?”
2025?
Padahal, terakhir ia ingat, ia masih di kos kecil di Jogja, mahasiswa semester akhir, dan sedang patah hati karena cinta pertamanya, Raka, menikah dengan perempuan lain.
---
Hari berjalan aneh.
Di rumah besar ini, ada asisten rumah tangga. Ada mobil listrik di garasi. Dan yang paling aneh, Selina... adalah penulis novel laris. Namanya ada di rak toko buku, terpampang di televisi, bahkan disebut dalam wawancara.
Ia mencoba tenang. Tapi pikirannya panik. Ini bukan hidupnya. Bukan dunia yang ia kenal.
Namun, saat ia duduk sendiri di taman belakang sore itu, suara familiar menyapanya dari balik pagar.
“Sel?”
Ia menoleh.
Raka.
Dengan jaket denim yang sama. Dengan senyum yang dulu membuatnya jatuh cinta habis-habisan.
“Kamu... kamu siapa?” Selina nyaris menangis.
“Selina, aku udah cari kamu ke mana-mana. Kamu tiba-tiba hilang. Tiga hari. Semua orang panik. Kamu nggak jawab WA. Nggak ke kampus.”
Selina berdiri gemetar.
“Jadi... kamu dari dunia yang sama denganku?”
Raka mengernyit. “Maksud kamu?”
Perlahan, Selina menyadari sesuatu. Dunia tempat ia terbangun tadi pagi... bukan dunia tempat Raka masih pacaran dengan perempuan itu. Bukan dunia tempat ia patah hati.
Itu versi lain dari hidupnya.
Dan malam itu, saat ia duduk di balkon dengan pikiran kacau, suara asing menyapa dari arah cermin.
"Pilihan telah dibuat. Apakah kamu ingin kembali?"
Selina menatap bayangannya sendiri yang… tidak bergerak bersamaan dengannya.
---
Keesokan harinya, ia bangun di dunia lain lagi.
Kali ini ia tinggal di apartemen sempit, rambutnya dicat merah, dan ada gitar di pojok ruangan. Ia adalah vokalis band indie bernama “Selina & Kabut Pagi”.
Di cermin, ia menemukan tempelan kertas dengan tulisan tangan:
"Sel, kamu selalu punya pilihan. Dunia mana yang akan kamu pilih, akan menentukan siapa kamu nantinya."
Selina terdiam.
Di dunia ini, ia belum pernah bertemu Raka. Ia malah punya pasangan sesama musisi bernama Dito. Orangnya kalem, pintar bikin kopi, dan pandai mendengarkan.
Dan anehnya… di dunia ini, hatinya tidak patah. Ia bahagia.
---
Minggu keempat. Dunia terus berganti.
Terkadang ia menjadi guru di pelosok desa. Terkadang ia menjadi ilustrator freelance. Di satu dunia, ia tidak punya siapa-siapa, tapi bebas keliling dunia. Di dunia lain, ia tinggal di rumah besar tapi merasa hampa dan terjebak dalam pernikahan yang dingin.
Selina mulai sadar.
Setiap keputusan kecil bisa menciptakan realita berbeda. Saat ia berkata "iya" atau "tidak", dunia bercabang. Dan sekarang, entah bagaimana, ia bisa melintasi semuanya.
Tapi ia juga tahu… ia tidak bisa terus begini.
Ia harus memilih satu dunia untuk ia tinggali selamanya.
---
Suatu malam, Selina kembali berada di dunia pertama—rumah besar, suami tampan, hidup sukses sebagai penulis.
Pria itu—suaminya—mengajaknya makan malam di luar. Di tengah restoran mewah, Selina menatap mata pria itu dan bertanya pelan:
“Kalau aku pergi dari dunia ini, kamu bakal sedih nggak?”
Pria itu terdiam.
“Aku... nggak ngerti kamu akhir-akhir ini,” katanya jujur. “Tapi kalau kamu pergi... aku akan ngerasa separuh hidupku hilang.”
Kalimat itu menghantam hati Selina. Tapi saat ia menatap wajah pria itu... ia sadar. Ia tak mengenalnya. Tidak benar-benar.
Ia hanya mengenal satu versi dari dirinya sendiri.
Malam itu, di kamar, suara cermin kembali berbicara.
“Ini kesempatan terakhir.”
Selina berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya. Kali ini... bayangan itu menangis.
"Aku cuma ingin hidup yang terasa nyata. Yang... aku pilih sendiri, bukan karena pelarian."
Cermin berkedip. Dan dunia menggelap.
---
Selina terbangun di kamar kos Jogja. Kipas angin berderit. Tidak ada kopi mahal. Tidak ada suami ganteng. Tidak ada buku best seller.
Tapi jendela terbuka. Angin sore membawa suara azan dari masjid kampus.
Dan di meja kecil, ada kertas kosong dan pena.
Ia tersenyum kecil.
Kali ini, ia akan memilih.
Bukan untuk hidup sempurna. Tapi untuk hidup yang nyata.
---
Hari-hari berikutnya, Selina menjalani hidup dengan cara baru. Ia menulis, bukan lagi untuk tugas kuliah semata, tapi untuk dirinya sendiri. Cerita-cerita dari dunia-dunia yang pernah ia kunjungi kini mengalir seperti air—tentang dirinya yang menjadi guru desa, musisi jalanan, hingga penulis sukses dengan hati hampa. Ia menuangkan semuanya ke dalam naskah.
Teman-teman di kampus memperhatikan perubahan itu. Ia lebih tenang, lebih fokus, dan lebih sering menyendiri. Tapi yang paling kentara: ia tampak bahagia—bukan karena hidupnya sempurna, tapi karena ia berdamai dengan ketidaksempurnaannya.
Suatu sore, ketika ia duduk di taman kampus, seseorang duduk di sebelahnya. Raka.
"Sel," katanya pelan. "Kamu udah lebih baik, ya?"
Selina menoleh. "Kenapa nanya begitu?"
"Entah. Dulu kamu kayak... selalu lari. Sekarang kayak kamu berhenti."
Selina mengangguk. Ia memandangi mata Raka dan tidak merasakan getir yang sama. Luka itu masih ada, tapi tidak lagi menyiksa.
"Raka," katanya jujur. "Aku pernah lihat dunia di mana kamu jadi milik aku."
Raka tertawa. “Ngaco kamu.”
"Serius. Tapi ternyata... itu nggak bikin aku bahagia."
Raka terdiam. Lalu berkata, "Kamu kayaknya cocok jadi penulis fiksi aneh."
Selina tersenyum. "Mungkin emang itu dunia aku."
---
Beberapa bulan kemudian, naskah pertama Selina selesai. Judulnya: "Dua Dunia Selina".
Ia tidak menargetkan penerbit besar. Ia hanya ingin menerbitkan dan membagikan kisahnya pada orang-orang yang juga pernah merasa bingung tentang pilihan hidup. Yang pernah patah hati. Yang pernah ingin melarikan diri ke dunia lain.
Ketika bukunya akhirnya terbit secara indie, komentar pembaca mengalir.
"Cerita ini bikin gue merasa nggak sendirian."
"Gue juga sering mikir: kalau aja waktu itu gue milih yang lain, hidup gue akan beda."
"Terima kasih udah nulis ini."
Dan malam itu, saat ia menutup laptopnya setelah membalas email dari seorang pembaca di Kalimantan, cermin kecil di kamarnya berkedip sekali lagi.
Suara pelan, familiar, terdengar lembut:
“Terima kasih telah memilih.”
Selina tersenyum. Kali ini, ia tidak terkejut.
"Aku nggak akan kemana-mana lagi," bisiknya.
Di cermin, bayangannya mengangguk. Untuk pertama kalinya, mereka tersenyum pada waktu yang bersamaan.
---
TAMAT
TAMAT