Masukan nama pengguna
Ruang Konsultasi 7
Namanya dr. Andaru Prasetyo, seorang psikiater berusia 45 tahun dengan reputasi gemilang di kota kecil bernama Semesta. Kliniknya berdiri di pinggiran kota, bangunan tiga lantai berarsitektur kolonial yang dulunya rumah dinas seorang dokter Belanda. Banyak yang bilang, bangunan itu membawa aura tersendiri—tenang, tapi menyimpan sesuatu yang tak terlihat.
Di lantai dua klinik itu, ada sebuah ruang konsultasi yang jarang dipakai: Ruang nomor 7.
Meja kayu gelap, dua kursi berlapis kulit tua, dan rak buku berisi jurnal-jurnal psikologi berdebu. Jendela menghadap ke halaman belakang dengan pohon beringin tua menjulang tinggi. Tak ada yang salah dengan ruangan itu. Namun anehnya, sejak dibuka, pasien yang masuk ke sana selalu keluar dalam keadaan bingung. Kadang menangis. Kadang tertawa sendiri. Bahkan ada yang tiba-tiba kehilangan ingatan tentang sesi konsultasinya.
Karena itu, ruangan itu dikunci. Dan hanya digunakan dalam keadaan khusus.
Beberapa staf baru bahkan tak tahu ruangan itu ada. Nomornya tidak tercantum di denah klinik, dan pintunya tampak seperti dinding polos jika tidak diperhatikan seksama. Hanya dr. Andaru dan satu perawat senior bernama Bu Lilis yang tahu cara membukanya—menggeser lukisan tua di ujung lorong, lalu memasukkan kunci besi dengan angka 7 yang disimpan di laci meja utama.
Bukan karena ruangan itu angker. Tidak juga karena hal mistis. Tapi ada... perasaan. Aura. Sesuatu yang membuat orang-orang merasa seperti sedang diawasi di dalam sana.
Beberapa pasien yang pernah masuk dan sadar akan perbedaan itu menyebutnya seperti “ruang mimpi”—segala sesuatu terasa lebih nyata, lebih menusuk, atau lebih membingungkan. Bahkan beberapa psikiater magang yang pernah mencoba menggunakan ruang itu, melaporkan mimpi buruk selama berhari-hari.
Sejak itu, ruangan hanya dibuka ketika semua pilihan lain tak lagi membantu. Ketika kenyataan harus dihadapi lewat jalur yang... tak biasa.
---
Suatu pagi, seorang pasien baru datang. Seorang gadis muda, sekitar 27 tahun, mengenalkan dirinya sebagai Meira. Rambut panjangnya dikuncir rendah, wajahnya pucat, dan sorot matanya... kosong. Ia membawa surat rujukan dari rumah sakit jiwa tempat ia dirawat beberapa bulan sebelumnya.
“Dia punya trauma kompleks,” kata surat itu. “Dan hanya mau bicara dengan psikiater yang belum pernah menangani kasusnya sebelumnya.”
Andaru menatap Meira dari balik meja. “Kau tahu mengapa kau ada di sini?”
Meira mengangguk pelan. “Karena suara-suara itu masih ada.”
“Suara-suara?”
“Ya. Mereka bilang... saya membunuh seseorang. Tapi saya tidak ingat apa-apa.”
Andaru mencondongkan tubuhnya. “Kau tidak tahu siapa yang kau bunuh?”
Meira menggeleng. “Saya tidak yakin saya melakukannya. Tapi... ada darah. Di tangan saya. Di baju saya. Dan... suara-suara itu bilang itu nyata.”
Dokter Andaru berpikir sejenak. Ruang konsultasi 1 hingga 6 sedang terpakai. Ia menimbang kemungkinan, lalu... memutuskan untuk membawa Meira ke Ruang 7.
“Tempat ini sedikit sunyi,” katanya sambil membukakan pintu. “Tapi... kita bisa bicara tanpa gangguan.”
---
Sesi pertama berlangsung tenang. Meira lebih banyak diam. Tapi sesekali ia berbicara—tentang rumah masa kecilnya, tentang ibunya yang sering menangis di malam hari, dan tentang suara-suara dari lemari.
“Waktu kecil saya pikir itu mimpi,” katanya. “Tapi lama-lama... saya tahu, suara itu berasal dari saya sendiri.”
Andaru mencatat semuanya. Tapi saat ia menulis, lampu di atas mereka berkedip. Lalu mati. Hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Ruang ini agak tua,” katanya. Meira hanya tersenyum tipis.
Sesi kedua lebih aneh. Meira datang dengan membawa lukisan. Sebuah potret yang kabur—seorang pria berdiri di lorong gelap, wajahnya samar, dan matanya kosong.
“Dia datang dalam mimpi saya,” katanya. “Dia bilang... saya harus ingat.”
“Ingat apa?”
Meira menatap Andaru lama. “Kamar itu. Di rumah tua. Tempat semuanya dimulai.”
“Rumah orang tuamu?”
Ia menggeleng. “Bukan. Rumah tempat saya dirawat setelah... kejadian itu.”
Andaru mencoba mencari rekam medis Meira, tapi hanya ada data dari dua tahun terakhir. Sebelum itu, kosong. Seperti Meira baru “muncul” dalam sistem medis setelah umur 25 tahun. Padahal ia mengaku sudah mengalami terapi sejak umur 10.
Malam itu, Andaru tak bisa tidur. Ia teringat Meira, lukisan itu, dan... ruang konsultasi 7. Lalu ia menyadari sesuatu—rak buku di ruangan itu memiliki satu bagian yang kosong. Antara dua jurnal yang saling menyentuh erat, ada celah cukup besar. Ia memeriksa keesokan harinya. Di celah itu, tersembunyi sebuah catatan tua, tulisan tangan dengan tinta yang nyaris pudar.
“Pasien perempuan, usia 12. Mengaku mendengar suara dari lemari. Memiliki delusi bahwa ia membunuh saudara kembarnya. Tapi hasil pemeriksaan menyatakan ia anak tunggal. Nama: Meira P.”
Andaru tertegun.
Tanggal catatan itu—13 tahun yang lalu.
Tapi... siapa yang menulis ini? Klinik ini baru ia buka 8 tahun lalu. Dan sebelumnya, bangunan ini tidak pernah digunakan untuk keperluan medis lagi sejak dokter Belanda itu meninggal.
Ia mulai menyelidiki. Menggali arsip, mendatangi dinas kesehatan, hingga akhirnya menemukan sesuatu.
Ternyata benar—klinik itu pernah dijadikan tempat eksperimen terapi kejiwaan oleh seorang dokter bernama Dr. Erwin Soetomo, psikiater senior yang hilang secara misterius tahun 2011. Terakhir ia terlihat... di Ruang 7.
---
Sesi ketiga, Andaru mencoba konfrontasi.
“Meira,” katanya perlahan. “Apa kau punya saudara kembar?”
Gadis itu mendadak tegang. Matanya memandang kosong ke arah dinding. “Dia bilang... aku bukan aku.”
“Apa maksudnya?”
Meira memeluk tubuhnya sendiri. “Dia yang disukai Ibu. Dia yang pintar. Aku hanya... salinannya. Tiruan.”
Andaru merasa perutnya mulas. “Meira, siapa nama lengkapmu?”
Meira tersenyum kecil. “Saya... Maria.”
Andaru terdiam. “Maria?”
Meira mengangguk. “Meira meninggal waktu umur 12. Saya menggantikannya. Ibu tidak tahu. Ayah tidak tahu. Hanya aku dan... suara dari lemari yang tahu.”
Lampu kembali mati. Tapi kali ini lebih lama.
Ketika menyala kembali, Andaru terdiam.
Lukisan pria di lorong gelap itu... kini tergantung di dinding Ruang 7. Padahal sebelumnya hanya dibawa Meira dalam bentuk kertas.
Ia memeriksa meja. Catatan terapinya... kosong.
Ia keluar ruangan dengan panik. Tapi staf klinik menatapnya heran. “Dr. Andaru... Anda tidak ada pasien sejak kemarin. Anda bilang ingin libur sepekan. Klinik kosong.”
Andaru terdiam. “Tidak mungkin. Saya barusan konsultasi. Meira. Pasien rujukan dari RS Jiwa.”
Staf itu menggeleng. “Tidak ada nama itu di daftar. Tidak ada surat masuk. Dan... tidak ada sesi di Ruang 7. Kunci ruangannya... ada di laci Anda.”
Dengan tangan gemetar, Andaru membuka laci. Kunci besi tua dengan label kayu bertuliskan angka 7 ada di sana.
Malam itu, ia kembali ke Ruang 7 seorang diri. Ia duduk di kursi pasien. Menatap cermin kecil di sudut ruangan.
Dan untuk pertama kalinya...
Ia mendengar suara dari lemari.
---