Masukan nama pengguna
Kamar Kos Nomor 7
Setiap kamar kos punya cerita. Tapi kamar nomor 7 di Jalan Merpati punya lebih dari sekadar cerita—ia menyimpan rahasia.
---
Hari pertama Aldo pindah ke kos itu, hujan turun deras. Pemilik kos, Bu Sri, perempuan tua yang jalannya pelan seperti detik jam yang kelelahan, memberinya kunci kamar tanpa banyak bicara. Hanya satu pesan darinya:
"Jangan buka lemari di pojok kamar. Serius."
Aldo, mahasiswa semester akhir yang tak percaya takhayul, cuma mengangguk dan menjawab, “Siap, Bu.” Tapi dalam pikirannya, ia tertawa. Lemari tua? Setan? Cliché.
Malam pertama, suara-suara aneh muncul. Seperti bisikan. Atau derap langkah kecil. Aldo pikir itu tikus. Tapi tikus mana yang bisa berbisik?
Malam kedua, lemari itu berguncang. Ia duduk di kasur, menatap benda tua dengan ukiran aneh di pintunya. Rasa penasaran mulai membuncah.
Malam ketiga, ia kalah.
Dengan lampu kamar menyala penuh dan ponsel dalam genggaman—sebagai senjata moral—Aldo membuka pintu lemari itu perlahan.
Tak ada apa-apa. Hanya ruang kosong. Tapi ketika ia menyentuh bagian belakangnya, tangannya tembus. Seolah menyentuh kabut. Seolah… tak nyata.
---
Di dalam lemari itu, tersembunyi dunia lain. Dunia yang seakan diciptakan dari mimpi-mimpi yang tak pernah selesai. Langitnya selalu senja, udara hangat seperti pelukan, dan orang-orang di dalamnya mengenakan pakaian dari masa lalu—tapi wajah mereka tak punya mata.
Mereka tahu nama Aldo.
Mereka bilang dia "dipilih".
Mereka bilang sudah lama menunggu.
Dan mereka menawarinya sesuatu: “Hidup yang tak pernah gagal. Kebahagiaan tanpa akhir. Tapi tinggalkan dunia lamamu.”
Aldo menatap kembali lemari yang kini berada di belakangnya. Jalan pulang masih terbuka. Tapi ia ingat: di dunia nyata, tugas akhir macet, orang tuanya terus bertengkar, dan hidup rasanya kosong.
“Kalau di sini, aku bisa mulai dari nol?” tanyanya.
“Bukan nol. Tapi dari sempurna.”
---
Pagi keesokan harinya, kamar nomor 7 kosong. Lemarinya pun hilang, hanya menyisakan bekas gores di lantai kayu. Bu Sri hanya menghela napas, lalu menuliskan ulang tulisan kecil di pintu kamar:
“Ditempati kembali.”
---
Aku tidak ingat pasti kapan lemari itu pertama kali muncul di kamar nomor tujuh. Tapi aku ingat jelas wajah pertama yang masuk dan tidak pernah kembali. Laki-laki muda, seperti Aldo, dulu juga punya mata penuh lelah dan bahu yang terbebani oleh dunia.
Waktu itu aku panik. Aku lapor ke polisi. Mereka periksa kamar, tapi lemari itu tidak ada. Hanya dinding biasa. Tiba-tiba menghilang seperti ilusi. Polisi bilang dia kabur, meninggalkan kehidupan. Aku tahu lebih dari itu. Aku melihatnya dengan mataku sendiri—lemari itu memang menelan orang.
Semenjak itu, aku diam. Menyewakan kamar itu lagi hanya ketika lemari itu muncul kembali. Kadang butuh waktu berbulan-bulan, kadang hanya seminggu.
Orang-orang menyebutku pelit, misterius, atau bahkan sinting. Tapi aku hanya penjaga. Penjaga sebuah pintu yang tak semua orang bisa buka. Tak semua orang juga boleh buka. Tapi... kalau mereka tetap memilih membukanya?
Maka mereka punya pilihan. Dan mereka yang memilih, bukan aku.
---
Aldo anak yang baik. Aku bisa lihat dari cara dia menunduk saat bicara, dari cara dia menahan segala hal di dadanya. Anak seperti itu mudah lelah... dan mereka yang paling rentan terhadap bujuk rayu dunia "di sana".
Aku memberinya peringatan. Seperti biasa. "Jangan buka lemari di pojok kamar. Serius."
Dia mengangguk. Tapi aku tahu. Mereka yang akan membuka, pasti tetap membuka. Seakan lemari itu tahu isi hati orang-orang tertentu. Seakan... ia bisa mencium keputusasaan seperti anjing pelacak mencium bau luka.
Malam ketiga, aku duduk di ruang tamu. Jam dinding berdetak, tapi aku bisa dengar bunyi samar dari atas. Seperti pintu lemari terbuka. Diikuti hening panjang, lalu hembusan angin dingin—padahal semua jendela tertutup.
Pagi harinya, aku naik. Kamar kosong. Lemari hilang. Cuma ada goresan di lantai—bekas kakinya yang berat dan tua.
Aku buka laci, keluarkan spidol hitam, dan menulis ulang kalimat di pintu itu.
“Ditempati kembali.”
Orang-orang tidak tahu, tulisan itu bukan untuk manusia. Itu pesan untuk lemari. Untuk dunia di balik sana. Aku tidak tahu apa yang mereka cari, tapi mereka selalu kembali. Dan aku... hanya penjaga pintunya.
Mungkin suatu hari, mereka akan memanggilku juga. Tapi belum sekarang.
Belum hari ini.
---
Aku bukan perempuan pintar. Tidak tamat sekolah tinggi, tidak bisa baca buku filsafat atau bicara soal dunia luar. Tapi aku tahu… ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan pakai logika. Aku sudah melihat terlalu banyak kehilangan untuk bisa tetap percaya semuanya kebetulan.
Dulu, aku pernah mencoba menutup kamar itu selamanya. Menguncinya. Memaku jendelanya. Bahkan aku pernah panggil ustaz dan pendeta, keduanya datang di minggu yang sama. Mereka berdoa, menyiramkan air, membaca ayat dan doa, bahkan membakar dupa. Tapi setiap kali, lemari itu tetap muncul kembali. Diam-diam. Seolah menunggu waktu yang tepat. Seolah tahu kapan seseorang yang pantas akan datang.
Pernah suatu malam, aku coba mengusirnya sendiri. Aku dorong lemari itu dengan tenaga sekuat mungkin, ingin membuangnya ke luar kamar. Tapi lemari itu terlalu berat. Bukan berat karena kayunya, tapi seperti... ada tangan tak terlihat yang menahannya. Waktu aku menyentuh permukaan pintunya, aku bisa rasakan detak jantung. Ya, seperti tubuh yang hidup. Sejak malam itu, aku menyerah.
Jadi aku memilih berjaga. Mengamati. Mencatat setiap anak yang masuk ke kamar itu. Wajah mereka. Tatapan mereka. Cara mereka duduk di tangga, menatap hujan, menahan letih. Selalu ada yang patah dari dalam diri mereka. Sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa.
Dan aku hafal pola-pola itu.
Tiga malam.
Selalu tiga malam.
Hari pertama adalah masa pengamatan. Lemari diam, hanya menunggu. Hari kedua, ia memancing. Suara bisikan, kadang mimpi. Hari ketiga... pintunya terbuka. Tapi hanya kalau si penghuni memutuskan untuk menyentuhnya.
Kalau tidak? Lemari itu akan hilang sendiri. Menguap dari kamar, seperti kabut pagi. Dan penghuni bisa lanjut hidup, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi tidak semua orang bisa menolak kesempatan itu. Apalagi ketika hidup mereka terasa terlalu berat untuk dijalani.
---
Pernah, ada seorang perempuan bernama Nisa. Mahasiswi kedokteran. Pintar, ceria, selalu bawa senyum. Tapi ternyata dia menyimpan rahasia: keluarganya berantakan, pacarnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dan dia mulai mempertanyakan semua pilihan hidupnya.
Hari ketiga, dia menghilang. Sama seperti Aldo.
Sejak itu, aku tahu: kamar nomor 7 tidak memakan orang. Ia hanya memberi pilihan. Pilihan yang seringkali tidak bisa diberikan oleh dunia nyata—kesempatan untuk mengulang, atau menghilang.
---
Kadang aku duduk sendiri di ruang tamu, menatap ke arah tangga, menanti langkah kaki baru. Kadang, aku ingin ikut masuk ke dalam lemari itu. Meninggalkan hidup yang tinggal sepotong ini. Tapi belum. Belum saatnya. Masih ada yang harus kujaga.
Aku hanya penjaga pintu. Penulis pesan di pintu kamar. Pengingat bahwa dunia tidak selalu seperti yang kita lihat.
Dan malam ini, suara koper baru terdengar. Seseorang tiba.
Langkah kaki menaiki tangga. Kamar nomor tujuh kembali dibuka.
Aku berdiri pelan, menatap jam dinding.
Tiga malam, nak.
Tiga malam lagi...