Flash
Disukai
44
Dilihat
3,736
Sepotong Roti Bakar Untuk Alisha
Drama

Sebuah desa terdapat rumah sederhana terdapat gadis berumur tujuh tahun dan seorang wanita paruh bayah berumur enam puluh tahun, adanya sudut dapur mungil yang remang hanya di terangi sebatang lampu pijar yang tergantung lunglai. Aroma apek dan sedikit bau tanah basah meresap di udara, berpadu dengan bisikan asap dari tungku arang yang mulai meredup.

Matahari belum nampak untuk menyinari alam semesta, suasana alam masih gelap gulita. Udara dingin masih memeluk erat. Alisha menggeliat di atas sebuah tikar yang sudah using, selimut tipis tak sanggup mengusir kedinginan pada tubuh gadis itu. Ia membuka mata secara perlahan sambil menatap langit-langit yang telah berjaga. Perutnya bergemuruh, melantunkan simfoni lapar yang akrab.

Alisha berbisik pada eyang Mitu, ”Eyang …”

Eyang Mitu muncul dari balik tirai lusuh membawa cangkir kaleng berisi air hangat. Wajahnya nampak lesu, namun seulas senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat.

“Sudah bangun, Nak? Dingin sekali, ya?” tanya eyang Mitu.

Alisha duduk bersila sambil memeluk lututnya, ”Perut Alisha bernyanyi, Eyang. Nyanyian kosong melompong.”

Eyang Mitu mendekat pada Alisha, lalu mengusap lembut puncak kepalanya. Matanya memancarkan kesedihan yang dalam, namun ia berusaha menyembunyikannya.

Eyang Mitu berkata, “Sabar, sayang. Eyang sedang mencari ide untuk meredam nyanyian itu.

Eyang Mitu menoleh pada sudut-sudut dapur. Pandangannya jatuh pada sepotong roti tawar yang tergeletak di atas piring sisa semalam. Roti itu nampak lesu, warnanya sudah memudar, seolah-olah ikut menanggung beban hidup dirinya.

Eyang Mitu begumam, ”Hanya sepotong roti usang. Akankah cukup untuk embun lapar dari mata Alisha?”

Eyang Mitu meraih roti itu, seolah menggenggam secercah harapan yang tipis. Ia berjalan gontai menuju tungku arang. Sisa bara masih menyala, memancarkan rona kemerahan yang tersamarkan.

Eyang Mitu bermonolog dengan suara bergetar, “Bagaimana kalau hari ini kita sulap roti ini? Jadi, roti bakar lezat sedunia!”

Mata Alisha berbinar, ”Roti bakar, Eyang? Seperti yang ada di warung bu Ana? Roti yang dilapisi mentega, lalu di taburi gula pasir yang berkilau seperti kristal itu?”

Eyang Mitu meringis mendengar harapan Alisha. Mentega dan gula pasir baginya adalah suatu kemewahan yang tak terjangkau. Ia hanya memiliki sisa sedikit minyak kelapa dan sejumput garam halus.

Eyang Mitu menghela napas sambil tersenyum getir, ”Hmm, mungkin tidak akan semewah itu, sayang. Tapi, Eyang akan membakarnya dengan api cinta, dan itu jauh lebih lezat dari mentega termahal sekalipun.”

Eyang Mitu mulai meletakkan rotinya di atas wajan yang telah menghitam. Api arang mulai memercik, menjilati permukaan roti. Aroma gosong mulai tercium bercampur dengan harapan yang menggantung di udara.

Alisha mulai mendekat pada eyang Mitu, hidung kembang kempis mencium aroma, ”Wanginya, Eyang. Seperti pelukan hangat.”

Eyang Mitu membalikkan rotinya dengan penuh hati-hati. Sisi yang sudah terbakar mulai menghitam membentuk pola hangus yang abstrak. Ia memandang roti itu, seolah-olah melihat sebuah mahakarya yang lahir dengan keterbatasan.

Eyang Mitu menatap Alisha, “Roti ini adalah saksi bisu perjuangan kita, saksi cinta yang tak pernah padam. Setiap gigitan adalah kekuatan, setiap remah adalah harapan baru.”

Eyang Mitu memberikan roti bakar itu pada Alisha, “Ini, Nak. Sepotong roti bakar untuk Alisha. Selamat makan."

Alisha menerima roti bakar dai eyang Mitu sambil menghirup aromanya, “Ini roti bakar paling enak, Eyang. Lebih enak dari bayangan Alisha."

Alisha mulai menggigit roti bakar buatan eyang Mitu, "Hmm, enak!"

Tiba-tiba, Alisha membagi dua roti bakar itu dengan eyang Mitu, "Ini setengah buat aku dan setengah lagi buat eyang. Kita makan berdua roti bakar penuh cinta ini."

Eyang Mitu terharu, menahan air mata yang berada di pelupuk matanya, "Terima kasih, sayang."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)