Masukan nama pengguna
Ayuna menggenggam tangan sauminya dengan erat, “Mas Rozan harus bertahan, ada anak kita yang akan lahir."
Rozan menatap lurus pada Ayuna, lalu berkata dengan nada lirih, “Maafkan aku…”
“Tidaaakk. Kamu harus kuat demi aku dan anak kita,” ucap Ayuna dengan tegas.
Tautan tangan Ayuna dan Rozan terlepas ketika perawat mendorong brankar masuk ke dalam ruang ICU.
Ayuna duduk dengan lemah di kursi tunggu ruangan ICU sedang menunggu kabar dari dokter.
Ayuna merintih kesakitan sambil memegangi perutnya, lalu berteriak histeris, “Aarrrrrgghhh.”
Perawat yang melihat Ayuna merintih kesakitan segera menghampiri, “Ibu tidak apa-apa?”
Ayuna menjawab dengan nada lemah, “Sus, perut saya sakit.”
Suster melihat kondisi Ayuna perutnya membuncit besar, “Ibu kontraksi."
Ayuna mengangguk lemah.
Perawat mencoba menenangkan Ayuna, lalu berkata, “Ibu tolong tunggu, saya akan segera mungkin kembali dengan membawa kursi roda."
Perawat segera berjalan dengan cepat, dia mencari bantuan, “Tolooong siapkan kursi roda ada yang ingin melahirkan."
Cklak!
Perawat membuka pintu ruangan dokter kandungan, lalu berkata, “Dok, ada keadaan darurat di ruang ICU, saya melihat seorang wanita hamil sedang merintih kesakitan sepertinya akan melahirkan karena kondisi perutnya sudah besar saat ini mengalami kontraksi.”
Dokter wanita itu menghela napas dengan kasar, dirinya baru saja selesai melakukan operasi cesar, lalu bertanya, “Tidak ada dokter kandungan selain diriku?”
Perawat yang memperhatikan dokternya itu dengan wajah lelahnya, “Tidak ada, Dok."
Dokter wanita itu segera keluar dari ruangannya, “Baiklah, mari kita selamatkan wanita itu."
Perawat menyusul dokter itu dengan membawa kursi roda.
Kondisi Ayuna semakin lemah, dia merasakan kontraksi yang luar biasa.
Tak membutuhkan waktu lama dokter kandungan dan perawat telah datang menghampiri Ayuna.
Dokter wanita itu mendekat ke arah Ayuna, “Tolong bertahan."
Dokter dan perawat segera memapah Ayuna untuk duduk pada kursi roda.
Dokter mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan rumah sakit, lalu bertanya pada Ayuna, ”Suami ibu, dimana?”
Ayuna menjawabnya sambil merintih kesakitan, “Suami saya sedang berjuang di ruangan ICU. Aarrrgggh, sakiiiit dokter."
Dokter kandungan itu mengangguk.
Ayuna segera di larikan ke ruang bersalin dengan dokter dan perawat. Dokter memberikan instruksi pada Ayuna untuk kelahiran sang buah hati.
Air mata Ayuna jatuh ke pipi mulusnya saat ini melahirkan sang buah hati tidak di temani oleh suaminya.
Beberapa jam kemudian terdengar suara tangisan bayi yang sangat nyaring menggema ke seluruh ruangan rumah sakit. Ayuna kembali meneteskan air mata ketika dokter mengangkat seorang bayi mungil yang penuh dengan darah.
Dokter berkata, “Laki-laki, bu. Putra yang tampan."
Ayuna tersenyum lemah, ”Alhamdullilah.”
Mata Ayuna melihat seorang bayi mungil yang sedang di bersihkan, lalu di bedong oleh perawat tak berkedip. Perawat datang menghampiri Ayuna membawa putra kecilnya kemudian di letakkan di dadanya dengan hati-hati, Ayuna menerimanya dengan hati-hati.
Dokter melihatnya sangat terharu, “Wanita ini kuat ketika suaminya sedang berjuang melawan maut."
Dokter itu menghampiri Ayuna, kemudian berdiri di samping, lalu bertanya, “Namanya siapa?”
Ayuna menjawabnya, “Saya menunggu suami saya untuk memberikan nama kepada putranya."
Dokter wanita itu bertanya pada Ayuna, “Boleh saya panggil dengan sebutan dedek bayi?”
Ayuna mengangguk.
Dokter wanita itu menyapa bayi mungil Ayuna, “Halo, dedek bayi selamat datang di dunia."
Ayuna yang sedang menggendong bayi mungilnya sambil berkata, ”Dok, apakah boleh mengetahui kondisi suami saya yang sedang berada di ruangan ICU?”
Dokter wanita itu bertanya pada Ayuna, “Nanti, saya tanya kondisi suami ibu. Saya belum mengetahui nama ibu dari bayi tampan ini?”
Ayuna mengulurkan tangan, “Saya Ayuna."
Dokter wanita itu membalas uluran tangan Ayuna, “Baik, kalau begitu ibu Ayuna bisa panggil saya dokter Syifa."
Ayuna mengangguk.
Dokter Syifa pamit, “Ibu Ayuna, saya tinggal dulu ya."
Ayuna kembali mengangguk.
Cklak!
Dokter Syifa dan perawat keluar dari ruangan bersalin setelah selesai melakukan tugasnya.
****
Ketegangan yang terlihat dalam ruangan ICU, dimana seorang pasien bernama Rozan dengan detak jantung sangat lemah, dokter-dokter yang berada di dalam ruangan tersebut melakukan tindakan untuk menyelamatkan pasien tersebut.
Beberapa menit kemudian suara monitor terdengar nyaring dalam ruangan itu.
Tiiiiiiiiiiit !
Pasien bernama Rozan telah menghembuskan napas terakhirnya. Dokter setengah paruh baya berkata, ”Tolong beritahu keluarga pasien tentang kondisi saat ini.”
Dokter lainnya mengangguk hormat pada dokter Pram, “Baik, dokter Pram."
Cklak!
Dokter Pram membuka pintu keluar dari ruangan ICU, lalu bertanya dalam hati, “Kemana keluarganya?”
Perawat melewati ruangan ICU melihat dokter Pram seperti mencari seseorang, ia segera bertanya pada dokte itu, ”Ada yang bisa saya bantu, Dok?”
Dokter Pram melihat perawat yang sudah berdiri di hadapannya, “Saya mencari keluarga pasien yang sedang menunggu di luar ruangan ini."
Perawat memberitahu informasi pada dokter Pram, “Saya hanya melihat wanita hamil yang hendak melahirkan di luar ruangan ini."
Dokter Pram menautkan alisnya, “Iya, wanita itu keluarga pasien yang saya tangani."
Perawat mengangguk, lalu berkata, “Wanita itu sudah melahirkan saat ini sedang berada di ruang bersalin."
Dokter Pram berkata, “Baiklah, terima kasih atas informasinya."
Perawat pamit pada dokter Pram, “Sama-sama, Dok. Mari."
Dokter Pram tengah berdiri sendirian di koridor rumah sakit adanya rasa tidak tega untuk mengabari kondisi pasien bernama Rozan kepada istri sang pasien.
Dokter Pram bergumam, “Ini harus segera di beritahukan pada keluarganya."
Cklak!
Dokter Pram membuka pintu ruang bersalin melangkah dimana Ayuna berada.
Dokter Pram berhenti melangkah, lalu menyapa Ayuna, ”Selamat siang, Bu."
Ayuna menoleh ke hadapan dokter Pram, ia mengira itu adalah dokter kandungan lainnya, ”Siang, dok. Apakah sudah waktunya bayi ini di letakkan di tempat tidur?”
Dokter Pram berkata, “Maaf sebelumnya mengganggu waktu ibu, saya kesini ingin memberitahukan kabar tentang kondisi pak Rozan."
Deg !
Jantung Ayuna menjadi berdetak kencang merasakan debaran-debaran adanya kecemasan dalam dirinya.
Ayuna bertanya pada dokter Pram, “Bagaimana kondisi suami saya saat ini, Dok?”
Dokter Pram menjelaskan, “S-saya dan tim dokter lainnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong nyawa suami ibu.”
“Lalu?” Ayuna bertanya kembali pada dokter itu.
Tiba-tiba, suasana dalam ruangan itu menjadi sunyi adanya jeda kalimat yang di sampaikan oleh dokter Pram.
Satu detik!
Dua detik!
Dokter Pram mengambil napas dalam-dalam, kemudian bersuara kembali, “Namun, takdir berkata lain, pak Rozan sudah meninggal.”
DUAR !!
Suara gemuruh petir menggelegar dengan nyaring, bertepatan dengan berita duka yang di sampaikan oleh dokter Pram.
Kedua mata Ayuna membola, “Apaa?!”
Ayuna tercekat, “Tidaaaaaak, Mas Rozan. Kenapa meninggalkan aku dan anak kita?"
Sementara dokter Pram sudah siaga untuk mengamankan bayi mungil yang berada dalam gendongan Ayuna.
Tubuh Ayuna tiba-tiba limbung, lemah tak berdaya dan akhirnya kedua matanya menutup.
Dokter Pram berteriak memanggil perawat sambil mengambil bayi mungil dari tangan Ayuna yang hampir terlepas, “Suster …. SUSTER ..."
Perawat datang tergopoh-gopoh mendengar panggilan dari dokter Pram, lalu berkata, “Ada apa, Dok?”
“Pasien ini pingsan, Sus. Cepat tolong wanita ini baru saja melahirkan,” jawab dokter Pram.
Perawat segera mengambil alat-alat medis yang di perlukan, “Baik.”
Suara lirih dokter Pram sambil melihat bayi yang masih dalam gendongannya, “Saya akan meletakkan bayi ini ke ruangan khusus bayi."
Dokter Pram keluar dari ruangan bersalin berjalan menyusuri koridor rumah sakit sambil tetap menggendong bayi mungil tampan itu, langkahnya berhenti di ruangan khusus bayi, lalu menyerahkannya kepada perawat yang sedang berjaga di ruangan itu, “Sus, tolong letakkan bayi ini di dalam box.”
Tanpa bertanya kepada dokter Pram, perawat tersebut hanya menjawabnya dengan menganggukan kepala.
Setelah bayi mungil itu sudah merasa aman berada di ruangan khusus bayi, dokter Pram segera kembali ke ruangan bersalin untuk melihat kondisi pasien itu.
Cklak!
Dokter Syifa keluar dari ruangannya, lalu ia melihat sang ayah berjalan melewati ruangannya dengan cepat. Dokter Syifa segera menyusul dengan cepat untuk meyamakan kecepatan langkah ayahnya berjalan.
Dokter Syifa mendekat ke arah dokter Pram, “Ayah."
Tiba-tiba, langkah dokter Pram berhenti, lalu melirik di sampingnya, “Syifa.”
“Kenapa ayah berjalan terburu-buru?” tanya dokter Syifa.
Dokter Pram tersenyum, “Ada pasien pingsan di ruangan bersalin."
“Ruangan bersalin, siapa?” tanya Syifa.
Dokter Pram menjelaskan, “Menurut informasi yang ayah terima pasien ini baru saja melahirkan."
Dokter Syifa berpikir dan mengarah pada Ayuna wanita yang baru saja melahirkan, “Cepat, Ayah.”
“Kamu kenal sama wanita itu?” tanya dokter Pram.
Dokter Syifa menerangkan pada dokter Pram, “Beberapa jam yang lalu baru saja aku menangani pasien yang baru melahirkan, lalu dia sedang menunggu kabar dari kondisi suaminya yang berada di ruangan ICU."
Dokter Syifa dan dokter Pram saat ini sudah berada di ruangan bersalin di dalam terdapat perawat. Syifa mendekati perawat, lalu bertanya, “Bagaimana kondisi pasien Ayuna?”
“Dokter Syifa, sepertinya pasien mengalami goncangan hebat. Sehingga pandangannya kosong,” ucap perawat.
“Kenapa bisa begitu?” dokter Syifa bertanya kembali.
“Pasien mengigau menyebut nama seseorang, saya berpikir nama itu adalah nama suaminya,” ucap perawat.
“Terima kasih atas informasinya, saya akan menangani pasien Ayuna,” ucap dokter Syifa.
Perawat pun pamit, “Baik, mari dokter Syifa dan dokter Pram."
Dokter Syifa dan Dokter Pram mengangguk.
Syifa mendekati Ayuna mengusap-usap punggungnya, “Ayuna.”
Ayuna setengah kesadarannya hanya menoleh saja tanpa bersuara. Ayuna duduk di ranjang rumah sakit dengan menekuk kedua lututnya, pandangan matanya kosong. Seketika memori-memori bersama suaminya berputar di kepalanya, maka terkadang Ayuna tertawa, menangis, lalu terkekeh begitu seterusnya tanpa memperdulikan lingkungan di sekitarnya, seolah-olah memiliki dunianya sendiri.
Dokter Syifa melihat kondisi Ayuna merasakan prihatin sehingga tak menyadari air matanya menetes, lalu dia mengusapnya dengan kasar, “Ayuna, kamu harus kuat demi anak kamu yang tampan itu.”
“Kamu bisa cerita denganku, apa yang kamu rasakan saat ini?” tanya Syifa.
Dokter Pram melihat semua di depan kedua matanya sangat terharu.
Dokter Syifa menoleh kepada dokter Pram, “Bagaimana untuk urusan administrasinya, Dok?”
Dokter Pram berkata, “Dokter Syifa tolong tenangkan pasien, nanti saya yang akan mengurus semua administrasinya."
Dokter Syifa mengangguk, “Terima kasih, dokter Pram.”
Dokter Pram meninggalkan ruangan bersalin untuk menberikan waktu berdua untuk Syifa dan Ayuna.
Ayuna mengangkat kepala menatap lurus ke arah dokter Syifa, lalu berkata, ”Dok, bolehkah aku menemui mas Rozan untuk terakhir kalinya, lalu mengikuti proses pemakaman?”
Dokter Syifa mengangguk, “Tentu boleh.”
Ayuna menunduk, lalu berkata, “Tolong temani aku. M-maaf merepotkan dokter."
Dokter Syifa berkata, “Tak apa, aku sudah tidak ada jam praktek."
Ayuna berkata, “Terima kasih, Dok."
“Baiklah, aku akan beritahu perawat untuk membawa kursi roda,” ucap dokter Syifa.
Ayuna bertanya pada dokter Syifa, “Kursi roda buat apa, Dok?"
Dokter Syifa berkata, “Buat kamu, Ayuna."
Ayuna berkata, “Aku masih kuat berjalan, maka tidak perlu menggunakan kursi roda."
Dokter Syifa berkata segera keluar dari ruangan bersalin, lalu meminta tolong kepada perawat untuk membawakan kursi roda, “Tidak bisa Ayuna, kamu pasca melahirkan."
Ayuna menghela napas dengan kasar, “Huft."
Ayuna berkata dalam hati, “Nanti masa depan anak kita bagaimana, Mas!”
Ayuna khawatir dengan masa depan bayi mungilnya.
Dokter Syifa kembali dengan membawa kursi roda, lalu berhenti tepat di depan brankar Ayuna.
Dokter Syifa berkata, “Ayo, Ayuna silahkan naik."
Ayuna merintih kesakitan saat menurunkan sebelah kakinya ke bawah, “Sssshh..."
“Kamu masih sakit?” tanya dokter Syifa.
Ayuna berkata, “Sedikit, Dok."
Dokter Syifa berkata, “Aku bantu ya.”
Dokter Syifa membantu Ayuna turun dari brankar di tuntun ke kursi roda.
“Ayuna sudah aman?” tanya dokter Syifa.
Ayuna mengangguk.
“Kamu sudah siap?” tanya dokter Syifa.
Ayuna menjawabnya, “Siap.”
Dokter Syifa mendorong kursi roda Ayuna, ia dan Ayuna melewati setiap koridor rumah sakit. Sebelumnya dokter Syifa menghubungi dokter Pram, ia di beritahukan bahwa jenazah sedang di mandikan dan semua administrasi telah di urus oleh dokter Pram.
Dokter Syifa dan Ayuna tiba-tiba berhenti tepat di ruangan.
Cklak !
Dokter Pram keluar dari ruangan tersebut dan melihat dokter Syifa dan Ayuna.
Doket Pram menyapa, “Dokter Syifa, Ayuna."
“Apakah sudah siap untuk proses pemakamannya, Dok?” tanya dokter Syifa.
“Saya baru ingin menanyakan kepada Ayuna, jenazah ingin di makamkan dimana?” tanya dokter Pram.
Ayuna melihat ke arah dokter Syifa dan dokter Pram secara bergantian, lalu berkata, “Apa sebaiknya saya pulang terlebih dulu untuk memberitahukan pihak lingkungan sekitar tentang kematian mas Rozan, lalu jenazah akan di mandikan kembali dan di salatkan?”
“Apakah kondismu sudah merasa lebih baik?” tanya dokter Syifa.
Ayuna menjawab, “Saya sudah lumayan baik."
Dokter Syifa berkata, “Baiklah, saya akan izinkan."
Dokter Syifa melihat ke arah dokter Pram untuk meminta izin membantu Ayuna persiapan pemakaman suami Ayuna, lalu bertanya, ”Dok, bolehkah saya membantu proses pemakaman jenazah suami Ayuna?"
Dokter Pram berkata, “Dokter Syifa memang mulia sekali hatimu, Nak! Saya juga akan ikut membantu kalian."
Ayuma mendengar ucapan dokter Syifa dan dokter Pram merasa terharu, lalu berkata, ”Terima kasih, kalian sungguh mulia hatinya.”
Dokter Syifa memberikan senyuman pada Ayuna, “Kita sesama manusia harus saling menolong, bukan!”
Dokter Syifa berkata, “Baiklah, mari aku bantu untuk persiapan kamu keluar dari rumah sakit."
“Gimana dengan anakku?” tanya Ayuna.
Dokter Pram menyarankan, “Sebaiknya di ruangan khusus bayi dulu jangan di bawa ke pemakaman."
Ayuna mengangguk.
Dokter Syifa berkata, “Ayo, kita bersiap sekarang sebelum hujan turun kembali. Mari, dokter Pram."
****
Suara sirine ambulan yang semakin mendekat menusuk telinga Ayuna, mengoyak sisa-sisa harapannya. Jantungnya bergemuruh, berpacu dengan langkah kaki para tetangga yang mulai berkumpul di depan rumahnya yang sederhana. Sejak sore, rumah itu di penuhi kerabat dan sahabat, namun kehadiran mereka tak sedikit pun mengurangi kehampaan yang mencengkeram.
Pintu ambulan terbuka secara perlahan. Dua orang perawat dengan sigap menurunkan brankar yang tertutup kain putih. Dunia Ayuna runtuh saat itu juga. Ia melihat, atau lebih tepatnya merasakan, kehadiran sosok yang selama ini menjadi napasnya, kini terbujur kaku di balik kain itu.
Ayuna mencoba melangkah, namun kakinya terasa lemas, seolah terpaku pada tanah. Ibunya, Ratna dengan mata sembab dan wajah pucat, memeganginya dengan erat, lalu berkata, ”Ayuna, sabar, Nak."
Ayuna menggeleng-gelengkan kepala, air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah meruah. Ia meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pegangan sang ibu.
Suara getar Ayuna, ”Tidak! Ibu! Ini tidak mungkin! Mas Rozan pulang! Dia tidak mungkin pergi!”
Para perawat menuntun brankar masuk perlahan. Ayuna melihat siluet tubuh Rozan yang terbaring di sana. Sosoknya tegap yang selalu memeluknya setiap saat, kini hanya berupa gundukan tak bernyawa.
Ayuna melangkah maju mendekat ke jasad Rozan dengan air mata membanjiri wajahnya, ”Mas Rozan, sayang. Bangun! Ini Aku Ayuna! Kamu sudah ada di rumah. Ayo, bangun, sayang.”
Ia mendekat, tangannya gemetar meraih kain putih yang menutupi wajah suaminya. Ratna dan beberapa kerabat mencoba menahannya, namun Ayuna memberontak dengan segenap tenaga.
Ayuna mencengkeram kain putih itu, suaranya tercekat, “Aku mohon. Buka kainnya, biarkan aku melihatnya. Sekali saja.”
Seorang perawat dengan wajah sendu, mengangguk pelan. Perlahan, kain putih itu di singkap. Wajah Rozan yang pucat, bibir yang membiru, dan mata terpejam rapat menyambut pandangan Ayuna. Tidak ada lagi senyum hangat yang selalu menghiasi wajah itu, tidak ada lagi tatapan suaminya penuh cinta yang meneduhkannya.
Ayuna berteriak histeris, jatuh berlutut di samping brankar, ”MAS ROZAAANNN! TIDAAAAKK! KENAPA KAMU PERGI?! KENAPAAAA?!”
Ia memeluk tubuh Rozan yang dingin, mendekapnya erat seolah ingin mengembalikan denyut kehidupan pada suaminya. Isak tangisnya memenuhi ruangan, membaur dengan tangisan pilu Ratna dan para pelayat lainnya.
Ayuna membelai pipi Rozan, air matanya membasahi wajah suaminya dengan suara seraknya, ”Kau janji! Kau janji akan selalu bersamaku. Kau janji akan melihat anak-anak kita tumbuh dewasa. Kenapa kau tak menepati janji itu, mas Rozan? Kenapa kau tinggalkan aku sendiri?”
Seorang paman Rozan, Badrun yang sejak tadi berusaha tegar, tak kuasa menahan tangis melihat kepedihan Ayuna. Ia mendekat, memegang bahu Ayuna, lalu berkata, ”Ayuna ikhlaskan, Nak. Rozan sudah tenang di sana.”
Ayuna menggelengkan kepala, menepis tangan Badrun, ”Tidak! Dia tidak akan tenang! Dia pasti kesepian tanpaku! Mas Rozan! Bangun! Jangan tinggalkan aku!”
Ayuna menenggelamkan wajah pada dada sang suami, ia memeluknya dengan erat, seolah tidak rela melepaskan. Aroma tubuh Rozan yang samar masih tercium, namun kini bercampur dengan bau obat. Ayuna berbisik di telinga Rozan dengan nada lirih, ”Aku mencintaimu, mas Rozan. Selamanya aku akan mencintaimu. Tapi, kenapa secepat ini kau pergi. Aku belum siap! Aku belum siap hidup tanpamu.”
Ratna sebagai ibu Ayuna ikut merasakan setiap sayatan kepedihan putrinya, ia memeluknya dengan erat, “Nak, lepaskan. Kasihan Rozan, biarkan dia pergi dengan tenang.”
Kepergian Rozan adalah sebuah lubang hitam yang menganga dalam hidup Ayuna, menelan semua kebahagiaan dan Impian yang pernah mereka rajut bersama. Dalam kesunyian yang mencekam, Ayuna hanya bisa memeluk kesedihannya. Air matanya tidak lagi mengalir deras, hanya ada jejak basah pada pipinya. Matanya menatap kosong ke arah wajah sang suami.
****
Angin sore berhembus pelan, mengibarkan helai rambut Ayuna yang terurai. Sepasang mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah di hadapannya, tempat jasad suaminya, Rozan, kini bersemayam. Suara isak tangis samar terdengar dari kerabat dan sahabat yang mengelilinginya, namun telinganya seolah tuli. Hanya suara denting bel tanda kematian yang terus bergaung di benaknya.
Ibu Ayuna, Ratna, mendekat dan mengusap lembut punggung putrinya, “Nak, ikhlaskan ya. Rozan sudah tenang di sana.”
Ayuna tidak menjawab. Tangannya menggenggam erat foto Rozan yang sudah lusuh, wajah suaminya yang terpampang pada foto tersebut sedang tersenyum lebar, seolah mengejek kesedihannya kini.
Seorang teman dekat Rozan, Dimas, maju secara perlahan, lalu berkata, “Ayuna, saya turut berduka cita sedalam-dalamnya. Rozan adalah teman terbaik yang saya miliki.”
Ayuna akhirnya bersuara, suaranya serak dan nyaris tak terdengar, “Kenapa, Dim? Kenapa dia pergi meninggalkanku begitu cepat?”
Dimas menunduk, matanya berkaca-kaca, ”Kita tidak ada yang pernah tau rencana Tuhan, Ayuna. Tapi saya yakin, Rozan ingin kamu kuat, tidak lemah seperti ini.”
****
Mentari malu-malu menampakkan sinarnya, namun hati Ayuna sudah terlebih dulu di selimuti mendung pekat. Bayangan suaminya, Rozan, seolah menari-nari di setiap sudut rumah. Sudah tiga bulan, Rozan pergi tak akan pernah kembali ke sisinya.
Ayuna kehilangan Rozan, lahirnya sang putra yang memiliki wajah tampan seperti sang suami bernama Mirza yang ia berikan. Namun, kehadiran buah hatinya tidak serta merta membawa kebahagiaan. Baby blues yang mencengkeram Ayuna, hari-harinya di penuhi tangisan, bukan hanya Mirza, melainkan dirinya sendiri. Beban hidup terasa begitu berat tanpa Rozan di sisinya. Suatu malam, di tengah keputusasaan yang sedang memuncak, Ayuna mengambil keputusan pahit. Ia berencana akan menitipkan Mirza dengan sahabat lamanya yang bernama Merisa.
Tok … Tok … Tok …
“Siapa di sana?” tanya Merisa dari dalam rumah.
Tak ada jawaban dari luar rumah, maka Merisa menghampiri pintu rumah.
Cklak!
“Ayuna?” suara itu nyaris berbisik, ragu-ragu memanggil nama yang begitu akrab, namun terasa asing setelah sekian lama.
Ayuna yang sedang menunduk, ia mendongakkan kepalanya. Mata sembabnya mengerjap. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang terbungkus selimut tebal itu menggeliat pelan. “Merisa,” ucapnya dengan lirih, sebuah senyum tipis yang terukir pada bibirnya telah bercampur lelah dan getir.
Merisa melangkah mendekati tubuhnya pada Ayuna, namun matanya terpaku pada gumpalan kecil dalam dekapan Ayuna. “Ini, anakmu?” tanya Merisa dengan lembut, ada nada tak percaya dan penuh haru.
Ayuna menganggukkan kepala.
Merisa mempersilahkan Ayuna masuk ke dalam rumah, ”Ya ampun sudah lama sekali tidak bertemu! Masuk, masuk!"
Ayuna melngkah masuk dengan ragu, matanya melirik ke sekeliling teras, dengan suara seraknya, “Merisa, apa kabar? Maaf aku datang tanpa kabar.”
Merisa menutup pintu, menghampiri Ayuna, ”Aku baik. Kamu sendiri?
Ayuna tersenyum tipis, memandang bayi dalam gendongannya dengan tatapan penuh kasih, ”Ini Mirza. Putraku.”
Merisa membolakan matanya, namun dengan senyum, "Ya Tuhan, Ayuna! Kenapa tidak bilang? Tampan sekali! Ayo duduk dulu, pasti capek."
Merisa dan Ayuna duduk di bangku rotan di teras. Merisa mengambil bantal kecil untuk menyangga punggung Ayuna.
Ayuna menghela napas panjang, "Terima kasih, Sa. Aku, aku kesini karena ada sesuatu yang sangat penting."
Merisa menggenggam tangan Ayuna, "Ada apa, Ay? Cerita saja pelan-pelan. Kamu tahu, aku selalu ada untukmu."
Ayuna menatap Merisa lekat-lekat, matanya berkaca-kaca, "Aku tahu, Sa. Itu sebabnya aku datang padamu. Aku, hmm, aku ingin menitipkan Mirza padamu."
Suasana hening sejenak, Merisa menatap Ayuna, lalu beralih menatap Mirza yang masih tertidur.
Nada suara Merisa berubah penuh hati-hati, "Menitipkan? Maksudmu, berapa lama? Kenapa, Ay?"
Ayuna menunduk, suaranya tercekat, "Aku harus pergi, Sa. Ada urusan mendesak yang tidak bisa ku tunda. Aku, aku tidak bisa membawa Mirza bersamaku. Ini berbahaya.”
Merisa mengerutkan dahinya, ”Berbahaya? Apa yang terjadi? Kamu bisa cerita padaku?”
Ayuna menggelengkan kepala perlahan, ”Aku belum bisa cerita semuanya sekarang. Yang jelas, aku butuh waktu. Mungkin beberapa bulan, atau bahkan lebih. Aku tidak tahu pasti.”
Air mata Ayuna mulai menetes. Merisa segera memeluknya, mengelus punggung Ayuna perlahan. Merisa dengan suara lembut, "Ya ampun, Ayuna. Aku mengerti ini pasti berat untukmu. Tapi bayi ini."
Ayuna melepaskan pelukan, menatap Merisa dengan tatapan memohon, "Aku tahu ini meminta terlalu banyak, Sa. Tapi, aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa ku percaya. Aku tahu kamu orang yang paling baik hati, paling tulus. Mirza akan aman bersamamu.”
Merisa mengusap air mata Ayuna, ”Aku memang selalu menyanyangimu, Ay. Tapi merawat bayi itu tanggung jawab besar. Aku belum pernah punya anak.”
Ayuna memegang tangan Merisa, ”Aku sudah siapkan semuanya, Sa. Mulai dari susu, popok, dan bajunya semua sudah ada di dalam tas ini. Aku juga tinggalkan sedikit uang untuk keperluannya. Aku akan berusaha secepatnya kembali. Aku janji.”
Merisa menatap Mirza, bayi tampan itu menggeliat menunjukkan senyum kecil dalam tidurnya. Merisa merasakan desiran aneh di hatinya.
Merisa menghela napas, menatap Ayuna dengan tatapan pengertian, ”Baiklah, Ayuna. Aku akan menjaganya seperti anakku sendiri. Tapi kamu harus janji, kamu akan segera kembali.”
Mata Ayuna berbinar, ”Terima kasih, Sa. Terima kasih banyak, kamu penyelamatku, juga penyelamat Mirza.”
Merisa tersenyum kepada Mirza, ”Halo, Mirza. Kamu akan aman di sini, sayang.”
Ayuna berdiri, mengusap pipi Mirza dengan ibu jarinya. Air matanya kembali mengalir dengan deras, ”Mama pergi sebentar ya, Nak. Nanti mama kembali.”
Ayuna menatap Merisa sekali lagi, memberikan senyum terakhir yang penuh rasa terima kasih, sekaligus perpisahan tanpa banyak bicara, Ayuna berbalik dan melangkah pergi, menghilang di balik pintu pagar. Merisa duduk terdiam, memeluk Mirza dengan erat, menatap kepergian Ayuna dengan campuran rasa dan tanda tanya yang membayangi.
****
Tujuh tahun berlalu …
“Mirza, sudah selesai PR-nya?” suara Merisa mengalahi celotehan burung di luar jendela.
Mirza yang sedang asik menggambar kuda bersayap, sedikit terlonjak, ”Belum, Bu. Sebentar lagi!”
Mirza selalu memanggil Merisa “Ibu”. Begitulah sejak ia berbicara. Merisa bukan Ibu kandungnya. Itu sudah ia ketahui sejak usia sekolah dasar, tapi ikatan mereka tak pernah terasa berbeda.
Merisa tersenyum tipis sambil meletakkan sepiring gorengan tempe di meja belajar Mirza, ”Jangan sebentar lagi terus. Nanti malam keburu mengantuk.”
Merisa duduk di tepi ranjang Mirza, memandangi punggung kecil yang selalu mengingatkannya pada Ayuna. Nama itu seperti sayatan samar di hatinya, tak pernah benar-benar sembuh.
“Ibu Merisa tahu, kuda ini bisa terbang sampai awan paling tinggi!” Mirza menoleh, matanya berbinar.
“Oh ya?” Merisa berpura-pura terkejut.
“Hebat sekali kudamu itu,” Ia mengelus rambut Mirza yang halus.
Merisa memanggil, “Mirza.”
Mirza kembali fokus pada gambarnya, ”Iya, Bu?”
“Tidak apa-apa. Hanya Ibu senang melihatmu sebahagia ini,” Merisa menarik napas perlahan,”Kamu tahu, Ayuna pasti bangga sekali padamu.”
Mirza berhenti menggambar, ia tahu Ayuna adalah ibu kandungnya, wanita yang melahirkannya, tapi meninggalkannya begitu saja pada Merisa saat ia berumur tiga bulan, ”Mama Ayuna itu, gimana orangnya, Bu?”
Mirza selalu bertanya kepada Merisa, lagi dan lagi Merisa akan selalu menjawab, ”Ayuna periang, cerdas, punya impian besar.”
Merisa tak pernah bercerita tentang Mirza di titipkan oleh Ayuna.
Merisa terdiam sejenak, ”Ayuna itu mirip kamu, Mirza, sama-sama suka berkhayal, sama-sama punya mata yang berbinar, jika menemukan sesuatu yang baru.”
Merisa mencoba merangkai kata, ”Dulu, Ayuna pernah bilang, kalau dia punya anak, dia ingin anaknya tumbuh di tempat yang tenang, penuh cinta.”
Mirza menunduk, lalu berkata dengan suara serak, ”Tapi, kenapa Mama Ayuna tidak berada di sini saja bersama kita?”
Pertanyaan Mirza itu selalu berulang-ulang kali di tanyakan tetap menusuk.
Merisa mendekat, memeluk Mirza dari belakang, lalu berkata, ”Terkadang, Mirza, orang dewasa harus membuat keputusan yang sulit. Keputusan yang tidak semua orang bisa mengerti.”
Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan pahit itu kembali merayap. Janji Ayuna, tatapan putus asa Ayuna, dan bayi berumur tiga bulan yang menggeliat di pelukannya, ”Yang jelas, Ayuna sangat menyanyangimu. Sangat-sangat sayang. Dia ingin kamu mendapatkan yang terbaik.”
Mirza bersandar pada punggung Merisa, punggung yang selalu terasa kokoh dan aman. Ia merasakan kehangatan, namun ada sedikit lubang di hatinya yang tak pernah terisi penuh. ”Berarti, Ibu Ayuna ada berada di awan paling tinggi sama seperti kuda tadi, ya?” Mirza mencoba melucu, meski adanya nada kesedihan dalam suaranya.
Mirza meraih tangan Merisa dan menggenggam dengan erat, "Terima kasih, Bu Merisa.”
Merisa mencium kepala Mirza, ”Selalu, Nak. Selalu.”
Mirza menatap Merisa, ”Mama Ayuna pasti kembali, kan?”
Merisa mencoba meyakinkan Mirza, ”Pasti.”
“Sekarang, kamu kerjakan Pr-nya,” sambungnya.
Mirza berkata, “Siap, komandan.”
****
Mentari pagi menembus celah-celah gorden kamar Merisa, membangunkan dari tidurnya. Jam di dinding pada kamar Merisa telah menunjukkan pukul 6 pagi. Suara langkah kecil terdengar dari arah kamar sebelah. Merisa tersenyum tipis. Ia tahu, Mirza pasti sudah terbangun. Ketika Merisa membuka pintu kamar Mirza, anak itu sedang duduk di tepi ranjang, memeluk erat boneka dino berwarna hijau kesayangannya. Matanya terlihat sendu.
“Pagi, jagoan,” sapa Merisa lembut, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Mirza hanya mengangguk pelan, tanpa melepaskan pelukannya pada boneka dinonya.
“Mau sarapan apa untuk pagi ini?” tanya Merisa.
“Nasi goreng buatan Mama Ayuna,” jawab Mirza lirih.
Hati Merisa teriris. Ia tahu, permintaan itu tidak mungkin dipenuhi. Ayuna adalah wanita yang pintar memasak, sedangkan Merisa hanya bisa membuat sarapan standar. “Bagaimana kalau kita buat roti panggang? Ada selai cokelat kesukaanmu, lho,” bujuk Merisa.
Mirza diam. Merisa mendekat, duduk di samping Mirza. Ia tahu, butuh waktu bagi Mirza untuk menerima perubahan ini. “Mirza,” panggil Merisa pelan, “Ibu tahu kamu pasti kangen sama Mama Ayuna. Ibu Merisa juga kangen dengannya. Tapi Mama Ayuna janji ke Ibu Merisa akan kembali nanti. Selama Ayuna pergi, Ibu akan jaga Mirza. Kita akan bersenang-senang, ya?”
Mirza mendongak, matanya yang berkaca-kaca menatap Merisa, ”Tapi Mama janji akan pulang cepat, kan, Bu? Mama sampai saat ini belum pulang juga.”
“Iya, Mama Ayuna janji. Selama Mama belum pulang, Ibu akan menjadi Ibunya Mirza di sini,” ucap Merisa dengan tulus, mengusap lembut rambut Mirza.
****
Hari-hari di sekolahnya, Mirza sering terlihat murung dan menarik diri. Ia tidak begitu banyak bicara dengan teman-temannya. Sepulang sekolah Mirza lebih sering di kamar. Merisa melihat Mirza yang selalu murung, ia selalu berusaha memasak makanan kesukaan Mirza, membacakan sebuah dongeng sebelum tidur, bahkan menemaninya bermain game di ponsel.
Suatu sore, Merisa menemukan Mirza sedang menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya. Boneka dinonya tergeletak begitu saja pada lantai. ”Mirza, kenapa?” tanya Merisa panik, memeluk Mirza.”
Mirza terisak, ”Hu hu hu. Aku kangen Mama, kangen pelukan Mama, kangen semuanya.”
Merisa menitikkan air matanya, hatinya seperti teriris pisau rasa pedih sekali melihat Mirza menangis, lalu ia memeluknya dengan erat dan penuh kasih sayang, ”Ibu tahu, sayang. Sekarang ada Ibu Merisa yang selalu ada untukmu.”
Malam itu, Merisa tidak tidur. Ia terus memikirkan cara untuk mendekatkan diri dengan Mirza.
Ke esokan hari, sepulang sekolah, Merisa mengajak Mirza ke toko buku. “Kita mau beli apa?” tanya Mirza.
Merisa menjawabnya, “Sesuatu yang membuatmu bahagia."
Di toko, Merisa membiarkan Mirza memilih sendiri perlengkapan melukis. Mata Mirza berbinar melihat dengan cat air, kuas dan kanvas. Mereka pulang dengan tangan penuh.
Di rumah Merisa menyiapkan meja di teras belakang, lalu berkata, ”Ayo kita melukis.”
Mulanya, Mirza masih ragu. Tapi begitu kuas pertama menyentuh kanvas, ia mulai asik. Merisa tidak banyak bicara, ia hanya duduk di samping Mirza, sesekali tersenyum melihat konsentrasi anak itu.
“Lihatlah, Ayuna. Anakmu sudah semakin besar, ia sama sepertimu. Cepatlah pulang,” ucap Merisa dengan lirih.
Mirza mulai melukis pemandangan. Ada gunung, sawah, dan sebuah rumah kecil. Di depan rumah itu, ia melukis dua sosok wanita berambut panjang dan satu anak laki-laki.
“Itu siapa?” tanya Merisa pelan.
“Ini, Mama Ayuna, Ibu Merisa, dan Aku,” jawab Mirza, tersenyum kecil.
Hati Merisa menghangat. Ini adalah senyum tulus yang ia lihat dari Mirza sejak anak itu tinggal bersamanya.
“Bagus sekali, Mirza!” puji Merisa, ”Ini adalah rumah yang indah.”
“Iya. Nanti Mama pulang, kita bisa tinggal di sini lagi,” kata Mirza penuh harap.
Merisa mengusap pipi Mirza dengan lembut, “Pasti."
Suasana di rumah Merisa berubah, ia juga mulai belajar banyak tentang dunia anak-anak, bagaimana menjadi pendengar yang baik, bagaimana memberikan dukungan tanpa terlalu memaksakan, dan bagaimana menciptakan suasana hangat.
Suatu malam, setelah selesai makan malam, Mirza tiba-tiba memeluk Merisa dengan erat. “Ibu Merisa,” panggilnya.
“Iya?” tanya Merisa.
Mirza berkata, “Terima kasih."
“Untuk apa, sayang?” tanya Merisa.
“Selama ini, Ibu Merisa sudah jagain Mirza. Sekarang Mirza tidak akan bersedih,” jawab Mirza.
Merisa membalas pelukan Mirza tak kalah erat. Air matanya menetes tanpa di sadari, lalu berbisik di telinga Mirza, ”Ibu sayang Mirzaaa.”
“Mirza juga sayang Ibu Merisa,” jawab Mirza dengan polos.
Merisa tersenyum. Ia tahu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Ayuna sebagai ibu kandung Mirza. Tapi ia akan berusaha sekuat tenaga akan menjadi sepotong hati yang bisa melengkapi hidup Mirza, sampai Ayuna kembali.
****
Siang itu, matahari memanggang aspal jalanan ketika Mirza dengan ransel hitam yang kebesaran di punggung kecilnya, melangkah riang. Senyum merekah membayangkan es krim vanilla yang menunggunya di rumah. Ia baru saja melewati gerbang sekolah dasar, berpisah dengan teman-temannya dan melambaikan tangan pada bu Guru yang masih berdiri di sana.
“Mirza! Hati-hati, Nak!” suara Merisa bergema di telinganya, seolah peringatan itu belum cukup, ia dengar setiap pagi. Mirza hanya terkikik. Ia tahu jalanan sudah seperti halaman belakang rumahnya sendiri.
Tiba-tiba, suara klakson yang memekakan telinga merobek ketenangan. Mirza menoleh. Sebuah sepeda motor melaju kencang, terlalu kencang. Matanya melebar, tubuhnya kaku. Ia mencoba melangkah, berlari, tapi kakinya seolah terpaku.
Bruuk!
“MIRZAAAAAA!” suara teriakan Merisa yang menghancurkan kedamaian siang hari.
****
Ruang IGD sebuah rumah sakit. Suara monitor jantung yang datar dan panjang mendominasi ruangan.
Merisa duduk di kursi tunggu IGD, wajahnya pucat pasi, matanya bengkak dan merah. Bajunya sedikit kotor dengan noda darah. Pintu IGD terbuka, Dokter keluar dengan wajah lelah dan sendu, di ikuti seorang perawat.
Merisa beranjak dari kursi tunggu dengan tergopoh-gopoh, suaranya bergetar sambil menahan tangis, ”Dok, bagaimana? Mirza, dia baik-baik saja, kan? Dia kuat, dia pasti kuat.”
Dokter menghela napas panjang, lalu menatap Merisa dengan penuh prihatin, ”Bu Merisa, saya turut berduka cita. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Benturan pada kepalanya terlalu parah. Mirza, dia tidak tertolong.”
DUAAR !!
Tubuh Merisa menegang, kakinya lemas, ia ambruk kembali ke kursi. Matanya menatap kosong, tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Perawat yang berada di belakang dokter menunduk, ikut merasakan kesedihan yang di alami oleh Merisa.
“Tidak! Tidak mungkin. Mirza, dia baru tujuh tahun, Dok. Tujuh tahun! Dia belum sempat bertemu ibunya. Belum sempat,” suara Merisa nyaris tak terdengar.
Dokter menjawab, “Saya tahu ini sangat berat, Bu. Tapi, ini sudah takdir.”
Merisa berteriak histeris dengan penuh air mata yang mengalir deras, ”TAKDIR KAU BILANG?! DIA MATI KARENA KELALAIANKU! AKU YANG SEHARUSNYA JAGA DIA! AKU JANJI PADA AYUNA AKAN JAGA DIA SEPERTI ANAKKU SENDIRI! TAPI AKU GAGAL! AKU GAGAL!”
Merisa memukul-mukul dadanya sendiri, isakan tangis semakin keras, meraung-raung. Perawat menghampirinya, mencoba menenangkan. Dokter ikut berjongkok di hadapan Merisa.
“Ibu Merisa, ini bukan salahmu. Kecelakaan itu, tidak ada yang bisa memprediksi,” ucap dokter.
Merisa mendorong perawat, tatapan matanya penuh penyesalan dan keputusasaan, ”Aku melihatnya, Dok! Aku melihatnya! Kejadian itu begitu cepat. Bagaimana aku harus bilang pada Ayuna? Bagimana?! Ayuna sudah menunggu tujuh tahun untuk bisa memeluknya, memeluk anak kandungnya! Dan sekarang …” suara pecah, ia menangis tanpa henti, ”Tidak ada lagi Mirza. Tidak ada lagi anak kecil yang memanggilku, ibu Merisa cantik. Tidak ada lagi tawa riangnya. Tidak ada lagi.”
Merisa melorot ke lantai, menagis meraung-raung. Dokter hanya bisa mengusap punggung Merisa, tak mampu berkata-kata. Ruangan IGD yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk, kini terasa sunyi, hanya diisi oleh suara tangisan Merisa yang pilu.
****
Tiga bulan berlalu, bayangan Mirza masih sering menghantuinya Merisa dengan rasa penyesalannya yang tak bisa menjaga bocah berusia tujuh tahun tersebut. Merisa sangat menyanyangi Mirza, ia adalah matahari kecil di hidupnya, selalu membawa keceriaan dengan celotehan dan tingkah polahnya. Siapa sangka, siang itu menjadi hari terakhir Mirza. Sebuah kecelakaan tragis pada saat pulang sekolah, ia meninggalkan dunia ini selamanya.
Sejak saat itu, hidup Merisa berubah drastis. Ia bukan lagi Merisa yang ceria penuh semangat. Rasa bersalah yang teramat dalam menggerogoti jiwanya. Setiap tawa anak kecil yang ia dengar, setiap pemandangan anak sekolah pulang sekolah, hatinya terasa tercabik. Ia terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.
****
Tiga bulan kemudian …
Rumah Merisa sederhana, namun terawat. Nuansa sore hari yang sedikit mendung.
Tok .. Tok ..
Merisa yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah sedikit terkejut, ia berjalan ke pintu dan membukanya secara perlahan. Di depannya berdiri seorang wanita berambut panjang, kulit putih bersih dengan membawa sebuah koper kecil di sampingnya, wajah wanita itu tampak pucat dan mata sembap.
Kedua mata Merisa terbelalak, ”Ayuna?”
Ayuna tersenyum tipis dan kaku, ”Hai, Merisa. Lama tidak bertemu.”
Merisa dengan cepat membuka pintu secara lebar, ”Masuk, Masuk! Ya ampun, kamu. Kamu benar-benar kembali.”
Ayuna melangkah masuk, pandangannya langsung menyapu seisi ruangan, mencari sesuatu. Merisa menutup pintu.
Suara Ayuna bergetar, ”Dimana Mirza? Dia, dia pasti sudah besar sekali sekarang, kan? Sudah tujuh tahun.”
Merisa terdiam membisu. Tangannya yang semula ingin menggenggam tangan Ayuna, kini justru terkulai. Raut wajahnya berubah sendu, matanya mulai berkaca-kaca.
Ayuna melihat Merisa terdiam, ia menaikkan alisnya, ”Merisa? Kenapa? Mirza, dia ada dimana? Apa dia sedang bermain di luar? Aku ingin melihatnya.”
Merisa menunduk, lalu menghela napas panjang, ”Ayuna, duduk dulu. Kita bicara.”
Ayuna duduk di sofa, namun hatinya mulai di penuhi firasat buruk.
Merisa duduk di hadapan Ayuna, lalu menggenggam kedua tangannya yang dingin, ”Aku, aku tahu, kamu pasti sangat menantikan momen ini. Menantikan bertemu dengannya.”
Ayuna menarik paksa tangannya dengan tidak sabar, ”Jadi dimana dia? Aku datang jauh-jauh, Merisa. Aku sudah sehat. Aku sudah siap menjemputnya. Tujuh tahun, aku menahan diri, hanya untuk hari ini.”
Tes .. Tes ..
Air mata Merisa menetes. Ia menatap Ayuna dengan tatapan penuh duka.
Merisa berkata, ”Ayuna … Mirza …”
Ayuna mengernyitkan dahinya, ”Kenapa? Ada apa dengan Mirza? Dia baik-baik saja, kan?”
Suara Merisa serak nyaris tak terdengar, ”Mirza sudah meninggal, Ayuna.”
Deg …
Mata Ayuna membelalak tidak percaya. Tubuhnya menegang, kata-kata itu seperti pisau tajam yang menusuk jantungnya, ”Tidak! Tidak mungkin! Kamu pasti bercanda, Merisa. Ini tidak lucu.”
“Hu .. hu .. hu kecelakaan, Ayuna. Sekitar tiga bulan yang lalu. Saat dia, saat dia pulang sekolah. Sebuah motor melaju kencang menabraknya di persimpangan jalan. Dia tidak selamat,” ucap Merisa sambil menangis tersedu-sedu.
Ayuna menggelengkan kepala berkali-kali, air matanya mengalir deras jatuh pada pipinya yang halus. Seluruh kenangan tentang Mirza, bayi mungil yang di titipkan selama tujuh tahun yang lalu, wajah polosnya, tangisan kecilnya, senyum pertamanya.
Ayuna berteriak histeris, ”TIDAAAKK! MIRZAAA! ANAKKU!”
Merisa mendekat, memeluk sahabatnya dengan erat, ”Aku minta maaf, Ayuna. Aku sudah menjaganya seperti anakku sendiri. Aku sangat menyanyanginya. Tapi takdir berkata lain. Aku tidak bisa melindunginya.”
Dalam pelukan Merisa, Ayuna berkata, “Tujuh tahun, Merisa. Tujuh tahun, aku berjuang untuk sembuh, untuk kembali menjemputnya. Aku ingin melihatnya tumbuh, mendengar dia memanggilku Mama. Aku bahkan belum pernah mendengar dia memanggilku Mama.”
Ayuna membenamkan wajahnya di bahu Merisa, tangisnya semakin menjadi, ”Hu … hu … hu, aku menitipkannya untuk sembuh, bukan untuk kehilangan.”
Merisa hanya bisa mengusap punggung Ayuna, tak mampu berkata-kata. Ia juga sangat kehilangan Mirza. Suara tangis Ayuna memenuhi ruangan rumah Merisa.
Beberapa hari kemudian. Ayuna masih berada di rumah Merisa. Ia duduk di teras, menatap kosong ke arah taman. Di depannya, ada sebingkai foto kecil yaitu foto kecil Mirza tersenyum ceria dengan seragam sekolah.
Merisa membawa teh hangat, lalu duduk di samping sahabatnya, “Ayuna, kamu belum menyentuh makananmu sejak tadi pagi.”
“Aku bahkan tidak tahu, dia suka apa, warna kesukaannya, makanan kesukaanya. Aku tidak tahu apa-apa tentang anakku sendiri. Aku ibu macam apa, Merisa?” tanya Ayuna sambil memegang foto Mirza.
Merisa menatap Ayuna, ”Kamu sedang sakit, Ayuna. Kamu butuh waktu untuk pulih.”
Ayuna menoleh ke arah Merisa, lalu menatapnya, ”Sekarang, aku sudah pulih. Tapi anakku sudah tiada. Apa gunanya semua ini?”
Merisa mengambil sebelah tangan Ayuna, lalu menggenggamnya dengan erat, ”Dia tahu, kamu menyanyanginya, Ayuna. Dia selalu bertanya kapan Mama akan kembali. Dia merindukanmu.”
Ayuna terisak kembali, ”Seandainya, aku tidak sakit. Seandainya, aku tidak menitipkannya. Seandainya, aku lebih kuat.”
Kata seandainya yang berada dalam pikiran Ayuna saat ini. Merisa melihat Ayuna terpukul atas kepergian Mirza, ”Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu. Tidak ada yang menginginkan semua ini terjadi.”
Ayuna memeluk foto Mirza dengan erat. Angin berhembus pelan, menerbangkan beberapa helai rambutnya. Daun-daun pepohonan pun berguguran.
Langit sore semakin gelap, seolah meratapi nasib seorang Ibu yang kembali hanya mendapati anaknya yang telah menjadi kenangan.
****
Satu bulan berlalu …
Kring … Kring …
Ponsel Ayuna berdering
“Halo Merisa,” jawab Ayuna.
Suara Merisa di ujung teleponseperti badai yang baru saja lewat, meyiksakan reruntuhan di hati Ayuna. ”Ayuna, besok kita ke pemakaman Mirza, ya?” suara Merisa bergetar, dan Ayuna juga tahu, Merisa sama hancurnya dengannya.
Ayuna hanya bisa menggumam, ”Iya, Sa.”
Tut !
Sambungan terputus
Pagi itu, Ayuna merasa tubuhnya seolah tak bertulang. Setiap gerakan terasa berat, setiap tarikan napas menyesakkan. Merisa sudah menunggunya di depan rumah. Wajah sahabatnya itu, meski berusaha tegar, tak bisa menyembunyikan kesedihan mandala. Ia memeluk Ayuna dengan erat. Pelukan yang mengatakan lebih dari seribu kata.
Perjalanan ke pemakaman terasa sangat panjang. Pemandangan di luar jendela mobil seolah buram, tak berarti. Pikiran Ayuna melayang, kembali ke masa-masa indah bersama Mirza. Senyumnya, tawanya. Air matanya mulai menetes, perlahan membasahi pipinya. Merisa menggenggam tangannya, memberikan kekuatan yang tak terucap.
Setibanya di sana, aroma tanah basah dan bunga-bunga anyelir menusuk hidung Ayuna. Batu nisan kecil bertuliskan nama Mirza seperti jarum yang menghujam jantungnya. Mirza Pramata, 2018-2025. Angka-angka itu begitu singkat, begitu kejam. Tujuh tahun. Hanya tujuh tahun.
Ayuna berlutut, tangannya gemetar meraba dinginnya batu nisan, “Mirza … Sayang …”
Air matanya yang selama ini di tahan, kini tumpah ruah bagaikan bendungan yang jebol. Dadanya sesak, perih tak tertahankan. Ia melihat lagi wajah Mirza dalam benaknya, senyum kecil yang menghiasi bibirnya. “Kenapa harus secepat ini? Kenapa takdir begitu kejam merenggutnya?” tanya Ayuna dalam hati sambil meneteskan air mata yang tak henti-henti.
Merisa ikut berlutut di sampingnya, memeluk Ayuna dari belakang. Ia tak mengucapkan sepatah kata apapun. Ia hanya membiarkan Ayuna menangis, membiarkan semua emosi yang terpendam keluar. Bahu Ayuna bergetar hebat. Ia merangkul batu nisan itu, seolah bisa merasakan kehangatan tubuh kecil Mirza sekali lagi.
“Mama rindu, Mirza. Rindu sekali,” bisik Ayuna di antara isak tangisnya.
Angin berhembus pelan, seolah ikut merasakan kesedihan mereka. Daun-daun kering berguguran di sekitar makam, menambah syahdunya suasana. Merisa mengusap lembut punggung Ayuna, hatinya ikut teriris melihat sahabatnya begitu menderita. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa menghilangkan rasa sakit itu, hanya waktu dan dukungan yang bisa membantu.
Setelah beberapa lama, tangisan Ayuna mulai mereda, menyisakan isakan-isakan kecil. Ia menatap Merisa dengan mata sembab, ”Makasih, Sa. Makasih sudah menemaniku.”
Merisa tersenyum tipis, air mata juga menggenang di pelupuk matanya, ”Kita akan melewati ini bersama, Ayuna. Aku akan selalu ada untukmu.”
Mereka berdua duduk di samping makam Mirza untuk waktu yang lama. Ayuna menatap batu nisan Mirza, ”Dunia seakan runtuh, jiwaku membeku. Langkah kaki ini terpaksa menjauh, meninggalkanmu sendiri, dalam sunyi dan keluh. Setiap malam, wajahmu menghantuiku, senyum polosmu, tangismu yang pilu. Penyesalan merayap, mencengkeram erat. Mengapa dulu ku terbang, meninggalkanmu sesaat. Kini aku sendiri dalam sepi yang dalam. Bayangmu selalu ada, mengikir malam. Andai waktu bisa ku putar kembali, tak akan ku biarkan engkau sendiri. Oh, buah hatiku. Maafkan Mama, atas dosa yang tak terhingga. Semoga kau bahagia, di sana tanpa mama. Doa ini selalu menyertaimu, Nak. Meski raga terpisah. Cinta ini tak akan retak. Maafkan, Mama.”
Ayuna bersuara dengan lirih,
"Selamat jalan, Rozan. Suamiku."
"Selamat jalan, Mirza. Anakku."
"Aku sayang kalian."
Dalam keheningan yang penuh makna. Meskipun rasa sakit itu masih menusuk, ada sedikit kelegaan karena bisa berbagi kesedihan dengan seseorang yang peduli. kehadiran Merisa, seperti sinar rembulan di tengah kegelapan, sedikit meredakan beban di hati Ayuna. Ia tahu, jalan yang harus di tempuh masih panjang dan berliku, namun ia tidak merasa sendirian.