Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,024
Di Balik Luka Ada Rumah
Romantis

Di ambang pintu, aroma hujan menguar bersama keramaian kafe. Langit mendung, dan aku masih di sini, di sudut yang sama dengan secangkir matcha latte yang sudah dingin. Setahun. Rasanya seperti baru kemarin kita duduk di sini berbagi cerita dan tawa merajut janji yang ternyata tak terikat.

Kamu bilang, "Tunggu aku, ya." Kalimat itu terngiang, jadi melodi sendu yang nggak pernah habis. Tapi, kamu pergi. Jarak ribuan kilometer jadi dinding tebal yang memisahkan kita. Setiap notifikasi di ponsel membuat jantungku berdebar, berharap itu kamu. Tapi selalu, itu hanya pesan grup yang ramai atau notifikasi media sosial yang nggak penting.

Kadang, aku melamun. Membayangkan kamu tiba-tiba muncul di hadapanku. Dengan senyum yang sama, tatapan mata yang penuh janji. Tapi bayangan itu perlahan pudar, digantikan realita yang pahit. Kamu tak akan pernah ada.

Sahabat-sahabatku bilang, "Move on, dong." Gampang banget mereka ngomongnya. Mereka nggak tahu rasanya. Rasanya hati ini udah jadi tanah tandus, dan satu-satunya yang bisa menyiraminya cuma kenangan tentang kamu. Aku nggak bisa. Rasanya ada sebagian diriku yang hilang dan hanya kamu yang bisa menemukannya.

Hari ini, di kafe ini, aku memutuskan. Aku akan berhenti. Berhenti menunggu, berhenti berharap. Tapi, saat aku bangkit dari kursi, pandanganku jatuh pada bayangan diriku sendiri di jendela. Mataku masih sama, penuh dengan harapan yang belum padam, "Hati ini masih menunggu. Selalu menunggu. Entah sampai kapan."

****

Senja tiba. Langit berubah menjadi gradasi jingga dan ungu, namun hatiku tetap berwarna kelabu. Aku berjalan tanpa arah, menyusuri trotoar yang basah, ditemani rintik hujan yang kembali turun. Setiap tetesan yang membasahi wajahku terasa seperti air mata yang enggan kutumpahkan. Aku ingin menangis, tapi rasanya air mataku sudah habis, terkuras oleh harapan yang tak kunjung terwujud.

Ponselku bergetar. Sebuah notifikasi dari akun media sosialmu. Sebuah foto. Kamu. Bersama seorang gadis. Tawa kalian terlihat begitu nyata, begitu bahagia. Tanganmu menggenggam erat tangannya. Captionnya, "Finally found my missing piece."

Duniaku runtuh. Bukan hanya retak, tapi hancur berkeping-keping. Aku berhenti berjalan. Dadaku sesak, napasku tercekat. Foto itu seolah menjadi pukulan telak yang membuatku jatuh. Selama ini, aku menunggumu. Menunggu janji yang kau ucapkan. Sementara kamu, sudah menemukan kepingan yang lain.

Aku terduduk di bangku taman. Air mata yang selama ini kutahan, akhirnya tumpah. Bukan lagi rintik, tapi badai. Aku menangis dalam diam, membiarkan hujan menutupi dukaku. Hatiku yang tadinya tandus, kini terasa seperti padang gurun yang hangus. Kamu bukan lagi siraman, tapi api yang membakar sisa-sisa harapanku.

Aku menghapus air mata dan memaksakan diri bangkit. Kali ini, aku benar-benar akan pergi. Pergi dari kenangan, pergi dari janji, dan pergi dari dirimu. Hatiku mungkin masih remuk, tapi aku harus bangkit. Karena menunggu, ternyata bukan bagian dari cinta. Tapi bagian dari penderitaan. Dan aku, tidak ingin lagi merasakan sakit itu.

 

****

Sore itu, di bangku taman yang dingin, aku menenggelamkan diri dalam kehampaan. Ponsel di genggamanku terasa seperti batu yang berat, menyimpan rahasia pahit yang baru saja terbuka. Foto itu, senyum kalian, tautan tangan itu—semua berputar di kepalaku, seperti film horor yang tak ada habisnya. Rasanya setiap helai rambut, setiap sel di tubuhku, menjerit dalam diam.

Ada suara di kepalaku yang berbisik, "Bodoh! Mengapa aku begitu naif? Mengapa aku membiarkan diriku terikat pada janji yang rapuh? Aku ingin menghapus jejakmu, menghapus semua yang berhubungan denganmu, tapi jari-jariku bergetar. Aku tak sanggup. Kamu bukan hanya kenangan, namun sudah menjadi bagian dari diriku."

Tiba-tiba, ada getaran lain dari ponselku. Panggilan masuk. Nama yang tak asing. Bintang. Sahabat terbaikku. Dia pasti tahu. Suaranya serak saat aku mengangkatnya, "Di mana kamu? Aku lihat fotonya."

Aku tidak bisa menjawab. Hanya isakan kecil yang lolos dari bibirku. Bintang tak bertanya lebih jauh. Dia hanya berkata, "Tetap di situ. Aku jemput sekarang."

Beberapa menit kemudian, sebuah motor berhenti di depanku. Bintang turun, helmnya dilepas. Wajahnya terlihat khawatir. Tanpa banyak bicara, dia memelukku erat. Aku tak lagi bisa menahan diri. Tangisku pecah, membasahi bahunya. Aku menceritakan semuanya tentang janji, penantian, dan foto yang menghancurkan hatiku. Bintang hanya mengusap punggungku, memberiku ruang untuk meluapkan semua rasa sakit.

"Ayo," katanya pelan, saat aku mulai tenang, "Kita pulang."

Di sepanjang perjalanan, aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Bau jaketnya yang familiar, alunan lagu dari earphone-nya, semua terasa begitu menenangkan. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, aku merasa tidak sendirian. Aku memiliki Bintang. Dia adalah penantian yang nyata. Dia adalah hati yang tetap di sisiku, saat yang lain memilih pergi.

Mungkin, bukan kamu yang harus kutunggu. Tapi, kebahagiaan yang akan datang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Tapi aku tahu, aku tidak akan lagi menunggu di bangku taman itu. Aku akan berjalan, dan mungkin, akan menemukan jalan baru yang lebih terang. Jalan yang tidak lagi menunggumu.

****

Motor Bintang melaju membelah malam yang basah. Aku memejamkan mata, membiarkan angin dingin menerpa wajahku, mencoba mengikis jejak air mata. Rasanya, hari itu, aku bukan hanya mengakhiri penantian, tapi juga mengubur sebagian dari diriku. Bagian yang penuh harapan, yang percaya pada janji.

Sesampainya di depan rumahku, aku turun dari motor. Bintang melepas helmnya, rambutnya sedikit berantakan. Ia menatapku dengan sorot mata yang sulit kujabarkan. Ada kelegaan, ada simpati, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang baru kusadari.

"Maaf," kataku pelan, "Aku sudah merepotkanmu."

Bintang menggeleng, "Kamu tidak pernah merepotkanku." Suaranya terdengar begitu tulus, begitu nyata. Berbeda dengan suara lain yang hanya kuingat dari kenangan, "Kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk ragu, "Aku akan baik-baik saja."

"Kalau butuh apa-apa, telepon aku," Bintang meraih tanganku, menggenggamnya sebentar. Hangat, "Jangan pernah merasa sendirian, ya."

Aku melihatnya mengendarai motornya menjauh, hingga lampu belakangnya berubah menjadi titik kecil dan akhirnya hilang. Rumah terasa begitu sepi, namun tidak lagi dingin. Aku masuk, menyalakan lampu, dan menatap pantulan diriku di cermin. Mata bengkak, hidung merah, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada kekuatan baru yang perlahan bangkit.

Esoknya, aku membuka lembaran buku harian. Di halaman pertama, aku menulis sebuah judul: "Babak Baru." Lalu, di bawahnya, aku menulis kalimat-kalimat yang selama ini tak pernah berani kuucapkan.

"Aku berhenti menunggu. Aku berhenti berharap. Aku berhenti mencintai kenangan."

Tulisan itu, meskipun hanya sekumpulan kata, terasa begitu berat. Namun, setelah selesai, ada kelegaan yang luar biasa. Seperti melepaskan beban berton-ton dari pundak. Aku mengambil ponsel, menghapus semua percakapan lama, menghapus semua foto kita. Lalu, aku membuka akun media sosial, memblokir akunmu.

Rasanya sakit, tapi tidak sesakit saat melihat foto itu. Ini adalah sakit yang berbeda. Sakit yang membersihkan, dan menyembuhkan.

Setelah semua selesai, aku menatap langit-langit kamarku. Malam terasa sunyi, tapi hatiku tidak lagi sepi. Mungkin, penantianku yang paling berharga bukan untukmu. Mungkin, selama ini aku menunggu diriku sendiri. Menunggu saat di mana aku bisa mencintai diriku sendiri lebih dari aku mencintai kenanganmu. Dan akhirnya, saat itu telah tiba.

****

Aku tidak tahu berapa lama aku terdiam, menatap langit-langit kamarku yang gelap. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak merasa hampa. Aku tidak lagi merasa seperti rumah kosong yang menunggu penghuninya kembali. Malam itu, aku merasa seperti aku telah menemukan rumahku sendiri.

Keesokan harinya, aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Matahari pagi yang menembus jendela kamarku terasa lebih hangat. Aku membuka tirai, membiarkan cahaya memenuhi ruangan. Rasanya seperti menyalakan kembali lampu yang sudah lama padam. Aku mengambil kuas dan kanvas yang sudah berdebu. Dulu, melukis adalah caraku melarikan diri, namun setelah kamu pergi, aku kehilangan gairah itu. Hari ini, aku ingin mencoba lagi.

Aku mulai menggoreskan warna. Warna-warna yang cerah, warna yang melambangkan kebahagiaan, harapan, dan keberanian. Aku melukis sebuah pohon, dengan akar yang kuat dan kokoh, dengan ranting-ranting yang menjulang ke langit. Aku tidak tahu kenapa, tapi pohon itu terasa seperti diriku. Aku mungkin kehilangan beberapa daun, beberapa ranting mungkin patah, tapi akarku tetap kuat. Aku masih bisa tumbuh, dan aku akan tumbuh lebih indah dari sebelumnya.

Di sore hari, Bintang menelepon, "Mau makan bareng?"

Aku setuju. Di restoran favorit kami, kami berbagi cerita, tawa, dan sesekali keheningan yang nyaman. Aku menceritakan apa yang kulakukan hari itu. Bintang tersenyum, senyum yang tulus, yang tidak pernah kusadari betapa berharganya.

"Aku selalu tahu kamu akan baik-baik saja," katanya, "Kamu lebih kuat dari yang kamu kira."

Saat kami berjalan pulang, tiba-tiba aku bertanya, "Kenapa kamu selalu di sisiku?"

Bintang menatapku. Matanya memancarkan ketulusan yang murni, "Karena aku ingin menjadi tempatmu kembali, saat kamu merasa tersesat. Aku ingin menjadi alasanmu tersenyum, saat kamu merasa sedih. Aku ingin menjadi yang kamu tunggu, saat kamu merasa sendirian."

Jantungku berdebar, tapi kali ini bukan karena kerinduan yang sia-sia, melainkan karena kebahagiaan yang baru dan nyata. Aku menatap Bintang, dan aku menyadari, penantianku yang sebenarnya sudah berakhir. Hatiku yang dulu kosong dan penuh luka, kini terisi. Bukan oleh kenangan, tapi oleh kehadiran. Aku telah menemukan rumahku. Dan rumah itu, ada di dekatku selama ini.

****

"Karena aku ingin menjadi tempatmu kembali, saat kamu merasa tersesat. Aku ingin menjadi alasanmu tersenyum, saat kamu merasa sedih. Aku ingin menjadi yang kamu tunggu, saat kamu merasa sendirian."

Kata-kata Bintang mengendap di hatiku. Malam itu, di bawah kerlip lampu jalan, aku menatap matanya, dan di sana, aku menemukan cerminan diriku yang baru. Bukan lagi gadis yang duduk menunggu di kafe, tapi gadis yang berani melangkah, yang berani membuka hati untuk kebahagiaan yang nyata.

Hubunganku dengan Bintang tidak berubah dalam semalam. Kami masih menjadi sahabat. Tapi, ada lapisan baru yang kami bangun. Lapisan yang lebih dalam, lebih tulus. Kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Kami berbagi cerita, mimpi, dan ketakutan. Perlahan tapi pasti, hatiku yang sempat beku, mulai mencair.

Aku terus melukis. Kanvas-kanvas yang tadinya kosong, kini penuh dengan warna. Aku melukis senja, lautan, bahkan hal-hal sederhana seperti secangkir kopi yang mengepul. Dan di setiap lukisan, selalu ada sentuhan warna biru—warna kesukaan Bintang.

Suatu sore, di studio lukisku, Bintang datang membawa dua cangkir cokelat panas. Aku sedang menyelesaikan lukisan terakhirku. Sebuah lukisan yang paling berharga.

"Apa ini?" tanyanya, menatap kanvas.

Aku tersenyum, "Ini kamu."

Lukisan itu menampilkan Bintang. Bukan hanya wajahnya, tapi juga sorot matanya yang penuh kehangatan, senyumnya yang menenangkan, dan tangannya yang selalu siap menggenggam. Di sudut lukisan, aku menuliskan sebuah kalimat, "Rumah."

Bintang terdiam. Matanya berkaca-kaca. Dia menatap lukisan itu, lalu menatapku. "Apa ini artinya?" tanyanya, suaranya bergetar.

Aku mendekat, meraih tangannya. "Ini artinya," bisikku, "Penantianku yang sebenarnya sudah selesai. Aku tidak lagi menunggu masa lalu. Aku tidak lagi menunggu janji yang palsu. Aku menemukan rumahku, Bintang. Dan rumah itu, ada di kamu."

Di bawah tatapan matahari yang mulai terbenam, kami berbagi ciuman pertama. Sebuah ciuman yang bukan hanya menandai awal dari sebuah kisah, tapi juga akhir dari sebuah penantian. Aku telah menemukan diriku. Aku telah menemukan kebahagiaan. Dan yang terpenting, aku telah menemukan rumah.

****

Senja itu, di antara bau cat dan aroma cokelat panas, ciuman kami terasa seperti janji yang baru. Bukan janji yang rapuh seperti dulu, melainkan janji yang kokoh, dibangun di atas pondasi persahabatan, ketulusan, dan penantian yang saling menemukan. Aku tak lagi merasa cemas, tak lagi memikirkan masa lalu. Yang ada hanyalah Bintang, lukisanku, dan masa depan yang terasa begitu nyata di depan mata.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Kami menghabiskan waktu dengan hal-hal sederhana yang terasa begitu berharga. Makan mi ayam di pinggir jalan sambil tertawa, berjalan-jalan di taman kota, atau hanya duduk diam di studio lukisku, saling bertukar cerita tanpa kata. Kebahagiaan itu bukan lagi hal yang kukejar, melainkan hal yang kurasakan di setiap momen.

Suatu malam, Bintang membawaku ke tempat favoritnya—sebuah bukit di pinggir kota. Di sana, bintang-bintang terlihat begitu jelas, seolah bisa kuraih. Kami duduk berdampingan, menatap langit.

"Dulu, aku selalu melihat bintang," katanya pelan, "Aku sering merasa sendirian, jadi aku mencari teman di atas sana."

Aku menatapnya, "Kenapa sekarang tidak?"

Bintang tersenyum, senyum yang sama yang kulihat dalam lukisanku, "Karena aku tidak lagi sendirian. Aku sudah menemukan bintangku di sini." Ia menunjuk ke arahku.

Jantungku berdebar. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Di bawah jutaan bintang di langit, aku tahu, hatiku telah menemukan rumahnya yang sesungguhnya. Rumah yang tidak pernah kutinggalkan, dan yang tidak akan pernah meninggalkanku. Penantianku telah usai. Dan kisahku, baru saja dimulai.

****

Kami tidak pernah benar-benar membicarakan masa lalu. Tidak ada lagi nama yang disebut, tidak ada lagi kenangan yang diungkit. Karena setiap hari yang kami lalui bersama terasa begitu baru dan otentik. Bintang dan aku membangun dunia kami sendiri, di mana setiap momen adalah bagian dari cerita yang sedang kami tulis.

Aku terus melukis, dan kini, lukisanku tidak lagi berisi kegelapan atau melankolis. Setiap kanvas adalah cerminan dari hatiku yang bahagia. Aku melukis Bintang, senyumnya yang menenangkan, matanya yang selalu memancarkan kejujuran. Aku juga melukis diriku sendiri, dengan mata yang tidak lagi bengkak karena air mata, melainkan memancarkan binar kebahagiaan.

Suatu hari, aku menerima sebuah undangan. Itu dari sebuah galeri seni kecil di kota, yang melihat beberapa karyaku di media sosial. Mereka ingin mengadakan pameran tunggal untukku. Namanya: "Penantian yang Selesai."

Jantungku berdebar. Bukan karena ketakutan, melainkan karena kebanggaan. Aku telah mengubah rasa sakit menjadi karya seni. Aku telah mengubah luka menjadi keindahan. Aku telah mengubah penantian yang sia-sia, menjadi penantian yang berharga.

Pada malam pembukaan pameran, ruangan itu dipenuhi oleh orang-orang. Mereka menatap lukisanku, berusaha memahami setiap goresan kuas, setiap warna yang kutorehkan. Bintang berdiri di sisiku, menggenggam tanganku erat. Matanya tidak pernah lepas dari mataku, seolah mengatakan, “Aku di sini.”

Malam itu, di tengah pameran yang sukses, aku berdiri di samping Bintang. Jantungku berdebar bukan karena kecemasan, melainkan kebanggaan. Aku telah mengubah rasa sakit menjadi karya seni, luka menjadi keindahan, dan penantian yang sia-sia menjadi kisah yang berharga. Lukisan-lukisan yang terpajang di dinding, bukan hanya goresan cat, melainkan perjalanan emosional yang telah kulalui.

Seseorang dari kerumunan bertanya, "Apa arti dari judul pameran ini?"

Aku tersenyum, menatap Bintang, lalu memandang kembali ke kerumunan, "Penantianku bukan untuk seseorang, melainkan untuk diriku sendiri. Penantian agar aku bisa mencintai diriku sendiri. Dan kini, penantian itu telah selesai. Karena aku sudah menemukan rumahku."

Bintang mengenggam tanganku. Matanya memancarkan kebanggaan yang tulus. "Kamu sudah sampai," bisiknya pelan, "Dan kamu sangat indah."

Malam itu, aku menyadari bahwa cinta sejati bukan tentang menunggu seseorang yang tak pasti. Melainkan tentang menemukan diriku sendiri, mencintai setiap goresan luka, dan akhirnya, menemukan seseorang yang melihat semua itu dan tetap ingin tinggal.

Kisahku dengan Bintang bukan lagi tentang menunggu. Ini adalah tentang berjalan bersama, menciptakan kenangan baru, dan melukis masa depan yang penuh warna. Aku tidak lagi mencari bintang di langit yang jauh, karena bintangku sudah ada di sisiku, menemaniku menatap masa depan. Penantianku telah selesai, dan kisah cinta sejati, baru saja dimulai.

****

Sejak pameran itu, hidupku terasa seperti sebuah kanvas yang baru. Setiap hari adalah goresan warna yang berbeda, dan setiap pengalaman adalah lukisan baru yang kutorehkan. Hubunganku dengan Bintang pun semakin dalam, seiring dengan bertumbuhnya aku sebagai seniman dan sebagai manusia. Kami bukan hanya sepasang kekasih, kami adalah tim. Ia adalah fondasiku, dan aku adalah inspirasinya.

Beberapa bulan berlalu, dan tiba saatnya aku mendapatkan tawaran tak terduga. Sebuah galeri ternama di luar negeri tertarik dengan karyaku dan ingin mengundangku untuk pameran di sana. Ini adalah impianku sejak dulu, kesempatan emas yang bisa mengubah segalanya.

Aku menceritakan hal ini pada Bintang, jantungku berdebar kencang. Aku melihat matanya berbinar, ekspresinya penuh kebanggaan. Ia tidak ragu sedikit pun.

"Pergilah," katanya, "Ini adalah impianmu. Aku akan selalu mendukungmu."

Tapi ada sedikit ketakutan di hatiku, "Bagaimana dengan kita? Aku takut jarak akan memisahkan kami, seperti dulu. Aku takut cerita lama akan terulang."

Bintang memegang tanganku erat. "Jarak bukan lagi masalah, Sayang," katanya, "Kita tidak lagi menunggu. Kita adalah kita. Dan aku akan selalu menjadi rumahmu, sejauh apapun kamu pergi."

Kata-katanya menenangkan hatiku. Aku tahu, kali ini berbeda. Kami berdua telah dewasa, telah belajar dari masa lalu. Kami telah membangun fondasi yang kuat, yang tidak akan runtuh hanya karena jarak.

Pada hari keberangkatanku, Bintang mengantarku ke bandara. Ia memberiku sebuah lukisan kecil yang baru ia selesaikan. Lukisan itu menggambarkan dua orang yang sedang berpegangan tangan, menatap ke arah langit yang penuh bintang.

"Saat kamu merasa sendirian," katanya, "Ingatlah lukisan ini. Ingatlah bahwa aku di sini, menunggu. Bukan menunggu dengan sia-sia, tapi menunggu untuk menyambut kepulanganmu."

Air mataku menetes. Aku memeluknya erat, mencium keningnya, dan mengucapkan kata perpisahan. Saat aku berjalan masuk, aku tidak menoleh ke belakang. Aku menatap ke depan, dengan hati yang penuh. Hati yang tidak lagi menunggu, melainkan membawa serta rumahnya, ke manapun kakinya melangkah.

Penantianku benar-benar sudah usai. Dan kini, aku siap memulai petualangan baru, bersama dengan seseorang yang akan selalu menjadi rumahku.

****

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Bulan berganti, dan lukisan-lukisanku kini tergantung di galeri-galeri ternama di berbagai belahan dunia. Bintang selalu mendukungku dari jauh, pesan dan panggilan video menjadi jembatan yang menghubungkan kami. Jarak memang ada, tapi tidak lagi terasa sebagai pemisah. Kami tetap terhubung, bukan hanya melalui teknologi, tapi melalui ikatan yang jauh lebih kuat—kepercayaan.

Suatu malam, saat sedang merapikan lukisan di apartemenku di New York, ponselku berdering. Panggilan video dari Bintang. Di balik senyumnya, ada sesuatu yang berbeda. Ada kerlipan di matanya yang membuatku bertanya-tanya.

"Aku punya kejutan untukmu," katanya, suaranya terdengar misterius.

"Apa?" tanyaku, merasa penasaran.

Bintang tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.

Dua hari kemudian, saat aku kembali dari membeli kopi, aku melihat ada seseorang berdiri di depan pintu apartemenku. Sosok yang sangat kukenal, dengan jaket biru favoritnya dan senyum yang selalu menjadi rumahku.

"Bintang?" Aku tidak bisa menahan air mataku. Aku berlari dan memeluknya.

"Aku datang," bisiknya, "Aku tidak bisa membiarkanmu merayakan kesuksesanmu sendirian."

Kami menghabiskan beberapa minggu di New York, menjelajahi kota, mengunjungi museum, dan menghabiskan waktu bersama. Kami membicarakan masa depan, impian, dan keinginan kami. Suatu sore, kami berjalan di Central Park, di bawah kerlipan lampu kota yang mulai menyala. Bintang berhenti dan menatapku. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

"Kamu ingat saat aku bilang aku akan menjadi rumahmu?" tanyanya.

Aku mengangguk, air mataku mulai menetes.

"Aku tidak ingin hanya menjadi rumahmu. Aku ingin kita membangun rumah bersama. Rumah yang tidak hanya ada di hati, tapi juga di dunia ini."

Ia membuka kotak itu. Di dalamnya, sebuah cincin sederhana namun indah.

"Maukah kamu membangun rumah ini bersamaku, selamanya?"

Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya mengangguk, dan air mataku jatuh membasahi pipiku. Ini adalah akhir dari penantian yang sia-sia, dan awal dari sebuah perjalanan baru. Perjalanan yang tidak lagi tentang mencari rumah, tetapi tentang menciptakan rumah bersama.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)