Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,714
Sang Penghianat
Slice of Life

"Vanya, bangun woi!"

Terkejut dari dunia alam kesadaran, ketika seorang teman muncul dan meneriakkan di telinga. Padahal lagi asyik menghayal sesuatu membuat dirinya kembali ke alam nyata.

"Melamun apa sih? Dari tadi dipanggil juga, kayak orang mati tau gak lu!" cecar Nadia duduk di samping dan merebut laptop milik Vanya.

Vanya mengembuskan napas amat panjang kemudian beranjak dari tempat dan menuju ke dapur. Sementara temannya, serius membaca isi tulisan ada di google document di mana sang teman sedang mengetik sesuatu.

"Btw, Van. Soal cowok yang lu kenal itu gimana kabarnya?" Dapat pertanyaan dari teman, Vanya malah tidak respons apa-apa.

Sudah hampir satu bulan, kabar tentang teman dia kenal dari sosial media atau sebuah aplikasi. Tiba-tiba menghilang tanpa kabar, saat di mana dia sedang chat terakhir menjelang detik-detik ramadhan puasa. Ketika dia hampir punah dari dunia menulis. Entah kenapa dia pengen menulis sebuah cerita berupa genre religi keagamaan. Namun hal itu malah berdampak komunikasi dengan seorang teman online terputus.

"Gak tau, uda meninggal mungkin," jawab Vanya kemudian beranjak dari tempat di mana berada lalu masuk ke kamar kecil. 

"Yaelah, Van. Bisa bercanda pula, gua tanya serius loh. Gua penasaran deh perawakannya. Kira-kira perawakannya kayak apa sih? Sampai elu bisa fase galau begini?" cuap-cuap Nadia dan ikut penasaran sosok cowok seperti apa yang dikenal oleh temannya itu. 

Meskipun begitu, tidak tahu kalau temannya itu ternyata diam-diam main aplikasi buat cari teman obrolan karena saking sepi whatsapp-nya. Sehingga entah kegatalan apa yang membuat temannya itu meng-download aplikasi. Beberapa menit saat aplikasi sudah di unduh, malahan banyak ajak kenalan. Berbagai wilayah sampai sabah merauke. Yang lebih parah lagi, perkenalan itu tidak ada bagusnya. Semua ditanya sudah menikah belum, sudah punya anak berapa, janda apa masih jomlo. Pokoknya intrograsinya ditanya penuh, tidak ada yang ketinggalan sama sekali. 

Ketika temannya diam-diam dapat teman online dari aplikasi itu, ternyata Vanya tertarik dengan cowok itu. Berhubung ras mereka sama, hanya beda umat yang ditekun. Namun, beriring jalannya waktu saat komunikasi awal itu lancar jaya banget. Entah tiba-tiba satu bulan perkenalan pun tiba-tiba mulai memudar dan mulai longgar. 

Saat Nadia datang ke rumah temannya, karena sudah lama tidak kongkow. Gegara kerjaan yang padat membuat hubungan pertemanan sedikit longgar. Tumbenan saja dia mau mampir ke rumah temannya. Yang ternyata masih betah saja di rumah tanpa mau ke luar buat lihat alam mulai berubah setiap harinya. Lama-lama temannya kayak kelelawar, tentu saja kenapa disebut seperti itu, pagi, siang, sore sangat betah banget di kamar. Terkecuali buat makan dan mandi. Setelah itu malamnya baru nongol orangnya di depan. Itu juga tidak lama nangkring di depan hanya beberapa menit kemudian balik masuk ke kamar. 

"Kan, lu tanya, makanya gua jawab, dia sudah meninggal. Jadi gak ada tanda kehidupan itu chat-nya. Dia emang ada baca, tapi untuk tanda akhir online dilihat dimatikan. Jadi jelas banget, apa yang dia terima itu chat gua. Tetap saja gak tau sudah terima apa belum. Mungkin dia sudah terima tapi enggan buat balas," terang Vanya memberitahu perihal atas chat pada teman online dia kenal itu. 

"Tetap saja dia sudah php elu. Lah, elu sendiri kenapa masih mengharapkan buat yakin kalau dia bakal balas chat-nya?" 

Nadia tidak bisa berpikir jernih banget deh sama isi pikiran temannya. Meskipun begitu, dia juga seorang wanita. Sangat jelas kalau cowok dikenal sama temannya itu, hanya cari mangsa buat karena fase galau. Butuh cari tempat curhat. Setelah dia sudah dapat mangsa yang tepat, menceritakan kehidupannya. Kemudian dengan segala gombalan serta segala omongan buayanya itu, membuat kaum manapun pasti terkelepek-kelepek sama ucapannya. Pada nyata semua hanya musilat palsu doang. 

"Gua gak mengharapkan dia mau balas atau gak, gua cuma mau memastikan saja, apa dia masih mau berteman lagi. Kalau emang dia gak kunjung balas chat gua, sudah jelas memang dia yang tukang ghosting, bukan gua." 

Vanya juga tidak mengharap cowok itu masih mau berteman lagi apa tidak. Yang terpenting dia butuh alasan yang jelas. Atas apa sampai komunikasi mereka terputus setelah kesibukan itu tiba-tiba datang. Dia mengerti, karena seorang wirausaha agen sembako, pastinya sibuk terus meladenin pembeli yang datang, mengantar barang ke rumah. Memang dirinya tidak merasakan seperti itu. Di rumah juga ada buka kedai sembako meskipun bukan usaha grosir. 

Hanya saja, dia merasa bersalah banget, ketika mulai aktif buat menulis lagi di dunia penulisan online. Dia berencana membuat sebuah kisah nyata tentang pernikahan, namun akan masuk ke pembahasan konsep keagamaan. Karena dia lebih cenderung dunia ras umat cristiani. Namun, mencoba untuk menanyakan kepada teman online itu. Tepat pula kisah kehidupannya membawa sebuah ide bagus dijadikan buku novel. 

"Tetap saja elu masih mengharapkan itu cowok buat balas chat elu. Sampai kapan pun, itu cowok kalau sudah ghosting, tetap ghosting. Kata elu, dia gak bakal ghosting'kan? Ini sudah tanggal berapa? Elu chat dia terakhir di tanggal 26 Maret, kan? Sekarang sudah masuk bulan April. Berarti itu cowok emang sok care doang, asli kagak mah!" pungkas Nadia. 

Kenapa pula sang temannya malah kesal, padahal yang harus kesal itu Vanya. Malahan Vanya hanya bisa menghela tidak tahu gimana lagi buat berpikir lebih jernih. Apalagi cerita yang dia ketik sekarang stuck di tengah-tengah jalan tol. Bahkan macet, dia membayangkan, jika benar-benar terbang ke kota di mana cowok itu tinggal. Dia tidak tahu bagaimana bereaksi dengannya. Bukan itu saja, dia juga membayangkan bagaimana omongan di chat atau di telepon itu memang nyata. Pastinya bahagia sekali. 

Semua dia membayangkan sangatlah menyenangkan, apa lagi menghayal jika bertemu cowok seperti itu. Berarti bukan terjadi di buku novel dia baca, melainkan di dunia nyata juga seperti itu. Tapi, setelah semua yang diharapkan, ternyata tidak seperti dambaan diinginkan. 

"Tapi ...,"

"..., gak ada tapi-tapian, Van. Gua harap buka mata elu lebar-lebar. Di dunia gak ada yang namanya setia dan sempurna, apa lagi dengan cowok yang didambakan. Berharap boleh saja, cuma ingat, jadi wanita itu jangan bodoh karena omongan dia emang setia mau menunggu elu sampai tua. Mau elu gak nikah, gak kawin, belum tentu 100% dia setia buat menunggu. Itu hanya omongan doang, nyata belum tahu iya apa gak!" 

Nadia bersikukuh memberi pencerahan kepada temannya agar segera terbuka, jangan karena masalah ini, temannya semakin galau hingga bisa stres memikirkan. Sudah begitu, sakit, siapa yang harus disalahkan, cowok online itu saja tidak tahu kalau temannya dalam tahap tidak baik-baik saja. 

Nadia mencoba memeriksa hape milik temannya, satu per satu di cek aplikasi komunikasi, ternyata orang yang ditanya itu tidak ada balasan apapun sejak tanggal 26 Maret. 

"Ih, tega amat sih cowok belagu ini. Di chat sebanyak cuma tanda centang dua abu-abu, ckckck!" 

Nadia mengamati kawannya lagi sibuk sama buku-buku koleksi ada di rak. "Kalau gua jadi elu, lebih baik gak usah berkawan atau blokir itu kontaknya. Seenak jidatnya saja, dia yang ajak kenalan, dia yang menghilang tanpa dikasih tau sedang sibuk apa gimana. Iiihh … kok rasanya gua pengen banget cabik-cabik itu muka belagunya. Sok cakepan, kenyataan dibilang gak bakal ghosting, eh dia sendiri ghosting, bawa-bawa kaum perempuan lagi yang suka php-in." 

Mendengar omelan dari Nadia, malahan wanita yang lagi fase tidak ingin diungkit masalah itu. Malahan jadi tersenyum diam-diam. Melihat temannya sudah mulai melunak karena omelannya itu. 

"Nah gitu dong, senyum. Dari tadi merenggut mulu. Tar jadi tua muka lu. Abaikan saja soal cowok belagu itu. Seharusnya elu yang marah, kesal, dan jengkel. Napa pula gua yang kesal sama si dia? Kenal juga kagak, lain kali kalau mau kenalan sama orang lewat aplikasi, runding dulu sama gua. Biar sama-sama tau, itu orang memang pantas jadi kawan apa gak?" 

“Entahlah Nad, bingung juga. Pengen hapus gak tegaan, pengen blokir, tar dikira gua yang php-in. Serba salah jadinya.” 

Vanya jadi sosok plin-plan banget, apalagi niatnya baik buat bisa dapat teman baru. Jelas-jelas punya teman nyata banget. Ternyata malah dijadikan curhatan sesaat. Memang nasib jadi orang baik selalu dijahati seperti itu. 

“Kalau gak gini saja, elu diami dulu, biarkan gimana itu orang meskipun gak bisa lihat ada online apa gak, karena dimatikan, jadi coba elu buat beberapa status di sana. Terus buat sindiran. Merasa gak dia lihat statusmu, kalau ada, berarti itu orang emang sengaja gak openin,” ucap Nadia mengusulkan. 

Setelah dipikir-pikir, Vanya setuju yang diusulkan oleh temannya ini. “Oke deh, nanti gua coba buat kata-kata sindiran.” 

Sudah sore saja, seharian di rumah cuma duduk sambil main tik tok. Inilah keseharian dilakukan oleh Vanya saat menjelang santai. Tidak ada hal yang bisa dijadikan obrolan. Kadang edit cover sendiri dengan aplikasi berbayar. Kadang iseng duduk sambil foto pakai kamera B612. Padahal ya, buat foto tanpa efek filter sudah bagus dan cantik. Hanya saja sebagai perempuan yang memiliki rambut cowok. Lama panjang, sudah berbagai merek sampo diperoleh, tetap saja rambut tidak kunjung panjang. Soalnya sudah bosan dengan model pendek. Merindukan rambut panjang. 

Gegara cowok sialan itu, katanya suka rambut yang panjang. Sampai dia rela beli segala produk sampo yang sering muncul di iklan tik tok. Sampai hutang belanjaan yang sudah menumpuk. Padahal ya, Vanya mengunduh sebuah aplikasi online buat menambah teman-teman saja. Karena tergiur sama iklan tersebutlah. Dia penasaran, jari jemari yang gatal. Sehingga aplikasi itu terunduh dan tertempel di layar hp-nya. Lalu, apa yang terjadi setelah dirinya mengunduh aplikasi itu, banyak yang berkenalan dengannya. 

“Btw, elu kenal sama cowok berengsek itu mulai kapan?” Tiba-tiba Nadia teringat. Kemudian bertanya. 

“Gak ingat, sekitar tanggal 9 Februari gitulah. Kenapa?” jawab Haruka buat mengingat dan mencoba memastikan lagi. 

“Masih ada aplikasi yang elu unduh itu? Waktu kenalan sama elu gimana sih chatnya? Boleh gua lihat? Penasaran banget, tipe cowok gimana sampai teman gua jadi fase galau gemalau begini. Gua kayak kurang puas banget ketika dirimu punya kenalan seperti dirinya.” 

Vanya memeriksa hp, lalu bersuara, “Sudah gua hapus. Pokoknya kayak perkenalan biasalah. Memang elu biasa waktu kenal sama pacar gimana?” 

Nadia mendeceh, “Ck! Kenalan pacar gua sama cowok elu kenal, jangan disamain bedalah. Pacar gua tipe yang setia. Gak kayak cowok yang sudah duda tapi belagu sok cakepan. Fotonya ada gak?” 

Vanya membuka galeri kemudian perlihatan ke temannya. Nadia dengan cepat mengamati foto wajahnya. “Yaelah, Van. Muka tampang kayak gini dibilang cakepan? Tengok garis wajahnya, bibirnya, matanya. Sudah jelas banget. Elu sudah dibuat klepek-kelepek mulut buaya daratnya. Pantas elu susah lupain itu manusia.” 

Bagaimanapun juga buat Vanya, dia senang punya kawan kayak cowok itu. Meskipun sudah dicuekin, terus diabaikan tanpa sebab kejelasan. Yang terpenting dia merasa sudah bahagia sentosa amatlah. 

Beberapa menit kemudian, duduk seharian begini bukan kerjaan namanya. Seperti diusulkan oleh temannya. Dia mulai membuat sesuatu di ponselnya.

"Kayak gini, gimana? Sudah cocok belum kata-kata sindiran?"

Vanya perlihatkan kepada Nadia, setelah mengedit sebuah konten video di tampilkan ke tik tok, sebelum di pampang publik, dia meminta pendapat dulu sama teman satu ini. Mana tahu, ada yang kurang atas kalimat sindiran dibuatnya.

"Boleh nih. Sudah langsung upload, biar tau gimana reaksinya pas tengok statusmu, elu edit pakai apa?"

"Capcut."

"Oke, mantap, gas kuen!"

Sesuai perintah, Vanya langsung meng-upload konten video sudah diedit. Tinggal dibagikan ke berbagai media sosial. Cowok itu hanya mengetahui Instagram dan whatsapp. Selebihnya tidak ada lagi.

"Elu yakin dia bakal lihat? Takutnya dia sudah menghapus nomor kontak ku," ucap Vanya, masih ragu apakah nanti cowok itu benar-benar melihat statusnya atau tidak.

"Belum dicoba, mana bisa kita tau. Bisa jadi dia gak hapus kontak elu. Terkecuali elu yang hapus kontaknya, baru dia gak bisa lihat status itu." Nadia menerangkan, seakan dia paling paham soal dunia media sosial.

Dia sendiri sampai tidak memikirkan sampai ke sana. "Kalau misalnya, gua sudah hapus kontak dia, tapi di IG belum?"

"Ya, kita lihat saja, biasanya itu orang, kalau dalam situasi santai, dia pasti main hape, gak mungkin gak pegang hape. Terus, pasti dia juga intip dong aplikasi lain. Pas suntuk-suntuknya saja. Kalau di whatsapp dia gak bisa lihat, pasti dia cari di IG."

Vanya mulai mengerti, "Okelah, nanti kita lihat, dia benar-benar intip status apa gak."

"Sudah, elu tenang saja. Kalau dia emang gak ada niat buat php-in. Pastinya dia chat. Kalau gak chat, berarti dia ngerasa, kalau itu sindiran buat dirinya."

Vanya tidak pernah tahu kalau wawasan temannya luas. Padahal dia tidak pendidikan tinggi, beda dengan dirinya sendiri. Sudah pendidikan tinggi, kerja sudah di mana-mana. Punya kemampuan apa saja. Tapi soal asmara begini, paling lemah.

Nadia melihat jam dinding di depan, "Eh, sudah jam enam. Gua balik dulu, ya. Bisa-bisa kecarian sama emak! Pokoknya elu tenang saja. Ada apa-apa, chat oke!"

Saat temannya pamit untuk pulang, sekarang dirinya sendiri lagi. Masuk ke kamar, kemudian buka laptop. Habis itu tidak tahu mau ngapain lagi. Hari-hari yang biasa dia lakukan seperti ini adalah saat chat sama teman online itu. Kembali lagi melihat isi chat yang sempat di screenshot. Semua masih terlihat jelas kata-kata. Di mulai dari kirim pesan lewat SMS, telepon beberapa kali tidak bisa dihubungi. Sampai menggunakan tiga nomor pun tidak ada tanggapan apa pun. Seakan hampa tidak bernyawa lagi. Sangat sulit melupakan semua momen pernah dilalui.

Bagaimanapun semenjak putus dengan  sang mantan terakhir. Dia jarang berkomunikasi bahagia seperti ini. Berkenalan, kemudian ngobrol berjam-jam. Bahkan teleponan. Rasanya seperti baru pacaran pertama. Belum lagi dipanggil sayang, beb. Apakah semua itu hanya ilusi agar dirinya memang diberi kesempatan tetap senyum.

"Letak salah gua di mana, sampai dia gak mau balas chat gua. Emang salah gua bertanya soal umat agama? Padahal gua mau bikin cerita."

Vanya membuat status di whatsapp, dia hampir putus asa. Berharap banget dibalas, tetap saja, tidak ada satu pun. Hingga pulsa dia miliki juga habis. Telepon selalu tidak bisa dihubungi.

"Apa dia sudah punya teman baru, makanya gua dicuekin. Emang nasib kalau terlalu jujur, bahkan terlalu percaya sama orang lain."

Dia kembali buat status lagi di sana, tidak peduli siapa yang melihatnya. Karena dia sudah pasrah, apalagi tidak ada semangat untuk melakukan sesuatu. Berusaha apa pun tetap saja mengingat momen keseharian bersama. Sesekali dia keluar dari kamarnya, mencoba untuk tidak pegang HP, agar terbiasa. Tetap saja tidak ampuh.

Kemudian, sang mama masuk di kamarnya, dan ngobrol soal keuangan. Dirinya juga terjerat beberapa hutang dari pinjaman online. Tidak hanya itu, berapapun uang yang ada, tidak satupun tersisa di tabungan rekening.

Hal yang paling terburuk dilakukan oleh Vanya adalah belanja. Dia suka belanja barang-barang online. Selain itu, saat situasi stres, emosional terlalu tinggi. Dia akan menghamburkan keuangan tersisa di rekening tabungan, tanpa peduli, suatu hari uang itu butuh.

"Jangan Mama, aku saja bingung buat bayar hutang cicilan ini," ucap Vanya dengan suara agak kesal.

Karena satu masalah belum selesai, ditambah lagi masalah masuk membawa hidupnya semakin terbengkalai. "Aku berharap, segera dipertemukan jodoh, kalau sudah ketemu, langsung nikah. Gak usah pacaran lagi. Kalau bisa ada kerjaan, aku lamar, jika bisa kerja di luar kota. Tapi, siapa yang bisa menawarkan pekerjaan buatku? Menulis saja belum menghasilkan apa pun. Sudah kontrak, tetap saja gak bisa gajian, belum lagi menunggu sampai setengah tahun."

Dia mengomentari nasib hidup dijalani, mamanya hanya diam. Lalu bertanya, "Terus gimana kabar cowok yang kamu kenal?"

"Udah gak kabar lagi darinya. Kayaknya sudah putus kontak. Soalnya chat dia, gak dibalas, terus telepon juga gak di angkat, mungkin dia mempermainkan perempuan saja," jawab Vanya dengan muka sangat kesal dan bete banget.

"Kadang, ada kenal di online baik, ada yang gak baik. Mungkin karena dia gak nikah lagi, makanya sengaja bikin kamu baper dan teringat dia gitu?"

"Jangan harap, ingat dia. Bakal aku buktikan, emang dia saja bisa cuekin. Aku juga bisa, lihat saja nanti setelah lunas hutangku. Aku buktiin kalau orang yang dia kenal itu bukan diacuhkan!"

Dengan muka meyakinkan bahwa dirinya bisa membuktikan omongannya. Justru mamanya juga mendukung. Beginilah nasib kalau jomlo, pengen cari teman serius dan setia. Malah diabaikan, dikhianati. Sedih tapi tidak sakit.

Sudah pukul delapan malam, Hari-hari sudah dilewati. Tak terasa, besok sudah Senin. Rasanya kegiatan dilakukan oleh Vanya, seperti ini saja. Tidak ada hal baru bisa dijadikan tempat bahan yang memang bisa mengasyikan.

"Van."

Ada pesan masuk dari whatsapp. Vanya tidak ada di kamar. Dirinya sedang di luar, cari udara segar buat menghibur dirinya sendiri. Dengan duduk sambil makan camilan.

Sepuluh menit sudah cukup buat Vanya duduk di depan, sambil camilan. Waktunya dia kembali masuk ke kandangnya. Ternyata HP-nya sedang di cas. Dia periksa, di sana ada pesan masuk dari beberapa teman penulisnya.

"Ya, ada apa?" Vanya langsung balas, ada juga beberapa grup masuk, malahan sering menyimak. Karena tidak tahu apa yang mau dibahas.

Kadang setiap dia ikut nimbrung, sering diacuhkan, seakan orang asing, atau tidak terlihat. Padahal dia pengen ikut ngobrol dan berkomentar seperti teman lainnya. Hal itulah mengapa dirinya sekarang lebih banyak diam. Malas berkomentar di dalam grup atau cuap-cuap dengan orang lain. Malahan banyak yang pengen ditanyain. Kadang setiap apa di tanya, bisa dibalas tiga hari kemudian, bisa juga ditenggelamkan, seakan pertanyaan itu tidak penting bagi mereka.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)