Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,667
Rezeki di Tepi Jalan Kisah Kakek Sarno
Slice of Life

REZEKI DI TEPI JALAN KISAH KAKEK SARNO

Di sebuah desa kecil bernama Sumberjati, hiduplah seorang kakek tua bernama Sarno. Usianya sudah menginjak tujuh puluh lima tahun. Rambutnya memutih seperti kapas, tubuhnya membungkuk, dan jalannya tertatih dengan tongkat kayu yang telah menemaninya selama belasan tahun. Meski usianya tak muda lagi, semangat hidupnya tetap menyala. Ia hidup sederhana di sebuah gubuk bambu warisan orang tuanya yang terletak di pinggiran hutan, jauh dari pusat desa.

Setiap pagi, Kakek Sarno akan berjalan ke pasar membawa hasil kebunnya yang tak seberapa beberapa ikat bayam, kangkung, kadang-kadang ketela. Ia tak pernah mengeluh. Sedikit asal cukup, katanya. Yang penting halal. Hidup sendiri tanpa anak istri, Kakek Sarno menjadi sahabat semua orang di desa. Ia sering menolong warga yang kesusahan, meski dirinya sendiri tak punya banyak.

Namun pada suatu pagi yang berkabut, hidup Kakek Sarno berubah. Uang di Tepi Jalan

Pagi itu Kakek Sarno seperti biasa menapaki jalan setapak menuju pasar. Ia menyusuri jalan tanah yang basah sisa hujan malam. Di kanan-kiri hanya pepohonan dan semak liar. Namun ketika ia hendak menyeberang jalan besar yang menghubungkan kota dan desa, pandangannya tertumbuk pada sesuatu.

Sebuah tas hitam tergeletak di pinggir jalan, sedikit tertutup ilalang. Tas itu tampak baru. Awalnya Kakek Sarno mengira itu tas milik anak sekolah yang terjatuh, atau mungkin milik pengendara motor yang terserempet hujan dan lupa.

Karena penasaran, ia mendekat dan membungkuk perlahan. Ia membuka resleting tas itu dan matanya membelalak.

Di dalamnya terdapat tumpukan uang tunai. Semua seratus ribuan. Disusun rapi dalam beberapa bundel. Ia menghitung dengan gemetar. Bundel demi bundel, hingga totalnya mencapai 500 juta rupiah

Kakek Sarno terduduk. Tangannya gemetar. Nafasnya tercekat. Bagaimana bisa uang sebanyak ini ada di tengah jalan?Godaan dan Kebimbangan

Sepanjang perjalanan pulang, Kakek Sarno bimbang. Tas itu kini ia gendong, disembunyikan di balik karung berisi sayuran. Dalam hati ia berperang: Haruskah ia menyimpan uang itu? Atau mengembalikannya?

Bisa untuk merenovasi rumahku yang reyot, pikirnya. Bisa beli pupuk, ternak, bahkan membantu tetangg Tapi batinnya menolak. Ini bukan rezeki yang kakek cari, katanya pada dirinya sendiri. Kalau uang ini bukan milikku, berarti ada yang kehilangan dan menderita.

Sesampainya di rumah, Kakek Sarno mengunci pintu hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia duduk di lantai tanah rumahnya, menatap tas itu dalam diam. Malam datang tanpa jawaban pasti. Ia tak bisa tidur. Matanya memandang atap yang bocor, lantai yang dingin, dan bayangan masa depan yang mungkin berubah. Mencari Pemilik Keesokan harinya, Kakek Sarno membawa tas itu ke kantor desa. Kepala desa terkejut saat mendengar cerita sang kakek.

Lima ratus juta? tanya Pak Lurah dengan mata terbelalak. Kek, ini jumlah besar… Kek yakin ingin melapor?

Kakek Sarno mengangguk. Saya tak ingin hidup dari uang yang bukan milik saya. Kalau saya simpan, saya mungkin kenyang, tapi hati saya gelisah.

Pak Lurah lalu menghubungi pihak kepolisian dan mengumumkan temuan tersebut melalui pengumuman desa dan media lokal. Kakek Sarno bahkan diminta hadir di radio daerah untuk menceritakan kejujurannya.

Dalam beberapa hari, berita itu menyebar. Orang-orang datang ke rumahnya wartawan, tetangga, bahkan orang dari kota ingin menyaksikan sendiri siapa kakek jujur yang menemukan uang setengah miliar di jalan dan tidak menyimpannya. Kejutan Tak Terduga

Dua minggu setelah pengumuman, seorang pria paruh baya datang ke kantor desa dengan tergesa. Wajahnya pucat dan matanya sembab.

Saya saya kehilangan uang perusahaan, katanya kepada kepala desa. Tas itu warna hitam, dengan resleting perak, ada tanda X kecil di bagian bawah. Saat tas diperlihatkan dan ciri-ciri cocok, pria itu langsung menangis. Uang itu ternyata milik perusahaan logistik yang akan digunakan untuk transaksi pembelian alat berat. Karena keteledoran, ia lupa mengamankan tasnya saat turun dari mobil.

Kalau uang ini tak kembali, saya bisa kehilangan pekerjaan, katanya sambil terisak.Mendengar itu, Kakek Sarno hanya tersenyum. Berarti uang ini memang bukan milik saya. Semoga sampai kembali ke tempat yang benar. Balasan dari Semesta

Kisah Kakek Sarno menjadi viral. Tak hanya lokal, tapi nasional. Acara-acara televisi menayangkan kisahnya. Netizen memuji kejujurannya, dan dalam waktu singkat, berbagai pihak mulai menggalang donasi sebagai bentuk apresiasi.

Pemerintah daerah memberinya penghargaan Warga Teladan. Lembaga sosial memberikan bantuan renovasi rumahnya. Bahkan, perusahaan tempat pria pemilik uang bekerja memberikan hadiah uang tunai sebesar 100 juta rupiah untuk Kakek Sarno, sebagai bentuk terima kasih dan penghormatan. Namun Kakek Sarno tetap rendah hati. Saya bukan orang besar, katanya dalam sebuah wawancara. Saya hanya ingin tidur dengan tenang setiap malam, tahu bahwa saya tak mengambil hak orang lain.

Akhir yang Penuh Harapan

Beberapa bulan berlalu, rumah Kakek Sarno kini berdiri lebih kokoh. Atapnya tak lagi bocor, lantainya tak lagi dari tanah. Ia membangun warung kecil untuk berjualan kopi dan jajanan ringan, dibantu pemuda desa. Tapi lebih dari semua itu, Kakek Sarno mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari uang penghormatan, cinta dari masyarakat, dan ketenangan hati. Setiap sore, anak-anak kecil berkumpul di serambi rumahnya, mendengarkan dongeng dari sang kakek yang dikenal sebagai kakek jujur dari Sumberjati. Dan di hatinya, ia tahu kejujuran memang tak selalu membawa kekayaan instan, tapi selalu mendatangkan kedamaian yang tak ternilai. Babak Baru Hidup Kakek Sarno Setelah badai perhatian media mereda, hidup Kakek Sarno pun perlahan kembali tenang. Tapi kini, ia tidak lagi hanya menjadi kakek tua yang menjual sayur di pasar. Di mata masyarakat Sumberjati dan sekitarnya, ia telah menjadi simbol kejujuran dan integritas.

Warung Kecil yang Menghidupi Dengan bantuan uang hadiah dan sumbangan sukarela dari berbagai pihak, Kakek Sarno membangun sebuah warung sederhana di pinggir jalan yang biasa ia lewati menuju pasar. Warung itu ia beri nama Warung Sederhana Hati Lapang. Di situ, ia menjual kopi, teh, ketela rebus, dan nasi pecel sederhana. Bukan soal untung, kata Kakek Sarno tapi agar bisa tetap bermanfaat dan dekat dengan masyarakat.

Tak sedikit yang datang ke warung itu hanya untuk mendengar cerita, atau sekadar bersalaman. Banyak anak muda datang untuk bertanya tentang makna hidup, bagaimana menjalani hidup yang jujur di dunia yang penuh tipu daya. Kakek Sarno tak pernah menggurui. Ia hanya menceritakan apa adanya bahwa hidup sederhana jauh lebih ringan jika hati tidak terbebani oleh rasa bersalah.Didatangi Orang-Orang dari Masa Lalu Suatu sore yang sejuk, ketika matahari mulai condong ke barat dan warung hanya tinggal menyisakan dua orang pengunjung, seorang wanita paruh baya datang dengan mata berkaca-kaca. Ia memperkenalkan diri sebagai Wulandari, teman kecil Kakek Sarno yang dahulu merantau ke kota dan tak pernah kembali. Sampeyan masih seperti dulu, Nok Sarno katanya lirih. Hati bersih dan lapang. Wulandari bercerita bahwa setelah mendengar kisah Kakek Sarno di televisi, ia tergerak untuk pulang ke desa dan memulai hidup baru. Ia pun mendirikan kelompok tani perempuan bersama ibu-ibu janda dan lansia di sekitar desa. Kakek Sarno pun diangkat sebagai penasihat kelompok tersebut. Tak lama kemudian, anak dari saudara jauhnya yang dahulu tak pernah peduli, mulai berdatangan. Tapi bukan untuk meminta bagian dari uang melainkan untuk belajar dari sikap hidup sang kakek. Salah satunya bahkan memilih berhenti dari pekerjaan di kota dan kembali ke desa untuk bertani, dengan niat melanjutkan semangat hidup jujur sang leluhur.

Ujian Baru

Namun, hidup tidak selamanya manis. Pada suatu malam, warung Kakek Sarno didatangi oleh dua orang pemuda tak dikenal. Mereka pura-pura membeli kopi, tapi setelah pelanggan lain pulang, mereka mendekati kakek dan bertanya tentang uang 500 juta.

Kakek pasti masih simpan sisanya, kan? Ayo, bagi rezeki sama kami kata salah satu dari mereka sambil menyelipkan ancaman. Kakek Sarno hanya tersenyum tenang. Uang itu sudah kembali ke yang punya. Kalau kalian mau uang, kerja keraslah. Rezeki tidak turun dari langit, tapi datang dari hati yang jujur. Mereka pergi dengan wajah kesal, tapi tak berani berbuat kasar. Setelah itu, warga desa yang mendengar kejadian itu berinisiatif membuat jadwal ronda malam. Mereka tak ingin simbol kebaikan desanya terancam oleh orang jahat.

Penghargaan Terbesar

Beberapa bulan kemudian, Kakek Sarno menerima undangan dari gubernur provinsi. Ia diminta hadir dalam acara Penganugerahan Warga Teladan Nasional. Dengan jas pinjaman dan sarung kesayangannya, Kakek Sarno naik ke panggung di hadapan ribuan orang.Dalam pidato singkatnya, ia berkata Kalau saya tidak jujur saat menemukan tas itu, mungkin sekarang saya hidup dalam rumah megah, tapi hati saya tak akan pernah damai. Rezeki sejati bukan soal jumlah, tapi soal keberkahan. Pidato itu viral dan dikutip oleh banyak tokoh. Seorang pengusaha besar yang hadir malam itu bahkan berjanji akan membangun perpustakaan desa di Sumberjati dengan nama Perpustakaan Sarno. Untuk Jiwa yang Jujur

Akhir yang Damai

Tahun demi tahun berlalu. Kakek Sarno semakin tua, tapi ia tetap semangat ke warung setiap pagi. Anak-anak yang dulu mendengarkan ceritanya kini tumbuh dewasa. Beberapa menjadi guru, petani sukses, bahkan ada yang jadi kepala desa.

Dan setiap kali mereka ditanya siapa tokoh panutan mereka, jawabannya tak pernah berubah KAKEK Sarnoyang menemukan 500 juta di jalan, dan memilih kejujuran daripada kekayaan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)