Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,973
Diam-diam Menyukai Tante'nya Sendiri
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

1. Bayangan di Antara Tirai

Aku tidak tahu sejak kapan mulai menantikan suara langkah kaki itu. Biasanya hanya terdengar pelan, teratur, dan selalu muncul pada pukul lima lewat dua puluh setiap sore. Sepasang sandal kayu yang dipakai dengan ringan, seolah pemiliknya tak pernah ingin mengganggu bumi saat melangkah.

Dia tinggal di rumah sebelah—rumah tua berhalaman kecil dengan jendela lebar yang tirainya selalu setengah terbuka. Namanya Tante Rara, begitu aku memanggilnya, sama seperti semua anak-anak di kompleks ini dulu memanggilnya. Padahal, aku tahu dia bukan tanteku. Dia hanya sahabat lama Ibu. Seorang wanita berusia empat puluhan, berambut sebahu, dan memiliki sorot mata yang menyimpan hujan dalam diam.

Dulu, ketika aku masih remaja, aku hanya melihatnya sebagai “orang dewasa yang ramah”. Tapi waktu dan usia ternyata membubuhkan rasa yang berbeda. Ada satu sore, saat hujan jatuh perlahan di atas genteng dan listrik padam, aku melihatnya duduk di ambang jendela dengan lilin kecil di depannya, membaca buku. Saat itulah, entah bagaimana, waktu berhenti.

Sejak itu, aku mulai memperhatikan segalanya: caranya menyiram bunga, cara dia tertawa lirih saat berbicara dengan Ibu, atau saat dia berdiri di depan cermin kecil di teras, memperbaiki letak antingnya. Rasa itu muncul bukan karena ia sempurna, tapi karena ia nyata. Dan aku menyimpannya diam-diam, seperti embun yang memilih bertahan di kelopak mawar, meski tahu matahari akan datang.

2. Kopi di Cangkir Tua

Aku sudah kuliah saat itu, baru kembali ke rumah setelah satu semester penuh. Aku menemukan bahwa rumah Tante Rara tak berubah sedikit pun. Ia masih menyimpan tanaman lidah mertua di sudut tangga, masih memakai tirai renda yang sama, dan tentu saja, masih menyuguhkan kopi dengan cangkir yang sudah usang tapi harum kenangan.

“Arga, kamu makin tinggi saja. Pasti sudah banyak yang naksir,” katanya suatu sore sambil menyodorkan kopi. Tangannya halus, suaranya tenang, seperti suara radio tua yang memutar lagu-lagu lawas di waktu subuh.

Aku hanya tertawa kecil, menutupi gejolak aneh yang muncul di dadaku setiap kali ia menyebut namaku. Sungguh, hanya namaku, tapi dari bibirnya, namaku menjadi lebih bermakna dari sebelumnya.

Kami berbicara banyak hal sore itu. Tentang buku, tentang kesunyian, dan tentang cinta. Ia pernah bilang, “Kadang kita tidak jatuh cinta pada orang yang paling baik, tapi pada orang yang paling tenang menampung luka kita.” Dan aku merasa ingin menjawab, “Lalu kenapa aku justru jatuh pada luka yang kau simpan sendiri, Tante?”

Tapi tentu tidak aku ucapkan.

Aku hanya duduk di sana, menatap uap kopi yang perlahan menghilang, dan diam-diam berharap bahwa aroma kopi yang kuhirup juga adalah aroma kulit tangannya yang barusan menyentuh cangkir.

3. Surat yang Tak Pernah Dikirim

Aku pernah menulis surat untuknya. Tiga lembar penuh. Tentang perasaanku, tentang malam-malam yang kulalui dengan bayangannya, tentang suara sandal kayunya yang bahkan bisa membuatku terbangun. Tapi surat itu tak pernah kukirim. Aku hanya melipatnya rapi, menyimpannya di buku puisi Chairil Anwar, dan menguburnya di antara kata-kata yang lebih berani daripada diriku sendiri.

Aku tahu, dunia akan menertawakanku. Seorang pemuda dua puluh tahun yang jatuh hati pada wanita usia empat puluhan. Tapi bagiku, cinta tak pernah mengenal tanggal lahir. Ia hanya mengenal irama napas, detak jantung, dan sunyi yang sama.

Aku mencintainya bukan karena ia cantik—meski bagiku ia memang cantik—melainkan karena ia membuatku merasa seperti rumah. Ia tidak pernah marah saat aku diam terlalu lama, tidak pernah memaksaku bicara saat aku kehilangan kata, dan tidak pernah membuatku merasa bahwa hidup harus selalu terburu-buru.

4. Tentang Hujan dan Harapan

Suatu malam, hujan turun deras. Petir bersahutan, dan aku melihat lampu rumah Tante Rara padam. Aku nekat keluar, menyelinap dengan payung kecil, dan mengetuk pintunya.

Dia membuka dengan lampu senter di tangan. “Arga? Kamu kenapa?”

“Lampu rumah Tante mati… aku… cuma mau pastikan Tante baik-baik saja.”

Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Masuklah. Aku sedang menyeduh coklat panas dengan kompor sumbu. Mau?”

Dan di situlah aku berada, duduk di lantai ruang tengah yang hangat, menyeduh coklat panas bersama wanita yang membuat hatiku tak pernah bisa pulang sepenuhnya.

Ia bercerita tentang masa mudanya, tentang lelaki yang pernah ia cintai, dan tentang kepergiannya yang mendadak. Aku mendengarkan dalam diam, seperti menyimak puisi sedih yang ditulis dengan tinta air mata. Dan ketika ia selesai, aku hanya berkata pelan, “Kadang cinta memang tidak meminta untuk dimiliki. Ia hanya ingin dimengerti.”

Ia menatapku lama. “Kamu terlalu dewasa, Arga.”

Dan aku ingin menjawab, “Karena aku mencintaimu dalam sunyi yang panjang, Tante.” Tapi seperti biasa, hanya diam yang keluar dari bibirku.

5. Setiap Senja adalah Namamu


Musim hujan datang lebih cepat tahun itu. Jalan-jalan kompleks basah hampir setiap sore, dan suara katak bersahutan seperti puisi alam yang tak pernah lelah mengulang sajaknya.


Aku mulai datang ke rumah Tante Rara lebih sering. Kadang hanya untuk membawakan pisang goreng buatan Ibu, kadang hanya ingin meminjam buku yang sebenarnya sudah kubaca. Tapi lebih dari segalanya, aku hanya ingin melihat senyumnya dari jarak yang lebih dekat, dan berharap waktu memperlambat langkahnya ketika kami berbicara.


Pada suatu sore, saat langit berwarna perak tua dan udara dipenuhi aroma tanah basah, aku duduk di teras rumahnya, membaca puisi.


“Boleh aku dengar?” tanyanya, berdiri di belakangku dengan secangkir teh melati.


Aku mengangguk dan membaca pelan:


"Jika hujan adalah caramu menyapa langit,"

"Maka biarkan aku menjadi bumi yang selalu setia menunggu."

"Karena meski hanya diam,"

"Aku mencintaimu dari segala arah waktu."


Ia tidak langsung menjawab. Tapi aku mendengar ia menarik napas pelan, seperti sedang menahan air mata yang nyaris jatuh.


“Itu indah sekali, Arga,” katanya, nyaris berbisik.


Aku tak pernah tahu apakah ia mengerti bahwa puisi itu untuknya. Atau mungkin ia tahu, tapi memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Kadang cinta yang terlalu dalam tak perlu pengakuan. Ia hanya perlu didengar—dan didiamkan.


6. Percakapan yang Tidak Pernah Selesai


Waktu terus berjalan, dan aku mulai bekerja di luar kota. Hidup menuntutku tumbuh, dan aku memaksakan diri untuk menjauh dari bayangan yang tak kunjung bisa kugenggam.


Namun setiap kali aku pulang ke rumah, langkahku akan membawa tubuh ini kembali ke teras kecil itu, ke rumah tua dengan jendela setengah terbuka dan suara sandal kayu yang masih terngiang di telingaku.


Suatu malam aku memberanikan diri untuk bertanya, “Tante pernah berpikir untuk menikah lagi?”


Ia tertawa, namun suaranya tak seterang biasanya. “Pernah. Tapi kupikir, aku sudah terlalu lelah menata harapan.”


Aku menggenggam cangkirku lebih erat. “Terkadang, harapan bisa datang dari arah yang tak pernah Tante bayangkan.”


Ia menatapku lekat. “Apa maksudmu, Arga?”


Hatiku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tapi sekali lagi, keberanian adalah sesuatu yang selalu tertinggal dalam bayanganku.


“Tidak apa-apa… hanya berpikir keras,” jawabku, mengalihkan pandangan.


Dan seperti semua percakapan kami, lagi-lagi malam itu hanya meninggalkan udara yang padat, penuh kata-kata yang ingin diucapkan tapi memilih untuk diam.


7. Wanita Berbaju Merah


Tiga bulan kemudian aku menerima kabar dari Ibu: Tante Rara pindah. Tidak jauh, katanya. Hanya ke kota sebelah, ikut dengan adiknya yang baru saja menjanda dan butuh teman tinggal.


Aku tidak diberi waktu untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak sempat melihat jendela itu untuk terakhir kalinya, tidak sempat meninggalkan satu baris puisi pun di bawah pot bunganya.


Yang tersisa hanya ruang kosong. Dan tentu saja, kenangan yang tak pernah menua.


Beberapa bulan setelahnya, aku bertemu dengannya secara tak sengaja di sebuah pameran buku di kota. Ia mengenakan baju merah marun dan scarf abu-abu di lehernya. Ia terlihat bahagia.


“Arga?” suaranya masih sama, masih menenangkan.


Aku hanya tersenyum. “Tante… kelihatan makin muda sekarang.”


Ia tertawa, dan tawa itu membuat dadaku sesak oleh rindu yang tak sempat tumpah.


Kami hanya bicara sebentar. Ia sudah dijemput. Aku tidak bertanya oleh siapa.


Dan saat ia melangkah pergi, aku hanya bisa menatap punggungnya—punggung yang dulu selalu kutatap dari sela tirai jendela, sambil menulis puisi dalam diam.


8. Surat Terakhir


Malam itu, aku pulang ke kamar, mengambil buku puisi Chairil Anwar yang kusimpan sejak kuliah, dan membuka halaman yang menyimpan surat lama itu. Aku membacanya ulang—huruf-huruf yang ditulis oleh pemuda yang terlalu muda untuk jujur, dan terlalu pengecut untuk menantang waktu.


Aku akhirnya menambahkan satu kalimat di bagian bawah surat:


"Dan jika suatu hari nanti, kita tak lagi saling mencari… percayalah, aku tetap mencintaimu dari jarak yang tak pernah berubah."


Lalu aku menutup surat itu. Tidak, kali ini aku tidak akan membakarnya, tidak juga mengirimnya. Surat itu cukup menjadi saksi, bahwa aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita yang tak pernah benar-benar bisa kucintai dengan lantang.


Dan mungkin, itu sudah cukup.


9. Senja Tak Pernah Salah


Beberapa tahun telah berlalu. Aku kini sudah menikah. Anakku laki-laki, dan sesekali aku memandangi matanya yang tenang, mengingatkan pada seseorang yang pernah menjadi matahari di langit kelabuku.


Setiap sore, saat senja jatuh, aku suka membuka jendela dan membiarkan cahaya oranye masuk. Ada semacam kehangatan yang kembali, meski samar. Dan kadang, dalam sunyi yang panjang, aku seperti masih bisa mendengar suara sandal kayu berjalan di jalan batu, menuju rumah dengan jendela renda.


Tante Rara. Wanita pertama yang mengajariku bahwa cinta tidak harus dimiliki, dan tidak harus dijelaskan. Ia hanya perlu dijaga dalam

hati, seperti lilin kecil yang terus menyala, bahkan saat dunia berubah bentuk.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)