Masukan nama pengguna
Aku melangkah ragu-ragu ke luar dari dalam rumah, menolehkan kepala ke kiri, ke arah teras rumah Tante Sari yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. Kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di teras rumah sambil membersihkan bahan-bahan sayuran untuk hajatan, acara khitanan cucunya Ibu Sari yang akan diselenggarakan nanti malam.
Aku mengurungkan niat untuk ke rumah Tante Sari, memilih duduk di bangku teras, bersembunyi dibalik bunga jejeran pot-pot koleksi bunga anggrek milik Mama. Dari situ aku melihat seorang perempuan tengah menyuguhkan hidangan daging segar beserta minuman dari darah segar. Sesekali kudengar ia menyebut-nyebut namaku dengan nada suara sedikit ditekan. Matanya melirik ke arah teras rumah, memastikan tak ada aku atau Mama yang mendengar suaranya. Mungkin ia tak sadar kalau Mama sudah dari pagi berada di rumah itu karena dipinta Tante Sari untuk memasak.
Dari jauh kulihat perempuan pemakan bangkai itu sedang berceloteh, tak tahu siapa lagi sedang ia ceritakan. Bibirnya yang tebal itu mengot-mengot, mengekspresikan berbagai bentuk ujaran, matanya membeliak ke sana kemari, melihat wajah satu persatu orang yang ada di lingkarannya. Suaranya terdengar paling kencang, menandakan tak ingin ditandingi oleh siapapun dan ia hanya ingin di dengar, tapi tak mau mendengar.
Sebagian ibu-ibu yang suka bergunjing pasti akan turut serta menikmati santapan daging manusia yang perempuan itu suguhkan. Sementara sisanya ada yang cuma senyum-senyum saja, ada juga yang pura-pura tak mendengar melainkan sibuk dengan sayur-sayuran yang bertumpuk di depan mereka.
Kulihat darah segar mengalir dari sela-sela gigi mereka dan bau anyir darah menyebar di mana-mana. Sepertinya mereka tak perduli lagi sedang berada di mana, mereka dengan rakusnya menyantap daging segar yang disuguhkan oleh Ibu Temi dan beberapa orang ibu-ibu lainnya yang juga membawa daging yang lainnya.
Ya, begitulah. Mau di tempat hajatan, arisan RT, di warung bahkan sedang pengajian pun pasti akan selalu ada si biang gosip, selalu ada gunjingan. Di mana pun tinggal pasti akan selalu ada tetangga yang julid dan kepo.
Sebetulnya aku tidak begitu suka duduk berkumpul seperti itu, tetapi karena Tante Sari akan merayakan acara khitanan, mau tak mau, aku harus ikut berbantu di rumahnya. Tante Sari bukan hanya tetangga kami saja, tapi status beliau juga masih adik iparnya Mamaku.
Selama ini aku memang agak sedikit kurang bersosialisasi dengan tetangga-tetangga di kampung, jarang juga untuk ikut kumpul-kumpul arisan atau kumpulan keluarga. Bukan aku tak mau bersilaturahmi atau bergaul, tapi aku tak punya waktu untuk main atau cuma sekadar ngobrol doang. Setiap hari aku sibuk dengan pekerjaanku, pergi pagi dan pulang sudah sore sekali, langsung masuk rumah, istirahat dan sibuk nulis novel.
Selain itu aku memang tipe perempuan yang tidak suka bergosip atau bergunjing, karena sering kali kuperhatikan para ibu-ibu di kampung ini kalau sudah kumpul, kerjaannya tak lain bergibah. Orang yang terkenal paling julid di kampung ini adalah Ibu Temi. Tak ada seorang pun yang bisa lolos dari mulut celomes dan lidahnya yang tajam, setajam samurai para pendekar Jepang.
Aku ingat. Pada suatu acara nikahan tetangga depan lorong. Ia—Ibu Temi—pernah menelanjangiku, dengan buasnya ia mengkuliti tubuhku, menghirup darah segarku, memakan daging, jantung sampai tulang-tulangku, semua habis tak tersisa. Yang tertinggal hanya luka dalam yang sangat parah serta trauma yang membekas hingga kini.
Saat itu aku langsung pulang dan menumpahkan seluruh airmataku di kamar. Kalau saja tidak dihalangi oleh Mama dan saudaraku yang lain, sudah kupatahkan rahangnya.
Entahlah. Aku tak paham kenapa ia begitu benci sekali padaku sampai setega itu ia menelanjangiku di depan banyak orang, padahal aku tak pernah bergaul dengannya, tak pernah mengusik kehidupan keluarganya, tak pernah juga mau tahu apa yang terjadi dengan keluarganya. Tapi ia begitu gemar sekali menjadikanku santapan favorit keluarganya.
Bukan hanya dengan tetangga-tetangga, tetapi ia kerap membagikan daging tubuhku dan darah segarku kepada anak-anak kandungnya juga kepada anak-anak murid mengaji Mamaku..
Ia bilang aku perawan tua yang tak laku, pembohong, pengkhayal, pembual. Mengaku seorang penulis dan wartawan, padahal aku cuma numpang hidup dengan orangtuaku. Ia katakan pada semua laki-laki di kampung kalau aku penyakitan dan tak mau pacaran jadi tak usah didekati.
Aku heran, kenapa ia sibuk sekali mengurusi hidupku. Ah, kurasa ia bukan cuma mengurusi hidupku, tapi juga hidup semua orang. Di mana ia duduk selalu ada saja orang yang dijadikannya bahan pembicaraan. Pas sekali bukan kalau ia diberi julukan perempuan pemakan bangkai?!
Semenjak kejadian itu dulu, hubunganku dengannya dan dengan anak-anaknya tak lagi baik. Apalagi sejak Ena—putri sulungnya—merebut calon suamiku dan menyebarkan fitnah di media sosial kalau aku selingkuh dengan Satria. Azam yang tak mau bertabayun terlebih dahulu langsung saja membatalkan taarufnya denganku. Beberapa bulan kemudian ia menikah dengan Ena.
Menyakitkan sekali bila teringat kejadian itu.
Aku masih duduk di teras dengan tangan menggenggam gawai dan mata menerawang, menyusut kenangan beberapa tahun silam, ketika Mama datang dan menegurku.
“Ayla.” Tegur Mama yang tiba-tiba sudah ada di depanku.
Aku tergagap, lalu tersenyum dan bertanya: “Kok sudah pulang, Ma?”
“Mama mau ambil wajan besar buat ungkep ayam.” Sahut Mama. “Kok kamu masih di sini. Bantuin sana, tadi juga Tante mencarimu.” Sambung Mama sambil berlalu masuk ke dalam.
Bukannya langsung pergi ke rumah Tante Sari, aku malah mengikuti Mama masuk ke dalam rumah, menyusulnya ke gudang.
“Malas Ayla tuh sebenarnya, Ma. Apalagi ada Ibu Temi di situ.” Kataku, membantu Mama menurunkan wajan jumbo dari atas lemari di gudang penyimpanan.
“Nggak usah ikut gabung dengan orang-orang di depan, kamu bisa di dalam bantuin pekerjaan yang lain. Nggak enak sama Tante Sari kalau kamu nggak ke situ. Terus untuk apa izin kerja kalau nggak mau ke situ?” sahut Mama tanpa melihatku karena matanya sibuk mencari barang-barang yang lain untuk dipinjam sama Tante Sari.
Aku diam saja, berjalan mengikuti Mama ke luar rumah.
“Ayla, bila kedua tanganmu tidak bisa kamu gunakan untuk membungkam mulutnya maka gunakanlah kedua tanganmu untuk menutupi kedua telingamu. Sabar dan biarkan saja dia mau bicara apa saja, sebaik-baik pembelaan adalah menghindari mudarat. Nggak usah di kunci pintunya, Mama masih akan keluar masuk untuk mengambil barang.” Sambung Mama.
Aku mengangguk, menutup pintu dan mengikuti Mama masuk dari pintu belakang.
“Ke mana aja, Teh, kok baru muncul. Tante kira kamu kerja.” Tante Sari langsung menyambutku dengan sangat ramah.
“Nggak. Ayla izin hari ini. Tadi beres-beres rumah dulu, mandi, baru ke sini.” Aku tersenyum pada Ibu Sari, menyalaminya dan bertanya: “Mana Devan?”
“Ada di dalam. Masuk aja. Devan, ada Ammah nih.” Katanya sambil menggandeng lenganku, membawaku masuk ke ruang tengah, menemui Devan yang sedang asyik main game.
Devan menghampiriku, mencium tanganku dengan takjim. Ia tertawa girang saat kutempelkan amplop di tangan kanannya dan langsung berteriak: “Terima kasih Ammah.”
“Sama-sama sayang. Selamat menempuh bentuk baru ya,” kataku menggodanya, ia tersenyum malu-malu sambil menaikan sarungnya hingga ke dada.
“Ammah nggak lihat aja gimana serunya Devan di sunat kemarin. Heboh pokoknya.” Cerita Tante Sari dan Susan—ibunya Devan.
“Oya? Heboh gimana?” tanyaku penasaran.
Susan langsung menunjukan rekaman video pas Devan di khitan hari rabu pagi lalu, anak itu bukannya menangis tapi malah berceloteh ala standup comedy, sesekali dia berzikir, membaca Asmaul Husna sehingga membuat perawat dan semua yang hadir tertawa terbahak-bahak menyaksikan ulah Devan. Aku pun tak kuasa menahan geli melihat hasil rekaman itu.
“Abi kami dulu pinter, idaklah nangis pas di sunat, idak jugo lebay cak Devan[1] ….” Tiba-tiba perempuan pemakan bangkai masuk dan langsung berkata dengan suara cempreng serta bahasa Palembang yang sangat kental. Tawaku dan tawa Susan langsung terhenti seketika melihat kehadirannya.
“Anak tuh kan beda-beda, Wak.” Sela Tante Sari.
“Iyolah. Tapi Abi kami dulu hebat nian, dak takut, dak nangis, pas lagi disunat be matonyo dak galak ditutupi[2].” Katanya tak mau mengalah. Ia selalu ingin menang dalam segala hal, ingin selalu terlihat bagus di mata semua orang dan ingin selalu di dengarkan.
Aku dan Susan saling mengedipkan mata sambil mengulas senyum tipis. Jujur saja aku sudah muak melihatnya, apalagi mendengarkan celotehannya. Aku langsung pergi ke ruang tamu, membantu Nindra lap piring.
Kudengar dari ruang tamu pembicaraan Ibu Temi semakin bertambah seru setelah datang Ibu Inem. Kali ini yang dominan suara Ibu Inem. Ia seperti berbisik-bisik pada Ibu Temi, Ibu Lia dan Ibu Septi. Bisikan yang tidak cukup halus sehingga menendang gendang telingaku. Aku mulai merasakan aura panas. Percikan api menyulut jantungku. Nindra—sahabatku sewaktu SMA—berbisik padaku.
“Tutup kuping aja, Ay. Jangan dimasukan ke hati. Orang-orang seperti kita memang rentan dari gosip.” Bisiknya, menyentuh jemari tangannya yang sudah mengepal.
Aku mengangguk. Nindra sama sepertiku, kami sama-sama diuji dengan penantian yang panjang.
“Iyo. Haramkan hukumnyo boncengan motor samo betino yang bukan muhrim kito? Kato aku dengen Bapak kamu, harus solat tobat kamu tuh[3]. Beduso kalu idak.” Kato Bu Inem dengan nada emosi yang meletup-letup.
“Bukan. Nak kemano dio tuh melok-melok Mang Jidan tuh?[4]” tanya Bu Temi.
“Nak pegi kerjo katony, ketemu di jalan lagi nunggu angkot, laju diajak oleh Bapak kami[5].” Sahut Bu Inem.
“Nah, hati-hatilah kau, Nem. Perawan tuo itu gek goda laki kau[6].” Perempuan pemakan bangkai itu menambahkan bon cabe pada kalimatnya.
“Itulah aku ngomong dengen Bapak kami, dio mesti solat tobat dulu empat puluh hari, mun dak tuh, dak diampuni Tuhan dusonyo[7].” Kata Bu Inem semakin berapi-api.
Tiba-tiba kudengar celetukan dari Tante Syani: “Dari mano dalilnyo kau nih, Nem. Jangan sembarangan ngomong dengan laki. Wong nih tabayun dulu, belum tentu mereka pegang-pegangan tangan, atau pelukan pinggang.[8]”
“Jalan sepanjang itu dak mungkin mun dak kesenggol, Wak Syan. Lagian sepanjang jalan tuh ado cctv, pacak keno tilang, dak behelm pulok mako[9].” Kata Bu Inem yang dibumbui oleh Bu Temi.
“Iyo. Sekarang ini tilang tuh dak langsung di tempat. Gek tahu-tahu ado surat tilang yang datang ke rumah[10].” Ujar Bu Temi.
“Oy. Lolo galo kamu nih. Mano adolah cem itu. Kau, Nem ye, ngapo kau dak ke kantor polisi be, minta lihat cctv jalanan tuh, jingok ado nian apo idak laki kau tuh pelukan dengan si Ayla. Dak boleh kau nih cak itu, fitnah itu namonyo[11].” Ujar Tante Syani dengan suara menggeram kesal.
Aku sudah tidak tahan lagi, langsung berdiri, masuk ke ruang tengah, mengambil bawang Bombay dan melemparkan ke tampah berisi tumpukan bawang merah di tengah-tengah mereka.
“Astagfirullahal’azhiim. Bisa diam nggak sih. Harus berapa kali kujelaskan. Kalau hari itu aku sudah menolak untuk ikut Mang Jidan, tapi dia bilang sekalian lewat apa salahnya ikut. Aku sudah minta untuk turun di Plaju saja, tetapi ia bilang tanggung sekalian saja. Lagian duduknya juga jauh nggak dekat-dekat, nggak peluk pinggang atau pegang jaketnya. Sama sekali nggak. Demi Allah, demi Rasulullah.” Kataku pelan tapi cukup penuh tekanan. Aku mengambil Al-Qur’an di atas meja dekat televisi.
“Berdiri. Sekarang kita bersumpah pakai Al-Qur’an. Kalau aku berbohong, maka aku akan sakit besok, tapi kalau Bu Inem yang menyebarkan finah, Bu Inem yang akan busuk mulutnya oleh sariawan.” Kataku tegas.
“Ngapo kau nak marah-marah kalau memang kau ngelakuke itu?[12]” sela si perempuan pemakan bangkai.
Aku menatap keduanya tak berkedip sama sekali.
“Diam kamu. Kalau nggak tahu persoalannya jangan ikut campur. Nggak kenyang-kenyang makan daging orang.” Kataku dengan nada suara ditekan.
“Ayo, kita ke kantor polisi sekarang. Kita lihat cctv dan buktikan sendiri siapa yang benar dan siapa yang penyebar fitnah.” Kataku lagi.
“Iya benar. Aku setuju sama Ayla. Biar nggak nyenyes mulut wong ini.” Sahut Tante Syani. “Nanti aku temani sebagai saksi.” Imbuhnya lagi.
“Ada apa ini?” tanya Eka, ayahnya Devan.
“Teh, sudah, Teh, nggak usah diladeni.” Bujuk Tante Sari, menarik tanganku.
Kutepiskan tangan Tante Sari, “Nggak bisa, Tan. Ini harus diselesaikan. Tambah lama fitnah yang menyebar tambah panjang. Yang nggak ada dibuat-buat jadi ada. Apalagi perempuan pemakan bangkai satu ini. nunggu strok mulutnya mengot baru tahu rasa dia. Panggil Mang Jidan ke sini. Kita selesaikan sekarang.”
“Teh. Sabar.” Bujuk Eka.
“Sudahlah, Ay.” Mama langsung memelukku, menenangkan hatiku.
“Dengar semua ya, pasang telinganya. Aku bersumpah demi Allah, seujung kuku pun tidak pernah menyentuh Mang Jidan, apalagi untuk memeluk pinggangnya. Bukan aku yang minta ikut, tapi Mang Jidan yang mengajak dan menawarkan untuk mengantar sampai Monpera. Jika aku berbohong, maka aku akan mati hari ini juga, tapi jika Bu Inem dan perempuan pemakan bangkai ini terus menyebar fitnah, maka mereka akan kena penyakit. Allahu Akbar.” Teriakku sambil menangis. “Semua jadi saksinya ya.” Sambungku lagi.
Sebelum aku bicara menyerang mereka, aku sudah membaca doa pembungkam yang diajarkan oleh Papa sehingga Bu Inem itu tergagap tak bisa balas menyerangku. Mata Ibu Inem dan Ibu Temi terbelalak, wajah mereka seketika pucat pasi.
“Sekarang kalian yang mengucap sumpah. Berani nggak?” kataku melotot.
“Ayla. Sudah, Nak. Yuk pulang, kita pulang.” Ajak Mama. Tante Sari mengambil Al-Qur’an di tanganku.
Sementara kedua orang itu bergeming di tempat tanpa suara. Mungkin mereka nggak menyangka kalau aku akan marah dan mengajak mereka bersumpah. Sebetulnya aku tidak ingin meladeni mereka, tidak ingin juga bersikap seperti tadi, tetapi ini akan semakin buruk bila tidak segera diklarifikasi. Masalahnya mereka bicara disebuah acara hajatan di rumah tetangga yang dihadiri oleh banyak orang.
Kemarin-kemarin aku sudah cukup sabar menghadapi mereka, terutama si perempuan pemakan bangkai itu, tapi tak juga sadar dan mau berubah. Aku bukan malaikat yang tetap baik-baik saja meski digunjingkan dan difitnah orang. Aku manusia yang mempunyai emosi serta keinginan untuk membela diri.
Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan menumpahkan seluruh tangisku di sana. Kalau tahu bakal seperti ini jadinya, mungkin aku benar-benar bertahan dan menolak ajakan Mang Jidan, rasanya lebih baik kesiangan sampai di kantor dari pada menelan fitnah. Tapi semua sudah terjadi, waktu pun tak bisa diputar balik untuk mengulang cerita yang berbeda.
“Ay. Boleh Mama masuk?” kata Mama dari luar.
Aku cepat-cepat menghapus pipiku yang basah, berkata dengan suara serak: “Masuk saja, Ma. Nggak dikunci kok.”
“Ayla.” Mama menghampirku dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
“Sudah jangan nangis, Nak. Perempuan itu memang dekat sekali dengan fitnah. Mau dia sudah menikah atau belum menikah, janda atau masih punya suami, sudah punya anak atau belum punya anak, selalu ada saja yang ingin digunjingkan orang dari perempuan.” Bisik Mama.
“Demi Allah, Ma. Sedikit pun nggak ada niat buat merebut suami orang, apalagi punya tetangga sendiri. Kalau Ayla mau seperti itu, mungkin sudah lama Ayla menikah dan kalau memang mau jadi pelakor, banyak laki-laki kaya dan jauh lebih baik dari Mang Jidan untuk Ayla goda, tapi Ayla bukan perempuan murahan, Ma. Ayla belum menikah sampai umur segini juga bukan maunya Ayla, tapi Allah yang berkehendak. Kenapa Ibu Temi itu sibuk banget ngurus Ayla?” Cerocosku penuh emosi dengan airmata yang terus bercucuran.
“Iya. Mama percaya sama Ayla. Mama juga nggak menyalahkan Ayla kok. Padahal kan Mama sudah menjelaskan semuanya kepada Bu Inem, tapi dia masih juga begitu. Malah cerita ke mana-mana. Sudah kamu diam saja, nggak usah diladeni lagi mereka, biar Allah yang membalas semua perlakuan mereka.” Kata Mama, menghapus airmataku dengan ujung jarinya.
“Tapi kan bikin jengkel, Ma. Yang terjadi sesungguhnya dengan yang dia katakan itu sudah berbeda, Ma.” Keluhku, meremas bantal.
“Iya Mama paham. Ini adalah bagian dari ilmu sabar yang harus kamu tingkatkan. Biar saja mereka mau menggunjingkanmu seperti apapun, di akhirat nanti, seseorang yang suka bergibah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah oleh orang yang digibahi. Amal kebaikannya pun akan dibayarkan kepada orang-orang yang pernah dizalimi, termasuk kepada orang-orang yang pernah digibahnya. Kemudian setelah amal kebaikannya habis, amal keburukan orang yang dizaliminya ditimpakan kepada dirinya. Sudah jangan sedih dan jangan tunjukan kekesalanmu kepada siapapun. Allah Maha Tahu, Nak. Allah tidak tidur. Sabar ya.” Aku tertunduk mendengar nasihat Mama.
Bukankah aku manusia juga, aku bisa marah dan tentu saja boleh kan membela diri sebab aku tidak pernah berbuat seperti yang mereka bicarakan. Jujur aku sakit hati jadinya.
“Ya sudah. Kamu di rumah saja, Mama mau ke sana lagi ya.” Kata Mama mengusap kepala dan mencium ubun-ubunku.
“Iya, Ma.” Kataku membiarkan Mama berlalu.
Aku masih belum puas, hatiku masih dongkol dan ingin sekali memberi pelajaran kepada Bu Inem dan Bu Temi. Karena setelah hari itu mereka tetap aktif membahas perihal ini. Bu Inem sendiri, orang yang selama ini kukenal cukup pendiam, ternyata punya mulut yang tak kalah celomesnya dengan Bu Temi. Ia terus menebar benih kebencian dan fitnah, bukan cuma untuk mempermalukanku, tetapi tanpa ia sadari, ia juga telah mempermalukan dan membuka aib suaminya ke mana-mana.
Ya … sudah pasti sejak kejadian itu hubungan bertetangga pun menjadi tidak baik. Ibu Inem dan Ibu Temi tak mau menegurku, begitu juga aku yang menjadi trauma dan menghindari kontak dengan semua laki-laki. Aku memilih pergi kerja dengan menggunakan ojek online atau naik angkutan umum seperti biasanya. Aku selalu menolak ajakan siapapun termasuk pamanku sendiri. Pulang kerja langsung masuk rumah dan tidak keluar lagi. Aku jarang bersosialisasi lagi dengan orang-orang kampung.
***
Sudah beberapa hari ini aku tak melihat ibu-ibu kumpul di rumah Ibu Inem yang rumahnya ada di depan rumah Tante Syani. Ia juga tak terlihat keluar rumah beberapa hari ini. Kata Tante Syani, Bu Inem sakit, pagi tadi dibawa ke rumah sakit karena pipi kedua pipinya bengkak dan merah. Mungkin sakit gigi.
Aku tak perduli dan tak mau perduli lagi. Aku tak mau jadi bahan fitnahan dia, nanti kalau aku membesuknya, dia malah mengira aku mau mendekati suaminya. Akan tetapi kemudian jadi sangat peduli ketika kudengar selentingan kalau aku yang mengutuk Bu Inem sehingga ia menderita sakit yang tak jelas dan yang menyebarkan fitnah itu tak lain serta tak bukan adalah Bu Temi.
“Tau dak. Inem tuh sakit keno sumpah si Ayla. Dikutuknyo jangan-jangan. Kito dak taukan, mungkin dio dendem kerno dituduh pelakor[13].” Kata Bu Temi suatu sore berbisik-bisik dengan Bu Endah tepat di depan lorong dan saat aku pulang kerja. Melihatku keduanya langsung diam dan bubar.
Baiklah. Akan kukabulkan permintaan dia.
Malam ini aku mengambil sebutir telur ayam kampung, ehm, tidak ... bukan sebutir tetapi dua butir. Satu untuk Bu Inem dan satunya lagi untuk Bu Temi. Kurasa dua butir ini cukup untuk membungkam mulut mereka.
Bukan cuma aku yang terluka oleh lidah mereka tetapi ada banyak orang yang juga mereka lukai. Orang-orang yang terzalimi itu tak mempunyai keberanian untuk membalas, kecuali menerima dengan airmata dan dada yang penuh gumpalan amarah.
Mulutku komat-kamit di depan mulut panci. Setelah beberapa menit akhirnya telur itu matang. Belum matang sempurna baru setengah matang, sebab ini bukan untuk mencelakai hanya ingin memberi sedikit pelajaran. Kusimpan telur-telur tersebut dalam sebuah stoples gelap dan menyembunyikannya di dalam lemari barang-barang. Kemudian aku pergi tidur dengan senyum puas.
Tepat pukul empat dini hari, kudengar suara berisik di belakang rumah. Aku tergesa-gesa keluar dari kamar, Mama pun begitu. Sampai di ruang tengah, kami berdua saling pandang dan saling melemparkan tanya dengan isyarat mata.
“Ada apa, Ma?” tanya setelah beberapa detik berlalunya keheningan.
“Nggak tahu. Suaranya dari arah rumah Bu Temi.” Mama menyibakan tirai jendela samping.
Aku menarik napas dan kembali ke kamar. Baru saja hendak merebahkan tubuh di ranjang, terdengar suara ketukan pintu. Aku buru-buru ke luar lagi. Kulihat Mama sedang bercakap-cakap dengan seseorang di depan pintu. Aku hanya berdiri menunggu, berdiri di antara ruang tengah dan ruang tamu.
“Siapa, Ma?” tanyaku.
“Bu Temi kena strok, dibawa ke rumah sakit barusan. Dia kaget karena Ena dicerai sama suaminya dan Eryn gagal menikah.” Ujar Mamaku, tersenyum tipis memandangku.
“Innalillahi.” Seruku lega dan puas, merasa dendamku telah terbalaskan.
Ilmu yang diajarkan Nenek ternyata cukup manjur juga. Kataku membatin. Ini untuk pertama kalinya aku melakukan ini karena sudah merasa sangat kesal.
“Jadi, Nak. Tak perlu membalas perlakuan buruk orang dengan keburukan yang sama, toh siapa yang menanam, dia yang akan memetik hasil dari tanamannya sendiri. Allah lebih tahu apa yang kita tidak tahu.” Kata Mama, menggiringku ke ruang tengah.
“Iya, Ma.”
“Pecahkan dan buang telur itu, jangan menambahi dosa yang sudah digugurkan oleh orang yang memfitnahmu. Setelah itu, ambil wudu, kita salat tahajud. Ingat ya, jangan sampai hatimu dipenuhi oleh dendam.”
Aku terdiam mendengar ucapan Mama.
“Maafkan Ayla, Ma. Ayla cuma ingin memberikan pelajaran sama mereka.”
“Biar Allah yang mengurus semuanya.”
Aku mengangguk dan segera ke dapur untuk mengambil dua butir telur dalam stoples dan memecahkannya. Setelah itu terdengar pekik kesakitan dari arah depan lorong. Bu Inem mengerang kesakitan karena telur yang bertuliskan namanya kubantingkan dengan sangat keras.
TAMAT.
[1] “Abi kami dulu pintar, nggak nangis pas di sunat, nggak juga lebay seperti Devan.”
[2] “Iyalah. Tapi Abi kami dulu hebat sekali, nggak takut, nggak nangis, pas lagi disunat aja matanya nggak mau ditutup.
[3] “Iya. Haramkan hukumnya boncengan motor sama perempuan yang bukan muhrim? Kataku sama Bapak kami, harus salat tobat kamu tuh, berdosa kalau nggak.”
[4] “Bukan. Mau ke mana dia tuh ikut-ikut Mang Jidan tuh?”
[5] “Mau pergi kerja katanya, ketemu di jalan lagi nunggu angkot, terus diajak sama Bapak kami.”
[6] “Nah, hati-hatilah kamu, Nem. Perawan tua itu nanti menggoda suamimu.”
[7] “Itulah aku bicara dengan Bapak kami, dia harus salat tobat dulu empat puluh hari, kalau nggak tuh, nggak diampuni Tuhan dosanya.”
[8] “Dari mana dalilnya kamu nih, Nem. Jangan sembarangan kalau bicara dengan laki. Orang nih tabbayun dulu, belum tentu mereka pegang-pegangan tangan, atau pelukan pinggang.”
[9] “Jalan sepanjang itu nggak mungkin kalau nggak kesenggol, Wak Syan. Lagian sepanjang jalan tuh ada cctv, bisa kena tilang, maka nggak pakai helm pula.”
[10] “Iya. Sekarang ini tilang nggak langsung di tempat, tahu-tahu nanti ada surat tilang yang datang ke rumah.”
[11] “Oy. Bodoh semua kamu nih, mana ada yang seperti itu. Kamu, Nem ya, mengapa kamu nggak ke kantor polisi saja, minta lihat cctv jalanan, lihat ada benar apa nggak suamimu pelukan sama si Ayla. Nggak boleh kamu nih seperti itu, fitnah itu namanya.
[12] “Kenapa kamu mau marah-marah kalau kamu memang melakukan itu?”
[13] “Tahu nggak, Inem tuh sakit karena kena sumpak si Ayla. Dikutuknya jangan-jangan. Kita nggak tahu kan, mungkin dia dendam karena dituduh pelakor.”