Masukan nama pengguna
Namaku, Anggrek. Aku tinggal di dalam hutan di atas puncak Gunung Cikuray, menetap pada sebuah rumah yang cukup besar dan nyaman. Di asuh oleh seorang inang yang sangat baik, memberiku makan yang lebih dari cukup, merawat dengan sepenuh hati, bahkan rela membagi oksigennya supaya aku tetap hidup dan tumbuh menjadi bunga terindah.
Suatu hari, seorang lelaki berwajah rupawan, senyumnya memikat, hidungnya yang tinggi mampu mengendus keharuman Anggrek yang berada di puncak gunung. Ia pendaki yang nekat, mendaki gunung tanpa membawa bekal serta perlengkapan pendakian, hanya untuk memetikku, Anggrek yang menjadi rebutan banyak pendaki lelaki.
Ia memintaku kepada inang dengan cara yang sangat indah, halus sehingga mampu meluluhkan hati Inang yang teguh dan kuat. Dengan penuh suka rela Inang menyerahkanku kepada Aksara Semesta—nama lelaki itu. Aksa membawaku ke kota, merawatku sangat baik, dan menyuburkan cinta setiap hari sehingga bunga-bungaku bermekaran penuh suka cita.
Namun sejak kehadiran Fida, Aksa mulai berubah. Fida berasal Palembang, ia ibarat kembang montera, si daun hijau yang tubuhnya penuh lubang-lubang, yang katanya penampilannya sangat indah memikat, modis, full makeup, gaya, mandiri, seorang pengusaha wanita yang bisa mencetak uang banyak dan cerdas hingga memikat hati orang-orang, tak terkecuali Aksa.
Perhatian Aksa kini berpusat ke arah Fida. Bibirnya tak lepas mengulas senyum saat ia membicarakan keindahan Fida. Di matanya, aku kalah jauh dibanding Fida. Aku lelah membela diri, hatiku hancur di racuni kecemburuan, ia mulai tak perduli padaku. Aku sakit hati, Aksa rela mengeluarkan ratusan ribu untuk mahar Fida dan memindahkanku di luar rumah, mengganti hiasan kamar dengan kembang baru.
Inang datang menjemput, menangis melihatku terluka, terlantar dipekarangan. Inang membawaku pulang ke gunung, merawat luka dan menyuburkan hatiku dengan doa-doa sampai aku sembuh dan mulai merawat diri, mulai melupakan sakit hati.
Dari seorang pendaki sahabatku, aku baru tahu kalau Fida kini telah pergi dari rumah Aksa, dibawa minggat oleh seorang konglomerat dengan mahar ratusan juta rupiah. Aksa frustasi, gajinya telah habis untuk membayar utang-utang perawatan kecantikan Fida.
Aku tertawa menang, saat Aksa datang ke rumah ingin memintaku kembali padanya, tapi Inang melarangku untuk menemuinya.
“Biar Inang yang bicara padanya.” Inang menahanku di kamar.
Aku mengintip dari balik lubang kunci kamar, Aksa menunduk, wajahnya terlihat kusut, lusuh, tak terawat. Wajahnya dipenuhi jambang, matanya cekung, tubuhnya kurus, sinar matanya redup. Kasihan Aksa.
“Maafkan saya, Inang. Saya sangat menyesal telah salah menilai rupa, saya datang untuk menjemput Anggrek.”
“Memaafkan memang bisa menyembuhkan luka dan menenangkan hati, tetapi tak akan bisa menampal lubang di hati. Ini jadi pelajaran untukmu Aksa. Mencari istri yang cantik memang banyak, namun istri yang setia, yang mampu bertahan di saat suka, duka dan mau menerima segala kekurangan suami sungguh langkah. Kau terus memuji wanita lain dihadapan istri, tanpa kau sadari itu menghancurkan hati istrimu, melunturkan cinta. Kini kau memintanya kembali? Sayang sekali, Inang bukan ibu yang bodoh, mau menyerahkan putrinya untuk dilukai dua kali. Pulanglah, kembalilah lagi setelah kau benar-benar paham bagaimana artinya menjaga tanpa melukai.”
Aku yakin ucapan Inang bukan hanya membuat hati Aksa kecewa dan hancur, tetapi tubuhnya pun remuk. Aku tersenyum penuh kemenangan.