Flash
Disukai
7
Dilihat
14,658
SEPASANG MUG YANG MERINDUKAN BIBIR
Romantis

Aku bersorak gembira, ketika kamu mengabarkan kalau kita akan pindah ke rumah baru. Rumahnya indah, nyaman, asri, halamannya luas dipenuhi dengan berbagai macam bunga, yang paling banyak adalah bunga anggrek, ceritamu pada malam sebelum kita tidur.

Rumahnya tidak terlalu besar dan mewah, sederhana saja, klasik dengan dinding dan lantai terbuat dari kayu jati nomor satu. Cuma ada dua kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu, ruang tengah, dapur sekaligus pantry. Cocok untuk sepasang pengantin baru seperti kita, sambungmu lagi sebelum kita terlelap di nina bobokan oleh khayalan.

“Kamu pasti akan menyukai rumah itu.” Katamu bahagia, melirikku yang merebahkan kepala di dada bidangmu.

“Tentu saja. Di mana pun tinggal, asal bersamamu, pasti akan sangat menyenangkan.” Kataku dengan mata berbinar-binar. Kamu merangkulku dan menghadiahi sebuah kecupan di pipi.

“Tidurlah, besok pagi-pagi pindah ke rumah baru.” Bisikmu. Aku mengangguk dalam dekapanmu.

Esoknya. Selama dalam perjalanan aku membayangkan hari-hari indah yang akan kulalui bersamamu. Menikmati senja berdua bersamamu, aku akan membuatkan wedang jahe hangat kesukaanmu dan teh hijau kesukaanku. Kita akan bercerita banyak tentang banyak hal serta masa depan yang akan kita jemput, sembari menikmati harumnya anggrek merpati dan indahnya anggrek bulan yang tertimpa cahaya jingga di ufuk barat.

Aku membayangkan malam-malam yang syahdu bersamamu, duduk di teras memandang langit. Di langit ada sepasang malaikat tengah merias putnama dan memasangkan mahkota bintang di atas kepalanya. Kita akan bercerita apa saja hingga minum di dalam mug kita telah kering, aku mengantuk dan kamu akan menggendongku masuk ke dalam kamar.

Tapi semua itu hanya angan yang tak berujung pada kenyataan. Di rumah baru aku kesepian, kosong, tanpa isi, tanpa bibir yang menyesap kehangatan cairan di dalam tubuhku. Kamu pun lebih suka menghabiskan waktu sendiri tanpa banyak bicara, kehampaan terpancar dari dua bola matamu yang jenaka.

Sama saja, di rumah lama atau pun di rumah baru, kita tetap menjadi sepasang mug yang kesepian, sepasang mug yang merindukan bibir dan kehangatan air.

Pemilik kami ternyata pengantin baru yang tengah kesepian, menanti kekasihnya pulang. Ia sama seperti kami, hanya bisa berkhayal tentang indahnya kebersamaan. Aku sering melihatnya duduk sendirian di teras rumah kala senja, tanpa secangkir teh, tanpa cerita yang tertutur dari bibir merahnya, hanya sepasang mata coklat yang menerawang jauh menjemput rindu yang menetap lama dalam angan-angannya, ketika tertangkap ia akan memeluknya erat-erat hingga malam tiba, rindu lepas lagi ke alam mimpi.

Tak ada yang tahu kapan penantiannya berakhir. Berulangkali ia mencoba membuka rahasia langit, namun gagal. Akhirnya ia pasrah menunggu takdir.

“Kenapa mug-nya tak dipakai, Jelita?” tanya sahabatnya yang datang berkunjung pada suatu sore. “Kamu tak menyukainya?” tanyanya lagi, matanya menatap Jelita, menunggu jawaban dengan hati ketar-ketir.

“Aku akan memakainya, kalau Altair pulang dari rumah sakit.” Katanya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sahabatnya memalingkan wajah sembari menyusut airmata.

Kemudian baru aku tahu, kalau Altair, suami Jelita telah meninggal karena covid-19. Aku dan kamu saling pandang, airmata kami berderai mengisi mug kosong, berharap bibir merah Jelita mau meneguknya, sekadar menghilangkan dahaganya selama penantian.

Entah berapa lama lagi kami menanti, mungkin akan sejalan dengan takdir Jelita.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (8)