Cerpen
Disukai
2
Dilihat
5,576
Nada y Pues Nada
Slice of Life

Pagi sebelum pukul delapan.

Ketika datang pertama kali sebagai karyawan, Delina menahan cemas di sekujur tubuhnya. Kegelisahan itu berkecamuk di pikiran, sejuta pertanyaan terus saja menggelitiki keingintahuannya: akan seperti apa calon atasan yang akan segera ia temui? Apa dia pria botak yang rutin minum obat darah tinggi? Apa dia lelaki jangkung bermata besar yang suka mencolek lengan karyawati di pabrik? Apa dia atasan yang suka mempermalukan karyawannya dengan mengkritik penampilan atau membahas kekurangan di depan pegawai lain? Baru beberapa meter hendak mendekati kantor barunya itu, Delina sudah lemas seketika membayangkan rupa dan tabiat atasan yang belum dikenalnya itu. Bagaimana kalau benar seburuk demikian? batinnya bergejolak lagi.

“Nada y pues nada y pues nada y pues,” bisik Delina, menirukan doa seorang pelayan dalam cerpen A Clean, Well-Ligthed Place karya Hemingway yang dibacanya semalam. Tidak ada apa-apa yang akan terjadi, yang ada hanyalah ketiadaan.

Sekian detik kemudian dia sudah melewati kebisingan di pintu ruang produksi. Bunyi orang-orang saling berteriak, suara melengking memerintah, dengung mesin, benda-benda diempaskan, beradu padu terdengar di kupingnya. Aroma debu, oli, dan asap knalpot tercium di mana-mana. Mobil-mobil pengangkut berbaris rapi menunggu diisi galon-galon dan kardus-kardus air mineral. Suara klakson menggelegar mengejutkan Delina sehingga dia menjatuhkan kakinya ke halaman rumput karena mengira mobil di belakangnya hendak lewat dan menubruknya, padahal sang sopir hanya bermaksud ingin menggodanya. Pria itu melambaikan tangan ke arah Delina dengan senyum mesum. "Pagi! Manis," panggil lelaki berkumis ubanan itu. Tetapi Delina pura-pura tidak melihat lelaki itu dan memalingkan mukanya ke sisi lain.

Betapa memalukannya orang itu, rutuk Delina. Dia merasa mual dengan segala aroma dan pemandangan di tempat ini. Mulutnya tiba-tiba merasa kering kerontang. Udara terasa kelat di lidah seolah-olah pabrik ini menyerap keringat dan ludah manusia-manusia malang di dalamnya.

Delina meremang memandang lurus ke arah kotak besi berjarak dua puluh meter lagi di depannya. Kotak besi yang tampak melayang dan tidak menarik didekati berada tepat di bawah pohon jambu air yang jangkung dan meranggas.

Ini masih pagi, tetapi dia merasa sudah kepanasan. Kegersangan memang terasa sejak ia melangkah ke dalam pabrik itu, tetapi tadinya belum separah sesaat menatap dua kontainer kembar di depan keningnya. Kotak-kotak pengap yang tampak tandus itu makin tidak mengenakan hatinya. Dia tidak sanggup membayangkan akan menghabiskan hari-harinya terkurung dalam kantor (yang bahkan tidak layak disebut ruangan) jelek itu. Tetapi ke mana lagi mencari pengharapan jika bukan di tempat ini? Ia sudah muak di rumah kerjanya menyikat lumut di kamar mandi atau mencuci pakaian milik seisi rumah--itu pun setelah berdebat dengan ibunya yang ngotot ingin melakukan pekerjaan rumah di bawah panjinya sendiri dan tak mau melihat putrinya bekerja keras di rumah mereka (dia percaya kodrat itu jatuh pada wanita tak berpendidikan, sehingga ia terlalu takut Delina kelak kehilangan semangat mandiri dan mengulangi nasibnya). Jadi beginilah pilihan Delina, terlalu malu membebani keluarga, sehingga ia memaksakan datang setelah interviu mengecewakan. Kedatangannya hari ini bentuk persetujuan bahwa ia siap digaji seadanya, yang bahkan tidak akan pernah cukup membayar sewa kosan semasa kuliah dulu hanya untuk sebulan. Rasanya ia ingin berbalik pergi dan pulang seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tapi sekonyong-konyongnya suara itu muncul di waktu-waktu yang genting: “Jika kau pulang, itu belum tentu akan membuatmu membaik,”

Delina menoleh ke kanan kiri, terkejut dengan kehadiran suara Kappa yang tak disangka-sangka, tetapi ia menghela napas setelah sadar Kappa memang terkadang mengawasinya. Sejak kapan dia di sini? pikir Delina kebingungan. Makin kaget bukan main tatkala ia menemukan makhluk itu ternyata sudah berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada berdiri di hadapannya

“Aku tidak siap, aku sepertinya masih perlu mempersiapkan diri,” balas Delina, resah. Dia membeku di pijakan yang sama. Belum menambah langkahnya sama sekali. Tas tangan kecil dengan map amplop yang menjulur keluar tergantung di bahu kanannya hanya bergerak-gerak sesekali tertiup angin.

“Meditasi? Kalimat afirmatif? Sesi curhat? Membaca buku tip? Menulis diari? Minum obat? Membenturkan kepala ke dinding? Menyilet pergelangan tangan? Menulis puisi melankoli? Apalagi yang mau ditambah?” seloroh Kappa tidak senang. Ia berdecak sembari menggelengkan kepalanya yang sehijau daun pandan. Paruhnya naik-turun seolah mengatakan sesuatu yang tak ingin didengar Delina.

"Aku tidak sanggup," kata Delina dengan suara yang lirih. Ia memelas kepada Kappa yang nampak tidak acuh.

Kappa memasang wajah menghina, ia pun berseloroh lagi, "Tentu, tentu saja, Delina kan pengecut!"

"Kumohon mengertilah, Kappa."

"Ya, tugas pengecut itu diam saja di tempat. Mandek dan tak mau berusaha."

Kali ini Delina mendesah. Dia berkata seakan menahan tangis, “Kau tidak tahu. Ini tidak mudah buatku. Bagaimana kalau aku terus terjebak di tempat ini? Bagaimana kalau atasanku ini bukan orang baik-baik? Setelah semua pengorbananku, akankah aku dihargai di tempat ini? Di tempat yang karyawannya bahkan tak ditempatkan dalam bangunan yang layak.”

"Lalu bagaimana pula dengan Ibu? Walau sudah bekerja, aku tak bisa memberinya uang sepeser pun, bukankah itu sama sekali aku tak membantunya? Aku masih sama saja membebaninya."

Kappa menggeleng cepat. “Itu pasti. Aku tidak tahu apa pun mengenai rasa takutmu, kecemasanmu, dan semua masa lalumu yang buruk dan memalukan itu. Tapi kalau aku jadi kau tetap saja aku akan pergi ke sana. Orang tidak tahu apa yang ada dibalik pintu kaca itu kalau tak memeriksanya terlebih dahulu, kan? Maksudku, kalaupun benar seburuk itu bayanganmu tentang pabrik ini, tapi setidaknya kau harus merasakannya sendiri. Kadang-kadang bersikap kejam kepada diri sendiri diperlukan. Jangan bersikap lembek begitu!"

Kalimat Kappa jelas melukainya. Kappa tidak pernah sehari pun memahami perasaannya selama ini. Perasaan cemas, takut, rendah diri, dan malu itu tidak bisa dikalahkan semudah memencet tombol membuka jendela mobil.

"Pintu perlu dibuka untuk tahu apa yang tersembunyi di baliknya. Tidak cukup hanya mendengarkannya saja."

Pintu, Delina sontak teringat puisi yang ia tulis sebulan yang lalu. Kalimat Kappa barusan membuatnya terlonjak. Makhluk kejam ini diam-diam sudah mencuri lihat tulisan Delina seminggu yang lalu.

“Kau ... sudah melihatnya?” seru Delina hampir berteriak. Ia mengatupkan mulut dengan telapak tangan.

"Tepat! Kau cepat sekali sadar! Aku sudah membacanya. Menurut hematku, tanda baca tidak diperlukan dalam puisi jelekmu. Lihat ini versi baruku," Kappa menyodorkan kertas buram yang penuh coretan. Perempuan itu buru-buru meraihnya agak gemetar.

PINTU

aku berenang di depan ribuan pintu terkatup pintu pintu bersuara ada yang merintih lazim yang terdengar derai hujan di hutan tropis yang dengan riuh badai gurun juga pekik angin malam di laut yang membawa nyanyian angin salju dari hamparan es yang suara bulan retak-retak kesepian lalu pecah dalam mimpi gadis tak dikenal yang bergemirincing bersampingan dengan hening dua lainnya adalah deru lalu lalang kendara di kota metropolitan yang sibuk dengan lantunan kidung injil musik beraturan saksofon merdu dimainkan ramai obrolan di kafe tengah malam tapi mengapa aku tak peduli dengan bunyi-bunyian itu selagi kesenangan mengelilingiku hari ini dan ketika tiba waktunya air bah menghampiri dan menggiringku pergi salah satu dari pintu harus kuambil (yeah dengan terpaksa) entah bagaimana aku menaklukkan ragu dalam diriku di hadapan pintu-pintu itu sehingga begitu berani memutar knop sementara hatiku tak pernah tahu ke mana pintu itu akan membawaku, pergi atau mati apa pun akan kujalani sendiri

Pipi Delina berubah menjadi semerah stroberi mengangankan ekspresi Kappa ketika membacanya. Ia malu seandainya tulisan jeleknya itu dibaca oleh orang lain apalagi Kappa.

Kappa tertawa terbahak-bahak seolah ada yang menggelitiki dagu dan ketiaknya. “Aku memang bilang jelek, tapi tidak bilang puisimu terbuat dari serbuk otak keledai. Jadi, santai saja.”

Sekarang Kappa berlutut lalu mengulurkan tangan ke arah Delina yang pucat pasi. Ia mengangkat kepala dan menyunggingkan senyum bersahabat kepada Delina dan berkata dengan ramah, “Ayo buka saja pintu di depan sana. Coba saja untuk hari ini.”

Gadis itu menggeleng seperti kipas angin. “Bagaimana besok? Jika aku memulai, sulit bagiku mengakhiri. Cukup sekali aku terjebak."

Sebelum hari ini Delina memang pernah bekerja di perusahaan besar sebagai sales alat-alat industri. Pekerjaan yang seharusnya membuatnya tidak kikuk lagi berhadapan dengan orang baru. Kemarin pun saat interviu ia dapat mengontrol dirinya di hadapan HRD dan user (tapi wanita itu bukan atasannya sebab dia dialihkan menjadi admin produksi yang mendampingi kepala produksi sebab kuota staf bagian marketing sudah terpenuhi). Tapi sesudah interviu ringkas di siang bolong nan melelahkannya itu, Delina mendadak terhuyung-huyung saat keluar dari ruangan. Betapapun, si pewawancara tanpa memberi jeda terus-terusan mengorek pekerjaan lamanya, luka lamanya, membuatnya kembali dibayang-bayangi ketakutan itu. Kritikan yang sangat keras dan pedas dari atasan lama yang buruk hati terngiang di telinga. Bayangan hari-hari suram saat ia dipermalukan dan dilecehkan oleh staf senior di sana. Dia hampir ingin berteriak tatkala si HRD dengan entengnya mempertanyakan ulang keputusan ia keluar dari kantor yang lama.

“Jangan mengkhawatirkan hari esok, sebab hari esok sudah punya kekhawatirannya sendiri,” ucap Kappa, menenangkan. Dia mendongak ke langit. “Lihat, langit hari ini biru dan begitu bersih. Semestinya kau isi dengan perasaan yang sama. Bersih tanpa kecemasan. Aku tahu, kau memang harus bersikap lembut kepada dirimu sendiri, tetapi jangan menyiksanya dengan ketakutan itu.”

Delina mengangguk, lalu menyambung kalimat Kappa dengan suara lemah, “Hari ini sudah cukup kesusahan yang kutanggung, tidak seharusnya ditambah lagi.” Ia tahu bahwa Kappa mengutip kalimat dalam kitab suci.

Gadis itu kemudian menyambut tangan Kappa yang berlendir lantas melanjutkan kalimatnya, “Kau barusan mengutip ayat, kan? Jujur itu lumayan membantuku ketimbang kalimat-kalimat sadis yang kau bilang sebelumnya.”

"Karena Tuhan ada di setiap tempat. Termasuk di tubuhku. Aku adalah manifestasi Tuhan yang datang untuk menolongmu," kata Kappa. Sesudah itu dia menghilang seperti deru singkat yang terbawa angin.

Entah bagaimana, sesudah Kappa mengatakan kalimat itu, tiba-tiba Delina merasakan ketenangan meresap ke setiap bagian tubuhnya. Delina kembali memikirkan harapan yang lama tidak pernah lagi dia pikirkan. Mungkin sudah waktunya aku berdamai dengan keadaan, mungkin ini hari yang tepat untuk memulai segalanya dari awal, dari yang paling kecil, pikirnya menguatkan diri.

Dalam beberapa menit ia sudah berada tepat di hadapan pintu kaca salah satu kontainer kembar. Tertulis di depan kaca itu: "Harap lepas alas kaki!" . Delina menurut imbauan itu, segera mencopot sepatu pantofel hitamnya lalu menegakkan punggung kembali sambil menahan napas sejenak dan membuangnya lewat mulut. Ia memutar dan mendorong gagang pintu kontainer yang licin dan berminyak itu dengan gugup. Ketika ia mengangkat kepala, dua lelaki yang tengah asyik memperbincangkan sesuatu seketika menoleh bersamaan memandang Delina dengan wajah antusias.

Catatan:

Kappa: tokoh fiksi dalam novel Kappa (1927) karya Ryūnosuke Akutagawa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)