Masukan nama pengguna
Si Mata Hijau
“Aku melihat sendiri kalau Dion ditangkap setan itu,” Tan bercerita dengan penuh penekanan di hadapan teman-temannya, bibirnya pucat pasi kehilangan warna, tubuhnya gemetar. Sebagian dari mereka menahan tawa menyaksikan raut muka Tan yang tampak berlebihan. Sebagian lagi membisu, mencoba yakin pada cerita yang tak masuk akal itu.
Percik bunga api dari puntung yang ditunu melayang-layang bak iblis di udara, lalu padam di setengah perjalanannya. Sementara dingin malam kian tebal merasuki udara ke segala penjuru. Dua-tiga kunang-kunang beterbangan masuk dalam kegelitaan hutan pegunungan yang lembap. Cahaya hijau serangga itu bak bola mata lelembut yang tengah mengawasi mereka. Atau mungkin dedemit laknat tanpa bola mata sedang menyembunyikan diri di balik dahan-dahan rimbun di hutan lebat itu. Siapa yang tahu?
“Demi Tuhan! Aku benar-benar melihat bola mata jahat itu!” Tan mencoba meyakinkan sekali lagi. Peluh mengucur deras dari pori-pori lipatan keningnya, bulir-bulir kekhawatiran yang nyata adanya.
Perkemahan itu hening. Disusul bunyi patah dan terperosoknya kayu kayu rapuh dilalap si merah yang terus menyambar-nyambar puas. Kemudian kantung-kantung air dan sisa getah terkepung di dalam puntung yang mendidih bersuara gemerisik, membangunkan kantuk orang-orang tidak siap didongengi. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, akhirnya satu demi satu mereka mulai masuk kembali ke dalam tenda. Tersisa Rado yang masih memangku buku seperti kitab suci. Bibir pemuda berjaket cokelat itu terus merapal doa-doa pengusir roh jahat, meski angin dan riuh jangkrik mengacaukan konsentrasinya. Ia lantas berjalan ke arah Tan dan duduk di atas tunggul di sebelah pemuda itu.
“Tidak ada yang bakal percaya omonganmu, sebelum mereka tahu alasannya. Lebih baik kau akui saja kalau dia sudah mati,” bisik Rado, setelah melihat ke kanan-kiri, memastikan di sana tidak ada siapa-siapa, kecuali hanya mereka berdua.
“Kau tidak akan membocorkan rahasia itu, kan?” Tan menarik lengan Rado. Tangannya gemetar hebat.
“Kalau mau, sudah dari tadi kubocorkan,” kata pemuda itu lantas ia bangkit berdiri, melepaskan cengkaman tangan Tan dengan cepat. Ia mengibas-ngibaskan sisa debu dan dedaunan kering yang menempel di celana panjangnya.
“Tidurlah, atau minumlah kopi dulu biar tubuhmu hangat. Besok pagi, aku akan membantumu menjelaskan pada orang-orang kronologisnya. Jangan takut,” ucapnya sembari menuangkan segelas kopi dari termos. Kemudian meninggalkan Tan seorang diri. Tan kelihatan tidak gembira mendengar saran Rado itu.
Ia membatu. Mati kutu. Rasanya ia tak mau tidur sama sekali malam ini, ia tak siap jika rahasianya terkuak, dan semua orang akan tahu perbuatannya. Dia belum siap dihukum. Terlintas di kepalanya ide untuk melarikan diri. Tapi dia begitu kelelahan setelah melakukan pendakian seharian ini. Mana mungkin sanggup turun gunung malam-malam. Lagi pun, itu ide buruk, pikirnya.
Pemuda itu menjemput sebatang rokok dari selipan saku jaketnya, memanaskan ujung benda itu ke sisa bara menyala, kemudian mencucupi filternya dalam beberapa tarikan ringan sehingga aerosol melesat ringan, terbang berlarian ke sana kemari, persis seperti hantu berjubah putih dengan kaki menjuntai dan mata berpendar hijau yang baru saja dilihatnya tadi.
Tan tenggelam dalam ingatannya yang ganjil. Jangan-jangan aku terlalu paranoid. Jangan-jangan rasa bersalahkulah yang mengacaukan penglihatanku. Bukankah ketika orang normal merasa bersalah, mereka dibayang-bayangi rasa takut? Tan menebak-nebak.
Beban pertanyaan itu makin berat menggantung di kelopak matanya hingga nyaris membuatnya tubuh tambunnya hilang keseimbangan. Dan tiba-tiba, saat ia baru saja membuka kembali matanya, ia dapat melihat dengan jelas ada sepasang bola mata berwarna hijau mengamati dari balik semak belukar. Tidak mungkin, pikir Tan. Sorot mata yang amat tajam dan diam. Makhluk guyub itu seperti tertangkap basah sedang mengintip, lalu segera mengudara masuk ke dalam pekatnya rimba raya. Bersembunyi.
Pada awalnya Tan ragu-ragu ingin menyusul sosok aneh itu. Namun, ia ingin membuktikan apa yang dilihatnya tadi adalah hal nyata, bukan mimpi, bukan khayalan. Aku harus membuktikan bahwa aku tidak paranoid, katanya dalam hati. Maka setengah waswas dan cemas, diam-diam diikutinya dari belakang sosok misterius itu. Dengan bermodal senter redup yang ia genggam, Tan melangkahkan kakinya menjajaki lantai hutan. Berlari masuk semakin dalam, semakin dalam, semakin jauh, semakin gegas menelusuri lantai-lantai hutan kaki gunung yang licin dan basah sisa gerimis petang tadi.
Tan megap-megap kehabisan napas berlari. Meskipun ia sekuat-kuatnya mengejar sosok itu. Tapi tak sedikit pun ia mampu menjangkaunya. Malahan ia hampir mati karena terpeleset. Lumut di akar-akar besar dan liana sempat menarik kakinya hingga ia nyaris berguling-guling ke jurang.
Tidak! Tidak mungkin ini pasti khayalanku atau mimpiku, aku mungkin mulai gila, batin Tan. Dia mencubit sebelah telinganya sendiri. Lelaki itu mengaduh sakit. Nyata.
“Berhenti kau sialan!” teriak Tan tak tahan lagi lagi mengejar. Tapi teriakannya sama sekali tak dihiraukan oleh sosok itu. Si Mata Hijau terbang berkelebat bagai tirai tertiup angin kencang.
“Aku akan membunuhmu!" pemuda itu berteriak, menggila. Ia tergesa-gesa berlari menembus perdu tegak merapat yang menghalangi jalannya.
Sampai pada akhirnya, perjalanan yang tidak diketahui arah dan tujuannya itu telah mengantarnya ke sebuah padang rumput yang amat luas. Dan di sanalah rupanya ia melihat Si Mata Hijau berhenti. Sosok itu mendadak raib di atas permukaaan rumput seakan-akan terserap ke dalam bumi. Tak mau meragukan kewarasannya, Tan bak kerasukan mengeduk lubang tepat di posisi makhluk itu melenyap. Digalinya tanah itu dengan kayu tergeletak di situ. Semakin dalam, semakin dalam, semakin cekung hingga terbentuk galian menganga lebar setinggi betisnya. Namun, di tengah-tengah galian yang belum menghasilkan apa-apa, kayunya itu patah. Bau tanah bercampur anyir darah tercium semerbak di hidung Tan. Setelah mengendus bau itu, Tan bagaikan kucing menggali liang tahi di pasir, tangan pemuda itu begitu cepat dan brutal mengeruk tanah gembur, terus mengeruk, mengeruk, sampai kuku jemarinya pedih tatkala tergerus sesuatu. Tan tanpa sadar telah berhenti di dalam galian lubang setinggi pinggang. Dia tertawa terbahak-bahak seperti orang sinting kegirangan kala menemukan plastik hitam terkubur di bawah kakinya. Ia meludah serampangan.
“Jadi, kau beneran mau buat aku gila ya?” ia menyeringai puas kala membuka plastik itu dan menemukan isinya tak berubah.
“Dengar aku keparat! Bisakah semalam saja kau berhenti mengganggu pikiranku?” Tan bicara pada seonggok kepala yang sudah tidak karuan lagi bentuknya.
"Kau koit bukan salahku! Tapi karena kau yang tolol!"
Aneh! Tapi mata mayat ini terpejam, jadi dari mana kilau hijau bengis itu berasal, Tan membatin. Ia keheranan pada tingkahnya sendiri.
Tak mau dibayangi-bayangi rasa takut, dibukanya paksa tanpa ragu-ragu kelopak mata mayat lelaki itu hingga yang terlihat hanya selaput putih. Otaknya seketika dipenuhi memori keji saat ia tengah menyiksa lelaki sialan itu kemarin petang. Korbannya bahkan tidak sempat meraung-raung atau melolong sedetik pun. Yang tersisa pada saat itu hanya gerakan kecil tangannya menepuk-nepuk tanah dan kakinya menerjang-nerjang mencoba memberontak.
Andai saja kau tak banyak omong, kata Tan kepada mayat itu. Semua bermula karena ancaman lelaki itu padanya sore tadi, padahal sudah ia katakan sebelumnya; bahwa ia tak tahu apa-apa. Dia tidak pernah berbuat nekad pada siapa-siapa. Namun, Dion terus mengintimidasinya.
"Bukan aku tidak tahu selama ini kau kan yang menemukan hp berisi video skandal Desi dan aku di toilet lalu menyebarkannya di grup kampus kita? Kau juga yang membuat Desi jadi sampah dan kau pura-pura berbuat baik padanya. Aku tahu kau juga memerkosanya dan setelah ia hamil kau meninggalkannya, dan gara-gara kau semua itu dianggap perbuatanku. Dianggap salahku! Desi bunuh diri itu karena kau! Jahanam kau, Tan! Aku sudah tahu semua akal busukmu! Selama ini aku menunggu waktu ingin menghabisimu."
"Kau sudah gila! Jadi kau rela menyesatkanku cuma untuk bicara omong kosong ini? Aku tak paham yang kau bicarakan. Sekarang aku akan kembali ke rombongan kita. Mereka pasti sedang repot mencari kita."
"Ya, kau boleh pergi dari sini asal kau bisa mengalahkanku. Sini kau!" Dion berlari mengacungkan kapak ke arah Tan. Benda tajam itu ia ayunkan berkali-kali sehingga nyaris menancap di bahu Tan. Tetapi Tan dengan lihai mengelak. Dia mengecoh Dion hingga kapak itu tanpa sengaja tetancap di tanah.
Dengan memanfaatkan keadaan Dion yang lengah, Tan langsung menerjang perut lelaki itu sampai benar-benat terguling. Ia mengambil puntung tergeletak di bawah kakinya dan memukulkannya tanpa ampun secara bertubi-tubi ke perut orang itu. Diinjaknya dada laki-laki hingga ia tak bisa berdiri lagi. Ditindihnya tubuh Dion. Belum puas, ia meninju kepala pria itu berkali-kali sampai dia tak berdaya. Kemudian Tan berdiri mencabut kapak yang masih terhunjam di tanah. Bak kerasukan iblis ia menghabisi nyawa musuhnya itu kurang dari beberapa menit. Darah pun muncrat di wajahnya. Dan sialnya, Tan baru sadar bahwa Rado menyaksikan semua itu dari jauh. Rado tahu. Ia bahkan menolong Tan menguburkan mayat itu.
"Dion salah paham," kata Tan selesai menimbun lubang galian itu.
"Aku tahu," balas Rado. "Sebab itu aku membantumu."
"Maksudmu kau tahu siapa yang menyebarkan video skandal itu?"
"Ini akan menjadi rahasia kita saja. Aku tahu kau sejak awal melakukannya. Tapi tidak apa, aku sudah lama benci pada Dion yang terus merundungku. Desi memang tidak bersalah, tapi dia pacar Dion, dan itu sama saja," ujar Rado. Ia tersenyum. Senyum yang membuat Tan sedikit lega.
***
Suara cekikikan seram menggema pada malam rembulan terang di langit. Bulu kuduk Tan berdesir-desir mendengar tawa aneh itu, tawa yang membuat ia teringat pernah memukul ubun-ubun seseorang sampai berdarah-darah. Dari dalam lubang, ia dapat melihat dengan jelas mahluk bermata hijau menari-nari di udara seolah-olah sedang mengejeknya.
“Kurang ajar sekali kau! Sudah mati masih mengganggu!" jerit Tan. Ia mendengus kesal. Lama-kelamaan laki-laki itu naik pitam, ia meloncat keluar dari ceruk setinggi pinggang itu, mengejar kembali sosok mengerikan di hadapannya.
Tan pun berhasil menangkap sosok bermata hijau itu hanya dalam sekejap. Dijatuhkannya dengan cepat ke dalam lubang tempat mayat Dion dikubur. Pendar terang benderang di mata makhluk itu sontak membuat hatinya ketar ketir. Dipukulnya berkali-kali mahluk dalam kain itu, sampai pijarnya padam, tapi tak berhasil. Tan murka. Ia pun menginjak-injak kepala mahluk itu. Ajaib, kilau bola mata hijau itu meredup.
“Setan, mampus kau!” ia bersorak puas, lega. Pria itu merebahkan tubuhnya di hamparan rumput.
Selesai, cahaya jahanam itu sudah lenyap, gumamnya.
***
“Percayalah, aku melihat mahluk bermata hijau sebelum kejadian itu," Tan memulai ceritanya di hadapan polisi.
Dua orang petugas itu mengamati wajah dan sikap saksi penuh perhatian. Tan berusaha tidak gegabah di hadapan mereka. Dengan tenang ia mulai menceritakan tentang makhluk bermata hijau yang menerornya semalam. Kedua polisi itu berbisik-bisik sesudah mendengarkan cerita Tan, dan dari kerut kening jelas menunjukkan bahwa mereka sangat tidak percaya cerita itu. Tan pun berhenti melanjutkan kata-katanya. Toh masih ada banyak saksi yang bisa polisi tanyai, pikirnya.
Dia pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!
Entah dari mana, tiba-tiba teriakan keras itu menggema seolah-olah dipantulkan pohon-pohon besar. Anehnya, orang-orang di sekitarnya tampak biasa saja, mereka seolah-olah tak mendengarnya. Padahal, teriakan itu sangat nyaring.
Dia pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!
“Sialan!” pekik Tan. Si Mata Hijau ternyata sedang berdiri di belakang polisi. Bukan satu, melainkan dua. Gemetar tubuhnya saat makhluk itu bergerak mendekatinya.
Dia pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!
“Diam kau!” Tan bersorak dengan gugup. Dua polisi itu mengangkat alis mereka, kebingungan. Mereka kembali melanjutkan pertanyaan, tetapi Tan tak menggubrisnya sama sekali. Dia cemas bila makhluk bermata hijau itu membocorkan kisah yang sebenarnya terjadi.
Pembunuh! Pembunuh!
Jarak makhluk itu tinggal tiga depa dari para polisi. Tubuh Tan menggeligis, detak jantungnya berdenyut tak karuan. Secepat kilat ia menyambar pistol di pinggang polisi.
DOR! Ia menembak kepalanya sendiri. Kupingnya berdenging. Tubuhnya melayang sebentar lalu rubuh di hadapan petugas, menyusul dua korban yang ia habisi kemarin.
***
Ditulis pada tahun 2020 dengan beberapa perubahan.